Minggu, 10 September 2017

UMMIL QURA, MENJELANG RUMAH HAMKA

Sebelum aku mencapai Sungai Batang dan Sigiran, selama itu yang ada dalam anggapan hanyalah Masjid Bayua saja, masjid tua yang ada di tepian Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat ini. Ternyata tidak.




Walau pun dalam banyak kesempatan aku mendatangi kawasan Danau Maninjau, aku belum pernah mencapai Nagari Sungai Batang dan Sigiran. Padahal dua nama daerah itu sangat kukenali karena berkait dengan nama tokoh yang tercatat dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam dan kesastraan.

Di Nagari Sungai Batang, adalah kampung kelahiran dan bermakamnya Haji Rasul, ayahanda dari Buya Hamka. Di Sungai Batang juga adalah kampung kelahiran Buya Hamka dan kini rumah kelahirannya dijadikan sebagai Museum Buya Hamka. Ramai dikunjungi wisatawan silih berganti sepanjang tahun.

Sedangkan Sigiran adalah kampung halaman kelahiran Leon Agusta, penyair Indonesia yang dikenali dengan sajak podium dan sajak kamarnya.




Leon Agusta, yang biasa kami panggil abang ini, sampai akhir hayatnya cukup dekat dengan berbagai kalangan, terutama seniman-seniman generasi beberapa tahun terakhir ini. Meskipun beliau menetap di Jakarta, abang Leon secara berkala selalu menyempatkan dirinya untuk pulang kampung. Setiap pulang, beliau selalu menyediakan waktunya berkumpul dengan seniman yang berada di Kota Padang dan sekitarnya.

Ketika pertamakali sendirian hendak mengunjungi Museum Buya Hamka, setelah menempuh jalan dengan pemandangan yang indah dan berkesan bagiku, aku terhenti melihat sebuah bangunan masjid tua, berikut arsitekturnya yang menarik.

Tahulah aku saat itu bahwa selain Masjid Bayua, masih ada masjid tua lagi yang berada di tepian Danau Maninjau ini.

Masjid ini bernama Masjid Ummil Qura, sesuai yang tertulis di atas papan nama yang digantung di salah satu sisi masjid. Terletak sebelum mencapai Museum Hamka. Tepatnya di Desa Bancah, Maninjau. Kebetulan bertemu dengan seorang tua di depan masjid, yang kupastikan beliau adalah penduduk setempat, aku menanyakan apa artinya Ummil Qura. Kata bapak itu, Ummil Qura adalah bahasa Arap. Artinya Ibu Negeri atau Pusat Nagari.




Bangunan masjid sungguh unik. Apalagi dibandingkan dengan masa kini, bangunan baru masjid dimana-mana arsitekturnya berbau Timur Tengah. Atap Masjid Ummil Qura tersusun empat tingkat, tampak seperti pagoda. Di atasnya masih ada 2 tingkat lainnya yang berbentuk payung. Di ujung atap yang berbentuk seperti payung tersebut terdapat bulatan–bulatan seperti tusuk sate dengan hiasan berbentuk bulan sabit.

Ciri khas masjid atau pun surau dari masa lalu di berbagai tempat di Ranah Minangkabau, masjid dan surau selalu memiliki kolam, berisi ikan peliharaan. Membuktikan fungsi masjid tidak hanya sekadar tempat beribadah tapi merupakan aktivitas masyarakat, mandi, mencuci dan mengambil kebutuhan air bersih.

Masjid Ummil Qura dibangun pada tahun 1907. Sampai kini masih tetap digunakan untuk kegiatan keagamaan bagi masyarakat. Bangunan masjid  masih sama seperti saat dibangun. Masih terawat dengan baik (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar