Sabtu, 03 Desember 2011

Bukan hanya di Darat, Di Lautpun Ada

Episoda Fotografie: Ikan Laut Pariaman [5]

GAMIH. Atau ada juga yang menyebutnya gamia. Salah satu spesies ikan yang hidup di laut perairan Piaman. Namanya sudah lama saya dengar. Sedang melihat langsung ikan yang dimaksud belum pernah seumur-umur. Tetapi nama Gamih bukan saya dengar berasal dari masyarakat yang hidup di pesisiran. Justru dari mereka yang bermukim jauh ke daratan.


Saya mendengar tentang khasiat Gamih ini dari “urang paburu.” Orang-orang yang memiliki hobi berburu babi. Berburu adalah tradisi masyarakat agraris yang sudah berlangsung turun temurun di Ranah Minangkabau. Masyarakat “paburu” ini sampai saat ini sangat banyak di berbagai daerah di Sumatera barat. Kalangan ini pemelihara “anjiang paburu,” yang dilatih dapat menyergap dan menangkap babi.

Peliharaan seorang paburu bisa saja tidak seekor tapi bisa dua atau tiga ekor anjiang. Setiap anjiang memiliki nama yang khas dan kepiawaian yang berbeda dalam berburu. Setiap paburu nyaris menginginkan peliharaannya itu hebat. Tangkas dan cepat dalam mematikan babi di setiap paburuan (acara baburu]. Salah satu yang dapat merangsang daya serang anjiang, anjiang paburu diberi santapan ikan laut gamih.


Para paburu yakin bahwa khasiat ikan Gamih dapat membuat anjiangnya menjadi represif. Ganas dalam menyerang babi.
Sayang untuk mendapatkan ikan Gamih tidaklah mudah. Ia hanya sekali-kali dapat terpancing oleh nelayan atau kebetulan masuk dalam jariang (jaring) ikan.
Biasanya para pemburu yang menginginkan ikan Gamih harus memiliki hubungan dengan para nelayan. Dengan cara itu ia minta tolong dicarikan ikan Gamih. Biasanya nelayan tak akan menjanjikan hanya kalau ada nantinya akan diberitahunya.

Ikan Gamih bukanlah buruan untuk ditangkap nelayan. Karena jenis ikan ini tak ada yang memakannya. Spesiesnya tidak sama dengan ikan-ikan tangkapan untuk dikonsumsi manusia. Dikatakan tidak ada, nelayan sering melihatnya saat berada di laut. Tentu saja saat ada ikan-ikan berbadan besar tengah bermain di permukaan air. Ikan yang dimaksud ikan besar misalnya yakni situhuak (tuna), layaran, sisiak, ambu-ambu dan lumba-lumba. Apa hubungannya dengan ikan-ikan besar ???


Gamih adalah ikan yang barangkali amat menjengkelkan bagi ikan-ikan besar. Karena dia adalah ikan pengisap darah.
Jika di darat yang melakukan pengisapan darah amat dikenal dengan lintah. Sampai lintah menjadi popular dalam kehidupan sehari-hari, sebagai symbol dari bentuk penggambaran seseorang yang suka memanfaatkan atau mengambil keuntungan yang berlebihan pada orang lain. Binatang pengisap darah di darat adalah lintah, sementara di laut dikenal para nelayan adalah Gamih.


Gamih menurut cerita Niang Edy salah seorang anggota kelompok nelayan Putra Bahari, Pantai Gandoriah Pariaman, yang pulang melaut 31-11-11 lalu telah memberikan ikan Gamih yang terpancing olehnya padaku untuk didokumentasikan mengatakan, ikan Gamih itu di laut akan mengikuti setiap rombongan ikan-ikan besar.

Daya jelajah Gamih amat gesit sehingga, mudah menyesuaikan setiap gerakan dari mangsanya. Mula-mula ia ikuti mangsanya, lalu setelah berdekatan dengan cepat menempel ke tubuh mangsa. Saat itu juga alat hisap yang terdapat di bagian atas batok kepalanya langsung berfungsi.

Jika sudah menempel, sulit bagi mangsa untuk melepaskan tempelannya. Biasanya ikan yang ditempeli (dihisap) ikan Gamih akan melompat-lompat membantingkan tubuhnya di permukaan air. Jarang Gamih yang akan terlepas begitu saja dari tubuh ikan. Biasanya Gamih akan melepaskan gigitannya jika dia sudah merasa “kenyang” mengisap darah ikan mangsanya. [abrar khairul ikhirma # 03 Desember 2011]

Selasa, 29 November 2011

Tulisan blog-ku juga di blog Lain

KETIKA meng-klik penelusuran google, ada sejumlah situs yang ditampilkan yang tersangkut namaku. Tak menyangka memang ada tulisan yang diposting di blog-ku kemudian dikutip oleh http://referenskesehatan.com//



Dan sebuah tulisanku lagi yang semula hanya ditulis untuk dipublikasikan di blog-ku saja, akhirnya dikirimkan ke Harian Haluan Padang berjudul “Mak Syawal Basarunai Balon.” Rupanya tulisan dengan judul yang sama telah dimuat suratkabar itu di tanggal 26 September 2011, lantas tulisan yang sama ternyata diposting oleh blog Minang Forum. Ketahuannya setelah mengklik penelusuran google. Kalau ada waktu tak ada salahnya mencoba untuk mengklik-nya….

Sabtu, 26 November 2011

Episoda Fotografie : Ikan-ikan Laut Pariaman [4]

KENAPA tidak memotret jenis-jenis ikan yang berhasil ditangkap nelayan?
Pertanyaan demikian hadir dalam diriku, suatu hari saat berada di pantai.


Aku akhir-akhir ini memang sering berada di seputaran pantai, terutama saat para nelayan pulang melaut. Aku sering ikut membantu bersama-sama menaikkan biduak ke atas pantai, untuk jauh dari jilatan ombak. Dan tiap kali biduak sudah di pantai, aku selalu menengok hasil tangkap para nelayan yang pulang melaut.


Hitung-hitung selain hobiku memotret tujuannya membantu adanya dokumentasi, semoga bisa bermanfaat sebagai apresiasi buat kita-kita yang mencintai akan potensi laut.


Pemotretan berlokasi di pangkalan Kelompok Nelayan Putra Bahari, Pantai Gandoriah, Pariaman. Sang nelayan memanfaatkan sarana biduak-bercadik bermesin 9 pk untuk melaut, cara tangkap mereka adalah dengan cara pancing. Wilayah tangkapan di lepas pantai Pariaman (baik termasuk kabupaten maupun kotamadia). [abrar khairul ikhirma # 25-11-2011]

Selasa, 22 November 2011

Di Halaman Pulau Kasiak

AWALNYA sengaja ke Ujuang Muaro Piaman hanya untuk memotret view pagi hari yang cerah. Samar-samar nun di arah utara, arah daratannya, Gunuang Pasaman yang juga dikenal sebagai Gunuang Ophir, terlihat amat menawan hati. Begitu pula jajaran pegunungan Bukik Barisan membiru dari utara ke selatan, termasuk tinggi menjulang Gunuang Letter W menyatu sepenglihatan mata dengan Gunuang Tandikek.


Ternyata di Ujuang Muaro sekitar pkl 8.20 wib itu sedang ada kesibukan keberangkatan. Sebahagian besar mereka yang tengah bersiap-siap berangkat ke laut itu mengenalku. Mereka adalah tim yang akan memasang rumah-ikan dan rumpon. Beberapa hari yang lalu aku sudah diajak tapi aku merasa tak begitu tertarik. Sama sekali aku tidak tahu bahwa di pagi hari ini, mereka akan meneruskan pekerjaannya dan akan berangkat dari Muaro Piaman.

Karena aku sudah tahu kegiatan seperti ini tak meluangkan waktu untuk “nyantai.” Semuanya ingin cepat selesai dan cepat kembali. Dan pekerjaan semacam ini tak menarik bagiku sebagai “tontonan” dalam pengerjaannya. Karena seringkali “terkesan main-main.” Namun Madi sebagai temanku yang menjadi “ketuanya” lagi-lagi mengajakku, akhirnya aku mengalah juga. Hitung-hitung “memenuhi” ajakannya saja.


Rombongan berangkat dengan memakai speed-boat bermesin 40 pk. Bagian lantai sudah terisi penuh rumah-ikan yang dicetak memakai bahan semen-pasir dan besi. Konstruksinya dipisah-pisah. Nantinya petugas penyelaman akan menyusun rangkaian rumah-ikan buatan itu di dasar laut.

Keluar dari mulut pintu Muaro Piaman boat menuju Pulau Anso. Aku lebih memilih untuk memandang ke arah daratan. Cahaya matahari meski sudah mulai berangkat siang, masih terhitung cahaya yang lembut. Jajaran pegunungan membiru, tetumbuhan sepanjang pantai menghijau bagaikan pemagar antara laut dengan daratan. Lalu ombak yang memecah di pantai makin lama-makin seperti membentuk bagaikan garis putih di kaki daratan.

Sementara gelembung-gelembung air laut diputar oleh baling-baling di ekor boat. Memburaikan pikiran yang menumbuhkan banyak fantasi akibat rekaman pandang mata tatkala memandang lama-lama ke bagian itu. Akibat putaran baling-baling mengincah air, yang menjadi tenaga pendorong boat, merubah warna laut yang biru menjadi keputih-putihan. Semakin jauh ditinggalkan kembali menyatu warnanya pada biru semula, biru dan biru. Biru yang berkemilau tertimpa cahaya matahari.


Di Pulau Anso sudah ada kapal lagi jangkar. Kapal kayu sedang ukuran 20 ton. Di atasnya ada sejumlah orang yang masih bagian dari Tim.

Saat speed-boat merapat, dua orang tenaga penyelam langsung melompat ke speed dari kapal. Mereka bergabung dimana speed yang kunaiki. Hanya sebentar merapat di kapal itu, speed-boat langsung memutar arah menuju Pulau Kasiak, salah satu pulau-pulau kecil yang terdapat di depan pantai Pariaman.

Pulau Kasiak terletak arah utara pusat kota. Jika ditarik garis lurus arah daratan, dia setentang dengan Nareh. Nareh adalah daerah Pariaman Utara Kota Pariaman. Jika bicara Nareh dalam konteks perikanan, pastilah akan muncul segera Pasia Baru. Daerah tepi pantai itu adalah kawasan urang-kalawuik. Merupakan salah satu pangkalan nelayan dan pendaratan ikan sejak lama.


Di semasa Bupati Kabupaten Padangpariaman (alm) Anas Malik kawasan Pasia Baru termasuk pilot-projectnya dalam mengembangkan potensi perikanan dan memperbaiki taraf hidup nelayan.

Bahkan ia memandang jauh ke masa depan, dengan menggagas dan mempersiapkan generasi nelayan yang lebih memiliki ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi perikanan laut. Sampai kini masih berdiri di Pasia Baru Sekolah Perikanan Maritim (SPM).


Saya mengira semula titik penempatan agak berjarak jauh dari pulau tapi saat Tim berhenti di halaman pulau, saya hanya terkekeh dalam hati. Tujuan pembuatan rumah-ikan dan rumpon adalah upaya untuk menombok kerusakan terumbu karang di lepas pantai, yang dirusak oleh nelayan-pengebom karang.

Kegiatan pengebom sampai kini masih saja tidak teratasi oleh pemerintah. Bahkan sampai-sampai pemerintah daerah Kota Pariaman, sudah berapa lama (meminta) menempatkan anggota marinir dari Lantamal Teluk Bayur di Pariaman? belum ada “terdengar” mereka berhasil menangkap “kapal liar” dan “pengebom karang” sampai sekarang.


Hari Sabtu 19 November 2011 sangat bersahabat. Dalam beberapa hari ini cuaca siang sangat baik. Laut pun sangat tenang luarbiasa.

Laut membiru bersih hanya berupa riak dan alun-alun kecil. Ombak di pantai sendiri pun tak besar bahkan seperti dalam keletihan setelah dilanda angin selatan.

Laut bak sebuah danau yang maha luas. Bayangkan laut dapat juga berperilaku seperti danau di daratan. Langit bersih dan awan putih menghiasi sedikit saja. Memandang ke sekeliling membuat perasaan menjadi damai. Pemandangan alam yang amat lapang dan menentramkan hati.


Kegiatan Tim dapat berjalan lancar tanpa gangguan cuaca di titik penempatan di halaman Pulau Kasiak.

Jarum jam belum menunjukkan pkl 12.00 wib siang. Matahari sudah menerik. Tadinya saya kira Tim akan merapat dulu ke Pulau Kasiak sesuai ucapan Madi. Eh, ternyata tidak sebagaimana saya harapkan.

Sesuai dengan apa yang sudah saya perkirakan, memang ternyata perjalanan ini bukan perjalanan yang menarik bagiku. Sebab selesai pemasangan Tim kembali mampir ke Pulau Anso sebentar tanpa mendarat, untuk seterusnya kembali lagi ke Muaro Piaman. Dan aku tidak berminat lagi untuk turut dalam pemasangan tahap duanya, yang akan berlangsung sampai sore hari. [abrar khairul ikhirma – 19-11-2011]

Jumat, 18 November 2011

Setasiun Pariaman, Suatu Siang…


CUACA dari pagi sangat cerah. Kehidupan bergerak mengalir begitu saja. Rasa panas menguap dari permukaan tanah, pantulan dari bangunan dan kendaraan. Matahari menuju petang seakan melepaskan panasnya yang terakhir sebelum hilang tenggelam ke kaki langit.

Waktu masih ada. Masih beberapa jam lagi untuk sampai pada petang hari.
Kereta dari Padang sudah menunggu di setasiun.
Menunggu para penumpangnya.
Lokomotif yang akan menarik gerbong-gerbong penumpang sudah mengarah menuju Selatan. Tak ada tanda tergesa-gesa untuk segera berangkat.
Semuanya seperti berjalan sebagaimana adanya. Waktunya belum tiba.


Setasiun ini sudah melintasi sejumlah zaman sejak mulai didirikan di zaman Belanda. Kereta yang datang pun sudah berganti, dari era Mak Itam [loko berbahan bakar batubara] ke zaman Mak Uniang [mesin tenaga diesel]. Namun pasang surut beberapa tahap pernah menghantamnya untuk mati. Untuk tidak disinggahi oleh kereta dari Padang.

Hitung saja, ketika akses jalan-jalan selesai dibangun dan kendaraan angkutan umum kian beragam, kereta api perlahan ditinggalkan. Selain dianggap sudah tidak cepat juga sangat terbatas ruang gerak tujuannya. Namun produksi batubara masih ada di Sawahlunto dan pengolahan minyak sawit dimulai di Pasaman Barat, kereta kembali menemukan kehidupannya.


Masa serupa itu tidak berlangsung lama. Juga hanya sebentar. Setasiun Pariaman menjadi sepi lagi. Seperti ditinggalkan begitu saja. Pemerintah daerah Sumbar akhirnya masih mau mendorong kereta dapat hidup kembali, dengan tujuan pariwisata. Sesaat masih dicoba untuk bangkit. Dari Padang ada dua jurusan yang dihidupkan. Jalur menuju Lembah Anai dan Jalur Pariaman. Upaya itu akhirnya terhenti juga. Konon pihak kereta api mengalami kerugian. Tidak ada keseimbangan antara biaya operasi dengan jumlah penumpang.

Setasiun Pariaman yang berdekatan dengan pantai dan pasar terletak di pusat kota, terancam dalam masa keputus-asaan. Antara kenangan dan harapan. Semuanya bagaikan “cerita seribu satu malam,” dengan perkembangan saudaranya di jalur angkutan darat yang melaju di jalan-jalan ke berbagai jurusan.


Kereta Api belum mati!
Setasiun Pariaman tidak akan sepi.
Masyarakat Pencinta Kereta Api mengelorakan agar dihidupkan lagi jalur kereta api di Sumatera Barat. Konteks yang dihadirkan ialah demi pariwisata.
Ternyata gayung bersambut. Pemerintah daerah memang sedang gatal untuk “menjual-jual” pariwisata.
Entah benar di hatinya entah tidak. Yang jelas Jalur Padang ke Pariaman dihidupkan lagi setiap hari.

Sedangkan di Sawahlunto Museum Kereta Api di Kampuang Teleng dan Muaro Kalaban diperancak. Bahkan berkat dorongan banyak pihak, Mak Itam, lokomotif berbahan bakar batubara yang dulunya berjasa menghubungkan setasiun ke setasiun di Sumbar, akhirnya dikembalikan ke Ranah Minang setelah lama “merantau” ke Pulau Jawa. Bahkan kini menjadi symbol dan asset Rang Minang dalam hal perkereta-apian.


Setasiun Pariaman saat siang menuju petang, banyak sketsa yang dapat ditangkap jika hadir saat-saat seperti ini. Tentu saja diluar moment lebaran dan pelaksanaan Hoyak Tabuik. Ada sunyi dan lengang yang bertandang. Saat kereta baru datang dari Padang, penumpangnya berhamburan turun. Hanya dalam sekejap lalu kosong.


Diantara itu ada yang mengais rezeki dengan berjualan. Ya ibu-ibu dan anak-anak menjajakan makanan dan minuman. Terseok di sekitar setasiun. Lalu akan mudah ditemui di berbagai pojok para ABG berpasangan berjalan atau sedang berteduh saling bercanda atau pun sebaliknya dengan wajah-wajah yang tegang, mengekspresikan sebuah pertengkaran.


Ketika petang segera hendak menuju malam, selepas sholat Ashar, dari berbagai sisi sejumlah penumpang segera memasuki gerbong demi gerbong.

Peluit panjang dan auman loko mengiringi roda-roda besi bergerak menuju Selatan, menyinggahi Setasiun Kuraitaji, Pauh Kamba dan Lubuak Aluang, Tabiang dan berhenti di Setasiun Pulau Aia, Simpang Haru Padang. Untuk esoknya kembali lagi ke Pariaman. [abrar-khairul-ikhirma-23-10-2011]

Kamis, 17 November 2011

Tabuah “Terbang” Surau Ampalu

BAGI sebahagian besar kita hari ini, banyak yang tidak akan percaya dan lebih menganggap hanya mitos yang membodohi.
Namun riwayat yang dilalui Tabuah di Surau Gadang Ampalu, VII Koto Sungai Sariak, telah melampaui sejumlah generasi makanya sampai ke generasi hari ini.
Masih terawat dengan baik bahkan kini sudah ditempatkan di bawah bangunan khusus permanen.


Kisah Tabuah sepanjang 6 meter di Surau Ampalu diceritakan turun temurun. Salah seorangnya adalah Anduang Nurjani (99 tahun), merupakan salah seorang pewaris dari kaum yang mendirikan Surau Ampalu banyak menceritakan tentang keberadaan surau.


Tabuah itu kayunya diambil di daerah pegunungan Tandikek. Yang membuatnya berasal dari Lubuak Ipuah.
Dua daerah yang terbilang berjarak jauh. Ketika Surau Ampalu selesai dibangun, Tabuah datang melengkapinya.
Tabuah itu dibawa dari Gunuang Tandikek ke Surau Ampalu oleh pembuatnya sendiri dengan terbang memakai kekuatan supranatural.


Ketika surau porak-poranda dihantam banjir bandang (sungai) Batang Ampalu, Tabuah ini tidak hanyut tapi tetap berada di sekitar surau.
Tabuah ini salah satu peninggalan dari generasi pertama Surau Ampalu yang kini diletakkan tepat di bekas surau yang hancur dulunya.
Di bagian ke mudiak (timur) dari surau yang didirikan kembali setelah banjir. Usia surau yang sekarang sudah lebih dari 100 tahun. {abrar-khairul-ikhirma # 07/11-11]

Rabu, 16 November 2011

Tulisan Blog dimuat Haluan

TULISAN blog ku dimuat Harian Haluan Padang (14/11/11). Semula hanya untuk mengisi blog ku ini saja, Yang kutulis sepulang dari mengunjungi Ajo Andre (penyanyi kocak Minang) ke rumahnya di Tandikek (19/10/11) bersama dengan Bustanul Arifin, wartawan Posmetro Padang di Pariaman, diposting ke blog baru pada hari Rabu 26 Oktober 2011.


Kemudian timbul pertanyaan bagiku, kenapa tak membaginya buat pembaca di suratkabar? Mana tahu ada yang suka. Makanya aku kirimkan ke redaksinya. Alhamdulillah tulisan itu telah dimuat walau agak terlambat

Senin, 14 November 2011

Episoda Fotografie 3 : Ikan Laut Pariaman

KENAPA tidak memotret jenis-jenis ikan yang berhasil ditangkap nelayan?
Pertanyaan demikian hadir dalam diriku, suatu hari saat berada di pantai.


Hitung-hitung selain hobiku memotret dan mendokumentasi, juga bisa bermanfaat sebagai apresiasi buat kita yang mencintai akan potensi laut.


Pemotretan dilakukan dari hasil tangkap para anggota Kelompok Nelayan Putra Bahari, Pantai Gandoriah, Pariaman. Nama-nama ikan dibantu oleh Niang Edy, Jomiang dan teman-teman nelayan.


Nelayan tersebut memanfaatkan sarana biduak-bercadik bermesin 9 pk untuk melaut, cara tangkap mereka dengan cara pancing. Wilayah tangkapan di lepas pantai Pariaman (baik termasuk kabupaten maupun kotamadia). [abrar khairul ikhirma # 09-11-2011]


Minggu, 13 November 2011

Sinangih Lauak Rang Tiku

JIKA ada yang menyebutkan nama Sinangih, otomatis penggemar lagu-lagu Minang diingatkan dengan suara khas penyanyi Minang legendaries Ely Kasim, Tiar Ramon atau penyanyi lagu Kim, Anas Ben. Apa pasal??? Dalam lagu yang dinyanyikan penyanyi itu di salah satu lagunya menyebut nama ikan Sinangih.


Sinangih adalah salah satu jenis ikan yang hidup di perairan Pariaman dan merupakan salah satu sasaran tangkap para nelayan di pesisiran pantai barat pulau Sumatera ini.

Nama ikan ini memang popular sehingga namanya diambil sebagai simbolik di dalam lagu Pop Minang atau di dalam lagu-lagu pertunjukan kesenian tradisionil Pariaman : indang, rabab ataupun saluang-dendang, sebagai sampiran untuk menyampaikan isi yang akan dituju.



Jika menyebut nama Sinangih, otomatis orang yang menyebut atau pun mendengar akan memberikan “embel-embel” di belakang nama ikan itu dengan “lauak rang Tiku.”

Padahal Sinangih bukan hanya terdapat di perairan Tiku dan bukan pula Sinangih milik orang Tiku.

Sinangih lauak Rang Tiku
Diatua jo tali pandan
Manangih tagak di pintu
Malapeh urang pai bajalan


[Sinangih ikannya orang Tiku
Dijerat dengan tali pandan
Menangis berdiri di pintu
Melepas orang yang berangkat pergi]

Begitulah. Sinangih telah menjadi popular di tengah masyarakat Minang, terutama bagi mereka yang tinggal di pesisiran karena hanya sepotong lagu. Lirik lagu yang berupa pantun itu, mengambil sampiran lauak Sinangih untuk menjelaskan dan menggambarkan betapa mengharukannya sekaligus menyedihkan saat-saat melepas kepergian seseorang. [abrar khairul ikhirma # 13-11-2011]

Sabtu, 12 November 2011

Surau Gadang Ampalu

SUDAH dua pekan ini cuaca kurang bersahabat. Hujan sering turun sejak pagi, atau dari siang sampai malam. Langit sering bermuram durja. Selalu mendung dan udara lembab sepanjang hari. Tapi hari ini Senin 7 November 2011 matahari bersinar terang dan langit sangat bersih.


Pukul 9.10 Wib pagi aku sudah bergerak menuju Nagari Ampalu, VII Koto Sungai Sariak. Kali ini memang sengaja betul untuk menuju satu titik tujuan yakni ingin melihat Surau Gadang Ampalu. Sebelumnya aku sudah berkunjung ke Surau Mudiak Padang, surau tuo di Tandikek, Padangpariaman.

Surau Mudiak Padang dan Surau Gadang Ampalu, walau terpisah jarak lumayan jauh, memiliki kaitan erat di dalam menjalankan tradisi pengembangan ajaran Islam. Peranan surau ini sangat besar dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Kedua surau tersebut merupakan dua diantara banyak surau-surau tua yang sudah berumur lebih 100 tahun dan mempunyai sejarah panjang yang dimiliki Ranah Minangkabau.

Jika tidak bersengaja, agak sulit memang untuk tahu dimana lokasi tepatnya Surau Ampalu. Karena bangunannya tidak terletak di pinggir jalan kabupaten yang menghubungkan Kota Pariaman dengan daerah Tandikek. Dalam masa-masa rekonstruksi daerah bencana Gempa 30 September 2009, aku sendiri sudah beberapakali melewati daerah ini tapi tidak mengetahui persisnya.


Daerah Ampalu dan Tandikek berposisi ketinggian dan merupakan kawasan daerah pegunungan. Dari pinggir jalan kabupaten, nyaris tidak ada tanda-tanda menuju Surau Ampalu, meski sudah ada dibangun jalan selebar 3 meter dan dicor semen yang menghubungkan jalan raya dengan surau. Diperkirakan pengecoran sudah berusia lebih kurang dua tahun ini. Karena bukan jalan penghubung kawasan pemukiman, membuat jalan ini tidak begitu terawat dan sepi lalulintas.

Tidak mengherankan saat menuruni jalan cor semen ini, ditemui di beberapa titik sudah pecah, daun-daun yang terserak bahkan sejumlah ranting pohon yang patah tergeletak di jalan begitu saja, semakin mengesankan jalan yang jarang terpakai. Jarak dari jalan raya ke surau lebih kurang 1 km. Jalan menurun dari jalan raya untuk duaratus meternya, diapit oleh kiri kanan yang bertebing.

Selepas tebing jalan itu pandangan mata segera menjadi bebas. Betapa tidak. Kiri kanan adalah bentangan persawahan dengan tanaman padi menghijau subur. Sementara nun di ujung jalan terlihat kini sedang dibangun jembatan yang akan melintasi Batang Ampalu. Nantinya akan membuka hubungan Ampalu dengan Bungin, Sikilia, Badinah dan sekitarnya, yang berada di balik sungai.


Karena pertamakali mendatangi tempat ini, aku berhenti dulu di ujung penurunan jalan, dimana terdapat sebuah bangunan mushala yang sepertinya tak terurus di sebelah kiri dan di kanannya sebuah bangunan rumah tak berpenghuni dibiarkan begitu saja. Melihat ke sekeliling, tak seorang manusia pun yang kelihatan. Tak tampak dimana posisi surau yang mau didatangi.

Entah pada siapa akan bertanya. Hampir saja balik kanan, sekiranya kalau tidak melihat ada jalan kecil di tepi persawahan sebelah kiri, sekitar 200 m sebelum jembatan yang sedang proses pembangunan.

Aku memutuskan membelok ke kiri untuk menelusuri jalan kecil itu. Jalan yang sudah diaspal jagung. Di kiri sawah dan di kanan kebun pepaya. Baru kira-kira seratus meter jalan… aku segera melihat dalam kerimbunan pohon kelapa dan tanaman ada bangunan surau. Sekitar halaman surau terdapat bangunan rumah yang belum selesai, lalu sebuah lapau (warung) kecil. Dan sejajar dengan lapau itu memanjang bangunan kayu beratapkan seng.


Surau Gadang Ampalu juga terkena dampak Gempa 30 September 2009. Di sana sini mengalami keretakan sejumlah bagian bangunan. Ada dua orang tukang bangunan tengah bekerja. Mengesankan perbaikan surau ini dilakukan tidak sporadis seperti ditemui surau-surau di berbagai daerah di Pariaman. Ada apa? Tidakkah mengalir bantuan gempa ke surau ini? Sepintas dari cerita Anduang Nurjani (99 tahun) yang bermukim bersama anak dan menantunya di lapau depan surau, ada banyak lembaga yang ingin membantu membangunkan tapi mereka menolak. Sebabnya yang akan membantu bukan memperbaiki untuk mengembalikan pada bentuk asli tapi malah membangun dengan arsitektur baru.

Aku sependapat dan mendapat jawaban dengan yang diutarakan Anduang Nurjani. Ini membuktikan kini banyak berobahnya arsitektur surau di Pariaman, menunjukkan bahwa rekonstruksi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga bantuan bukannya menjaga dan mengembalikan (renovasi) bangunan-bangunan tapi hanya “merusak” asset sejarah dan budaya daerah ini.

Kalau dialasankan permintaan masyarakat, seharusnya masyarakat disadarkan betapa pentingnya menjaga nilai-nilai tersebut, dimana perlu pemerintah dan lembaga bantuan membatalkan bantuannya jika masyarakat ingin merobahnya. Menurut pengamatanku bukan atas permintaan masyarakat, tetapi "pemaksaan" bisa menyelesaikan dengan simple dan dapat "menekan" biaya belaka.


Surau Ampalu memang sudah banyak di sana-sini tidak mengikuti bentuk asli interiornya [diharapkan ada yang mau mengembalikan atau melengkapi, membuang kesan-kesan modern].
Namun arsitekturnya masih asli. Menunjukkan ciri khas surau-surau yang memiliki kaitan erat dengan Ula’an (Ulakan). Dimana bagian dari tradisi pengembangan ajaran Islam oleh Syech Burhanuddin yang berpusat di Ula’an tersebut. Disebut Surau Ampalu sebagai Surau Gadang, karena surau ini pusat dari “20 indu.” 20 suku-suku yang bermukim di Ampalu dan sekitarnya.

Keterangan Anduang Nurjani salah seorang keturunan dari Surau Ampalu, surau yang masih ada bangunannya sekarang ini adalah bangunan kedua. Bangunan pertamanya berdiri di posisi dimana sekarang diletakkan tabuah pusako (beduk) arah mudiak (timur) surau. Surau pertama itu ketika dia masih kecil, hancur diterjang banjir Batang Ampalu. Surau memang sangat dekat di pinggir Batang Ampalu, dimana ke hilir sungai aliran air itu masuk ke Ampangan (bendungan) Aia Santok. Selanjutnya sampai ke muara Pauah disebut masyarakat Batang Aia Santok.


Makanya ingin sekali datang ke Surau Ampalu setelah mengunjungi Surau Mudiak Padang di Tandikek. Sebab kedua surau “cagar budaya” ini memiliki meriam. Dimana bertahun-tahun suara meriam sudah dijadikan sebagai tanda masuknya waktu Ramadhan dan berakhir Ramadhan. Sejak lama sudah dikenal adagium “ badantang mariam Ampalu, manyahuik Mudiak Padang.” Artinya, kalau sudah berbunyi letusan meriam dari Surau Ampalu, segera disusul dengan letusan meriam Surau Mudiak Padang. Keterkaitan ini memperjelas keberadaan Surau Gadang Ampalu dengan Surau Mudiak Padang yakni “Pucuak di Tandikek, pangka di Ampalu.” [abrar khairul ikhirma # 07-11-2011]

Rabu, 09 November 2011

Rhapsody in Blue Beach



Episoda Fotografie 2 Ikan Laut Pariaman

KENAPA tidak memotret jenis-jenis ikan yang berhasil ditangkap nelayan?
Bukankah suatu dokumentasi yang cukup menarik? Pertanyaan demikian hadir dalam diriku, suatu hari saat berada di pantai.


Hitung-hitung selain hobiku memotret dan mendokumentasi, juga bisa bermanfaat sebagai apresiasi buat kita yang mencintai akan potensi laut. Pemotretan dilakukan dari hasil tangkap para anggota Kelompok Nelayan Putra Bahari, Pantai Gandoriah, Pariaman.


Nelayan tersebut memanfaatkan sarana biduak-bercadik bermesin 9 pk untuk melaut, cara tangkap mereka dengan cara pancing. Wilayah tangkapan di lepas pantai Pariaman (baik termasuk kabupaten maupun kotamadia). [abrar khairul ikhirma # 09-11-2011]

Senin, 07 November 2011

Makan Lamak ke Sungai Rotan


SEBUAH bangunan induk beratapkan daun rumbio (daun pohon sagu), tidak lebih seukuran 6 x 6, disangga balok-balok sekenanya saja, sebagaimana biasanya lapau (kedai) minuman di kampung-kampung pada umumnya di Sumatera Barat. Pondok ini dijadikan pondok utama. Ada dua meja makan panjang dengan posisi letter L. Sebuah rak pajang (steleng setengah mtr x 1,5 mtr) berkaca agak memburam, tempat meletakkan samba (lauk) dan disampingnya ketiding nasi dan tumpukan piring makan.


Di bagian belakang pondok utama ini membelintang sebuah bangunan pondok memanjang 3 x 6 meter dengan satu meja panjang, dengan tempat duduk berhadapan. Bisa ditempati oleh sepuluh atau limabelas orang.

Sementara di sebelah arah lawuik (laut) di bawah sebatang pohon ambacang (sejenis mangga) terdapat pondok kecil lesehan yang normalnya bisa diisi empat orang. Satu lagi antara sudut pondok utama, pondok yang membelintang dan pondok di bawah pohon dengan jarak berdekatan berdiri pula 2 pondok kecil lainnya.


Pondok makan ini, satu di antara banyak pondok-pondok makan yang kini banyak bermunculan di daerah Pariaman (baik kabupaten maupun kota). Sajiannya sebagaimana kehadiran mayoritas pondok makan, tidak terlalu istimewa.

Tampaknya belum ada yang berani untuk membuat dan mempertahankan sajian yang spesifik. Masih cenderung bermaksud untuk meraih konsumen secara umum meskipun mereka menyadari bahwa hal yang spesifik pasti dicari. Apalagi dalam situasi “persaingan usaha” bermunculannya banyak rumah atau pondok makan saat ini.

Kelebihan tempat ini yakni pada bentuk dan bahan bangunan kayu beratapkan rumbio yang “seadanya.” Menjawab kejenuhan akan tumbuh suburnya bangunan-bangunan beton dimana-mana. Kemudian lokasi yang benar-benar strategis untuk mereka pemuja suasana. Jauh dari hiruk pikuk, berjarak dari pemukiman masyarakat dan view persawahan sebagai andalan utama.


Posisi pondok makan ini sangat menguntungkan karena berada di tepi lereng, dimana di bagian bawahnya terbentang view dari arah mudiak (timur) sampai ke hilia (barat/lawuik) areal persawahan semata. Luas dan memanjang.

Karena luas dan panjangnya areal sawah ini, orang Pasa Piaman (masyarakat yang bermukim di pusat kota) menyebutkan dalam pameonya sehari-hari “sawah jati nan kadiatok.” (Sawah Jati yang akan dipasang atap?).

Arti pameo itu: suatu pekerjaan yang tidak mungkin dan sia-sia dilakukan semacam membuatkan atap untuk “sawah jati.” Karena begitu luas dan panjangnya areal persawahan di sini.


Tidak kurang 3 km mulai dari daerah Alai-Galombang sampai ke Aia Santok, begitu panjangnya sawah dengan kualitas subur dan merupakan salah satu areal lumbung beras Pariaman sejak bertahun-tahun silam.

Dengan tidak “konsistennya” pemerintah dalam menetapkan pembangunan kota, dimungkinkan ke depan areal subur ini akan berubah menjadi ladang beton. Apalagi semenjak jalan by-pass membelintang areal persawahan, pembangunan Terminal Bus Jati, kini sudah mulai terjadi alih fungsi lahan besar-besaran.

Nasib areal sawah di sini sekarang mulai “terancam.” Dan hal itu jelas juga bakal mengancam ketersediaan beras kita ke depan, sekarang saja seringkali terjadi kondisi kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pangan di daerah.


Dari pondok makan ini, yang sekarang masih tersuruk letaknya, lebih kurang 3 km dari pusat kota, masih terbentang petak-petak sawah, dengan padi menghijau dan menguning dan petak-petak kolam ikan tawar.

Nun di kejauhan, arah utara pondok makan, terlihat jelas pemukiman masyarakat yakni Jati, Sungai Sirah, Sungai Pasak dan Aia Santok yang dipisahkan oleh areal persawahan.

Otomatis view dengan areal persawahan ini, adalah "jualan utama" pondok makan ini. Membuat pandangan kita tidak tertumbuk pandang dan udara daerah terbuka dirasakan segar diantara pohon-pohon kelapa di sekitarnya. Suatu alam yang tenang dan damai. Sesuatu yang sudah semakin mahal dan tidak mudah kita mendapatkannya kini di setiap daerah kita tapi masih bisa didapatkan di lereng Sungai Rotan ini.

Kala makan siang, pondok makan ini menjadi tempat makan para petani sekitar, selain pengunjung yang datang dengan kendaraan dari luar. Bagi yang menyukai suasana alam, suasana yang terbaik jika berada di sini adalah saat waktu siang sampai sore hari, kala cuaca sedang baik. [abrar khairul ikhirma # 31-10-2011]