Rabu, 27 September 2017

MASJID PULAI PAYANG

Arsitektur masjid ini menarik perhatianku, dalam perjalanan menyisir Lintas Pantai Barat, dari Kota Padang ke Bengkulu atau sebaliknya.




Dalam perjalanan, aku selalu berburu memotret untuk mendokumentasikan berbagai objek. 

Salahsatunya bangunan masjid yang menurutku sebagai symbol unik. 

Sebab setiap daerah dan tiap bangunan masjid ada yang tidak dibangun seragam tapi memiliki cirri khas budaya setempat yang dipadukan dengan budaya luar.

Aku memang tidak berkesempatan untuk bersholat di masjid ini. Hanya suatu kebetulan saja, aku melihat sewaktu sedang dalam perjalanan melintasi daerah Bengkulu Utara. 

Tepatnya bangunan ini berada di depan sekolah menengah. Di seberang jalannya. Agak jauh dari sisi jalan. Pun terletak di kontur tanah yang agak ketinggian.


Lokasi masjid berada di Pulai Payang, Ipuah,  Kabupaten Muko-Muko, Bengkulu. Tepatnya di km 171 (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Selasa, 26 September 2017

KE RUMAH BUNG KARNO

Rumah tua yang tak terlalu besar. Tapi menyimpan jalan sejarah bagi Bung Karno dan bangsa Indonesia menjelang Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, 1938-1942. Tokoh Sang Proklamator mendiami rumah ini, selama masa “pengasingan” oleh penjajah yang berkuasa.




Tahun 2013 lalu aku sudah pernah mengunjungi Rumah Bung Karno, yang terletak di Anggut, Kota Bengkulu. Pada kedatanganku di Bengkulu tahun 2017 ini, aku kembali menyempatkan diri untuk singgah. Setelah seperti biasanya aku setiap hari selama berada di Kota Bengkulu berkeliling menikmati suasana kota dari kota daerah perkebunan sejak masa lalu.

Aku tidaklah sebagaimana banyak orang mengagumi Bung Karno. Aku hanya satu diantara bangsa Indonesia yang selama ini menikmati kemerdekaan negaraku, menghormati Sang Proklamator yang telah berjasa banyak untuk banyak orang dikemudian harinya.




Tidak pun Bung Karno menyerukan untuk jangan melupakan sejarah, menghormati jasa para pahlawan, menurutku, mengingat dan menghormati jasa orang adalah penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tanpa hal semacam itu, kita tak pernah akan peduli kepada hal-hal diluar diri kita. Sebab kita sendiri tak pernah sadar, tanpa pengorbanan dan jasa para pendahulu, kita belum tentu menghirup udara kemerdekaan.

Menjelang waktu siang, dari Simpang Lima, aku memasuki Jalan Soekarno-Hatta di kawasan Anggut, dalam Kota Bengkulu. Kawasan Anggut dikenali juga sebagai kawasan dari Persada Bung Karno. Di Anggut selain Rumah Bung Karno juga terdapat beberapa jejak sejarah. Salahsatunya Makam Inggris. Makam tua orang-orang Inggris semasa Bengkulu diduduki colonial Inggris.

Kini terlihat di sepanjang sisi jalan yang terletak di depan Rumah Bung Karno, sudah ramai kedai berjualan cenderamata. Tampaknya dimasa mendatang kawasan ini jika berkembang, akan menjadi kawasan yang bersinergi. Antara bangunan rumah bersejarah dengan kawasan cenderamata bagi setiap mereka yang berkunjung ke Kota Bengkulu.




Rumah Bung Karno memiliki halaman depan yang luas. Begitu juga halaman belakang yang lapang. Seperti rumah-rumah di masa dahulu dibangun untuk kenyamanan dan ketentraman. Di rumah ini sejumlah barang-barang peninggalan Bung Karno disimpan. Termasuk juga sejumlah kostum atau pakaian untuk bermain drama. Dimana Bung Karno selama di Bengkulu mendirikan kelompok drama.

Sebelum rumah ini akhirnya dijadikan sebagai cagar budaya oleh pemerintah, banyak masyarakat mengenal sumurnya di Rumah Bung Karno, sebagai sumur yang angker. Ada juga disebut air sumurnya dapat menyembuhkan penyakit. Yang jelas banyak orang tak berani untuk datang atau pun mengambil air dari sumur tua di belakang Rumah Bung Karno. Sayang sumur ini direnovasi, sehingga “kesan lama” menjadi hilang (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Senin, 25 September 2017

AHLI HISAP DARI RUANG MAKAN

Bagiku perjalanan kali ini, tidak sama dengan perjalanan berwisata. Entah bagi orang lain. Aku tidak tahu. Tidak pula hendak membicarakan mereka. Sebab lain orang lain pula cara mereka memaknakannya. Bagiku tujuanku hanya semata-mata untuk beribadah. Tidak bertujuan melihat-lihat Mekkah dan Madinah untuk bersantai.



BERSAMA M. ABBAS PANE TEMAN DARI MEDAN
RUANG MAKAN AT MUBARAK ALMASEE HOTEL


Kalau hanya sekadar bertujuan wisata, aku jauh hari pernah berkeinginan untuk dapat mencapai Yunani. Hanya sebagai suatu keinginan, tidak merupakan impian. Andaikan aku dapat kesempatan bepergian keluar negeri dan diberi pilihan maka kupilih Yunani sebagai Negara tujuan.

Yunani, nama resmi Republik Hellenik, juga dikenal sejak zaman purba sebagai Hellas, adalah sebuah Negara tempat lahirnya budaya Dunia Barat, yang berada di Eropa bagian tenggara, terletak di ujung selatan Semenanjung Balkan, di bagian timur Laut Tengah (Mediterania). Yunani memiliki sejarah panjang dan kaya, membawa pengaruh budaya besar pada tiga benua. Pada masa modern ini, Yunani adalah Negara maju dengan indeks pembangunan pendapatan per kapita yang tinggi.

“Di daerah Yunani inilah kebudayaan Eropa pertama kali muncul, dimulai dengan peradaban "Cycladic" di kepulauan Laut Aegea sekitar 3000 SM, peradaban "Minoan" di pulau Kreta (2700–1500 SM) dan peradaban "Mycenaean Greece" di tanah utama (1900–1100 SM). Periode antara 1200 dan 800 SM dikenal sebagai "Greek Dark Ages" diperkirakan setelah serangan orang Doria, yang mengakhiri zaman Mycenea. Dua karya sastra Yunani terkenal, Illad dan Odyssey karya Homer, ditulis dalam zaman ini.” (Wikipedia)

Di akhir zaman kegelapan Yunani, muncul berbagai Negara dan kota-negara di seluruh peninsula Yunani. Terciptanya tingkat kemakmuran yang tinggi dengan perkembangan budaya, sesuai dengan bukti-bukti peninggalan arsitektur, drama, ilmu dan filsafat, yang masih dapat dijumpai, terpelihara dalam lingkungan demokrasi.

Konstitusi Yunani menjamin kebebasan mutlak dalam beragama. Yunani juga menyatakan bahwa setiap orang yang tinggal di wilayah Yunani akan menikmati perlindungan penuh akan kepercayaan mereka. Sebagai tambahan, setiap aktivitas yang berhubungan dengan pembangunan rumah ibadah resmi harus disetujui terlebih dahulu oleh Gereja Ortodoks. Nyatanya, agama mayoritas di Yunani adalah Gereja Ortodoks Timur (94%)

Keinginan untuk sampai ke Yunani itu tak pernah tercapai, walau pun aku sudah pernah berkesempatan keluar Negara. Bisa jadi hanya karena sebuah keinginan, tidak merupakan impian. Sehingga tidak ada usaha upaya menemukan jalan dalam mewujudkannya. Karena tidak impian, tidak terwujud ke Yunani, tidak membuatku harus bersedih. Aku percaya antara usaha dan doa, antara keinginan dan kegigihan, antara hidup dan jalan kehidupan, sudah ditentukan Allah.

Bukti nyata bagiku, kini aku dapat menjejak Tanah Suci. Ada jalan kemudahan yang diberikanNya untukku, untuk dapat melaksanakan ibadah. Sepintas bagaikan mimpi tapi jelas tidak mimpi! Ini suatu kenyataan. Aku pernah berkeinginan untuk melaksanakan ibadah Haji. Keinginan yang terbersit dalam hati, disaat usiaku menjelang 40 tahun. Namun kenyataannya sepanjang masa, aku berada dalam situasi konflik batin “teramat dahsyat” sekaligus menghadapi kegetiran hidup di “jalanan” dengan “kesendirian.”

Setelah melintasi masa “kegoncangan” lahir batin, penuh dengan berbagai cobaan, menuntut kejernihan akal pikiran serta kesabaran untuk menerima kenyataan, sebelum berakhir usia 40-an, terbersit bahwa menunaikan ibadah Haji tak mungkin teraih sekejap. Harus mengumpulkan uang yang tidaklah mudah bagiku. Lalu harus meliwati quota jamaah dari negaraku sendiri. Timbullah keinginan alternative pabila ada kesempatan aku ingin melaksanakan Umroh.



BERSAMA JAMAAH DARI JAKARTA DAN PULAU JAWA
BERSANTAI DI PEDESTRIAN


Allah kiranya menentukan jalan bagiku. Dia memberikan kemudahan diluardugaanku sendiri. Dia mempercepat waktu yang semula bagiku tidaklah mungkin aku dapatkan dengan singkat. Sementara ada sebagian dari kisah-kisah pernah kuketahui sebelumnya. Ada mereka ditimpa musibah jauh sebelum keberangkatan. Keberangkatan tertunda-tunda. Ada yang harus membayar lebih mahal ongkosnya dari ongkos yang semula ditetapkan. Bahkan ada juga tertipu. Terperosok pada layanan abal-abal. Penyedia jasa layanan ibadah hilang lenyap tak diketahui rimbanya.

Perihal musibah demikian tidak mungkin terlepas dari izin Allah. Memalukan dan menyakitkan. Namun hal demikian adalah cobaan. Kita prihatin kepada mereka yang ditimpa musibah. Kita juga meyayangkan pada penyedia layanan yang memanfaatkan. Bagi kita semua, tentulah diberi hikmah, agar berusaha untuk sebaik-baiknya, sejak mula membersihkan lahir batin menuju ke jalanNya, diredhoi dan dirahmati. Setiap jalan yang dilalui Insyaallah penuh kemudahan.

Waktu sebelum berangkat esok hari, ibuku berpesan mengingatkan kebiasaanku merokok. Aku mengarifi pesan sepintas itu. Aku sendiri tak pernah terpikirkan apakah aku akan membawa rokok atau tidak. Bagiku hal itu tidak terlalu penting. Yang penting, apapun yang dapat mengganggu perjalanan dan ibadah tidak akan kuikuti.

Aku memang tidak ingin membawa rokok meskipun hanya sebungkus. Tidak pun diingatkan ibu. Kalau pun kubawa setelah dipesankan ibu, walau hanya sebungkus, hanya akan mendatangkan perkara nantinya. Aku tak hendak ada perkara. Itu kuyakini benar. Apalagi bepergian ke Tanah Suci. Apapun dapat terjadi pabila Allah berkehendak. Bukankah sudah disebutkan kata-kata orangtua, apalagi seorang ibu adalah do’a?

Merokok bagiku hanyalah soal kebiasaan. Kebiasaan yang masih dapat dikendalikan. Tidak merokok tidak menjadi soal. Misalnya tidak ada yang menjualnya. Tidak mempunyai wang. Mempunyai wang tapi ada hal lain lebih dibutuhkan. Tidak berada di tempat untuk merokok atau situasinya tidak untuk merokok. Simple saja. Karenanya aku tak pernah “menggubris” berbagai alasan pembenaran terhadap merusak kesehatan.

Sampai saat ini, aku tetap mencurigai “maklumat” internasional itu ada misi politis di baliknya. Karenanya, menurut hematku, pemerintah negaraku lebih tepat “membudayakan” kedisiplinan merokok. Tidak merokok sembarangan. Sebab budaya disiplin itu sangat rendah. Daripada melarang dan memberlakukan cukai tembakau “setinggi langit,” kemudian “ikut-ikutan” mengatakan “merusak kesehatan.” Karena secara umum, masyarakat kita tahu ada banyak hal jauh lebih merusak kesehatan, akibat adanya perdagangan, industry atau pun lingkungan tak terkendali.



KAMI AKRAB SAMPAI KE MEKAH
SELALU BERSAMA BERSHOLAT DI MASJIDIL HARAM
AKU DAN M. ABBAS PANE


Dalam sejarahnya yang pernah diteliti para ahli, manusia yang diketahui pertamakali merokok adalah suku bangsa Indian di Amerika. Suku Indian melakukannya untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Kemudian di abad 16, penjelajah dari Eropa menemukan Amerika. Diantaranya mencoba-coba menghisap rokok. Lalu mereka membawa tembakau ke Eropa.

Kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian  merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk Negara-negara Islam.

Setiap selesai makan aku selalu segera meninggalkan ruang makan, yang terletak di lantai 2 penginapan. Kalau tidak bersegera menuju Masjid Nabawi, sudah pasti kembali ke kamar. Ruang makan pada jam makan selalu ramai. Selain anggota rombongan travel agent kami, juga ada rombongan jamaah Umroh travel lainnya dari Indonesia, juga menginap di hotel yang sama. Termasuk jamaah dari Malaysia.

Pertemuan di ruang makan, suatu hal menyenangkan. Suasana ramai adalah menggembirakan. Termasuk rasa kekeluargaan terjalin dengan sendirinya. Saling mengenal satu sama lainnya terjadi dengan alamiah. Hal yang tak disengaja dalam perjalanan serupa ini, terkadang terlupakan adalah waktu untuk menunjukkan keterhubungan sesama mukmin. Orang muslim bersaudara.

Ada orang berbeda daerah, berbeda Negara, secara kebetulan duduk berdampingan di meja makan yang sama. Tidak mungkin tidak saling menyapa. Mungkin hal sederhana dengan senyuman setelah saling berpandangan. Atau lebih jauh bercakap-cakap, diawali hal remeh temeh. Kemudian berlanjut saling membuka diri perihal daerah, pekerjaan dan keluarga. Hal itulah kemudian aku temukan dari sebuah ruang makan penginapan ini.

Muhammad Abbas Pane, jamaah dari Medan, Sumatera Utara, akhirnya kami berteman. Kami satu rombongan dari travel agent yang sama. Dia tampaknya lebih banyak berdiam. Perawakannya tenang. Sewaktu makan tidak buru-buru. Rupanya, setiap jam makan malam, Pane tidak langsung meninggalkan ruang makan. Ia akan duduk bersantai dulu. Minum kopi dan merokok. Kalau sudah tidak ramai, merokok di ruang itu tidak mengganggu orang. Juga tidak dilarang.

Malam ketiga berada di Madinah itu, karena makan malamku sudah di penghujung waktu, aku juga ikut bersantai dengan Pane sambil bercakap-cakap. Tetapi aku tidak merokok. Aku tidak memiliki rokok. Kalau pun aku minta agak sebatang pada orang-orang yang terlihat merokok, tidak mungkin tidak diberinya, namun tidak satupun rokok yang kusukai. Pane menawarkan miliknya tapi karena tidak sama, aku tolak. Pane hanya membawa satu bungkus rokok dari tanah air. Ia merokok sekadarnya saja. Jadi rokoknya masih banyak.

Sejak itu selama perjalanan Umroh aku dan Pane menjadi sering bercakap-cakap. Bahkan sesampai di Kota Mekah kami berdua ditempatkan satu kamar di penginapan. “Cocoklah abang dengan abang Pane tu. Sama-sama ahli hisap,” kata Muhammad Azmi Nasution, saudara Pane yang sama-sama berumroh.

Istilah “ahli hisap,” sudah popular dalam masyarakat Indonesia, untuk menyebut orang-orang yang suka merokok. Ahli hisap merupakan “plesetan” dari sebutan “hisab.” Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menetapkan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Kalender Islam.

Hisab secara harfiah ‘perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan Bulan terhadap Bumi. Posisi Matahari menjadi penting, karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu sholat. Sementara posisi Bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fitri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah Haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).” (Wikipedia)

Jadi plesetan hisab kepada orang yang perokok dikatakan ahli hisap itu, aku kira plesetan berhikmah. Diantara kepopuleran ahli hisap, dengan sendirinya kita akan diingatkan akan pentingnya suatu penghitungan di dalam kehidupan. Terutama dalam beragama Islam. Perhitungan dalam berbagai kemungkinan dan penghitungan jumlah dan komposisi. Tanpa ada ukuran atau standar manusia akan kehilangan keseimbangan. Di dalam Islam aku kira, semua hal itu pabila dipelajari dan dilaksanakan dengan baik, tidak akan mendatangkan keraguan atau hal yang tak pasti.

Bila kita telusuri dengan sabar, dalam Alquran pada surat Yunus (10) ayat 5, dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan Bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Dipertegas pada surat Ar-Rahman (55) ayat 5, disebutkan bahwa Matahari dan Bulan, beredar menurut perhitungannya.



BERSAMA SEORANG ASAL MADURA MENJADI MUNTAWIF
JAMAAH UMROH DI KOTA MADINAH


Berkembangnya peradaban, juga diikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Termasuk dalam penghitungan modern Islam. Tercatat astronom muslim yang telah mengembangkan hisab modern yakni Al Biruni (973-1048), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani dan Habash. Sebagai ilmuwan mereka telah mengembangkan metode hisab.

Tidak banyak mungkin diantara kita yang menyadari, ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit, terutama adanya Matahari dan Bulan. Karenanyalah, jika dipelajari sejak awal peradaban, Islam menaruh perhatian besar terhadap dunia astronomi. Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada.

Khusus di Indonesia, diketahui ada beberapa criteria yang digunakan untuk penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah yaitu; Rukyatul Hilal digunakan oleh Nahdlatul Ulama, Wujudul Hilal digunakan oleh Muhammadyah dan Imkanur Rukyat MABIMS (adalah criteria penentuan awal bulan ---kalender--- Hijriyah ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan pada Kalender Resmi Pemerintah).

Bagi kami masyarakat pesisir, rantau dari 3 Luhak Minangkabau (Agam, Tanah Datar dan 50 Koto), selama ini pertikaian masuknya bulan puasa Ramadhan dan berhari raya Idul Fitri, sudah biasa saja. Sudah dikenali dan dipahami sebahagian besar masyarakat.

Dari tahun ke tahun daerah Pariaman berhari rayanya tidak satu atau dua hari tapi sepekan lamanya, tetap disebut sebagai Hari Raya. Pertikaian hari tidak jadi persoalan yang mendasar. Saling menerima dan menghormati saja. Berbeda secara nasional. Pertikaian seringkali dijadikan isyu yang saling merebut pengaruh. Tentu saja isyu bersifat “politis.”

Padahal suatu yang wajar saja. Metode penentuan criteria menetapkan awal bulan Kalender Hijriyah, berbeda pula hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri. Di Indonesia, perbedaan itu pernah terjadi beberapakali.

Pada tahun 1992 (1412 H), ada berhari raya Jum’at 3 April, mengikuti Arab Saudi, ada pada Sabtu 4 April sesuai rukyat NU dan ada pula hari Minggu 5 April, berdasarkan pada Imkanur Rukyat.

Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat tahun 1993 dan 1994. Yang menarik pada peristiwa di tahun 2011. Dalam kalender resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Namun siding isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Muhammadyah tetap pada pendirian bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011.

Tahun berikutnya, tahun 2011 terjadi lagi perbedaan. Dimana Muhammadyah menetapkan awal Ramadhan pada 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan bulan Ramadhan ialah pada 21 Juli 2012.

Kembali lagi pada hisap (merokok) dan hisab (menghitung). Tergantung keyakinan dan menghormati pada pilihan. Bertoleransilah terhadap perbedaan.

Semisal, pada hari ke 4 berada di Madinah, aku pun membeli dari “tangan seseorang” sebungkus rokok kretek produk Indonesia. Berkat menjadi ahli hisap, aku pun saling mengenal jamaah lain yang berbeda rombongan dan daerah walau sesama dari Indonesia. Ketika sama-sama mencari tempat yang tak dilarang untuk merokok (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Minggu, 24 September 2017

ESEI RINDU MUARA BENGKULU

Sungai Bengkulu, alirannya jauh ke hulu. Alirannya melintasi pusat kota dan pemukiman. Dengan adanya sebuah jembatan yang dibangun, lintasan dari sarana jalan pesisir pantai, kawasan muara sungai mudah dicapai setiap orang, bila hendak menatap alam yang lapang. Memandang dari salahsatu sisi Samudera Hindia.




BUNGA LIAR, bunga semak-belukar di tepi sungai, sedang bermekaran. Warnanya yang merah sungguh indah diantara kehijauan. Warna merah jambu. Mengingatkan perlambang cinta memabukkan, api asmara yang bergelora.

Saat ini lagi musin angin tenggara. Bagi nelayan dan mereka yang mengandalkan hidup di laut, ini adalah musim dengan cuaca yang buruk. Penangkap-penangkap ikan yang bermukim di pesisir pantai Bengkulu, enggan turun melaut. Kalaupun ada dengan keberanian, sering pulang ke pelabuhan dengan tangan hampa.

Aku menikmati bunga rumput dan bunga semak belukar di kawasan muara. Tumbuh di salah satu sisi sungai yang ke darat. Tidakkah ini suatu pemandangan yang indah tanpa harus dipungut bayaran? Kekayaan alam kita, yang bagi banyak orang seringkali dimusnahkan karena tak ada aturan dan kesadaran.




INI PAGI berikutnya. Aku kembali berada di ujung aliran Sungai Bengkulu. Alirannya tenang. Seakan tak ada arus mendorong dari hulu, untuk menyesak dengan cepat, melepas diri ke laut, melalui pintu muara sungai.

Dengan ketenangan itu, justru menimbulkan suatu bayangan misteri bagi mereka yang bukan penduduk setempat. Tapi kawasan ini sendiri masih dalam keadaan baik. Belum ada bangunan-bangunan menyesak, manusia-manusia yang bermukim berebut tanah tanpa ada lahan tersisa.

Sebuah kapal tonda terlihat bagiku. Kapal yang tampaknya baru saja selesai dibuat dan diturunkan ke dalam air. Selain itu, tak ada kapal atau perahu berada sejauh mata memandang dalam muara sungai. Agak ke hulu, mendekat arah ke jembatan beton, beberapa tahun lalu, saat aku mendatangi tempat ini, ramai masyarakat melakukan penambangan batu bara dari dalam sungai.

Di beberapa titik saat menyusuri tepian sungai ujung muara ini, aku masih melihat ada karung-karung di dalam semak belukar, berisi batu bara. Lalu berserakan batu bara yang tidak berupa bongkahan, menyatu dengan tanah. Mengubah lokasinya menjadi hitam.

Deru mesin dan biduk-biduk penambang batubara tak terdengar. Yang ada hanya sunyi. Pekerja-pekerja tambang pun tak terlihat pada pagi ini. Kawasan ini menjadi sepi manusia. Kecuali kendaraan yang melintas dan sepeda motor dengan deru knalpotnya yang menyakitkan.

Aku tak memiliki keberanian, karena hanya sendirian untuk mendekati tepi sungai lebih dekat lagi. Aku hanya mengitari pandangan dari badan jalan yang beraspal di sisi tepi sungai.




DIPERKIRAKAN ada lebih kurang 200 meter, sisi sungai arah laut, tidaklah merupakan bantaran sungai di ujung muara ini. Hanya terbentuk dari sendimentasi, membuat aliran sungai terlebih dahulu menyisir laut, sebelum akhirnya keluar dari pintu muara.

Lebar pasir yang sudah membentuk berupa tanggul itu, hanya kira-kira 10-15 meter saja dari sungai dan laut. Bentukan di ujung muara yang masih alami dan tidak dirusak dengan betonisasi, dimana banyak muara sungai dalam beberapa tahun ini, dijadikan tempat menggelontorkan uang Negara dengan alas an normalisasi sungai. Menghabiskan dana Negara dan merusak bentukan alam yang berubah-rubah.

Kita tak mengetahui, sampai berapa lama Muara Sungai Bengkulu ini dapat bertahan dengan muara sungai yang natural. Tanpa harus disentuh proyek dan betonisasi yang menjemukan.




ALAM yang lapang. Pandangan mata tak bertumbuk. Cahaya matahari bebas menyinarinya dengan kehangatan. Apa yang lebih dari anugerah alam kedamaian, diperuntukkan untuk manusia dan kehidupannya dari Yang Maha Kuasa?

Ini adalah pagi berikutnya, setelah pagi-pagi sebelumnya. Aku berada di sini, di kawasan ujung Sungai Bengkulu, kawasan muara sungai. Sendiri.

Setelah puas melemparkan pandang ke arah laut seakan menjauh itu, memandang arah daratan dari tepian sungai. Alam yang lapang. Bersih tak ada bangunan yang kerap muncul menjadi dinding. Pada umumnya dapat dilihat di berbagai tempat, view-view yang seharusnya dapat dinikmati oleh banyak orang, sudah dirampok manusia dan bangunan. Memperlihatkan penataan kota yang tak memiliki konsep yang jelas dan kebijakan kepemimpinan tak berpihak pada lingkungan hidup. Sehingga tiap hal menjadi raja dan pembenaran.

Di sini, antara laut dan sungai memiliki sekat, sebuah jalan penghubung membatasi dengan daratan. Menurut keterangan, kawasan muara sungai ini, disebut juga daerah yang termasuk Pasar Bengkulu. Tidak jauh dari pusat kota (*)

Bengkulu 2017 - Copyright: abrar khairul ikhirma

Sabtu, 23 September 2017

SASTRA MELAYU: IBARAT RENDANG PADANG (4)

MENYONGSONG SISMI17 DI KUALA LUMPUR

Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA- INDONESIA

Sejauhmana sumbangan sastrawan di dalam karya-karyanya bernafaskan keislaman. Karena semangat budaya Melayu pada akhirnya sejak masuknya Islam sebagai agama di nusantara, adalah suatu jembatan yang mempersatukan, tidak pada tempatnya “berenang lagi” dengan alasan tiadanya jembatan, untuk menyeberang “sungai peradaban.”




Pentingkah Seminar Sastera Melayu Islam 2017  (SISMI17) ini?

Dr Phaosan Jehwae, seorang pengajar di University Fathoni, Patani, Thailand Selatan, secara khusus dimintakan pendapatnya perihal peristiwa SISMI17, dimana beliau salah seorang yang akan membentangkan kertas kerja pada seminar itu mengatakan, Suatu acara yang sangat bermanfaat. Kerana jarang sekali pihak penganjur mengadakan acara sastera yang berpandukan Islam. Melayu dan Islam dua komponen yang menjadi satu dan tak bisa dipisahkan.”

Phaosan di negaranya, terutama di Patani, dalam beberapa tahun terakhir ini aktif “memperjuangkan” keberadaan bahasa Melayu pada generasi muda. Melalui berbagai kegiatan Phaosan yang juga menulis puisi, bergiat memberikan apresiasi sastra mengatakan, “Apabila kita bicara tentang sastera Melayu pasti Islam menjadi komponen utama di dalam isu tersebut. Melayu beridentitikan dengan Islam.”



DR PHAOSAN JEHWAE


Sebelumnya hanya mengenal pasangan suami isteri, Asnida Daud dan Jeffrey Zauhari dari Singapura. Asnida seorang cikgu, artis dan penyair. Jeffrey orang music. Keduanya adalah regenerasi Melayu Singapura. Terpikat mengikuti aktifitasnya dalam menggelorakan semangat kemelayuan di tanah airnya. Semenjak mengenalnya pertamakali sama-sama mengikuti Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala Lumpur.

Selang belum berapa lama ini, lewat media social fesbook, suatu hal yang menggembirakan mengenal lagi seorang dari Negara yang sama, T. Ahmad Mohamed (Ahmir Ahmad), seorang yang bergiat di sastra Singapura. Menanyakan secara khusus kepadanya terhadap peristiwa SISMI17 yang akan diselenggarakan.
Ahmad mengatakan, “SISMI17 acara yang bagus. Ia adalah acara kerjasama komuniti sastera dengan aktivis Masjid. Secara tak langsung mendekatkan orang umum kepada sastera di samping mengajak aktivis sastera menfokuskan kepada sastera Islami.”

Ahmad yang bekerja sebagai seorang Penganalisis Makmal, bidang pengkhususan enjin analisis oktana di Singapura ini menyebutkan bahwa, “Sejak polemik sastera Islami di Malaysia tahun 1987, jarang sekali dibangkitkan soal sastera Islami pada akhir-akhir ini.”

T. Ahmad Mohamed tampaknya memang mengikuti kegiatan kesastraan di tanah Melayu selama ini. Karenanya, ia dapat menyebutkan bahwa, “Sedang acara Mahrajan Persuratan Islam sering diadakan di Sabah sejak 2012, di semenanjung Malaysia jarang kedengaran acara sastera yang bertema Islami, selain tema nasionalisme saja sering menjadi tumpuan.”

Diharapkan ramai dan beragam “hal” akan dikemukakan dalam SISMI17 yang akan berlangsung nantinya. Membuka catatan lama, membaca catatan hari ini dan membuat catatan ke depannya bagi sastra Melayu di nusantara.

Mungkin sisi demikian kiranya dapat dilihat pada pandangan yang terbuka. Karenanya T. Ahmad Mohamed, satu diantara sejumlah pembentang kertas kerja pada SISMI17, melihat peristiwa sastra ini penuh harapan. Dia mengatakan, “Sismi17 juga menampilkan gabungan ahli akademik dan juga penulis non-akademik  dalam suatu platform sastera dan forum ilmu.”



T. AHMAD MOHAMED


Sungguh disayangkan, Drs. Dasril Ahmad, dari Padang, Sumatera Barat, Indonesia, tak tampil dalam forum SISMI17. Semula namanya disebut-sebut sebagai salah seorang pembentang kertas kerja. Padahal dalam rentang lebih kurang 30 tahun terakhir ini, Dasril intens mengikuti dan mendocumentasikan perjalanan kehidupan sastra di daerahnya.

Akan terasa lengkap, Dasril dimintakan membentangkan penelusurannya sekitar sastra bernafaskan budaya Minangkabau yang tentu saja bertitiktolak dari nilai-nilai keislaman. Minangkabau termasuk bahagian terpenting dalam perkembangan sejarah kemelayuan. Apalagi dalam decade ini ramai diterbitkan karya-karya sastra berlatarbelakang budaya Minang.

Meskipun tak hadir, Dasril Ahmad dimintakan pendapatnya terhadap konteks peristiwa sastra Melayu ini pada SISMI17 mengatakan, “Persoalan kemelayuan dan sastra melayu yang Islami, adalah hal menarik untuk dikaji. Setidaknya kita mengetahui bagaimanakah situasi kesastraan Melayu dewasa ini, di dalam menyikapi perkembangan budaya-budaya modern, yang membuatnya pudar dan dapat menghancurkan dengan pengaruhnya.”



DRS DASRIL AHMAD


Kegamangan dan kecemasan, adalah dua hal yang seringkali “mendebarkan” kalangan pemikir kebudayaan di nusantara. Mereka tidak hanya melihat “ancaman” kepada datangnya “pengaruh” asing “menggerus” kebudayaan nenek-moyang. Akan tetapi “kebijakan politik” masing-masing pemerintahan adalah juga “penyebab” melemahnya kedudukan kebudayaan itu sendiri di dalam masyarakat, bangsa dan Negara. Realitas tidak segegap gempita slogan-slogan yang seringkali dikumandangkan para pemimpin di berbagai kesempatan nasionalisme.

Kegamangan dan kecemasan perlu tetap dipelihara dengan sikap waspada dan terus menerus melakukan perbaikan.  Tanpa kegamangan dan kecemasan, kita tentu tidak tahu bahwa pengaruh asing itu telah “merasuki” kehidupan kita secara sempurna. Tidak akan membangunkan pemikir kebudayaan, seperti sastrawan misalnya, hanya akan diam dan tidak melakukan perjuangan agar bahasa dan kesastraan “tidak diganti.”

Perjuangan itu melalui “MENCIPTAKAN” karya-karya sastra yang berkualitas, dengan jumlah pembaca yang semakin bertambah. “MELAHIRKAN” pemikiran-pemikiran sastra yang dapat membuka ruang pemikiran dan “MENCERAHKAN” masyarakat sastra secara universal. Tidak hanya mejadi “terasing” di atas puncak “menara gading.” Tidak juga menjadi “lebih rendah” sehingga menjadi “padang terbuka” melahirkan tempat berkarya “epigon” atau pun “copy paste.”

Karenanya, Sastra Melayu harus terus dihidupkan oleh sastrawan masa kini. Sejarahnya yang panjang sudah membuktikan bahwa Sastra Melayu itu hidupnya ibaratkan memasak Rendang Padang. Untuk mendapatkan “rasa enak,” dimasaknya akan lebih tepat menggunakan bahan bakar yaitu kayu yang dapat menghasilkan bara api. Tidak menyala tetapi “menghangatkan.” Tidak tergantikan oleh alat masak modern meskipun sama-sama menghasilkan api yang mengeluarkan panas di tungku.

Rentang waktu sampai akhirnya masak, membutuhkan waktu lama. Diperlukan kesabaran yang tidak hanya berpangku tangan di depan tungku. Secara periodic, si juru masak harus terus menerus “mengacau” isi kancah (kuali besar) dengan “menanggungkan” hawa panas api di depannya.

Sementara angin dengan rasa tak sabar, akan menebarkan kemana-mana “bau harum” rendang, sehingga membuat “orang sekampung” menjadi “ribut” diantara rasa lapar kala hidungnya mencium bau rendang yang dimasak.

Apa bedanya perjalanan Sastra Melayu atau kebudayaan Melayu dengan cara masak rendang? Sama. Sama-sama membutuhkan waktu yang panjang. Perlahan (baunyai-unyai) melintasi berbagai zaman di atas “bara api” akhirnya sampai kepada abad Milineum ini. Dan tepatlah dikatakan ---jika benar ini merupakan kutipan--- dari kata Hang Tuah (sendiri), “Takkan mati Melayu di bumi Melayu.”

Terbukti secara nyata bahwa memang tidak mati. Sampai hari ini perkara Melayu masih hangat untuk diperbincangkan. Masih kita butuhkan untuk ditelisik “keharumannya.” Walau realitas nasibnya di tengah kehidupan modern bak pameo orang Minang, “karakok tumbuah di batu” (Karakok tumbuh di batu). “Hidup sagan, mati tak amuah.” Yang artinya, hidup segan mati tak mau. Tetap “hidup” tiada terbantahkan namun hanya “kerap” menjadi “kebanggaan,” kalau pun tetap ada keberlangsungannya antara ada dan tiada.

Apakah semangat Melayu masih bercitarasa keislaman di dalam karya-karya yang dihasilkan para sastrawan di abad modern ini di nusantara? Disaat di berbagai belahan bumi “keislaman” itu sendiri, banyak dijadikan oleh “pihak tertentu” hanya sebagai “alat” untuk kepentingan pihak tertentu saja. Padahal sejatinya, agama memberikan rasa sejuk di tengah derita perjalanan “musafir” melintasi “gurun” kehidupannya dari zaman ke zamannya.

Para penjaga nilai-nilai Melayu-lah harus tetap berada di “garis depan.” Menjaga “kegamangan dan kecemasan” yang selalu “menghantui” dalam arus deras globalisasi yang tak mungkin dibendung dengan sikap “suka dan tak suka.”

Diantara penjaga nilai-nilai itu ialah sastrawan.

Karenanya, karya sastra yang berbicara harus tetap dilahirkan dan dihadirkan, selain terus menerus menghidupkan bara api di tungku-tungku peristiwa sastra semacam diskusi, seminar dan kajian-kajian keilmuan. 

Seperti peristiwa sastra yang akan dilaksanakan Numera Malaysia bertajuk, Seminar Sastra Melayu Islam 2017, di Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, 28 – 30 September 2017 (*)

[Tulisan ini bagian Keempat dari Empat Tulisan] 

Jumat, 22 September 2017

SASTRA MELAYU: IBARAT RENDANG PADANG (3)


MENYONGSONG SISMI17 DI KUALA LUMPUR

Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA- INDONESIA

Etnik Melayu kian menyebar dari tahun ke tahun secara alamiah, dengan sendirinya budaya dan bahasa tentulah juga mengalami pembaharuan. Semangat perubahan itu dapat dipahami seiring perubahan zaman dan regenerasi. Namun selalu mencemaskan itu ialah “benang merah” budaya dan bahasa Melayu menjadi “putus,” digunting tajamnya budaya asing, yang terus “memainkan perannya” melalui berbagai lini “pertemuan” antar bangsa.


MAKAM RAJA ALI HAJI DI PULAU PENYENGAT


Ketuaan bahasa dan sastra Melayu itu setidaknya dapat dilihat dengan periodesisasi perjalanan Sastra Indonesia. Dimana telah mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan yang menyesuaikan dengan zamannya.

Periodisasi Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: lisan dan tulisan. Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan: Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, Angkatan 1966 - 1970-an, Angkatan 1980 - 1990-an, Angkatan Reformasi dan Angkatan 2000-an.

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa dengan masuknya agama Islam ke nusantara, juga memberikan warna Islami di dalam kelahiran karya-karya sastra (baik lisan maupun tulisan) Melayu, yang menjadi suatu rumpun budaya. Masa periodisasi yang dicatat pada masa awal ini, disebut sebagai Angkatan Pujangga Lama. 

Berpedoman sejak masa Pujangga Lama sampai saat ini, telah banyak melahirkan karya-karya sastra, sekaligus mencatatkan nama-nama yang semakin ramai pula. Dalam keramaian pertumbuhan dan perkembangan penerbitan serta semakin meningkatnya sarana penyebarluasannya kini, hampir tak terikuti kemunculan dan ketenggelaman nama karya-nama penulisnya.

Perkembangan yang terjadi dari masa ke masa dalam Sastra Melayu, sesuai tuntutan zaman membutuhkan pembaharuan. Pembaharuan tersebut dikenali sebagai suatu produk modern. Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. 

Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alphabet latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.


DIANTARANYA LITERATUR MELAYU


Nilai-nilai Islami dalam periodisasi perkembangannya, juga mengalami masa “ancaman” tatkala ada kepentingan politis, diantaranya kepentingan kekuasaan dan bisnis. Dalam sejarahnya terjadi di masa awal abad 19, dimana “bertebaran” bacaan cabul dan disebut liar, dihasilkan produk sastra yang dinilai sebagai sastra Melayu Rendah.

Sastra Melayu Rendah ini dianggap bertujuan politis, menyoroti kehidupan pernyaian. Untuk mengantisipasi hal tersebut konon telah mendorong pendirian Balai Pustaka. Dimana Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dengan bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

Melihat pemakaian bahasa sesuai dengan etnik dan daerah itu, adalah langkah cerdas di zamannya, agar karya sastra mendekati pembacanya lebih cepat. Menarik dan mudah dipahami. Dengan demikian karya sastra tidak memiliki jarak dengan masyarakatnya. Sehingga memiliki keterhubungan sesuai dengan fungsi sastra, antara karya dan pembaca.

“Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau. 

Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa kini menjulukinya bahasa Melayu Balai Pustaka atau bahasa Melayu van Ophuijsen. Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia Belanda. Ia juga menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. 

Dalam masa 20 tahun berikutnya, bahasa Melayu van Ophuijsen ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa kebangsaan” (Wikipedia) 


MAKAM M. YAMIN TOKOH KONGRES BAHASA DI TALAWI


Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.

Tentu perjalanan sejarah dan kesastraan Melayu ini akan menjadi beragam sesuai dengan dinamika zamannya. Masing-masing Negara serumpun tentu juga memiliki periodesasi karya sastra dan sastrawan mereka. Semisal khususnya di Tanah Semenanjung Malaysia, Malaysia dan Thailand-Selatan. Singapura, Brunei Darussalam atau pun Philipina-Selatan. 

Pertumbuhan dengan pembaharuan, pembaharuan dengan perkembangan, adalah dinamika yang tak dapat ditolak. Berkembangnya ilmu pengetahuan, terjadinya kemajuan sarana informasi dan teknologi, dengan sendirinya akan menjadikan sastra bertumbuhan, sesuai tema dan gayanya. Pada satu sisi terjadi pengaruh dan peniruan dimana-mana. Sedang di sisi yang lain, mendorong lahirnya karya-karya kreatif memiliki akar yang jelas pada budaya dan bahasanya.

Di dalam derasnya pertumbuhan sastra zaman ini, dirasakan sedikit kehadiran kritikus, apresiator, documentator dan pemerhati, dalam memberikan “menggaris-bawahi” atau “mengikuti” karya (penting) sastra yang “berakar jelas” dan mewakili “cerminan” zamannya. Dapat dikatakan juga, disebut sebagai karya “sastra yang berbicara.” 

Kini terselenggara berbagai peristiwa sastra semacam bedah buku, diskusi dan seminar di berbagai tempat tapi adakah dari semua itu memiliki “gezah,” setelah acara selesai dan semuanya kembali memasuki kerutinannya. Menjadi tak sekadar catatan tapi dapat memberikan sumbangan kepada langkah-langkah pemikiran zaman ini dan masa depan.

Hal seperti demikian adalah suatu pertanyaan dan tantangan bagi SISMI17 atau sesudahnya. Kini nusantara rentan diliputi dilema “racun” politik yang “membonceng” agama. Tampaknya adalah hal actual jika seminar kali ini, ingin menelusuri Sastra Melayu Islam. Karena memiliki nilai positif memberikan penyegaran atau pun kemungkinan alternative untuk masa mendatang bagi kalangan dunia sastra. 

Diyakini SISMI17 melalui kertas kerja yang akan dibentangkan, tentu belum “menyentuh” penelusuran kepada “wajah sastra” dalam rentang kurun waktu terakhir ini. Kalau pun ada, tampaknya tentu tidak titik fokusnya kepada “situasi” dimana “maraknya” persoalan isyu agama “mewarnai” dimana-mana.

Karenanya di lain waktu, kiranya adalah suatu “kehangatan” bagi pengamat atau kritikus sastra Melayu, untuk dapat menelusuri karya-karya sastra yang terlahir di zaman ini, adakah yang “berbicara” perihal situasi zamannya? BERSAMBUNG

[Tulisan ini Bagian Ketiga dari Empat Tulisan]

Kamis, 21 September 2017

SASTRA MELAYU: IBARAT RENDANG PADANG (2)

MENYONGSONG SISMI 2017 DI KUALA LUMPUR

Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA- INDONESIA

Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat penghantar dalam berkomunikasi. Akan tetapi bahasa juga sebagai penunjuk kepribadian seorang manusia. Karenanya bahasa diidentik sebagai suatu kebudayaan. Menjadi cerminan suatu bangsa yang membangun peradaban, berkehidupan bernegara.




Bahasa Melayu berkembang sesuai dengan perjalanan bangsa Melayu bertebaran di muka bumi. Mereka berkembang oleh sebab sesuai zamannya. Kini di abad modern, dimana terpaaan dan hantaman gelombang kebudayaan, berdatangan dari berbagai macam lini. Akibatnya terjadi pilihan-pilihan. Terkadang pilihan itu benar. Namun umumnya malahan “menyesatkan” menghancurkan identitas dan keberadaan sendiri.

Karenanya intitusi pemegang kebijakan yaitu pemerintahan dari suatu Negara mestilah didorong untuk melakukan “keterjagaan” identitas supaya tak diganti oleh “sesuatu yang asing.” Yang bukan pakaian kita sendiri.

Gerakan ini tidaklah berhenti untuk diwujudkan. Karena silih berganti, terutama kalangan kebudayaan, dari masyarakat kesenian dan pelaku sastra, tak pernah “jera” menggelorakan semangat pelestarian bahasa. Semangat yang dikobarkan melalui kegiatan-kegiatan kesastraan atau pun dihasilkan dari diskusi, seminar dan peristiwa pendeklrasian. Meskipun sayup tak lantang namun tetap berketerusan. Sesuai dengan tuntutan perobahan zaman, dalam kesayupan sebenarnya terkandung “dian yang tak kunjung padam.”

Bahasa yang baik di alam kebudayaan yang terjaga, melahirkan karya-karya sastra dari tangan para sastrawan. Karya-karya sastra menjadi cerminan zaman. Menjadi perekat bagi catatan peristiwa zaman, pemikiran dan  makna kejiwaan masyarakat. Memperbaiki kerusakan sendi-sendi kehidupan manusia. Memperkuat kemampuan alam pikir. Memperhalus pemahaman dan makna alam rasa.

Betapa kayanya alam budaya Melayu, dimana begitu hidupnya di masa silam pada kehidupan masyarakat pepatah petitih, syair, pantun, gurindam dan hikayat. Tidak hanya ada di waktu momen acara adat dan keagamaan tetapi juga tumbuh berkembang di dalam keseharian masyarakat. Dimana jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri, baik secara lisan maupun pada karya-karya sastra yang dihasilkan.

Semisal bagi Indonesia secara tulisan dikenali sebagai masa periodisasi Pujangga Lama. Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia, dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil. serta Nurudin ar-Raniri..

Setuju atau tidak. Persoalan “kemelayuan” senantiasa tak pernah henti untuk dibicarakan, baik dalam kesejarahan maupun pada tataran social budaya dan politik. Tak pernah kering dijadikan sebagai kajian, digali terus menerus untuk menemukan “mata airnya” ditelusuri kemana alirannya untuk mengetahui dimanakah sebenarnya “muaranya.” Sebab laut, airnya menjadi tujuan aliran sungai. Air laut sendiri yang asin dikontribusi oleh air tawar yang berasal dari perut daratan.



SN DATO' DR AHMAD KHAMAL ABDULLAH


Pada tempatnyalah, Ahmad Khamal Abdullah “terbersit” ide di tahun 2016, untuk mengadakan perbincangan soal Sastra Melayu Islam. Karena sejarah Melayu dan Islam memiliki kaitan erat. Sedang karya sastra yang pernah ditulis sastrawan pun ada banyak memiliki kandungan keislaman. Ia ingin para sastrawan, akademisi dan pemerhati, berkumpul pada satu rangkaian momen. Berbagi pemikiran dan pengalaman.

Presiden Numera Malaysia Ahmad Khamal Abdullah, bergelar Dato’ dan Dr merupakan sastrawan yang dikenal bernama pena Kemala, melalui karya-karyanya yang telah banyak dipublikasikan dan diterbitkan dalam bentuk buku. Pun sudah diterjemahkan ke bahasa asing. Memainkan peranannya sebagai Sasterawan Negara melalui kegiatan kesastraan Persatuan Sasterawan Nusantara Melayu Raya (Numera) Malaysia, dengan menyelenggarakan “Seminar Sastera Melayu Islam 2017.”

Pembicaraan sastra Melayu dan keterkaitan kandungan nilai-nilai keislaman, tidaklah hal baru menjadi kajian-kajian dan perdebatan di berbagai Negara dan dunia pendidikan. Baik diselenggarakan kalangan kebudayaan dan kesenian atau pun di perguruan-perguruan tinggi untuk kebutuhan akademik. Sudah berlangsung lama. Penyelenggaraan seminar yang diadakan Numera ini satu diantaranya. Satu kelanjutan yang membuktikan bahwa pembicaraan terhadap sastra Melayu dan nilai Islami, masih hangat. Masih diperlukan mengisi ruang pemikiran kebudayaan.

“Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor, Kesultanan Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei dan Kesultanan Siak.

Kedatangan kolonialis Eropa telah menyebabkan terdiasporanya orang-orang Melayu ke seluruh Nusantara, Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di perantauan, mereka banyak mengisi pos-pos kerajaan seperti menjadi syahbandar, ulama, dan hakim.

Dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh Kepulauan Nusantara mendapatkan pengaruh langsung dari Suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah berkembang dan dipakai oleh banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia, Malaysia dan Brunei.” (Wikipedia)


MAKAM ABDURRAUF SINGKIL / SYIAH KUALA DI ACEH
(FOTO: FICKR.COM)


Yang patut digarisbawahi, momentum SISMI17 yang dilaksanakan pada 28-30 September 2017, di Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, Malaysia, memberikan peluang kepada kalangan muda, lebih luas dan terhormat, ruang untuk berekspresi di “podium” peristiwa kesastraan bertaraf internasional. SISMI17 melibatkan kalangan sasterawan, akademisi, pemerhati dan artis (seniman) dari Negara Malaysia sendiri, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam dan Bangladesh.

Antara gagasan dan jalan untuk mewujudkan peristiwa sastra internasional nusantara ini, juga tidaklah mudah. Membutuhkan kesadaran, keteguhan dan pembiayaan. Karena yang menyelenggarakan tidak institusi pemerintahan atau pun kelembagaan yang memiliki donatur permanen. Hanya satu diantara banyak organisasi kesastraan yakni Persatuan Sasterawan Numera Malaysia. Suatu hal yang luarbiasa, Numera merancang dan mempersiapkannya berlangsung satu tahun lamanya. Berproses sampai ke hari H.

Dari proses inilah Pengerusi SISMI17, SN Dato’ Dr Ahmad Khamal Abdullah, menyebutkan bahwa; “Bagi merealisasikan Sismi17, AJK Induk Marba-Numera, bakal menghadapi tantangan kiri kanan, depan belakang. Bukan semua yang bernama Melayu di atas itu sayangkan sastera Melayu-Islami. Ramai yang mahu “menjahanamkan”nya. Namun dengan keyakinan dan nawaitu yang baik, Allah berikan kemudahan dan jalan terbaik untuk kita melaksanakannya demi pelestarian sastera Melayu-Islami di dunia. Insyaallah.” (*) BERSAMBUNG

[TULISAN INI KEDUA DARI EMPAT TULISAN]