Selasa, 31 Januari 2017

ANTOLOGI PUISI “CAKAR NANAR,” MENEGAKKAN BAHASA MELAYU



Memberi kesadaran untuk kehidupan berbangsa itu macam-macam caranya. Sesuai dengan jalur yang dipilih. Kesadaran adalah cara terbaik dan terhormat daripada sikap “perlawanan” yang mayoritas kata tersebut mengandung pemahaman politis. Cara memberi kesadaran bagi mereka yang mengabdikan dalam kehidupan kesenian ialah dengan menciptakan karya-karya kreatif yang dapat menginspirasi banyak orang. Agaknya, penyair dari para orang-orang sastra yang tergabung di Persatuan Sasterawan Numera-Malaysia, memilih “bersuara” lewat sebuah buku tebal, menghimpun suara mereka “penyadaran” terhadap bahasa Melayu.




Mengutip Kata Pengenalan yang ditulis Dato’ Dr Awang Sariyan di awal buku antologi Cakar Nanar, berjudul “Peranan Bahasa Dalam Pembinaan Insan dan Pembangunan Negara,” menunjukkan betapa Bahasa Melayu sudah menempuh perjalanan sejarahnya yang panjang. “Peranan bahasa Melayu dalam pengasasan dan pengembangan tamadun bangsa Melayu telah berlangsung sejak awal pertumbuhan tamadun bangsa itu sendiri. Gelombang pertama bangkitnya tamadun Melayu ialah dalam zaman yang dikenal sebagai zaman Melayu kuno, iatu zaman munculnya kerajaan-kerajaan Melayu tua seperti Campa, Langkasuka, dan Sriwijaya. Kerajaan Melayu lama yang dianggap oleh para sejarawan sebagai mercu tanda kebangkitan tamadun Melayu awal ialah kerajaan Sriwijaya yang bertahan dari abad ke 7 hingga abad ke 13 Masehi.” (hal. Xxxii)

Antologi Puisi Cakar Nanar yang diselenggarakan Sasterawan Negara Malaysia, Ahmad Khamal Abdullah ini, merupakan himpunan ekspresi para penyair terhadap bahasa Melayu, yang “diprihatinkan” dengan tumbuhnya “penggunaan” bahasa asing” dewasa ini. Keprihatinan itu mereka tunjukkan lewat karya puisi, mendorong kesadaran bersama bahwa bahasa Bonda adalah identitas bangsa. Mendorong kesadaran agar menegakkan bahasa Bonda di negeri sendiri.

Puisi-puisi yang terdapat dalam buku Antologi Puisi Cakar Nanar, menunjukkan keberagaman cara pengungkapan dan latarbelakang penyair. Mulai dari penyair pemula sampai kepada penyair yang sudah eksis. Masing-masing karya mereka satu suara demi Bahasa Melayu.

Buku Antologi Puisi Cakar Nanar, aku dapatkan dari Dato Ahmad Khamal Abdullah yang diserahkan Lily Siti Multatuliana saat pulang dari Malaysia ke Indonesia. Terimakasih.

(abrar khairul ikhirma / abrarkhairul2014@gmail.com)




CAKAR NANAR : Buku Antologi Puisi
Penyelenggara: Ahmad Khamal Abdullah
Kata Pengenalan: Dato’ Dr Awang Sariyan
Pengantar: Dato’ Dr Ahmad Khamal Abdullah -- Kemala
Penerbit: Persatuan Sasterawan Numera Malaysia
321, Jalan Sepakat 8, Taman United, Klang Lama
Kuala Lumpur Malaysia
Cetakan Pertama: 2016
Tebal: 500 halaman

Senarai nama-nama Penyair Malaysia yang puisi-puisinya menjadi isian buku:

AHMAD KHAMAL ABDULLAH - RAMLEE WAHAB - CHAI LOO GUAN - BAHA ZAIN - SITI ROBIAH BINTI ISMAIL - MAMU MK HASNY - MASITA HAJI DAHLAN @ UMMI MARSHEYTA - RAHAYU IBRAHIM - AWANG SARIYAN - MUHAMMAD HAJI SALLEH - KAMAL SUKRI ABDULLAH SANI - YAHYA ISA - GHAZALI DIN - IRWAN ABUBAKAR - MUHAMMAD SALLEH YAAPAR - SADDIQ RAFALLI - EFANDI YUSOP - LIN HASLINAZ - SHIRLEY IDRIS - CIKGU NIK MIE - S. MAHADZIR - ALADIN MOHAMAD - ABHAM T. R. - IJAMALA MN - MAHAD A. BAKAR - JAMILAH HARUN - SITI ZAITON AHMAD - HN HARIMA – NAZIM MOHD SUBARI – SABARIAH BAHARI – ZULFAZLAN JUMRAH – DARMA MOHAMAD – SAZALEE SULAIMAN – K. MANJA – SHASHA SAKERAH – HANBAL ZIN – GAGAK DI RIMBA – MD RASHID DAUD – ZABIDIN HAJI ISMAIL – REJAB F.I. – AIRMAS SZ – RIDZUAN KAMIS – ZURAIDAH  JAAFAR @ DAHLIA J – MOKHTAR SAH MALIK – MUSAFIR DAKWAH – MAHARATU RAFIDAH MOHAMAD – ABDULLAH AWANG – ARBAK OTHMAN – RIMA RE – ABDULLAH ABDUL RAHMAN – AHMAD SARJU – YASSINSALLEH – MURAD SALLEH – PAUZI MOHD ISA – ROZELINE VITALIS – ZARIR ALI – BAHARUDDIN SAIRI – GABRIEL KIM – DEBU ALAM – MASLI HUSMA – ABDUL HADI YUSOFF – ANWAR RIDHWAN – MOKHTAR RAHMAN – FAZLEENA HISHAMUDDIN – ISMAIL RESTU – MD SHARE ABD GHANI – AZMI YUSOFF – AIZAMIN ABD AZIZ – HANOM TAIB – RUHAYAH – NORDIN SAAD – CHE GAYAH CHE HAK – NORGADIS LABUAN – MAHAYA MOHD YASSIN – RIA ASMIRA – HILMI RINDU – ZAHEERA IBRAHIM – ABDUL HALIM – AHMAD SAFARMAN DOLLAH – RAJA RAJESWARI SEETHA RAMAN – SAHRUNIZAM ABDUL TALIB – EHSAN JAMILY – SARA SALWANA – OTHMAN MAHALI – LAWRENCE ATOT – FIRDHAUS HASSAN – SITI KALSOM MD TAIB – SHAPIAI MUHAMMAD RAMLY – SUILI BAKAR – SOLIHIN OSMAN – RAHMAN SHAARI – NILAMSURI – NOORJANAH MA – NIMOIZ TY – ROSHIZA HASHIM – ALIAS DERAIS – AS SYRAMY – SYARIF PUTRA – AHMAD ALMAN RAZALI -  SANI LA BISE – LARA MN – NORAZIMAH ABU BAKAR – J. A. ANILAZ – HASIAH YUSOFF – AYUDEZ  FIA – NOR SALMI  ABDUL RAHIM – ABDUL HAMID HALIM – ROSMIATY SHAARI  - ZURINAH HASSAN – ROSLAN MADUN – MALIM GHOZALI PK – ZAITON AJAMAIN – AMI MASRA – IFA CM – RAZALI MOHAMAD – SITI DIAH SHAHARUDDIN – KELOMPEN – SANIAH MASRI – FAIRUL PUJANGGA – RAJA AHMAD AMINULLAH – JARIAH HAJI TAHA – JUILIS MOKUJAL – MOHD SALEEH RAHAMAD – SABDA S – UMAR UZAIR – SABARUDDIN SENIN – HASYUDA ABADI – FAZILAH HUSIN.

Senin, 30 Januari 2017

PEMBANGKIT LISTRIK , PABRIK SENJATA, MASJID SAWAHLUNTO



Selama berada di Kota Sawahlunto, terpandang bangunan Masjid Agung Nurul Islam ini, pastilah terasa menyejukkan hati. Terutama para penggemar bangunan-bangunan lama, menyaksikan bangunan lama terpelihara dengan baik dan masih dapat difungsikan, merupakan suatu kebahagiaan tersendiri.




Masjid Agung Nurul Islam ini dibangun ketika Indonesia sudah merdeka. Di dalam tahun 1952. Arsitektur bangunannya spesifik dan terasa nyaman pada zaman ini, ketika dimana-mana berlomba membangun masjid dengan arsitektur kemegahan. Sudah jauh meninggalkan warna budaya local. Mengandalkan selera modern dan timur tengah.

Kota Sawahlunto merupakan kota pertambangan batu bara. Lebih dari seratus tahun, hasil pertambangan batu bara sudah dibawa keluar Indonesia, sejak ditemukan oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Kota Sawahlunto berada dalam dasar lembah, dikenal berbentuk “kuali” atau “kancah besar” karena dikepung oleh perbukitan.




Di Kota Sawahlunto sampai saat ini masih terdapat sejumlah bangunan lama, sebagai penanda perjalanan sejarah masa lalu. Bangunan-bangunan lama tersebut, dicetuskan untuk dipelihara oleh mendiang Walikota Sawahlunto, Amran Nur semasa menjabat. Menjadikan peninggalan lama sebagai asset daerah, dengan merenovasi, merawat dan mengembangkannya untuk sejarah dan kepariwisataan Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat.

Salah satunya kekayaan cagar budaya yang dimiliki Kota Sawahlunto ialah Masjid Agung Nurul Islam ini. Dibangun tahun 1952 di atas tapak bangunan pembangkit listrik, disaat kejayaan pertambangan batu bara zaman Belanda tengah berlangsung di Kota Sawahlunto.




Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Mudik Air, merupakan sentral listrik terbesar di Hindia Belanda yang dibangun akhir abad 19 di Sawahlunto. Kebutuhan listrik berbagai peralatan dan mesin pertambangan, penerangan kota,, gedung, kantor dan rumah dipasok dari sini.

Pembangkit listrik ini memiliki ciri khas berupa menara. Cerobong menara beton setinggi 68,90 meter (sebelah selatan) dibangun NV Beton Maatschaapij tahun 1911 menggantikan cerobong menara besi setinggi 40 meter sebelah utara.




Tahun 1924 pembangkit listrik ini dikembangkan dengan dibangunnya sentral pembangkit di Salak untuk menopang kebutuhan listrik yang semakin meningkat.

Masa Agresi Belanda, sentral pembangkit listrik di Mudik Air, dijadikan sebagai pusat perakitan senjata oleh pejuang di Sawahlunto. Di alam kemerdekaan, bangunannya pernah juga dijadikan sebagai hunian pekerja tambang. Tahun 1952 kemudian dijadikan sebagai bangunan Masjid Agung Nurul Islam, untuk sarana ibadah masyarakat Sawahlunto. (*)

Minggu, 29 Januari 2017

WANITA ASING ITU AKHIRNYA “MARESEK” TABUIK PASA



Tabuik, merupakan tradisi Orang Piaman, masyarakat pesisiran di pantai barat Pulau Sumatera. Acara Tabuik diselenggarakan mengambil momentum bulan Muharam setiap tahun. Perayaan seni tradisi, kegembiraan dan silaturahmi. Dari berbagai tempat orang berdatangan ke Kota Pariaman pada hari puncak Tabuik. Pada momentum itu pulalah Pariaman ramai. Sesudah acara Tabuik usai, daerah ini kembali dengan aktifitas dan suasananya. Tenang. Yang senantiasa digambarkan dengan “lengang.”




Menurut tradisinya tepat pada 10 Muharam Tabuik dipertontonkan dengan atraksi dihoyak dengan iringan music tradisi gandang tasa, Kemudian diakhiri pada saat siang bersambut malam, Tabuik dibuang ke laut Samudera Hindia. 

Pada decade terakhir, Tabuik menyusut menjadi pesta atau alek dua nagari saja. Kenagarian Pasa dan Kenagarian V Koto Aia Pampan. Kini dua nagari ini masuk dalam perubahan wilayah administrative menjadi kelurahan-kelurahan di Pariaman Tengah, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat.

Menjelang hari puncak penyelenggaraan acara, dilaksanakan pembuatan Tabuik di kedua nagari. Tempat pembuatan Tabuik ini disebut juga dengan Pondok Tabuik yang berdampingan dengan Daraga Tabuik, pada awalnya kedua lokasi ini bertempat di sekitar Rumah Tabuik yang menjadi rumah Pewaris Tabuik di kedua nagari masing-masing.

Selama pembuatan Tabuik di Pondok Tabuik, semacam yang terjadi pada setiap pembuatan Tabuik Pasa, dari tahun ke tahun, ada saja yang tanpa diminta ikut berpartisipasi membantu pekerjaan “si tukang tabuik” (pekerja yang ditunjuk membuat Tabuik). Mereka yang berdatangan silih berganti ---baik siang, maupun malam--- adalah masyarakat sekitar atau masyarakat luar dari kedua nagari. Selain sekadar melihat proses pengerjaan, diantaranya ada yang ikut membantu dengan sukarela. Itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi yang bersukarela.

Keterlibatan masyarakat pengunjung turut serta membantu pekerja pembuat Tabuik, sudah tidak asing selama pembuatan Tabuik Pasa dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan peranan keikutsertaan dari semangat gotong-royong yang spontanitas.




Dengan terjadinya regenerasi pembuat Tabuik Pasa, dalam beberapa tahun ini dipercayakan pembuatannya kepada Azwar dan kawan-kawan Fandos Grupnya, Azwar tidak pernah membatasi keterlibatan masyarakat dan pengunjung yang ingin “ikut berkerja” sebagai bentuk partisipasi spontan itu. Bahkan dari awal sampai akhir, masyarakat dan pengunjung tak pernah dibatasi kebebasannya di lokasi pembuatan Tabuik.

Azwar dan kawan-kawan pekerjanya, tidak pernah merasa terganggu dan takut rusak dengan Tabuik yang dikerjakannya. “Bagaimana kami akan melarangnya, kami hanya pembuat, sedang pemiliknya adalah masyarakat. Tidak mungkin masyarakat dan pengunjung datang ke sini untuk merusak milik mereka sendiri. Mereka datang untuk melihat dan timbul keinginannya untuk menyentuhnya bahkan, ada turut membantu membuat hiasan dan memasangkannya,” ujar Azwar Sang Pembuat Tabuik Pasa.

Semacam yang terjadi pada pembuatan Tabuik Pasa tahun 2016, ada seorang “asing” yang sengaja datang mengikuti prosesi. Seorang wanita. Konon untuk penelitiannya. Wanita ini mengikuti dari awal prosesi sampai prosesi berakhir. Hampir selama mengikuti prosesi, wanita ini sebahagian besar menghabiskan waktunya untuk mendatangi pembuatan Tabuik Pasa yang dikerjakan Azwar dan kawan-kawan. Dia betah memperhatikan kegiatan pekerjaan dan hasil-hasil kerja dari hari ke hari. Mungkin karena keterbatasan bahasa, sehingga dialog antar wanita dan para pekerja tidak berlangsung mulus. Lebih kepada bahasa isyarat.




Pada hari terakhir pengerjaan Tabuik, dimana berlangsung pekerjaan finishing, wanita asing ini dari pagi sudah terlihat di pondok pembuatan Tabuik Pasa di Karan Aua. Ia dengan tekun memperhatikan semua aktifitas dan terlihat sangat menikmati suasana kebersamaan. Sampai akhirnya, sang wanita dari Iran ini tak dapat menahan keinginannya. Selama ini hanya berulangkali melihat dan menyentuh, akhirnya ia memberanikan diri turut serta memasangkan hiasan. 

Ekspresinya luarbiasa memancarkan kebahagiaan. Jauh-jauh datang dari negerinya, ia diizinkan untuk turut serta ikut bekerja dalam proses Tabuik Pasa. Wanita itu puas “maresek” ---menyentuh/memegang/memasang---  hiasan Tabuik (*)

abrar khairul ikhirma
abrarkhairul@gmail.com   

Sabtu, 28 Januari 2017

MENJELANG GUNUNG JERAI



Mendapatkan hasil foto ketika berada dalam kendaraan, disaat melakukan suatu perjalanan, ditentukan juga posisi duduk dalam mobil dan kecepatan sang sopir menjalankan mobil. Barulah kemudian ditentukan naluri spontan dalam melihat objek, dengan cepat “mengeksekusinya.” Karena mobil terus bergerak meninggalkan objek.


BERSIH DAN LAPANG


Selama perjalanan ini, aku agak sulit mendapatkan objek-objek foto, ketika berada dalam mobil yang sedang berjalan. Karena kecepatan kendaraan sulit diprediksi. Ada banyak momen tak dapat diabadikan ke dalam rekam gambar. Membuat perjalanan tidak maksimal “menghasilkan” agar tidak sekadar hanya “sebuah perjalanan” berhabis waktu.

Diantara hal-hal “sulit” itu, Alhamdulillah, ada beberapa momen foto yang masih dapat “kuakali” untuk dapatkan dalam perjalanan di atas kendaraan. Pada perjalanan mengunjungi destinasi Lembah Bujang dan Gunung Jerai, Kedah Darul Aman, Negeri Utara Malaysia.


JIKA MUSIM BERBUNGA KEINDAHAN TERASA


Untuk menuju dua destinasi Negeri Kedah itu, melewati daerah Yan dan Gurun, dua daerah yang erat berkait dengan masa kelahiran dan masa remaja penulis wanita Malaysia, Amelia Hashim. Dalam perjalanan yang dihantar Amelia Hashim ini sungguh sesuatu yang menyenangkan. Setidaknya aku dapat menyaksikan alam Negeri Kedah, yang berada di Semenanjung Malaysia, negeri-negeri bersisian dengan Selat Melaka.


SEPOTONG GUNUNG JERAI


Pemandangan persawahan, pemukiman penduduk, Gunung Jerai terbentang di sepenglihatan dan gundukan Pulau Bunting menjulang di kejauhan. Jalan raya yang mulus dan lapang, lalu lintas tidak ramai, membuat perjalanan tiada halangan. Cuaca pun dalam keadaan bersahabat.  Namun udara terasa panas. Walau semua itu tidak mengurangi suasana perjalanan yang menarik perhatianku.


RUMAH MELAYU RUMAH PANGGUNG


Amelia Hashim pun memberi keterangan-keterangan akan daerah-daerah yang dilalui. Pun dalam kesempatan itu, kami juga melalui rumah sekolah menengah dimana Amelia Hashim menjalani pendidikannya di masa dahulu. Rumah sekolah yang masih terawat dengan baik.


PULAU BUNTING YANG MENJULANG


Di kiri kanan jalan, sepanjang kawasan persawahan yang terbentang luas, berbaris pohon-pohon membentuk lorong. Cerita Amelia padaku, jika datang musim pepohonan itu berbunga, bagaikan bunga sakura yang mekar di negeri Jepun. Kala pulang ke kampong kelahirannya ini, ketika pepohonan di sepanjang kiri kanan jalan sedang berbunga, dia selalu merekamnya ke dalam cameranya. Ia tak pernah bosan mengabadikannya. 




Selain pemandangan alam, aku sebenarnya juga teramat suka, bila berkunjung ke berbagai daerah mendapati bangunan-bangunan tua. Selama berada di Negeri Kedah, setiap melintasi daerah-daerah yang dilalui, aku selalu mencari-cari bangunan lama. Sayang sulit dapat kutemukan dalam perjalanan. Ketika perjalanan kali ini menuju Lembah Bujang dan Gunung Jerai, aku sempat melihat ada rumah kediaman Melayu dalam kerimbunan pepohonan. Sungguh sejuknya. Sayang tak dapat kesempatan singgah atau laju kendaraan tidak sedang melambat.
Apa boleh buat. (*)

Abrar khairul ikhirma
Kedah 07 September 2016 



RUMAH MELAYU DI BALIK KERINDANGAN POHON


YAN - KEDAH