Sabtu, 31 Mei 2014

Nyanyikan Lagu Kebangsaan



“INDONESIA tanah airku, tanah tumpah darahku….,” Bulu romaku berdiri. Tubuhku tergetar  hebat seketika. Airmataku memercik. Tak pernah menduga lagu kebangsaan itu akan dinyanyikan kalau bukan di acara formal, tak pula setiap mendengar lagu itu dinyanyikan, mampu menggetar diriku. 

Nyatanya lagu itu dinyanyikan di sini, diantara mereka yang berbaris menuju daratan. Digiring bagaikan pesakitan. Aku terperangah kini. tersandar di pipa besi, pagar pengaman kiri kanan jembatan, salah satu lorong kedatangan, pelabuhan kapal Tanjung Pinang, saat matahari siang menggelincir !!!


 Hari ini adalah hari kedatangan kapal yang membawa warga negara Indonesia, yang terkena deportasi. Mereka konon umumnya adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.  Mengadu peruntungan ke negeri Malaysia. Tersangkut berbagai pelanggaran aturan pemerintah negeri seberang. Yang akhirnya dikembalikan ke negara asal.

Cerita tentang warga negara dideportasi, terutama soal “pendatang haram” istilah negara seberang, pun tersangkut masalah pelanggaran,  selama ini aku ketahui hanya melalui pemberitaan dan bahasan tulisan-tulisan di media cetak dan elektronik. Secara langsung, aku belum pernah menyaksikannya. Inilah pertamakali aku berada diantara mereka yang dipulangkan, dan merasakan suasana langsung kedatangannya kembali ke tanah air.

Suasana pelabuhan sepi-sepi saja. Tidak ada hal yang mencolok. Terasa lengang. Namun aku anggap suatu hal membuatku merasa nyaman. Pelabuhan laut yang terletak di Kota Tanjung Pinang, yang kini menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau, bernama Pelabuhan Sri Bintan Pura. Pelabuhan ini tempat sandar kapal-kapal jenis ferry untuk akses domestic ke Pulau Batam dan pulau-pulau lain sepeti Karimun dan Kundur serta kota-kota lain di Riau daratan, termasuk merupakan akses internasional ke negara Malaysia dan Singapura.

Sejumlah penanti kedatangan bergegas ke pintu imigrasi setelah mengetahui kapal yang membawa rombongan deportasi sudah merapat di dermaga. Konon mereka yang dideportasi di Tanjung Pinang hanya transit. Mereka akan dibawa ke asrama khusus Departemen Sosial, jauh dari pelabuhan, kemudian esoknya, seterusnya melalui jalur laut dibawa ke Jakarta. Setelah diproses di Jakarta, mereka dipulangkan ke daerah asal masing-masing.


Keluar dari pintu imigrasi mereka yang dideportasi dibariskan di lorong menuju daratan. Jumlah yang dideportasi kali ini diperkirakan ada 200 orang. Di bagian depan kelompok perempuan yang menggendong bayi dan tengah hamil. Jumlahnya ada beberapa orang. Di belakangnya kelompok perempuan, lalu baru kelompok laki-laki. Kebanyakan usia mereka terbilang muda. 

Pengawalan tidak terlihat begitu ketat. Namun mereka yang dideportasi juga terbilang tertib. Ekspresi mereka pada umumnya kelelahan dan pasrah. Namun sejumlah diantara mereka yang berbaris, terdengar “celetukan” yang satire. Kedengarannya bahasa yang kasar tapi bila didengar dengan pikiran dan perasaan yang jernih, kalimat yang sangat menohok. Hal itu muncul spontan dari mulut mereka, ketika petugas sedikit memaksa untuk mengikuti perintahnya. “Jangan main hardik saja, Pak. Kami juga punya negara ini!”

Sungguh !!! Aku tidak menyangka kalimat-kalimat mereka sangat tajam. Memiliki daya kritis luarbiaa. Merontokkan anggapanku selama ini TKI itu hanya seorang yang biasa dan memiliki pemikiran terbatas, sebagaimana yang seringkali dicitrakan media masa. “Jangan begitu pak. Di negara orang main hardik, masa’ di negeri kami sendiri juga dibentak !!!” atau “Kami cari hidup, bukan cari mati !!!”

Yang merontokkan keangkuhan, ketidak-pedulian, seharusnya mereka melihat dan mendengar semestinya. Bisik hatiku. Rasa kebangsaanku terbangkitkan, tatkala sambil berjalan mereka yang dideportasi menuju mobil, mengantarkan mereka ke asrama “penampungan” tanpa dikomando… terdengar mereka menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Indonesia Tanah Air Beta. Lalu yel… yel… patriotic.

Sampai mereka hilang dari pandangan, aku masih tertegak di lorong berupa jembatan beton beratap. Yang menghubungan dermaga ke daratan pelabuhan itu. Berkata dalam hati: sejauhmana nilai kebangsaan  seperti yang senantiasa berdengung di tingkat elite kita ??? Setarakah dengan saudara-saudara yang dideportasi ini ??? Datang dari spontanitas tanpa rekayasa hati.

abrar khairul ikhirma
Tanjung Pinang
04 April 2014

Sabtu, 17 Mei 2014

Mencapai Pulau Penyengat



KETIKA membaca-baca bacaan tentang budaya Melayu, salah satunya mula pertama aku mengenal nama Pulau Penyengat. Terutama bila penulis-penulis di Pekanbaru, Riau, mengirimkan tulisan-tulisan seni dan budaya daerah mereka ke media cetak terbitan Padang, Sumatera Barat (Sumbar), yang menjadi salah satu sumber bacaan sehari-hariku pada masa dahulu. Ketika di Provinsi Riau belum ada penerbitan suratkabar harian, hanya mengandalkan media local terbitan dari provinsi tetangganya yakni Sumbar, selain media terbitan Jakarta.


Media cetak dari Sumbar adalah  tempat mempublikasikan tulisan-tulisan seni budaya atau pun karya sastra seniman Riau sampai awal tahun 1990-an. Semisal nama-nama, Idrus Tintin, BM Syamsudin, Ediruslan P. Amanriza, Dasri Al-Mubary, sampai kepada Fakhrunas MA Jabbar.

Pulau Penyengat begitu lekat dalam ingatanku, sekaitan dengan tokoh Raja Ali Haji, Sang Pujangga Melayu dengan Gurindam Duabelasnya. Selain Pulau Penyengat, ada beberapa pulau-pulau lain di Kepulauan Riau yang begitu besar minatku untuk bisa mengunjunginya. Antara lain Pulau Lingga, Pulau Tarempa tempat kelahiran Penyair Riau Ibrahim Sattah, Pulau Tanjuang Balai Karimun dan Pulau Natuna di Laut Cina Selatan.


Alhamdulillah…, pada perjalananku di bulan Maret 2014, setidaknya aku akhirnya dapat menyempatkan diri mengunjungi sejumlah tempat.

Terutama akhirnya aku dapat mencapai Pulau Penyengat, yang sudah lama namanya tertinggal dalam ingatanku dan sudah lama tumbuh keinginan untuk bisa mengunjunginya, melihat jejak masa silam dari budaya Melayu.

Pulau Penyengat yang juga dikenal sumber-sumber sejarah sebagai Pulau Penyengat Inderasakti, hanyalah sebuah pulau kecil. Terletak sejarak 3 km di depan Kota Tanjungpinang. Dimana Kota Tanjung Pinang sekarang menjadi pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.

Pulau Penyengat seluas lebih kurang 2.500 meter x 750 meter, dan berjarak lebih kurang 35 km dari Pulau Batam. Terdapat pemukiman penduduk dan fasilitas umum lainnya. Pulau ini dapat dituju dengan menggunakan perahu bot atau lebih dikenal bot pompong. Memerlukan waktu tempuh kurang lebih 15 menit.


Pulau yang kelihatan saja dari dermaga pelabuhan kapal di Kota Tanjungpinang itu, dilayani pompong angkutan umum. Harus menunggu sampai muatan pompong cukup penumpangnya baru berangkat. Tetapi aku tidak menggunakan pompong itu. Aku bersama saudaraku Rafqi Chaniago, meminta pompong carteran saja. Dia atas pompong hanya kami bertiga. Aku, saudaraku dan operator pompong.

Saat berkunjung ke Penyengat, suasananya terasa damai sekali. Suasana hening. Jauh dari kebisingan dan nyaris tanpa suara ombak. Begitu juga di kedua pelabuhan pulang dan pergi, tak ada merasa terganggu oleh penyedia jasa. Biasanya di tempat-tempat seperti ini, selalu saja ada rebutan penumpang yang membuat pengunjung merasa tidak nyaman.


Pulau Penyengat merupakan salah satu objek wisata di Kepulauan Riau. 

Salah satu objek yang bisa kita lihat adalah Masjid Raya Sultan Riau, yang direkat bangunannya terbuat dari putih telur, makam-makam para raja, makam dari Pahlawan Nasional Raja Ali Haji, kompleks Istana Kantor dan benteng pertahanan di Bukit Kursi. Pulau Penyengat telah dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan salah satu Situs Warisan Dunia.

Saat turun dari bot pompong di dermaga pelabuhan, di ujung koridor, kita sudah disambut becak motor yang menyediakan jasa untuk mengelilingi pulau. Kalau tak ingin keliling dengan berjalan kaki, sarana penduduk setempat yang menawarkan jasa itu, bisa digunakan untuk memudahkan menikmati Pulau Penyengat. 


Pada abad ke 18, Raja Haji membangun sebuah benteng di Pulau Penyengat, benteng tersebut tepatnya berada di Bukit Kursi. 

Di sini ditempatkan beberapa meriam sebagai basis pertahanan Bintan. Ia menguasai wilayah istrinya Raja Hamidah tahun 1804. Anaknya kemudian memerintah seluruh kepulauan Riau dan Pulau Penyengat. Sementara itu, saudara laki-lakinya memerintah di Pulau Lingga, di sebelah selatan dan mendirikan Kesultanan Lingga-Riau.

Dalam suasana hati sebagai pecinta budaya, selama berada di Pulau Penyengat, aneka ragam tumbuh pikiran pada diriku. Secara sejarah, pulau ini sudah dikenal di nusantara, merupakan salah satu pusat dari budaya Melayu. Keuntungan nama yang sudah dikenal, sebenarnya tidak terlalu sulit lagi untuk mengembangkannya ke masa depan. 


Tidak semata untuk tujuan wisata tapi bisa menjadi tempat yang menjadi impian bagi para sastrawan nusantara. Tentu hal itu bisa terwujud, sekiranya ada pihak yang bisa mengelola, bagaimana misalnya di sini, setiap tahun diselenggarakan pertemuan sastra, baca puisi atau kegiatan-kegiatan yang berkait dengan sastra. Tidak mesti harus selalu berkadar Melayu, bisa dikembangkan pada sastra nasional, sastra serumpun atau sastra internasional.

Sehubungan sebelumnya, aku pada tengah bulan Maret 2014, pulang dari Kuala Lumpur, menghadiri anugerah puisiku, “Hang: Kekalkan Selat Malaka,” dari event Anugerah Puisi dan Baca Puisi Dunia NUMERA 2014 di Malaysia, kemudian baru beberapa hari menjejak Ranah Minang, sudah kembali berangkat melakukan perjalanan ke Riau daratan dan Riau Kepulauan. Tiba-tiba saja saat berada di Pulau Penyengat ini, pikiran-pikiran seperti hal di atas tumbuh dan berkembang begitu saja, tentang bagaimana Tanjungpinang mestilah serius mengembangkan keberadaan Pulau Penyengat sebagai salah satu pusat kegiatan sastra ke masa depan. 


Terutama, memang selain menunggu timbulnya kesadaran oleh seniman daerah dan pemerintahnya sendiri, para kaum seni budaya di nusantara dimana pun sangat perlu memberikan dorongan ke arah perlunya kita di nusantara ini, kembali membangun semangat kebudayaan yang menjadi identitas bangsa dan tak pernah kering menjadi sumber inspirasi bagi kita semuanya, dalam membangun kehidupan manusia ke masa depan. 

Termasuk juga, aku sempat bermimpi, andaikan Sastrawan Numera dan para sahabat Numera, suatu hari nanti bisa berwisata ke Pulau Penyengat, berkumpul bersilaturahmi, berdiskusi dan membuat pertunjukan baca puisi atau pun musikalisasi di sini. Dimana di pulau ini bermakam Raja Ali Haji, Sang Pujangga Melayu Gurindam Duabelas.

Begitu pula, sebagai kebutuhan pariwisata, sudah saatnya pemerintah daerah dan pemerintah nasional, memikirkan untuk membangun kembali replika Istana Kerajaan Melayu Pulau Penyengat. Tentu saja membangun bangunan sesuai dengan gambaran aslinya. Kemudian menata kembali lingkungan Pulau Penyengat, mengembalikannya dalam suasana tradisi klasiknya. 


Menghentikan pembangunan yang tidak sesuai dengan konsep penataan. Sebagaimana pada umumnya di berbagai objek yang diklaim pemerintah sebagai objek wisata, banyak malah merusak suasana dengan bangunan-bangunan beton yang sama sekali tidak berkait mendukung objek itu sendiri. 

Sepertinya Pulau Penyengat bisa dilakukan dengan konsep demikian. Konsep yang merujuk pada suasana aslinya. Karena sejarah dan letak keberadaannya, adalah mutiara bagi Riau Kepulauan, khususnya untuk Kota Tanjungpinang. Bisa menjadi obor bagi budaya Melayu yang berkembang mengisi dan bersinergi pada kebudayaan-kebudayaan lama dan baru.

[abrar khairul ikhirma, penyengat, tanjungpinang, 040414]

Rabu, 14 Mei 2014

Anugerah Puisi Dunia Numera 2014



RISALAH MELAYU NUN SERUMPUN
Antologi Puisi Anugerah Puisi Dunia Numera 2014
Editor: Ahmad Khamal Abdullah – Umar Uzair
Diterbitkan: Persatuan Sastrawan Numera Malaysia
Cetakan Pertama: 2014

















Puisi-puisi para penyair dalam buku ini dibagi dalam tiga bab:
05 Puisi Utama,
10 Puisi Penghargaan
35 Puisi Pilihan.

Nama Penyair yang berhimpun dalam buku ini yang terpilih puisi utama dan penghargaan;

01.   ROSMIATI SHAARI
02.   MUHAMMAD ROIS RINALDI
03.   BASRI ABDILLAH
04.   MOHAMAD SHAFIQ MAHAMAD
05.   SYARIFUDDIN ARIFIN
06.   ABRAR KHAIRUL IKHIRMA
07.   BAMBANG WIDYATMOKO
08.   SYARIFUDDIN ARIFIN
09.   BASRI ABDILLAH
10.   ZAINI @ ZAIMI AZLAN BIN IBRAHIM
11.   ZAINI @ ZAIMI AZLAN BIN IBRAHIM
12.   A’YAT KHALILI
13.   JAZLAM ZAINAL
14.   AHMAD TAUFIQ
15.   ABDULLAH ABDUL RAHMAN

Selain nama-nama penyair terurut Puisi Utama dan Puisi Penghargaan, buku Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, disertai 35 Puisi Pilihan dari penyair-penyair yang berhimpun dari negara-negara peserta event Numera, terutama penyair-penyair Melayu-Malaysia.

Buku dikemas dengan 2 muka yang disatukan menjadi satu buku. Satu muka untuk “Antologi Anugerah Puisi Dunia Numera 2014. Risalah Melayu Nun Serumpun,” Satu muka lagi untuk “Baca Puisi Dunia Numera 2014, Cinta Bersulam Anekdot.”

Anugerah Puisi dan Baca Puisi Dunia Numera 2014, dihadiri penyair, sastrawan dan pengamat budaya: Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Belgium dan Rusia.
Terselenggara dengan kerjasama NUMERA dan dukungan: Dewan Bahasa Pustaka Malaysia, PNB Permodalan Nasional Berhad, Universiti Pendidikan Sultan Idris, Cruise Tasik dan Jeumpa d Ramo, untuk Visit Malaysia 2014.

Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, Ketua Juri: Dato’ Dr Ahmad Khamal Abdullah, Sastrawan Negara ke-11. Juri: Prof. Madya  Dr. Ce Ibrahim dan Prof. Madya Dr Abdul Halim Ali. Setiausaha Kerja: Umar Uzair. Jawatan Kuasa: Prof Madya Arbak Othman dan Khadijah Abdul Rahman.

Penekanan penilaian puisi-puisi dalam Anugerah Puisi ini, dititik-beratkan kepada: Estetika dan Sublimasi,  Tema dan Kohensi, Sejarah dan Dinamika.

“Hang: Kekalkan Selat Malaka,” puisiku yang salah satu terpilih penghargaan, terhimpun dalam buku ini, bersama dua puisi lainnya, “Puteri Hijau” dan “Tumpak Nan Sembilan.”

Dalam “Sebuah Analisis Akrab Anugerah Puisi Dunia Numera 2014” yang dijadikan sebagai pengantar dan pertanggungjawaban penjurian, atas pemilihan Puisi Utama dan Puisi Penghargaan, disebutkan atas puisiku Hang: Kekalkan Selat Malaka:

“Sejarah Melayu Melaka kekal dalam ingatan para penyair yang peka kepada nama besar negeri Melayu yang harum namanya sampai ke Majapahit, Pasai dan Palembang. Gelar pahlawannya yang berlima, Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu hebat dalam sejarah Melayu. Ini yang ditanggapi Abrar Khairul Ikhirma. Nafas penyair ini memanjang dalam liris prosa. Namun kita dapat merasakan kepuitisan dan ungkapan baru yang dijelmakan.

‘dinding menggantung seperti nafas tak terpikirkan’… dan juga ini ‘paru-paru tak utuh, mata kabur terang, mesin-mesin tak pernah diam, otak tercuci berbagai perencanaan…’penyair sedar bahawa, ‘telah dibentuk Nya tulang punggung semenanjung, tinggi berendahan, melekuk, membentuk Banjaran Titiwangsa.’ Dalam zaman pancaroba 5 Hang itu datang lagi di wajah dunia yang tua, laut dan laksamana, dan kesetiaannya. Namun khianat bersilang datang. Pertarungan tetap berlaku dan magis Taming Sari. Tapi 5 Hang tetap di situ di Selat Melaka. Tentu berkeringat Abrar Khairul Ikhirma, didatangi semangat 5 pahlawan Melayu Melaka ini. Dan kita menafsirkannya. Tak akan henti menafsirnya.”

[abrarkhairul ikhirma, 25 maret 2014]  

Minggu, 11 Mei 2014

Puisiku Dinyanyikan Jodhi




http://images.detik.com/content/2014/04/07/1059/jodhi.jpg


WAKTU dinihari ini, kebetulan aku mengetikkan namaku di google. Tak disangka, aku menemukan berita  bahwa salah satu puisiku dinyanyikan Jodhi Yudono, diantara puisi-puisi penyair nasional dari Ranah Minang. Sungguh tak pernah membayangkan. Rasanya aku tidaklah apa-apa. Terimakasih Mas Jodhi, walau aku sama sekali belum mengenalnya dan ini suatu penghargaan bagi karyaku di pelataran nasional.... terimakasih.

Inilah kutipan salah satu beritanya di internet oleh:

Astrid Septriana - detikhot  
Senin, 07/04/2014 14:11 WIB
:
 Ketika Sajak Penyair Minang Dijadikan Tembang

JAKARTA -- Bagi musisi dan penulis Jodhi Yudono, tanah Minang adalah tanah puisi. Ini adalah salah satu sebab ia bersama musisi lainnya menyuguhkan sebuah pementasan berjudul 'Dendang Sajak Penyair Minang' pada Sabtu (05/4/2014) di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia.

Selain Jodhi yang dalam kelompok musik itu berperan sebagai pemetik gitar juga pelantun puisi, ada beberapa musisi lain yang terlibat. Seperti, Pramesvara Devi pada piano, Kaunang Bungsu pada perkusi, Jassin Burhan pada cello, Yustin Arlette dan Dedi Jumwadi pada biola, juga Bujel Dipuro pada flute.

Harmoni nada pada pementasan ini mencakup berbagai jenis aliran musik, seperti jazz, reggae hingga yang berwarna nge-pop dan up-beat. Puisi yang enak didengar untuk meliuk bersama, nadanya juga beragam.

Kesamaannya adalah semua penyair puisi itu datang dari tanah Minang. Jodhi dan teman-teman menggubah beberapa aransemen untuk mendukung puisi ciptaan para penyair besar seperti Leon Agusta, Rivai Apin, Taufik Ismail, Rusli Marzuki Saria, Gus tf Sakai, Upita Agustin, Abrar Khairul Ikhirma dan lainnya.

"Untuk menghormati para penyair dari Ranah Minang serta mengenalkannya kepada masyarakat modern, saya ramu syair-syair mereka menjadi sebuah lagu yang mudah-mudahan bisa lebih diterima di telinga masyarakat umum,” ujar Jodhi Yudono.

Dengan durasi sekitar 60 menit, Jodhi membawakan 10 nomor yang merupakan hasil gubahan dari syair-syair Minang. Puisi yang dibawakan, banyak bicara soal pandangan akan lingkup sosial, budaya dan tentu saja kemanusiaan.

Ia membuka pementasannya ini dengan puisi Kisah Burung-Burung Beo, sebuah syair karya Leon Agusta dan diakhiri dengan puisi berjudul Membaca Tanda-Tanda karya Taufiq Ismail.

(ass/utw)

http://hot.detik.com/read/2014/04/07/141108/2547775/1059/ketika-sajak-penyair-minang-dijadikan-tembang

http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/04/08/258047

http://m.bisnis.com/showbiz/read/20140405/225/217244/jodhi-yudoyono-dendangkan-puisi-minang

 

Jumat, 09 Mei 2014

Zubir Said, Sayang di Sayang



“Bukan main bangganya saye, nama Zubir Zaid dipatrikan sebagai salah satu nama jalan akhirnya. Dia tokoh Melayu!” spontan terlompat dari mulut Asnida Daud, satu diantara warga Melayu Singapura, saat ditraktirnya makan siang bersama suami dan anaknya di satu restaurant kecil di Prinsep St Selegie Rd, waktu siang Singapura.




Bulu ramangku berdiri, airmataku menitik mendengarnya. Suatu tak biasanya. Jujur. Aku larut dalam pembicaraan kami terhadap nilai-nilai budaya Melayu. Tak mudah menemukan orang yang benar-benar mau memberikan perhatian pada masalah budaya atau pun kesenian yang tidak berorientasikan komersial. Lebih bertujuan menghidupkan identitas bangsa dan memberikan roh agar generasi tidak hidup di awang-awang tanpa akar budayanya sendiri.

Tentu perempuan yang sudah memilih jalan kesenian di hadapanku kini tidak sekadar berucap. Ucapan yang datang dari sepenuh jiwanya, hingga mampu menggetarkanku seketika. Tersirat dari ucapannya, perjuangan menanamkan semangat kemelayuan teramat berat, bagi masyarakat Melayu sendiri sebagai budaya leluhur. Arus budaya yang beragam melanda regenerasi.




Asnida Daud mengatakan, ia sangat bahagia dan berterimakasih dalam hidupya, suami yang dicintai Jeffrey Zauhari, yang telah memberikan 4 anak dalam keluarga mereka, walau teramat susah dia mengucapkan, kini sudah mau dan bisa berbahasa Melayu dalam kehidupan sehari-hari mereka. Itu artinya… beliau perlahan akan lebih jauh mengenal dan mencintai budaya Melayu-nya.

Bahasa Melayu misalnya adalah bahasa nasional karena alasan simbolis dan historis. Secara umum dipertuturkan oleh masyarakat Melayu Singapura. Bahasa Melayu digunakan pada lagu kebangsaan “Majulah Singapura” dan cetakan koin.  Tetapi, sekitar 85% warga Singapura tidak mempertuturkan bahasa Melayu. Bahasa pengantarnya Bahasa Inggris.

Teater Victoria Singapura
Asnida Daud bersama suaminya mencintai kesenian. Ia mencintai budayanya dan mengambil spirit budaya leluhurnya Melayu. Teramat kaya dan sungguh indahnya. Begitu Asnida berkata. Keduanya memasuki ruang music dan lagu. 

Keduanya seniman muda harapan Singapura yang terus memperjuangkan agar Melayu diserap dan dikembangkan ke dalam bentuk-bentuk identitas kreatifitas. Sesuai dengan kapasitasnya, sesuai pada dunia yang mereka jadikan sebagai spirit hidup mereka.

Asnida pun tak puas dengan music dan lagu, ia pun masuk ke penulisan sastra. Dengan puisi dan keberadaan dirinya yang dirasanya masih belum apa-apa, merasa pengalaman berharga saat diberi jalan menghadiri event Numera: Anugerah Puisi dan Baca Puisi Dunia Numera 2014, di Kuala Lumpur, dapat mengenal kalangan sastra dari berbagai negara, termasuk diriku dari Indonesia.

Sejak dari Harbourfront menjemput kedatanganku, kami terus cerita dan berdiskusi singkat. Tentang seni dan budaya, perkembangan dan tantangan ke masa depan. Kami akhirnya berpisah sekeluar dari restaurant tempat makan siang itu. Karena aku pun harus menemani adikku untuk mengikuti kegiatan di dekat tempat kami makan siang. Asnida Daud bersama suaminya Jeffrey Zauhari pun kan kembali dengan kehidupannya. 

Kami akhirnya berpisah sekeluar dari restaurant tempat makan siang itu. Karena aku pun harus menemani adikku untuk mengikuti kegiatan di dekat tempat kami makan siang. Asnida Daud bersama suaminya Jeffrey Zauhari pun kan kembali dengan kehidupannya.
 

ERC Institute Singapore
  
Ketika petang hari meninggalkan kawasan Prinsep St Selegie Rd, bersama adikku, aku berjalan kaki menuju setasiun kereta. Dalam perjalanan tak berapa jauh itu, setelah meninggalkan bagian depan School Of The Art Singapore (SOTA) menyeberang jalan. Pandangan mataku tertumbuk pada nama jalan “Zubir Said,” kala itu aku ingat dengan percakapanku dengan Asnida tadi.


Zubir Said, rang awak itu nan merantau ke Singapore
 
Sepulang dari Singapura –begitu Singapore orang kampung kami sebutkan, dimana sebelumnya bernama Temasek. Orang Minang melafazkan sebagai Tumasik— barulah timbul pertanyaan bagiku, siapa Zubir Said ??? sebagaimana nama itu disebutkan Asnida Daud dalam percakapan kami.

Zubir Said ternyata Orang Minang!!!
Saat kugunakan fasilitas google di internet, semakin luas aku mengetahuinya, sudah banyak orang-orang menulisnya di berbagai blog. Zubir Said, dilahirkan di Bukittinggi, semasa masih bernama Fort de Kock dalam pemerintahan Hindia Belanda, 22 Juli 1907. Dialah pencipta lagu kebangsaan Singapura, “Majulah Singapura,” tahun 1958.

Zubir seorang musisi otodidak. Mendapat julukan “jiwa Melayu sejati.” Diyakini telah menggubah lebih dari 1.500 lagu. 1000 lagu tercatat telah dipublikasikannya. 12 tahun sebagai penggubah music dan penulis lagu di perusahaan film Melayu, Cathay Keris, anak usaha dari Cathay Holding Organization.

Dalam usia 21 tahun, tahun 1928, memutuskan mencari nafkah di Singapura. Pekerjaan pertamanya musisi bersama kelompok opera Melayu City Opera, yang dipimpinnya. Pernah menjadi juru foto di surat kabar Utusan Melayu, menjadi musisi untuk music film dan memimpin perusahaan film. Tahun 1957, pertama kali karya musiknya dipentaskan untuk umum di Teater Victoria. Saat Festival Film Asia kesembilan di Seoul, Korea Selatan, tahun 1962, lagu untuk film Dang Anom, memenangkan penghargaan.

Zubir Said sebagaimana dicatat, pernah mengungkapkan bahwa ia tidak pernah tergiur uang, meskipun hal itu penting untuk kelansungan hidup keluarganya. Namun, ia percaya bahwa uang diperoleh dari mengajar music dan menulis lagu cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hal yang utama adalah kejujuran dalam bekerja, terutama orisinilitas dalam menghasilkan karya.

Zubir Said sang seniman itu, tutup usia pada usia 80 tahun di Joo Chiat Place, Singapura, tepatnya pada tanggal 16 November 1987. Ia meninggalkan seorang isteri, empat orang putri, dan seorang putra. Pada tahun 1990, kehidupan Zubir dan semangatnya sebagai musisi didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul Zubir Said: His Songs (Zubir Said: Lagu-lagunya). Kemudian pada tahun 2004, patung Zubir, terbuat dari perunggu dipajang di Taman Warisan Melayu, Singapura.

Meminjam dari salah satu judul lagu ciptaannya, Zubir Said: Sayang di Sayang…

--bahan dari berbagai sumber--

Abrar khairul ikhirma
17 April 2014