Jumat, 22 September 2017

SASTRA MELAYU: IBARAT RENDANG PADANG (3)


MENYONGSONG SISMI17 DI KUALA LUMPUR

Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA- INDONESIA

Etnik Melayu kian menyebar dari tahun ke tahun secara alamiah, dengan sendirinya budaya dan bahasa tentulah juga mengalami pembaharuan. Semangat perubahan itu dapat dipahami seiring perubahan zaman dan regenerasi. Namun selalu mencemaskan itu ialah “benang merah” budaya dan bahasa Melayu menjadi “putus,” digunting tajamnya budaya asing, yang terus “memainkan perannya” melalui berbagai lini “pertemuan” antar bangsa.


MAKAM RAJA ALI HAJI DI PULAU PENYENGAT


Ketuaan bahasa dan sastra Melayu itu setidaknya dapat dilihat dengan periodesisasi perjalanan Sastra Indonesia. Dimana telah mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan yang menyesuaikan dengan zamannya.

Periodisasi Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: lisan dan tulisan. Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan: Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, Angkatan 1966 - 1970-an, Angkatan 1980 - 1990-an, Angkatan Reformasi dan Angkatan 2000-an.

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa dengan masuknya agama Islam ke nusantara, juga memberikan warna Islami di dalam kelahiran karya-karya sastra (baik lisan maupun tulisan) Melayu, yang menjadi suatu rumpun budaya. Masa periodisasi yang dicatat pada masa awal ini, disebut sebagai Angkatan Pujangga Lama. 

Berpedoman sejak masa Pujangga Lama sampai saat ini, telah banyak melahirkan karya-karya sastra, sekaligus mencatatkan nama-nama yang semakin ramai pula. Dalam keramaian pertumbuhan dan perkembangan penerbitan serta semakin meningkatnya sarana penyebarluasannya kini, hampir tak terikuti kemunculan dan ketenggelaman nama karya-nama penulisnya.

Perkembangan yang terjadi dari masa ke masa dalam Sastra Melayu, sesuai tuntutan zaman membutuhkan pembaharuan. Pembaharuan tersebut dikenali sebagai suatu produk modern. Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. 

Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alphabet latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.


DIANTARANYA LITERATUR MELAYU


Nilai-nilai Islami dalam periodisasi perkembangannya, juga mengalami masa “ancaman” tatkala ada kepentingan politis, diantaranya kepentingan kekuasaan dan bisnis. Dalam sejarahnya terjadi di masa awal abad 19, dimana “bertebaran” bacaan cabul dan disebut liar, dihasilkan produk sastra yang dinilai sebagai sastra Melayu Rendah.

Sastra Melayu Rendah ini dianggap bertujuan politis, menyoroti kehidupan pernyaian. Untuk mengantisipasi hal tersebut konon telah mendorong pendirian Balai Pustaka. Dimana Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dengan bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

Melihat pemakaian bahasa sesuai dengan etnik dan daerah itu, adalah langkah cerdas di zamannya, agar karya sastra mendekati pembacanya lebih cepat. Menarik dan mudah dipahami. Dengan demikian karya sastra tidak memiliki jarak dengan masyarakatnya. Sehingga memiliki keterhubungan sesuai dengan fungsi sastra, antara karya dan pembaca.

“Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau. 

Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa kini menjulukinya bahasa Melayu Balai Pustaka atau bahasa Melayu van Ophuijsen. Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia Belanda. Ia juga menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. 

Dalam masa 20 tahun berikutnya, bahasa Melayu van Ophuijsen ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa kebangsaan” (Wikipedia) 


MAKAM M. YAMIN TOKOH KONGRES BAHASA DI TALAWI


Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.

Tentu perjalanan sejarah dan kesastraan Melayu ini akan menjadi beragam sesuai dengan dinamika zamannya. Masing-masing Negara serumpun tentu juga memiliki periodesasi karya sastra dan sastrawan mereka. Semisal khususnya di Tanah Semenanjung Malaysia, Malaysia dan Thailand-Selatan. Singapura, Brunei Darussalam atau pun Philipina-Selatan. 

Pertumbuhan dengan pembaharuan, pembaharuan dengan perkembangan, adalah dinamika yang tak dapat ditolak. Berkembangnya ilmu pengetahuan, terjadinya kemajuan sarana informasi dan teknologi, dengan sendirinya akan menjadikan sastra bertumbuhan, sesuai tema dan gayanya. Pada satu sisi terjadi pengaruh dan peniruan dimana-mana. Sedang di sisi yang lain, mendorong lahirnya karya-karya kreatif memiliki akar yang jelas pada budaya dan bahasanya.

Di dalam derasnya pertumbuhan sastra zaman ini, dirasakan sedikit kehadiran kritikus, apresiator, documentator dan pemerhati, dalam memberikan “menggaris-bawahi” atau “mengikuti” karya (penting) sastra yang “berakar jelas” dan mewakili “cerminan” zamannya. Dapat dikatakan juga, disebut sebagai karya “sastra yang berbicara.” 

Kini terselenggara berbagai peristiwa sastra semacam bedah buku, diskusi dan seminar di berbagai tempat tapi adakah dari semua itu memiliki “gezah,” setelah acara selesai dan semuanya kembali memasuki kerutinannya. Menjadi tak sekadar catatan tapi dapat memberikan sumbangan kepada langkah-langkah pemikiran zaman ini dan masa depan.

Hal seperti demikian adalah suatu pertanyaan dan tantangan bagi SISMI17 atau sesudahnya. Kini nusantara rentan diliputi dilema “racun” politik yang “membonceng” agama. Tampaknya adalah hal actual jika seminar kali ini, ingin menelusuri Sastra Melayu Islam. Karena memiliki nilai positif memberikan penyegaran atau pun kemungkinan alternative untuk masa mendatang bagi kalangan dunia sastra. 

Diyakini SISMI17 melalui kertas kerja yang akan dibentangkan, tentu belum “menyentuh” penelusuran kepada “wajah sastra” dalam rentang kurun waktu terakhir ini. Kalau pun ada, tampaknya tentu tidak titik fokusnya kepada “situasi” dimana “maraknya” persoalan isyu agama “mewarnai” dimana-mana.

Karenanya di lain waktu, kiranya adalah suatu “kehangatan” bagi pengamat atau kritikus sastra Melayu, untuk dapat menelusuri karya-karya sastra yang terlahir di zaman ini, adakah yang “berbicara” perihal situasi zamannya? BERSAMBUNG

[Tulisan ini Bagian Ketiga dari Empat Tulisan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar