Jumat, 01 September 2017

SECANGKIR SUSU SEPOTONG ROTI

Dingin udara Madinah bagiku adalah “dingin bakicuik” kata orang kampungku. Dingin yang berlebihan. Mula menginjak lantai pelataran tanpa alas kaki sekeluar Masjid Nabawi, di depan pintu sesudah sholat Subuh, tubuhku tergetar. Merapatkan sweather yang melekat di badan.




Beberapa detik setelah terinjak tanpa alas kaki lantai luar masjid, rasa dingin itupun hilang. Entah kenapa. Hal itu sangat kurasakan tersebab tubuhku agak sulit berhadapan dengan udara dingin sejak usiaku masih kecil.

Tanpa alas kaki itu selalu terjadi selama berada di Madinah, kala masuk atau keluar Masjid Nabawi untuk beberapa meter, antara pintu dan tempat meletakkan alas kaki. Apakah hal itu suatu hal yang menyulitkan dan membuatku mengeluh?

Tidak. Itu adalah tantangan. Kondisi badanku harus sehat. Harus kujaga untuk tetap dalam stamina yang baik selama menjalani perjalanan ibadah ini. Karenanya, aku selalu menjaga makan dan minum. Menggerakkan tubuh melalui sholat wajib dan sholat sunat. Melangkah sambil berzikir di dalam masjid atau pun diluar masjid untuk beberapa meter.

Ada yang terperhatikan sejak sholat Subuh pertama di Nabawi sampai meninggalkan Madinah yakni lalu lintas jamaah keluar masuk masjid. Itulah istimewanya Masjid Nabawi ini. Biasanya sesudah sholat berakhir, orang-orang bersegera untuk meninggalkan masjid. Keluar dari setiap pintu dengan terburu-buru.

Tetapi di sini, sebanyak yang hendak keluar, masih ramai juga yang bergegas datang untuk masuk ke dalam masjid. Sebanyak yang ingin pulang ke penginapan, sebanyak itu pula yang bertahan dalam masjid, menenggelamkan jiwa dalam bacaan Alquran atau berzikir dengan kekhusukan. Sungguh beruntung orang-orang yang sudah datang dari jauh, dari negaranya ke Tanah Suci, menggunakan waktu semata-mata hanya untuk beribadah.

Sekeluar dari Masjid Nabawi, langit Madinah belum begitu terang. Lampu-lampu penerang masjid masih menyala. Walaupun satu dua sudah ada yang dipadamkan. Payung-payung yang indah ada yang tetap dalam keadaan kuncup. Ada juga terlihat sudah terkembang. Bahkan ada pula satu dua mulai bergerak di sana sini yang kembang menguncup dan yang kuncup terkembang.




Apakah itu tidak hikmah juga? Aku kira secara tidak sadar, kita seperti diingatkan akan kehidupan manusia. Ada yang berangkat untuk dewasa dan menjadi tua. Ada yang tua perlahan berakhir kesempatan hidupnya di atas dunia.

Kala siang dengan cahaya matahari, berjalan di bawah payung-payung itu, teringatkah hidup kita bahwasanya kita dalam lindunganNya, di bawah payung rahmat dan hidayahNya? Kala malam dihadiahkannya kita kegelapan. Embun yang turun jatuh ke ubun-ubun dan seluruh tubuh. Dengan kegelapan itu, kita akan tahu betapa perlunya setitik cahaya sebagai penerang. Dengan embun itu kita rasakan dingin agar kerinduan kehangatan selalu ada.

“Alhamdulillah, Engkau masih memberiku akal dan pikiran. Memberiku daya upaya. Memberi kesehatan dan kesempatan ya Rabbi,” gumamku seketika.

Aku datang dan pulang dari Masjid Nabawi berdua dengan kakak sulungku, Irvan Khairul Ananda. Dia bersama isteri dan anaknya sudah pernah datang ke sini. Karenanya, ia sudah berlaku sangat akrab dengan suasana dan lingkungan Madinah. Lain denganku yang baru pertama datang. Datang dengan segala pikiran dan perasaan untuk semata-mata menyempurnakan ibadahku, yang kurasakan sangat jauh dibandingkan pada saudara-saudaraku, apalagi kedua orangtua kami.

Kami berjalan perlahan. Tidak tergesa-gesa. Ada banyak orang lain, para jamaah berada di pelataran Masjid Nabawi menanti pagi menerang dengan cahaya matahari. Ada yang berjalan, ada yang duduk, ada yang bercakap, ada yang hening dalam kesendirian. Berbagai usia, berbagai latar belakang, etnik dan Negara. Namun semuanya menjadi satu. Satu tujuan kepada Allah.

Berjalan berdua dengan kakakku, kami lebih banyak berdiam diri sepanjang jalan. Hanya sekali-kali saja kami bercakap-cakap. Percakapan perihal apa-apa yang kami lihat berkaitan dengan agama dan peribadatan. Tidak ada pergunjingan dan cela. Atau membicarakan hal lain kehidupan sehari-hari. Tidak pernah membahas perkara-perkara gerutuan dan rasa sesalan. Sekali juga kami membandingkan suasana di Madinah dengan di Mekah. Hal-hal yang tentu saja harus menjadi perhatian. Karena dapat merugikan diri sendiri.




Dalam diamku sambil melangkah, aku merasa bersalah kepada kakakku ini. Kurasa telah membuatnya merasa sedih padaku. Bertahun-tahun lalu, ketika usiaku terpancang dewasa, disaat aku “ditimpakan cobaan” paling berat dalam hidupku. Hingga berimbas sampai hari ini. Dimana aku harus bertarung  mendapatkan rasa sabar, mempertebal ketawaqalan dan berserah diri kepadaNya, memohon ampunan. Atas kegagalan dan kehancuran jalan hidupku.

 Antara kepahitan hidup “menyendiri” dari keluarga dan konflik batin tubi-bertubi kurasakan. Kuhadapi dalam hening. Betapa pedih dan menyakitkan. Betapa jadi sembilu dalam daging dan menggumpal derita. Tiada seorang pun dapat mengerti. Hingga aku terpancing seketika pada saat itu. Bertahun silam. Sesuatu yang tak pernah kulakukan dan semoga tak akan pernah terulang lagi dalam hidupku pada siapapun. Bagaikan gunung merapi meletus, memuntahkan lahar panas.

“Bukan aku tak ingin pula bersekolah dan kuliah. Bukan aku tak hendak pula berusaha dan bekerja. Bukan tak ada pula keinginanku menjadi orang berkecukupan. Menjadi orang baik seperti kalian semua. Aku tak pernah mengganggu dan meminta-minta walaupun hidupku susah. Aku tak pernah berkecil hati karena yang lain dapat dan punya. Tidak. Tidak pernah. Aku sadar diriku. Aku tahu hidupku miskin! Aku sadar dengan kemiskinanku!”

Hanya tersebab, kakakku memintaku untuk mau pulang ke rumah orangtua yang telah bertahun-tahun kutinggalkan. Karena aku tak hendak saja pulang. Hidup sendiri menurut kemauan kemana aku inginkan membawa kata hati. Hidup di “jalanan” dengan kesengsaraan kesendirian. Dengan kelaparan dan kedinginan. Berhabis usia.

Astaughfirullah! Mengapa itu kini yang teringat? Disaat usia yang sudah kian berkurang. Ketika berjalan di pelataran Masjid Nabawi bersama kakakku. Aku menangis sambil berjalan diantara para jamaah. Tangis yang mengeluarkan airmata. Dengan suara tangis kutekan ke dalam. Seperti bertahun-tahun yang kulakukan selama ini.

“Allahuakbar. Ampunilah hamba. Hanya Engkaulah Yang Maha Mengetahui…., berikanlah kepada hamba jalan terbaik yang Engkau Ridhoi…,”




Aku hanya mengiringi langkah kakakku yang berjalan agak  di depanku. Dia membawaku menelusuri pedestrian kawasan yang berdampingan dengan Masjid Nabawi. Bangunan hotel dan pertokoan. Walau pun jamaah berdatangan dari berbagai Negara di dunia, yang kurasakan keramaian luarbiasa tak sedikitpun merasa diri dan pandangan mata menjadi sesak. Sangat lapang. Sangat nyaman dan tenang dimanapun dan kemanapun. Benar-benar Tanah Suci. Sungguh Kota Madinah pilihan tepat hijrahnya Rasulullah dari Mekah, alangkah Maha Besar Allah yang menciptakan semesta alam.

Hari semakin terang sebagai penyempurnaan waktu pagi. Dari bangunan beton yang tinggi ke bangunan beton lainnya, terbentuk lorong artistic. Seringkali selama perjalanan yang dilalui berpapasan atau pun beriringan dengan rombongan dan kelompok-kelompok jamaah Umroh sesama dari Indonesia. Terkadang ada komunikasi sesaat dengan hanya tatapan ataupun senyuman saja. Tapi lebih sering hanya sekadar terperhatikan saja.

Akhirnya sampailah kami di salah satu rest area diantara bangunan beton yang jangkung. Di kedai minuman membeli secangkir susu hangat dan sepotong roti sebagai sarapan. Aku duduk menikmatinya di pelataran taman yang tak terlalu luas tapi nyaman dan menarik. Ada dua gazebo yang saling berdekatan. Selebihnya taman rumput dan tanaman hias.

Ada banyak orang selain kami, malah menikmati sarapan bersantai duduk di rerumputan atau hanya memanfaatkan pembatas pedestrian dengan taman. Mereka hampir semuanya tak ada satu Negara denganku. Berbeda-beda negaranya. Ditandai dengan postur tubuh, warna kulit dan berpakaian. Yang pasti juga bahasa.

Namun aku yang memilih berjauhan dengan kakakku, duduk di bangku gazebo bersama jamaah yang negaranya masih berada di benua Arab dan sekitarnya. Menikmati sarapan yang kami beli. Diantara jamaah itu menawarkan makanannya padaku. Serasa kami tidak berbeda Negara, tidak berbeda etnik dan bahasa. Sesama Mukmin adalah bersaudara.

Setelah sarapan tak jauh dari Masjid Nabawi, sepagi itu kami bersegera pulang ke penginapan (*) copyright: abrar khairul ikhirma – Umroh Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar