Rabu, 26 Maret 2014

“Pui See” itu di Kuala Lumpur



SUATU kejutan dalam hidupku berkunjung ke Kuala Lumpur, Malaysia. Menerima Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, atas karya puisiku yang berjudul “Hang: Kekalkan Selat Malaka,” terpilih menjadi salah satu puisi yang diberikan anugerah oleh Nusantara Melayu Raya (Numera), 21-24 Maret 2014.

Kejutan yang dimaksud bukan tersebab puisiku mendapat anugerah itu, bukan pula aku dapat datang ke Malaysia karena diundang event Numera tahun ini. Tidak. Tidak sama sekali menyangkut perihal itu. Aku mendapat kejutan luarbiasa, ternyata yang dinamakan puisi tidak hanya berupa tulisan karya penyair, namun ada orang yang benar-benar bernama Pui See…



Sejumlah penyair hadir di event Sastrawan Melayu ini dari berbagai negara, antara lain; Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapore, Brunei Darussalam, Swedia, Belgium dan Rusia. Termasuk kalangan sastra, kritikus dan pemerhati sastra. Kegiatan selain Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, sekaligus diselenggarakan Baca Puisi Dunia Numera 2014, berikut peluncuran terbitnya buku Antologi Puisi “Risalah Melayu Nun Serumpun,” yang menghimpun puisi-puisi penerima anugerah.

Kejutan itu muncul ketika di hari ketiga kami berada di Malaysia. 23 Maret 2014. Setelah menikmati jalan-jalan (pusing-pusing) waktu siang di kawasan Menara Kembar Petronas, KLCC Park, yang menjadi ikon Malaysia, menjelang petang hari, rombongan penyair dan para undangan lain langsung menuju kawasan di jantung Malaysia yakni Sentul Park.

Sentul Park, terdapat areal situs bekas setasiun kereta. Masih terdapat bangunan kayu dan berupa bangunan tembok tanpa atap, bangunan bengkel, yang merupakan sisa identitas masa lalu transportasi. Areal yang luas ini ditumbuhi pepohonan yang rindang. Udaranya sejuk dan nyaman. Jauh dari kebisingan Kota Kualalumpur.
Di bagian belakang areal situs masa lalu transportasi itu, terdapat sebuah bangunan sepertinya dipadukan antara bangunan lama dengan yang modern, yang dijadikan sebagai “the kuala lumpur perfoming art centre.” Sebuah pusat kegiatan berkesenian di Kuala Lumpur. Sebagaimana infomasi dari temanku warganegara Malaysia “Teratai Abadi,” aktifitas kesenian kontemporer berlangsung tanpa henti, terutama dari kalangan muda.

Di salah satu sisi bangunan “the kuala lumpur perfoming arts centre” yang artistic itu, di bawah kerindangan pepohonan, para penyair Numera 2014 mengadakan kegiatan berorasi, bercakap-cakap dan baca puisi tanpa kesan formal. Mereka yang bergelut dengan dunia penciptaan puisi, terkaget ketika saudara Umar Huzair dari Numera meminta kesediaan wakil pihak pengelola “the kuala lumpur perfoming art centre” untuk membuka kegiatan sederhana itu yang penuh kesan mendalam bagi yang hadir.

Betapa tidak, saudara Umar memperkenalkan seorang wanita muda dengan gaya yang khas di hadapan para penyair. Dimana Umar mengatakan bahwa wanita tersebut lah yang asli benar-benar puisi karena namanya Pui See (kalau dilafazkan terdengar puisi). Aku terkejut dan terkesima. Kok bisa ??? Kuanggap peristiwa filosofis sekali. Ketika penyair berkumpul bicara dan membaca puisi, ternyata puisi itu sendiri malah melekat pada nama orang.

Dan aku mendapatkan kehormatan setelah Pui See, yang memiliki jabatan p.o. to excecutive produser the kuala lumpur perfoming art centre, selesai memberikan kata sambutan, ia bersedia ketika aku meminta untuk bisa berfoto dengannya. Ketika kegiatan sudah berlangsung, sama sekali aku tak menyangka ia mau menghampiriku, dengan senang hati beliau memberikan padaku sebuah kartu nama. Kini kusimpan dengan baik. Pui See…

Sungguh kehormatan dan membahagiakanku. Aku yang telah menulis puisi dalam perjalanan hidupku, ternyata akhirnya aku menemukan puisi yang asli dan bukan tulis atau dibaca di Kuala Lumpur. Cantik, bersahaja….

[abrarkhairulikhirma]

Selasa, 25 Maret 2014

Izinkan Aku Bicara



DUNIA kesenian adalah dunia yang sunyi. Karya-karya seni yang bernilai tinggi, terlahir dari para seniman dalam kesunyiannya. Ia merupakan hasil dari perjalanan hidup, perenungan dan upaya penciptaan. Seniman yang kreatif adalah seniman yang mampu mengolah kesunyiannya menjadi karya. Karya yang kemudian diserahkan kepada public melalui ruang media cetak – elektronik, pameran dan pertunjukan.

Cover buku spesial diterbitkan di event Numera 2014

Dunia sastra, juga adalah dunia sunyi. Dimana para sastrawan dalam mencipta, kala ia merasakan kesendirian di tengah-tengah keramaian zamannya. 

Tetapi karena “keterasingan” itu jugalah para sastrawan, misalnya, dapat melihat dan mencatat peristiwa-peristiwa kehidupan, ke dalam karya-karya mereka. 

Keterasingan yang dimaksudkan, bukan berarti tidak memiliki keterlibatan dengan apa-apa yang kemudian mendasari karya cipta mereka lahir.

Dunia sunyi tidak hanya dimaksudkan dalam proses penciptaan. Tetapi dalam pembicaraan ini, lebih ditujukan sebagai penggambaran keadaan dewasa ini, bahwa dalam kemajuan zaman, sesungguhnya dunia kesenian atau yang lebih luas lagi dunia kebudayaan, seringkali terpinggirkan, bahkan seperti tak mendapat tempat sebagai kebutuhan zaman.

Sepertinya…, dunia kesenian dan kebudayaan, kalah saing dengan perkembangan ilmu teknologi, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat. Padahal, pada dunia tersebut lah terjaganya suatu peradaban, kehidupan manusianya, untuk mengimbangi setiap kemajuan yang dihasilkan.

Banyak akibat di berbagai belahan dunia telah terjadi. Kita ketahui dan kita alami dalam berbagai porsinya. Meninggalkan dunia dan kehidupan yang compang-camping. Meninggalkan persoalan bagi kehidupan hari ini dan masa datang. Kerusakan, peperangan dan kematian. Kerapuhan moralitas, kehancuran tatanan sosial dan perusakan akan alam dan lingkungan. 

Semuanya sekali lagi, bukan terjadi seketika tapi akibat proses kemajuan dan hasil kemajuan yang dimaksudkan manusia dan kekuasaannya itu, tidak diimbangi perkembangan kesenian dan kebudayaan yang mengiringi tumbuhnya ilmu pengetahuan.

Albert Einstein, jenius fisika ini pada tahun 1905 berhasil merumuskan teori relativitas yang intinya: massa dapat diubah jadi energi. Berlandaskan teori ini, para ilmuwan lainnya mengembangkan teknologi senjata nuklir. Meskipun sejatinya energi nuklir bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, misalnya untuk membangkitkan energi listrik, atau untuk inovasi di bidang kedokteran, namun sayang sejarah kelam sudah tertoreh.

Teori relativitas Einstein telah dikembangkan untuk sebuah teknologi paling mematikan: pembuatan bom nuklir. Bom itu telah diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki, meluluhlantakkan kedua kota dan menewaskan 200.000 jiwa seketika, dan puluhan ribu lainnya mati perlahan akibat radiasi nuklir. Perang Dunia II.

Kemajuan ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk kepentingan penghancuran. Einstein sang penemu, sebenarnya tak berkehendak begitu tentunya. Namun ada diluar dirinya kekuatan yang “memanfaatkan.” Semua akibat yang tak terpekirakan itu, menjadikan sebagai penyesalan terbesar baginya. Penyesalan Einstein, karena sebelumnya beliau telah menulis surat kepada Roosevelt, ternyata akibat surat itu berbuah mimpi buruk, menghasilkan senjata mematikan yang ada di bumi ini berkat penelitian yang disarankan oleh Einstein sendiri !

Di hadapan sejumlah penyair

Peristiwa demikian, mengingatkan kita akan pengarang cerita silat Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (juga dieja Kho Ping Ho, Hanzi: 許平和; pinyin: XÇ” Pínghé, lahir di Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926,-- meninggal 22 Juli 1994 pada umur 67 tahun) adalah penulis cersil (cerita silat) yang sangat populer di Indonesia. 

Kho Ping Hoo dikenal luas karena kontribusinya bagi literatur fiksi silat Indonesia, khususnya yang bertemakan Tionghoa Indonesia yang tidak dapat diabaikan.
 
Kho Ping Ho, dalam salah satu dialog tokoh ceritanya di salah satu karyanya, berkata begini; “Jangan sampai pedang ini, jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat.”

Ilmu pengetahuan, hasil-hasil kemajuan, semestinya memang harus dicermati dan digunakan untuk memperbaiki kehidupan manusia, bukannya sebagai alat untuk hal sebaliknya. Makanya, seidealnya, kita selalu berharap secara lebih luas, bagaimana kemajuan di berbagai lini tidak berada di tangan-tangan mereka yang berwatak jahat.

Dimanapun di permukaan bumi ini, ada banyak negara, ada banyak etnis, dimana terdapat manusia: semuanya suatu hal yang tak dapat dipungkiri manusia adalah makhluk sosial. Satu sama lain memiliki keterkaitan. Saling memerlukan berinteraksi. Tentu saja paling mendasar, tak ada yang abadi bila hubungan dibangun melalui kekerasan atau perilaku tidak baik. Hubungan satu sama lain hanya tercipta jika saling membutuhkan, saling menghormati, saling mendorong pada hal-hal kebaikan. Semuanya pastilah dilandasi oleh nilai-nilai kebudayaan.

Dari berbagai definisi tentang kebudayaan, dapat disimpulkan, pengertian kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak (Wikipedia Indonesia).

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Karya seni adalah hasil kebudayaan. Hasil-hasil kesenian, karya seni yang diciptakan oleh para seniman, yang tidak hanya bertujuan menggambarkan keindahan tapi dapat menjadi inspiratif semua orang, untuk bisa mendorong penikmatnya, merenungkan betapa kehidupan merindukan keseimbangan. 

Tanpa keseimbangan, ilmu pengetahuan akan menjadi kering. Setiap kemajuan pun hanya jalan menuju jurang kehancuran. Melahirkan “pendekar-pendekar berwatak jahat.” Sebagaimana yang disiratkan oleh Kho Ping Hoo dalam cerita silatnya.

Hasil-hasil karya seni melatih kepekaan “alam rasa.” Alam rasa mempengaruhi pikiran yang menggerakkan perbuatan, untuk mempertimbangkannya. Seni yang berpengaruh dan dapat menimbulkan kecintaan, kepada manusia dan keseimbangan hidupnya, sungguh karya seni bernilai tinggi. Seni yang menghidupkan kebudayaan. Kebudayaan yang hidup pada manusia. Manusia yang menjaga peradabannya dengan baik.

Sudah terbukti… sejak bergulirnya abad modernisasi, sampai kita memasuki masa-masa milinium, kemajuan-kemajuan yang dinamakan dalam kerangka globalisasi itu, tidak selalu diiringi oleh perilaku seimbang. Tidak semua lapisan kita dapat menyerapnya dengan baik, bahkan hanya menelan mentah-mentah. 

Namun bukan berarti tidak kita akui, bahwa di berbagai belahan bumi telah mulai munculnya kesadaran-kesadaran baru, peradaban yang sesungguhnya tidak selalu bertumpu kepada terpenuhi kebutuhan lahiriah tapi begitu pentingnya kebutuhan batiniah dalam hidup manusianya !

Kehadiran para seniman dan budayawan, bersama kegiatan-kegiatan yang menunjang dan lahirnya karya-karya berkualitas, salah satu bagian penting dalam mengisi roh kehidupan dunia selain landasan keagamaan. Untuk terbangunnya kembali manusia hakiki yang beradab, dalam mengasah, memperkaya alam rasa.  Sehingga menjadi kesatuan yang utuh satu sama lain, pikiran, rasa dan tindakan.
.


Kita selayaknya menaruh rasa hormat, kepada mereka yang berjuang meramaikan kantung-kantung seni dan kebudayaan. 

Tidak penting, oleh siapa dan dimana. Karena menuju kebaikan bersama adalah hal yang universal. 

Mendorong lahirnya semangat kreatif dan memberikan kesadaran apresiasi pada publik bahwa kesenian dan berbudaya itu, salah satu landasan dalam membangun dunia yang kita impikan bersama. 

Menekan ketidak-seimbangan dan berusaha menciptakan keseimbangan, demi silaturahmi antar sesama, sebagai manusia makhluk sosial.

Keterpinggiran dan kesunyian yang dialami oleh para seniman, budayawan, pejuang-pejuang dunia kreatifitas seni selama ini di berbagai tempat, apakah akibat kita tak memiliki “pendobrak” keadaan atau memang “termatikan” oleh keadaan itu sendiri. 

Yang jelas terasa misalnya di dunia sastra, seperti tak ada tempat untuk mempublikasikan karya tulis di media cetak, tak ada penerbit bersedia mencetak ke dalam sebentuk buku, atau sedemikian minim event-event untuk berekspresi dan mengukur pencapaian.

Ketika kehadiran teknologi media elektronik sampai di hadapan kita, dunia internet, kita dapat menyaksikan pertumbuhan itu demikian dahsyatnya dalam beberapa tahun terakhir ini. Mereka yang mampu memanfaatkan fasilitas sebagai media berekspresi, khususnya perihal seni dan kebudayaan, telah berhasil membangun masyarakatnya, dari berbagai lapisan dan berbagai tempat tanpa ada batas-batas wilayah sebagaimana adanya. Semakin menyempurnakan bahwa seni dan kebudayaan mampu menyatukan kita semuanya.

Hampir tiap detik…, dari seniman atau tidak, entah dari mana asalnya, entah berapa usia atau pun latar-belakang kehidupannya, meng-update karya dan pikirannya sampai pada aktifitasnya. Tersebar kemana-mana dengan mudah. Tak mustahil, ada puisi berkualitas justru ditulis oleh penyairnya saat berada di toilet.

Pertumbuhan karya dan penyair seperti itu, pada akhirnya menciptakan event-event atau gagasan-gagasan untuk ke depannya. Munculnya pertemuan-pertemuan sastrawan, pertunjukan-pertunjukan seni dan kantung-kantung forum dan diskusi. Tentu saja kesemua itu untuk saling menunjang dan menghidupkan aktifitas kebudayaan kita agar tak selalu terpinggirkan dalam kesunyiannya. Diantara gegap gempita kemajuan-kemajuan pembangunan, ekonomi dan politik yang kini tengah berkibarnya.




Itulah sebabnya, saya selalu gembira dan menaruh hormat, setiap munculnya event-event yang diselenggarakan di berbagai tempat, yang diketahui melalui media publikasi, berkait seni dan kebudayaan. Meski pun selalu kalah dengan event-event besar lainnya dalam mencuri perhatian public, namun kehadirannya adalah penting, ketimbang tidak berbuat apa-apa. Masih ada upaya, masih ada usaha, untuk mensiasati situasi yang terjadi dan terus terjadi.

Karena itu jugalah, ketika mengikuti publikasi aktifitas Numera di jejaring sosial, juga saya sambut dengan gembira. Berharap dapat menjadi salah satu alternative agar para penyair dan karyanya tidak terbenam dalam kesunyian. Mereka butuh silaturahmi dan dialog, selain berkutat menyerap dan berkarya. 

Sebagai tanda menyambut gembira, dalam sejumlah kali saya berpartisipasi dengan mengirimkan update melalui jejaring sosial, ucapan dan harapan-harapan yang universal kepada aktifitas Numera tanpa memandang hal perbedaan. Lebih kepada bahwa setiap dunia kreatifitas perlu dibangkitkan, agar dunia tidak sunyi dari kegiatan seni dan budaya dalam menjaga keseimbangan kemajuan.

Lewat event seni dan budaya itu, kita selalu berharap semangat kesenian dan kebudayaan tetap terjaga dengan baik. Dimana ada bakat-bakat baru bertumbuhan, ada berbagai macam karya hadir, dan dimana dengan sendirinya, dapat terjadi seperti membaca sebuah buku. Ada bagian penting yang perlu digaris-bawahi. Yakni lahirnya karya-karya yang mampu memberikan pencerahan bagi kehidupan.

 Terimakasih.
Abrar Khairul Ikhirma
Dari Tanah Pesisir
Ranah Minangkabau
2014