Selasa, 27 Juni 2017

SUBUH PERTAMA DI MADINAH

Ketika terbangun, segera saja bangkit dari tempat tidur. Istirahat belum cukup, namun tubuh merasa kuat saja. Segera masuk ke kamar mandi. Bersiap untuk mengakhiri kantuk. Berharap dapat secepatnya meninggalkan penginapan. Bertarung melawan dingin udara terbuka untuk bersujud kepada-Nya. Ini waktu subuh pertama berada di Kota Medinah…




Memasuki hotel sudah waktu dinihari disaat pertamakali menjejak Madinah. Bersholat menjama’ Maghrib dan Isya. Karena sebelumnya situasi perjalanan. Kemudian langsung beristirahat. Tidur kurang lebih hanya 2 jam. Dalam keadaan begitu sudah bergegas lagi untuk bisa berada dalam Masjid Nabawi. Ingin berada di barisan paling depan. Karenanya harus datang lebih awal sebelum masuk waktu sholat Subuh.

Melawan rasa kantuk bersama dingin dinihari hanya dengan niat di hati. Tanpa ada niat, tidak akan teguh dalam menghadapi berbagai keadaan. Niatpun perlu diiringi usaha agar semuanya menjadi nyata. Itulah yang diam-diam kupatrikan dalam diriku, sesaat sejak turun pesawat Saudi Arabia Arlines yang membawa kami dari bandara Kuala Namu Medan Indonesia ke  Pangeran Mohammad bin Abdul Aziz Airport, Madinah, Arab Saudi.




Keluar dari Mubarak Al Mase Hotel, tempat menginap selama di Madinah, sudah disambut udara dingin mencucuk tulang. Menurut keterangan, udara Madinah memang dalam keadaan dingin. Tidak hanya sekadar dingin tetapi sewaktu-waktu juga disertai tiupan angin. Kondisi tubuh yang memerlukan penyesuaian. Karena aku datang dari negeri musim tropis.

Di luar hotel benar-benar dalam situasi sepi. Jalanan pun hampir tak ada kendaraan. Senyap yang selalu aku rindukan bila berada di suatu daerah perkotaan di tanah airku. Aku sangat menyukai keheningan. Pada keheningan, aku merasa nyaman untuk merenung dan merasakan denyut nadi kehidupan.

Selain aku dengan kakakku, hanya satu dua yang terlihat berjalan bergegas saat itu. Tujuan kami sama yakni Masjid Nabawi. Kami berjalan dengan langkah cepat di trotoar, diantara kaki bangunan pencakar langit. Semuanya adalah hotel. Tiap jengkal yang dilalui terlihat bersih. Tak sepotong sampah pun terpandang olehku di sana sini. Aku kira…, debu pun enggan untuk turun.

Waktu kedatangan ke jantung Kota Medinah, bus yang membawa kami dari bandara ke hotel, harus melakukan jalan berputar dahulu. Pada saat itu, dari dalam bus aku sudah melihat Masjid Nabawi dengan menara-menaranya, penuh siraman cahaya lampu yang terang benderang. Melihat saja dari jauh, diantara sela-sela bangunan tinggi, perasaanku sudah bergetar, seakan-akan sudah teramat ingin segera bersholat diantara para jemaah yang berdatangan dari berbagai belahan dunia. Tak henti aku menyeru dalam hati, Allah dan Muhammad.

Sejak masa kecil, aku benar-benar tidak tahan dengan udara yang dingin. Biasanya untuk menghangatkan tubuh, aku segera menyembunyikan diri dari tempat yang terbuka. Memasang jaket tebal. Bahkan kalau segera tidur berselimutkan kain tebal. Jika dibandingkan dengan udara dingin yang pernah kurasakan, dingin saat di Medinah, jauh melebihi dingin yang pernah kurasakan di tanah air. Rupanya Allah mendengarkan permohonanku, agar aku diberi kemudahan melaksanakan ibadah, dari awal sampai akhir. Sehingga aku dengan berbekal sweater dan sebuah kain sarung, telah dapat menembus rasa dingin itu. Alhamdulillah…




Masjid Nabawi atau Al-Masjid an-NabawÄ« (pengucapan bahasa Arab) adalah masjid yang didirikan secara langsung oleh Nabi Muhammad. Terletak di pusat kota Madinah di Arab Saudi. Masjid Nabawi merupakan masjid yang dibangun ketiga dalam sejarah Islam. Kini menjadi salah satu masjid terbesar di dunia. Masjid ini menjadi tempat paling suci kedua dalam agama Islam, setelah Masjidil Haram di Mekkah.

Masjid ini sebenarnya merupakan bekas rumah Nabi Muhammad yang dia tinggali setelah Hijrah (pindah) ke Madinah pada 622 M. Bangunan masjid sebenarnya dibangun tanpa atap. Masjid pada saat itu dijadikan tempat berkumpulnya masyarakat, majlis, dan sekolah agama. Masjid ini juga merupakan salah satu tempat yang disebutkan namanya dalam  Alquran.

Kemajuan masjid ini tidak lepas dari pengaruh kemajuan penguasa-penguasa Islam. Pada 1909, tempat ini menjadi tempat pertama di Jazirah Arab yang diterangi pencahayaan listrik. Masjid ini berada dibawah perlindungan dan pengawasan Penjaga Dua Tanah Suci. Lokasi masjid berada tepat di tengah-tengah kota Madinah, dengan beberapa hotel dan pasar-pasar yang mengelilinginya. Masjid ini menjadi tujuan utama para jamaah Haji ataupun Umrah. Beberapa jamaah mengunjungi makam Nabi Muhammad untuk menelusuri jejak kehidupannya di Madinah.

Antara hotel tempat menginap dengan Masjid Nabawi lebih kurang hanya sejarak 100 meter. Karena antara hotel dengan masjid terdapat  bangunan-bangunan tinggi, sehingga dari hotel tak tak terlihat Masjid Nabawi, begitu juga sebaliknya. Untuk berjalan bolak-balik dari penginapan dan masjid tidaklah menyulitkan. Mudah dicapai dan tidak akan tersesat. Sehingga hal inipun menambah perasaan kenyamanan bagiku.

Meskipun sudah terbilang datang awal, bukan berarti di masjid belumlah ramai. Pemandanganku segera saja bertumbuk mulai dari pintu masuk halaman masjid dengan banyak orang. Ada banyak orang malah lebih awal lagi dari kedatanganku. Bahkan ada yang memang bersengaja menghabiskan waktu sesudah sholat Isya sampai waktu sholat Subuh hanya berada di masjid. Aku jauh kalah dengan orang-orang demikian. Menggunakan waktu selama berada di Madinah hanya beribadah di Nabawi.

Kekuatan untuk berjalan kaki memang sangat dibutuhkan. Stamina yang baik sangat terasa manfaatnya bila berada dalam suasana seperti ini. Jangankan melangkah di dalam masjid untuk mencapai bahagian baris depan, dari pintu masuk halaman saja sampai mencapai tangga masjid, bisa-bisa melelahkan, tersebab demikian luasnya. Kiranya, dengan bergerak sejauh kaki melangkah itu, ditambah dalam masjid dengan banyak orang, akhirnya rasa dingin dengan sendirinya kalah. Aku merasakan kehangatan, rasa syukur dan kebahagiaan yang tiada dapat terkatakan. Mataku memercikkan tangisku di balik kacamataku berembun menjelang waktu Subuh.

Mula pertama memasuki Masjid Nabawi, melalui pintu yang sejajar dengan mighrab. Sudah sangat ramai. Semua orang ingin berada pada posisi terdepan. Berada di dekat mighrab, berdekatan di belakang imam. Dalam keadaan ramai, bentangan saf hampir tak ada lagi tempat untuk ditempati. Namun semua orang terus saja mengalir bagaikan terhisap magnet.

Akhirnya menemukan tempat untuk bersholat. Jaraknya hanya beberapa meter dari posisi imam. Bahagian sebelah kanan imam. Segera saja aku bersholat sunat tahyatul masjid. Dilanjutkan dengan sunat hajat. Dengan tenang. Sekhusuk mungkin, diantara orang-orang yang terus saja melintas silih berganti. Berdo’a dan berzikir. Tiada merasakan lagi dingin atau pun mata yang mengantuk, seperti biasanya dalam keseharian pada jam-jam gawat ini. Dimana bantal, kasur dan selimut menjadi godaan paling berat kala menjelang waktu Subuh.

Kuakui, diriku selama ini tidak banyak mengetahui secara persis perkara keuntungan dan kerugian. Karena bagiku yang penting melaksanakan ibadah sebaik-baiknya. Termasuk kedatangan ke Tanah Suci pada kesempatan ini. Sama sekali aku tidak pernah memikirkan ganjaran pahala yang akan aku peroleh nantinya atau aku juga tak bermaksud berlomba-lomba mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, aku tetap pada keyakinanku yakni, berusaha saja melaksanakan ibadah sebaik-baiknya sesuai dengan keterbatasan kemampuanku.

Karenanya, sama sekali aku belum pernah mengetahui banyak hal tapi barulah mengetahuinya setelah kembali di tanah air. Pada Riwayat Ahmad, dengan sanad yang sah, disebutkan oleh Rasulullah sebagaimana diterima dari Jabir ra, perihal keutamaan Masjid Nabawi; “Satu kali sholat di masjidku ini, lebih besar pahalanya dari seribu kali sholat di masjid yang lain, kecuali di Masjidil Haram. Dan satu kali sholat di Masjidil Haram, lebih utama dari seratus ribu kali sholat di masjid lainnya.”




Waktu sholat subuh masih ada sekitar dua jam lagi. Kakakku mengajakku untuk menemaninya keluar masjid. Kami tinggalkan saf. Di depan pintu keluar, aku disambut udara dingin. Telapak kaki serasa memijak batu es. Tubuhku kecut. Kesempatan itu kami pergunakan mengelilingi Masjid Nabawi. Perjalanan yang indah. Melintasi banyak orang dari berbagai bangsa dan Negara. Diantara payung-payung di pelataran. Ada masih kuncup, ada banyak berbaris dalam keadaan terkembang.

Kakak sulungku Irvan Khairul Ananda bersama isterinya sebelum kali ini, sudah pernah ke Tanah Suci. Termasuk kedua orangtuaku dan saudara-saudaraku yang lainnya. Setidaknya bagi kakakku, Masjid Nabawi sudah menjadi masjid yang akrab untuk ditelusurinya. Hingga mendekati waktu sholat Subuh selesai mengelilingi masjid, melalui pintu yang lainnya, kami kembali memasuki Masjid Nabawi.

Mendapatkan saf hanya beberapa baris dari depan. Lebih dekat dari posisi kami semula, saat pertama bersholat sunat tadi. Termasuk hanya beberapa jarak dari Imam yang memimpin sholat. Alhamdulillah…, sebuah Karunia tak terkatakan bagiku. Alhamdulillah…

Karunia berikutnya, selesai berdo’a sejenak, aku sudah berada di dalam kungkungan terpal berwarna putih setinggi satu meter. Dengan cepat diblok petugas untuk membatasi mereka yang dibolehkan berada di dalamnya untuk bersholat sunat dan berdo’a. Baik musim Haji atau pun saat Umroh, tidak semua orang dapat mencapai dan bisa masuk ke dalamnya. Area yang lebih kurang dapat menampung untuk seratus orang di dalamnya.

Inilah salah satu bagian Masjid Nabawi paling utama. Merupakan jantung Masjid Nabawi. Terkenal dengan sebutan Raudlah (taman surga). Doa’do’a yang dimohonkan dari Raudlah ini diyakini akan dikabulkan oleh Allah swt. Raudlah terletak di antara mimbar dengan makam (dahulu rumah) Rasulullah.

Riad ul-Jannah terpisah dari Jannah (Surga). Ini diceritakan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “Wilayah antara rumahku dengan mimbarku adalah salah satu taman surga, dan mimbarku itu berada di atas kolamku.”


Aku diberi izin dan kemudahan untuk bisa berada di Riad ul-Jannah diantara jutaan sesama muslim yang terus berdatangan ke Madinah. Semoga permulaan yang baik dan diredhoiNya bagi kehidupanku. Ketika subuh pertama berada di Kota Madinah (*) 

Kamis, 22 Juni 2017

CONDET: MAKAM TERAKHIR SEORANG PENYAIR

Condet: Makam Terakhir Seorang Penyair, merupakan buku kumpulan puisi kedua Abrar Khairul Ikhirma, penyair dari Sumatera Barat, kelahiran Pariaman, daerah pesisiran pantai barat Pulau Sumatera. Setelah menerbitkan buku kumpulan puisi pertama tahun 1987 berjudul, “Selamat Petang Jakarta.”




Puisi-puisi yang terhimpun dalam buku ini, diantaranya sudah pernah diterbitkan di media cetak, suratkabar Harian Haluan dan Harian Singgalang, Padang, Sumatera Barat.

Inspirasi puisi-puisi ini terlahir semasa berada di Condet, Jakarta Timur. Condet merupakan suatu kawasan cagar budaya, dimana masih terdapat suasana budaya Betawi, masyarakat asli Jakarta. Ada banyak seniman-seniman yang memilih untuk bermukim di Condet.

Condet Balekambang, berada di pinggir Sungai Ciliwung. Terhubung ke arah Pasar Minggu mulanya dengan sebuah jembatan gantung. Jalan kecil yang selalu ramai dilintasi pejalan kaki dan sepeda motor. Di salah satu lereng sungai itulah, diantara kerimbunan pepohonan duku, rambutan, durian dan salak, rumah yang selalu dikunjungi bila berada semasa di Jakarta.

Condet: Makam Terakhir Seorang Penyair
Penerbit: Dangau Seni-A, Padang
Cetakan Pertama: 1992

Dalam buku ini terhimpun puisi-puisi berjudul:

01.SETASIUN PASAR MINGGU
02.PULANG
03.BANDUNG DAN JAKARTA
04.RUMAH CONDET
05.SEBILAH PISAU
06.TEK: A TEK: I
07.MEJA MAKAN
08.SORE DI JEMBATAN TIGA
      CONDET BALEKAMBANG
09.DIAM-DIAM, DIAM
10.MAKAM
11.SUKMA
12.KACA
13.HALTE CIKINI
14.GADISKU JAKARTA
15.ELANG YANG TERLUKA
16.SURAT WARISAN SEORANG PENYAIR

      MENJELANG PEMAKAMANNYA

Rabu, 21 Juni 2017

"MAK ANJANG" DARI SWISS

Ada yang kita kenal oleh pertemuan menjadi hubungan persaudaraan sampai akhir hayat tapi ada pertemuan yang kemudian menjadi berakhir. Keduanya saling berkait dalam hidup, tiada sanggup untuk memisahkan. Sayonara…




Suatu petang di pertengahan tahun 1990-an, dari arah “Simpang Sayonara” aku bersama dengan Kekasihku berjalan kaki, dengan titik tujuan menuju taman, dimana masa itu aku banyak menghabiskan waktuku di sana.

Simpang Sayonara yang kini tiada lagi orang mengenal nama itu, karena tidak popular lagi. Sebuah persimpangan jalan dengan lima jalan yang bertemu di tempat sama. Jalan Damar dari arah Utara, Jalan Belakang Olo dari arah Timur, Jalan Pemuda dari Selatan dan dua jalan kecil dari arah Barat. Kedua jalan kecil menghubungkan dari simpang jalan itu menuju arah kawasan pantai.  Itulah Simpang Sayonara yang pada umumnya dikenal warga kota di tahun 1970-an.

Cahaya matahari kala petang, sudah tidak membakar lagi. Namun panas yang menguap dari aspal jalanan dan dari bangunan-bangunan beton, tidak sanggup diredam pohon-pohon mahoni yang berbaris menjadi tanaman pelindung di sepanjang jalan Pemuda.

Pada masa itu, aku masih dapat mencintai kota ini. Kota Tercinta, puisi abadi dari Penyair Leon Agusta. Beberapa lekuk tempat biasanya sering kusinggahi dan sejumlah jalanannya masih memberi ruang untukku dapat menikmatinya. Terutama kala malam hari. Aku sangat akrab dengan trotoar di kiri kanan jalan. Sepi para pejalan kaki bila malam mulai menuju larut. Pada saat-saat berjalan kaki itulah, aku dapat bercakap-cakap dengan diriku tentang banyak hal. Tentu saja angan-anganku, kegetiran yang silih berganti, diantara rasa lapar yang selalu datang dan kemudian hanya diselesaikan dengan secangkir kopi yang hangat.

Di depan pintu halaman Hotel Tiga-Tiga, saat menelusuri Jalan Pemuda petang itu, langkahku dengan Kekasih terhenti. Percakapan kami pun terputus. Seorang bule, sebutan kami untuk orang asing, telah menghentikan langkah kami.

Sang Bule menanyakan tentang dimana letak universitas dan culture centre. Dengan dua pertanyaan itu, aku dapat dengan cepat menilai Sang Bule, bukanlah seorang hippies. Maksudnya seseorang yang datang ke suatu Negara hanya bertujuan untuk menikmati objek wisata, kuliner dan bersenang-senang. Bule ini tentulah bertujuan lebih kepada mempelajari untuk mengenal pendidikan dan kebudayaan. Tidak sekadar untuk bersenang-senang. Sehingga aku sangat respek memberi kemudahan pada seseorang yang datang ke negeri “asing” baginya ini.

Sang Bule berbahasa Indonesia dengan terpatah-patah. Belumlah begitu fasih. Sedikit ia memberi gambaran, bahwa kedatangannya ke Indonesia adalah untuk belajar bahasa dan mengenal budaya setempat. Menurut pengajarnya di negerinya, jika ia ke Indonesia datangilah university atau culture centre.

Dengan penuh keakraban, juga dibantu Kekasihku yang dapat berbahasa Inggris, aku menjelaskan bahwa ada dua universitas besar dan terkemuka di kota ini. Pertama Universitas Andalas terletak di daerah yang bernama Limau Manih. Sebuah kawasan dataran tinggi. Kemudian perguruan tinggi IKIP Padang, yang kelak di kemudian hari berobah nama dengan Universitas Padang. Aku menunjuk ke arah utara, lurusan dari Jalan Pemuda dimana kami tengah berdiri saat itu.

Culture Centre untuk kota ini dinamakan Taman Budaya. Sebuah kawasan dengan sejumlah bangunan yang menjadi pusat kesenian. Dari lokasi kami berdiri di pertengahan Jalan Pemuda itu, ke arah selatannya, disanalah tempatnya. Hanya sejarak beberapa ratus meter saja. Dapat ditempuh dengan hanya berjalan kaki. Kukatakan, aku dan Kekasihku ini hendak menuju culture centre.

Aku teringat dengan sejumlah pengalaman orang-orang yang pernah berkunjung belajar ke luar negeri. Pengalaman yang kuketahui lewat artikel-artikel, pernah kubaca di majalah atau pun suratkabar. Mereka belajar bahasa dan mengenal budaya setempat, diuntungkan kesempatan mereka hidup di dalam keluarga warganegara Negara yang dikunjunginya.

Walaupun hanya percakapan singkat di pinggir jalan Pemuda itu, aku memberi saran kepada Sang Bule, sebaiknya mendapatkan keluarga untuk menumpang selama tinggal di sini. Tidak hanya menginap di hotel. Karena tujuannya mempelajari bahasa dan budaya.

Kiranya, pada esok petangnya, ketika aku sudah lupa dengan peristiwa petang kemarin, aku lihat Sang Bule sudah bercakap-cakap akrab di salah satu sudut bangunan pertunjukan seni di Taman Budaya. Dimana tempatku berhabis hari bertahun-tahun. Bule itu bercakap-cakap dengan Nina Rianti yang sudah kuanggap kakakku selama ini. Nina sering datang ke Taman Budaya, jika ada kegiatan pertunjukan kesenian.

Pada saat itulah kemudian kuketahui nama si Bule adalah Benhard, warganegara Swiss. Benhard akhirnya menjadi salah seorang saudara kami. Atas kebaikan pasangan seniman suami isteri Alda Wimmar Irawan Noer dan Nina Rianti, Benhard selama berada di kota kami, bertempat tinggal di rumah mereka di Tunggua Hitam, yang juga rumah tempatku selalu pulang kala malam mulai turun untuk suatu masa.

Benhard pernah kami bawa bersama-sama berlibur naik kereta api ke Pariaman. Sebuah kota di pesisir barat Pulau Sumatera. Kota terletak di pinggir laut Samudera Hindia. Benhard teramat senang melihat ombak memecah di pantai. Lautnya bersih. Semasa Benhard muda adalah seorang atlet, pernah terpilih menjadi atlet ke Oliampiade Munchen, sayang karena terjadi kelainan pada bahagian tulangnya pada masa persiapan, ia gagal mewakili negaranya di pertandingan tingkat dunia. Dengan berani Benhard untuk beberapa saat berenang di laut, menghampiri kapal ikan sedang jangkar.

Selama di rumah Nina, Benhard belajar berbahasa Indonesia. Benhard di negaranya, sebelum datang ke Indonesia sudah banyak menghafal berbagai kata-kata Indonesia. Karenanya Benhard dengan cepat bisa berbahasa Indonesia. Selama Benhard berada di rumah itu, mendatangkan kegembiraan tersendiri. Karena selalu saja terjadi percakapan terhenti sejenak, Benhard buru-buru masuk kamar membaca kamus bahasa, lalu keluar dari kamar dengan tertawa terbahak-bahak.

Tanpa ada yang memberi petunjuk, Benhard setiap pagi selalu keluar dari rumah. Ternyata diketahui Benhard pergi ke Airport Tabing. Ia berjalan menempuh jalan tikus, diantara semak belukar, mencapai landasan pacu pesawat, kemudian menyeberang dan terus memasuki ruang umum untuk para penumpang dan pengantar di bandara. Jalan itu digunakan oleh sejumlah penduduk setempat di belakang bandara sebagai jalan pintas ke jalan raya. Sejak aku menjadi penghuni rumah Nina sampai akhirnya pergi tidak lagi tinggal di sana, aku sendiri tak pernah mengetahui dimana posisinya, apalagi melalui jalan ke bandara itu sampai sekarang.

Di ruang bandara itulah Benhard dapat menulis surat, berkirim kabar ke teman dan keluarganya di Swiss, lalu mengirimkannya dengan faxsimile. Alasannya, ruangannya sejuk berairconditioner dan dapat duduk menghadap meja, menulis dengan posisi nyaman. Di rumah tak ada meja yang cocok, terlalu rendah, sedang postur tubuhnya tinggi.

Lewat surat menyurat itulah, Benhard menceritakan kepada kami, tanggapan teman-temannya di Swiss, bagaimana dia menceritakan pengalaman pertamanya memanjat pohon kelapa di samping rumah. Dia panjat untuk dapat mengambil buah muda, mendapatkan air dan isi buah kelapa yang segar. Usaha kenikmatan itu harus ditebusnya dengan sejumlah bagian kulit di tubuhnya luka-luka lecet, digigit semut besar berwarna merah yang menyakitkan dan terjatuh ke tanah karena tak bisa turun dengan baik. Lalu menjadi demam.

Benhard pun menceritakan kepada kami, bagaimana teman-temannya protes, ketika mendengar kami tidak memanggilnya dengan nama Pak Benhard tapi dengan panggilan Mak Anjang. Benhard menanyakan apakah itu Mak Anjang ???

Mak Anjang adalah salah satu panggilan khas orang kampong kami di tanah Minang. Orang-orang yang berpostur tinggi melebihi dari tinggi orang kampong kami pada umumnya, selalu mau atau tidak mau akan digelari dengan nama Mak Anjang. Apalagi dalam keseharian masyarakat Minang, orang hampir sulit untuk menyebut dan memanggil seseorang sesuai dengan namanya. Senantiasa ada-ada saja nama dan gelar khusus yang diberikan kepada seseorang.

Kami tidak mengetahui, apakah Benhard dapat menerima penjelasan kami. Termasuk apakah dia menyenangi atau tidak, ketika kami memanggilnya Mak Anjang sampai kemudian ia kembali ke negaranya Swiss.

NAGARI PASIA AMPEK ANGKEK CANDUANG, AGAM


Ketika waktu berlalu. Aku sudah tidak lagi pulang ke rumah Nina. Sudah lama sekali. Di suatu petang hari, seorang wartawan senior yang kukenal, mendatangi kedai dimana aku saat itu sehari-hari mengurus sebuah usaha percetakan kecil, tidak jauh dari Simpang Sayonara. Wartawan itu Sjaiful Bachri. Dia dikenal sebagai seorang wartawan olahraga di suratkabar Harian Haluan. Dia tidak turun dari Vespa kendaraan roda dua yang dikendarainya. Hanya berhenti di depan kedai.

Uda Pul, begitu aku memanggilnya, memberitahu bahwa sejak pagi ada sepasang suami isteri orang bule, datang ke redaksi suratkabar tempatnya bekerja, ingin bertemu denganku. Tak satupun orang redaksi dan wartawan yang tahu dimana keberadaanku dapat ditemui, meskipun umumnya namaku mereka sangat kenal, walaupun aku tidak bekerja di suratkabar itu. Jadi mereka tidak dapat mengantarkan kedua bule itu untuk dapat bertemu denganku. Namun bule itu tak hendak juga meninggalkan kantor suratkabar. Tetap bertahan sampai ia mendapatkan keterangan yang pasti mengenai diriku. Hingga akhirnya bertemu Uda Pul dan Uda Pul rupanya diam-diam sering melihatku berada di kedai percetakan ini. Karenanya dia menemuiku menyampaikan kabar itu.

Aku menemui sepasang bule yang mencariku itu di kantor redaksi suratkabar Harian Haluan, yang terletak di Jalan Damar. Aku tidak menyangka, ternyata Benhard si Mak Anjang bersama isterinya! Seketika aku tertawa. Aku teringat disuatu kali dulu semasa di rumah Nina, kami bertanya perihal isterinya, Benhard menjawab, “Isteri saya meninggal di Swiss….,” Mendengar itu kami merasa bersalah telah menanyakan sesuatu yang bisa membuatnya sedih. Kami terdiam.

Sesaat Benhard bergegas masuk ke dalam kamarnya. Semua yang ada di ruang tengah rumah tak satupun bersuara. Ketika Benhard kemudian keluar dari kamar, kami hanya memandangnya. Sedang Benhard tiba-tiba tertawa mencairkan ekspresi kami yang sudah tegang. Lalu berkata, “Isteri saya tidak meninggal di Swiss. Saya sudah baca kamus, maksudnya isteri saya tinggal di Swiss,” serempak pecahlah tawa kami.

Bertiga kami meninggalkan kantor redaksi suratkabar Haluan menuju jalan Belakang Olo. Jaraknya lebih kurang hanya seratus meter. Aku dan Benhard bercakap-cakap. Dia menanyakan pukul berapa kedai percetakan ditutup. Aku jawab pukul lima. Di depan kedai dia berkata, “Masih satu jam lagi waktu kerjamu berakhir. Baiklah kami tunggu,” katanya.

Walaupun aku berkata tidak apa-apa, bahwa kedatangannya tidak membuatku terganggu kerja, karena kedai percetakan ini aku pimpinannya, namun Benhard dan isterinya tetap tidak hendak menggangguku di jam kerja. Benhard dan isterinya menunggu di kedai minum di halaman rumah, satu petak antaranya dari tempatku bekerja.

Pada petang hari, setelah kedai percetakan tutup, kami bertiga akhirnya bercerita penuh rasa kekeluargaan di kedai minum, di udara terbuka halaman sebuah rumah di Jalan Belakang Olo. Benhard bertanya keadaanku. Termasuk menanyakan apakah aku sudah menikah dengan kekasih saat kami bertemu pertamakali dulu itu.

Ketika kuceritakan tragedy yang menimpaku, ia pun teramat faham. Ekspresi pasangan suami isteri itu turut berduka. Benhard dalam usianya itu, kulihat matanya berkaca-kaca. Ia menangis dalam kesedihan. Disanalah aku akhirnya mengetahui, bahasa kesedihan itu di dunia tetap sama walau berbeda bangsa dan Negara.

Di kesempatan itu, kami saling bercerita tentang hubungan manusia, tragedy dan budaya masing-masing Negara kami. Aku banyak hal mendapatkan pandangan realistis dari Benhard tentang semuanya. Setidaknya aku sangat mengetahui, betapa ia memiliki perhatian dan kesungguhan antara hubungan persaudaraan mendalam. Benhard tidak hanya menghibur kesedihanku tetapi mengajakku pada pemandangan yang terbuka terhadap kodrat manusia.

Karenanya, aku membiarkan begitu saja saat waktu siang ditelan oleh waktu malam. Ditandai dengan lampu-lampu menyala, kendaraan hiruk pikuk yang melintasi jalan di hadapan kami, malam segera jatuh di pelukan Kota Padang. Tahun-tahun di akhir tahun 1990-an.

Diantara hari-hariku berada di Kota Bukittinggi, kota yang diapit dua gunung termashur, Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Daerah yang berada di ketinggian 1000 dpl itu menjadi daerah berhabis waktuku untuk suatu masa berikutnya. Aku tak pernah bosan berkeliling kota ini. Termasuk berlama-lama di kawasan Ngarai Sianok seorang diri. Aku setia menunggu embun berangkat dari kawasan ngarai pada pagi hari. Atau bertahan menyaksikan cahaya matahari petang berganti dengan gelap malam di pinggir sungai di dasar ngarai.

Setelah semuanya cukup bersama dingin, barulah aku beranjak untuk keluar dari ngarai. Kemudian berhabis malam di sekitar taman Jam Gadang. Menikmati anak-anak bercengkrama, muda mudi hilir mudik, pedagang makanan dan mainan. Adakalanya aku duduk-duduk di dekat pemain saluang, music tradisional Minang. Mendengarkan dendangnya dengan pantun-pantun yang sangat akrab bagiku.

Setiap berada di Bukittinggi, salah satunya aku menginap di rumah sahabatku Asraferi Sabri. Hanya beberapa kilometer dari pusat kota. Tetapi wilayah administratifnya sudah berbeda. Termasuk daerah Agam Tuo. Daerah Kabupaten Agam. Sahabatku masa itu memilih bermukim di kampungnya. Diapun terpilih menjadi Wali Nagari Pasia, Ampek Angkek. Wali Nagari di kampong halamannya. Merupakan kenagarian terkecil di Kabupaten Agam. Hanya memiliki 3 jorong. Daerah yang termasuk dataran sekitar Gunung Marapi.

Bersebelahan dengan Nagari Pasia, terdapat Nagari Batu Taba. Masih termasuk dalam satu kecamatan yakni Kecamatan Ampek Angkek Canduang. Sering aku melintasi nagari Batu Taba sebagai jalur alternative menuju Kota Bukittinggi dari arah Kota Padang atau sebaliknya. Jalan itu menghubungkan Kubang Putiah, Sungai Pua dan bertemu jalan raya Padang-Bukittinggi di Koto Baru. Kesemuanya adalah daerah perkampungan dan lahan-lahan pertanian yang berada di seputaran Gunung Marapi. Sepanjang jalan aku dapat bertemu view areal sawah ladang, rumah-rumah gadang, masjid tua dan suasana keramahan alami.


DARI BATU TABA KE KUBANG PUTIAH, AGAM


Suatu siang, dari Nagari Pasia, aku menuju Nagari Batu Taba. Nagari Batu Taba terdapat banyak home industry masyarakatnya. Penduduknya produktif  dengan usaha rumahan berupa konveksi. Tergerak saja hati untuk bersengaja ke Batu Taba. Aku ingin menemui salah seorang anak dari Nina Rianti, kakak angkatku semasa dulu hidup di Padang. Sudah lama dia menetap di Batu Taba. Terutama sejak beliau menikah.

Tidak begitu payah menemukan rumah yang akan kutuju. Aku dapat bertemu dengan Nanda Irawan, anak Nina Rianti. Tidak hanya bertemu Nanda saja, rupanya hari itu hari baik. Setelah beberapa tahun putus kontak sejak bertemu di Jalan Belakang Olo, hari itu aku bertemu lagi dengan Mak Anjang Benhard. Rupanya dia sejak lama banyak menghabiskan waktunya di Bukittinggi, selain berkeliling Negara-negara di Asean dan pulang ke Swiss.

Di beranda rumah Nanda, aku dan Benhard bercakap-cakap banyak hal. Diantara percakapan itu, ia mengeluarkan sejumlah potongan-potongan berita, yang diguntingnya dari berbagai majalah dan suratkabar, baik terbitan Indonesia maupun terbitan luar negeri. Tak kukira, Benhard sangat perhatian kepada perihal kerusakan tatanan social masyarakat dan alam lingkungan. Semangatnya pada soal-soal semacam itu sangat terlihat jernih.

Benhard menceritakan perbandingan, bagaimana pada waktu berbeda ia mendatangi suatu kota di Thailand. Kedatangan pertama, ia masih dapat penginapan dengan sewa yang wajar. Sewa yang sesuai dengan kemampuannya sebagai orang asing yang hendak berlibur. Tetapi akibat ekspouse dunia media travelling ---memperlihatkan sebuah potongan berita dari majalah terkenal negeri barat yang diguntingnya--- di waktu berikutnya ia datang, di berbagai tempat penginapan dan hiburan penuh sesak oleh turis-turis dari negeri barat. Otomatis struktur social masyarakat berubah seiring pertumbuhan ekonomi semacam itu. Harga-harga meningkat. Salah satunya ia merasa tidak nyaman berlibur karena sudah ramai dan untuk mendapatkan penginapan murah, sudah jauh dari pusat kota.

Tidak ketinggalan, ia juga menyinggung persoalan kesehatan dan gerakan anti merokok. Ia memperlihatkan kepadaku sejumlah kotak kemasan rokok yang dibawanya dari berbagai Negara. Memperlihatkan betapa tidak efektifnya gambar-gambar yang disertakan pada kotak kemasan itu. Kenyataannya masyarakat di berbagai tempat masih mengkonsumsi rokok.

Ketika aku bercanda, kenapa hanya kotak kemasan kosong yang diperlihatkannya kepadaku. Kemana isinya? Benhard menjawabnya dengan cepat, dia beli dalam keadaan utuh tapi isinya dibuang.

Pertemuan di Rumah Nanda di Batu Taba itu di pertengahan bulan Juni 2012, setelah 14 tahun kemudian semenjak Benhard mencariku ke kantor redaksi Harian Haluan di Jalan Damar, Padang. Selama itu kami tak pernah bertemu atau pun berkontak. Termasuk juga setelah 2012 bertemu di Batu Taba sampai saat aku menuliskan kisah Mak Anjang dari Swiss ini. Kami tak pernah berjumpa dan berkontak.

Yang kuketahui terakhir kalinya saat itu hanyalah, Benhard bersama keluarga Nina, hubungan kekeluargaan mereka semakin erat. Benhard telah mendorong keluarga Nina untuk membuka usaha tenunan tradisionil Minang yakni kain songket. Bahkan mereka telah dapat menyusun dan menerbitkan sebuah buku Songket Minang. Suatu sumbangan terhadap literature yang berharga bagi asset budaya daerah, maupun nasional.

Walaupun aku tidak banyak waktu dengan Mak Anjang Benhard, semenjak pertemuan awal kami sampai pertemuan terakhir di tahun 2012 di Batu Taba itu, aku tetap bersyukur terhadap persahabatan. Di dalam hubungan kekeluargaan yang baik itu, yang berhujung kepada pengembangan usaha tenun kain songket yang mereka usahakan, aku pernah ada diantaranya.

@abrar khairul ikhirma
Dari Pesisir Pantai Barat

21 Juni 2017

Senin, 19 Juni 2017

1 BULAN MENULIS NOVEL, EDITINGNYA 11 BULAN

Menulis novel adalah hal mudah bagi mereka yang memang biasa menulis novel. Aku kira, tidak bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan. Mereka pastilah menemukan kesulitan mengolah ide-idenya ke sebentuk karya tulis novel. Menulis novel, memerlukan istilahku “nafas panjang,” yakni kemampuan mengembangkan, memberi isi, menjaga plot, tentu juga supaya lancar dibaca, sekaligus menarik untuk dibaca oleh semua orang.




Di masa aku mengalami masa-masa sulit, masa pergulatan batin dan kegetiran hidupku, akhirnya, aku mendapat sebuah sarana berupa personal computer (PC) baru, dengan spesifikasi tertinggi di zamannya, dualcore. PC rakitan seharga Rp.5.500.000,- Harga yang sangat mahal bagiku. Tetapi seakan memberikan aku sebuah jalan terang, untuk mengatasi segala konflik batin yang sedang terjadi agar tidak berlarut-larut.

Diantara masa-masa hidup di kegetiran yang kusebut “masa-masa hidup sepanjang Jalan Veteran,” itu, mendorongku untuk menggarap salah satu ide. Aku ingin menenggelamkan diriku untuk melanjutkan dunia kepenulisanku untuk menulis novel.

Memiliki PC baru mendorongku dengan semangat baru. Semangat kesungguhan untuk memilih menulis sebagai suatu cara “mengatasi” berbagai konflik batin yang sedang melanda hari-hariku. Termasuk tantangan, yang kini aku baru “berani” menuliskannya. Jauh sebelumnya, suatu kali aku diundang bertemu ke kantornya oleh Sutan Zaili Asril, seorang yang sudah lama kami saling mengenal. Seorang yang ternama bagi kami di Sumatera Barat dengan segala aktifitasnya.

Sahabat yang kini sudah almarhum itu, pada saat itu menjadi Pemimpin Umum Suratkabar Harian Padang Ekspres. Di hujung dari berbagai percakapan kami yang akrab, beliau menanyakan apakah aku memiliki naskah novel. Lalu kujawab banyak. “Mana???” tanya beliau. Langsung saja aku ajukan sebuah opsi kepada sahabat yang sudah menjadi wartawan senior, kolomnis, pengarang novel dan pemerhati soal-soal social dan budaya itu, “Maukah Uda belikan awak sebuah PC, gantinya sebuah novel untuk diterbitkan di Padang Ekspres sebagai cerita bersambung?"

SUTAN ZAILI ASRIL (Repro: Warta Kota)

Spontan saja Uda Zai ---panggilan akrab beliau, menjawab “Bisa!” Kemudian beliau menjanjikan uangnya dapat diambil seminggu kemudian..

Ternyata saat menemuinya lagi di kantornya di Jalan Proklamasi tempat kami sering bertemu, Uda Zai meminta maaf, karena sesuatu dan lain hal. Alasannya dapat kuterima dan kupahami. Sama sekali beliau tidak mengelak dari “keinginannya” yang tidak hanya berupa keinginanku sendiri.

Sama sekali aku tidak merasa kecewa. Bagiku, jawabannya “Ya” itu saja sudah sangat berarti bagiku. Karena dia menjawabnya tanpa banyak pertimbangan. Tanpa ada jeda antara opsi yang kuajukan dengan jawaban yang diberikannya. Spontan. Aku nilai sangat murni bahwa beliau sangat respek kepada pribadiku. Terutama berulangkali dia menceritakan bahwa dia adalah salah seorang pembaca dari tulisan-tulisanku yang pernah dipublikasikan di suratkabar. Mengakui, dia sangat cemburu pada style kepenulisanku yang sulit dapat ditirunya.

Ada beberapakali pertemuanku dengan Zaili tapi aku tak pernah menagih cerita perihal PC. Terakhir pertemuanku, aku mampir ke kantornya sebagaimana biasanya semenjak beliau “mengundangku” datang untuk dapat bertemu. Aku menyerahkan print novel yang sudah kutulis dengan PC yang bukan “pembelian” beliau sebagaimana pembicaraan terdahulu, dalam keadaan terjilid dengan baik dan sebuah compactdisk berisi naskah yang diprint. Dia menyambut dengan gembira. Lalu kami bercakap-cakap penuh keakraban. Aku “numpang” bersholat Ashar di ruang kantornya. Selesai itu aku pamitan. Itulah pertemuan terakhirku dengan almarhum sampai akhir hayatnya.

Novel yang kutulis kuberi judul, “Hikayat Sebuah Peti.” Menggabungkan dua buah ide yang ditemui pada tempat berbeda dan waktu yang berbeda. Nanti bila kubukukan, judulnya akan kurobah menjadi, “Novel Tragedi Tigabelas Bab.”

Di seruas jalan dalam Kota Padang, ada sebuah rumah sejak lama begitu menarik perhatianku. Hampir 24 jam --pagi, siang, malam, dinihari-- aku melewati depan rumah itu. Adakalanya, nongkrong di warung emperan pertokoan di seberang jalannya, waktu  malam-malam menikmati semangkok mie dan segelas kopi.

Mulai tahun 1980 sampai tahun 2008 --sampai saat cerita ini selesai ditulis-- pintu pagar besinya tak pernah ditutupkan. Selalu dibiarkan terbuka begitu saja. Keganjilan itu telah membuat tanda tanya dalam diriku. Pemiliknya membuat pintu tapi enggan untuk menutup dan membukanya, sebagaimana biasanya tiap hari terjadi sebagai rutinitas orang pada setiap rumah dimana-mana.

Hal itu tersimpan dalam pikiranku sampai bertahun-tahun.

Suatu malam di tahun 2003, di petang kamis malam jum’at, kemudian aku ketahui saat itu sekitar pkl. 02.00 wib dinihari, di tempat yang lain lagi, saat menuju pulang ke rumah, melewati seruas jalan yang dianggap masyarakat merupakan daerah angker.

Jalan raya itu menikung dengan salah satu sisinya adalah perbukitan dan di kakinya terdapat sebuah kuburan tua. Di sisi yang lainnya mengalir sebuah sungai, dimana dua buah sungai bertemu untuk  selanjutnya, mengalir dalam satu alur menuju muara dan lepas ke laut Samudera Hindia.

Antara bukit dan sungai, dipisahkan ruas jalan. Dalam kesenyapan malam, aku melihat di pinggir jalan ada sebuah mobil pick-up tengah berhenti di bawah lampu mercury yang bersinar terang. Dua orang tengah sibuk kutak katik mesin di bawah jok depan. Nampaknya mobil mereka sedang ada masalah.

Pada saat itu, aku mengayuh sepeda unto ---sepeda ontel, buatan England, sepeda lama, jika saat dikayuh dari sumbu belakang, terdengar bunyi tik-tik-tik. Sambil melintas mataku tertuju pada bak mobil itu. Di dalamnya ada sebuah peti kayu. Mungkinkah isinya berupa mayat? Mana tahu kedua orang itu adalah pembunuh.

Dua hal itu telah menginspirasiku untuk menuliskan kegelisahan yang selalu menjadi tanda tanya, menggelitik daya kreatif kepenulisanku.

Novel yang kutulis tidaklah berupa cerita misteri. Bukan pula kisah percintaan. Juga tidak politik. Apalagi soal-soal keagamaan. Aku menuliskannya, hanya berupa rangkaian berbagai tokoh. Simbolik dari perilaku manusia keseharian saja. Novel yang tak memiliki tokoh utama. Juga tak menampilkan sosok tokoh suci. Yang ada hanya deretan setiap tokoh-tokoh, tak luput dari sisi buruknya.

Aku menggunakan waktu menulis setiap di sebahagian waktu malam hari di sebuah rumah seorang diri. Aku dapat menyelesaikan novelku malam-malam itu dalam masa satu bulan. Terlalu lama, karena aku menulis seringkali tidak bisa sepenuhnya memanfaatkan waktu dengan maksimal. Saat menulis aku sendiri merasa ketakutan. Seakan aku berada dalam cerita yang kutuliskan. Hampir tiap saat merinding bulu romaku. Cepat-cepat kumatikan PC dan bergegas untuk tidur. Bahkan sering tak bisa tidur sampai pagi hari.

Supaya novel yang kutulis sesuai dengan yang kuingini, tidak membosankan dan plot cerita dapat terjaga dengan baik, aku bekerja keras untuk membaca ulang dan memperbaikinya. Ada banyak kemudian aku delete, melakukan sejumlah tambahan. Proses editing aku lakukan berulang-ulang kali sampai memakan waktu 11 bulan, hingga aku putuskan, aku tak akan merobahnya lagi. Suatu pekerjaan kepenulisan yang sangat menyita waktuku. Terutama waktu malam hari, sebagaimana kebiasaanku untuk menulis.


ABRAR YUSRA (Repro: Wikipedia)
Yang membahagiakanku dari kerja keras ini ialah, naskah novelku dapat kuselesaikan dengan baik. Salah satu karya yang pernah kuhasilkan antara tahun 2007-2008 silam. 4 eks print naskah terjilid. Satu eks aku berikan kepada sahabatku Sutan Zaili Asril. 

Satu eks kupinjamkan pada seseorang, pada saat proses menulis, dia meminta dirinya sebagai orang pertama yang membaca karyaku itu, lalu silih berganti berpindah tangan pada sejumlah orang yang meminta diberikan hak istimewa untuk membacanya, jika novel yang kutulis selesai aku tulis. Print naskah ini hilang tak diketahui siapa terakhir yang memegangnya.

Satu eks print lagi kulepas untuk berpindah-pindah tangan untuk dibaca teman-teman, pada orang-orang yang mengetahui bahwa aku menulis novel. Nasibnya pun tidak jauh beda. Print inipun lenyap tidak diketahui. Satu-satunya satu eks print yang kusimpan, sempat kulepas untuk dibaca sejumlah orang, hingga akhirnya kuputuskan tidak lagi meminjamkannya.

Dari pengakuan sejumlah teman-teman yang pernah membacanya, mereka sampai membaca dua tiga kali walau print naskah tersebut sejumlah 266 halaman ketikan. Tanda teman-teman yang berkesempatan membaca naskah print novelku memberikan apresiasi mereka  pada karya yang kutulis, walaupun dalam hanya sebentuk print, novelku telah menghasilkan honorarium tidak kurang dari Rp.6.000.000,- dalam tempo 6 bulan di akhir tahun 2008. Sama sekali aku tidak meminta setiap pembaca membayar tapi tidak menyangka setiap selesai membaca, mereka memberikan donasi kepadaku, serendah-rendahnya Rp.50.000,- tapi mayoritas antara 100-200 ribu rupiah per satu orang.

Pada saat sastrawan dan penulis biografie (alm) Abrar Yusra datang ke Padang, menyelesaikan penulisan biografie seorang tokoh, aku perlihatkan print naskahku yang terjilid padanya. Dipegangnya sesaat sambil menatap cover jilid, “Abang sibuk mengejar deadline menulis buku biografie, tak sempat membacanya. Tapi tinggalkan saja dulu, pinjam,” katanya di depan pintu kamar penginapan, sepulang kami membezuk teaterawan dan penyair Muhammad Ibrahim Ilyas yang dirawat di Rumah Sakit Yos Sudarso Padang.

Malam tiga hari kemudian, aku datang menemui Abrar Yusra di penginapannya. Si Abang, begitu kami memanggilnya, saat pintu kamarnya dibuka dan mengetahui aku berdiri di depan pintu, ekspresinya demikian gembira. Buru-buru ke dalam kamar dan kembali dengan naskah print novelku di tangannya, “Novel yang indah, bung! Novel rancak yang pernah den baca,” kata Abrar Yusra dengan wajah berseri-seri.

Segera mengajakku pergi keluar penginapan. Tujuan utama mesin ATM di bank yang terletak di Simpang Kandang. Lalu berlanjut makan sate, nasi soto dan minum sekoteng di kedai emperan jalan, sekitar bangunan Bioskop Raya di Pasar Raya Padang. “Novel bung telah menghentikan kerja den dua malam menulis biografie, padahal waktu sudah tidak memungkinkan lagi. Biografie itu harus siap,” Abrar Yusra bercerita padaku diantara kami bersantap, “Ya, konsekuensinya harus tambah 2 hari dan balik Jakarta tertunda.”

Padahal aku sama sekali tidak bertanya, tidak juga berharap beliau membacanya dan bercerita apa-apa tentang novel tersebut. Hanya sekadar memperlihatkan saja kepadanya tanda bahwa aku masih tetap menulis. Katanya, diantara kesibukannya menulis, mulanya dia hanya iseng-iseng saja membalik print itu. Tahu-tahu, dia terpikat untuk meneruskan membacanyanya. Menghentikan pekerjaannya menulis. “Dua malam, den tamatkan membacanya,” katanya tanpa terkesan merasa rugi waktu. Lalu memasukkan uang ke sakuku, yang kemudian aku ketahui berjumlah, Rp.1.500.000,-

LEON AGUSTA (Repro: Tempo)

Tidak sampai sebulan kemudian, “Mana novel Arkhi yang diceritakan Abrar (Yusra) pada saya,” tanya sastrawan dan penyair (alm) Leon Agusta, setelah dia memelukku erat. Pada perjumpaan pertama dan terakhir kalinya, setelah bertahun-tahun kami tak lagi bertemu dan tak berkontak, di salah satu kamar Hotel Muara Padang. Tempat Leon Agusta dan Abrar Yusra menginap dari Jakarta, untuk menghadiri peluncuran buku biografie. Saat yang sama juga ada fotografer dan penggerak seni Edi Utama.

Kiranya Abrar Yusra menceritakan novelku yang pernah dibacanya kepada Leon Agusta. Membuat beliau tertarik ingin membaca karyaku itu. Tetapi, sampai akhir hayat beliau, aku tiada kesempatan memberikan print novelku kepadanya. 

Maka tiada pula aku mendengar bagaimana sambutannya terhadap yang pernah kutulis. (*)

Sabtu, 17 Juni 2017

EKSOTIKA BUKIK SILASIAH

Memotret suasana dan keindahan bila mengunjungi suatu daerah, bagi mereka yang memiliki hobi merekam ke dalam sebentuk gambar foto, merupakan sensasi tersendiri.




Ada yang menyebutnya bukik (bukit) ada pula yang menyebutnya dengan gunung. Tetapi masyarakat setempat lebih mengenal nama Bukik Silasiah. Mungkin Silasiah yang dimaksud adalah Selasih.

Bukit ini terletak di Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman. Mudah untuk dicapai, karena terletak di sisi jalan raya yang menghubungkan Sicincin ---terletak di Jalan Raya Padang-Bukittinggi--- dengan Kota Pariaman.




Dari pusat Kota Pariaman, Bukik Silasiah dapat dicapai dengan kendaraan lebih kurang 25 menit. Hanya berjarak sekitar 13 km saja. Di tahun 1980-an, Bukik Silasiah merupakan salah satu objek wisata bagi kalangan orang muda pada setiap hari libur.

Bukik Silasiah mulai dikenal karena dibangun di puncak bukit ini sebuah tower setasiun relay televise. Dari salah satu sisinya, akan dapat melihat view ke arah aliran sungai Ujuang Gunuang. Jika hari dalam cuaca terang, akan nampak di kejauhan Gunuang Tandikek dan Gunuang Singgalang.




Tak dapat disangkal, pada sisi yang lain, kita akan dapat melepas pandang ke arah Kota Pariaman, sekaligus dapat menyaksikan laut di kejauhan. Termasuk rumah-rumah penduduk Sungai Sariak. Di bahagian kaki bukit, terdapat persawahan penduduk.

Sayang saat ini, Bukik Silasiah tidak lagi popular namanya, karena tidak menjadi objek kunjungan masyarakat di hari-hari libur. Kondisi jalan untuk menuju ke tower pun tidak terbilang mulus, meskipun kerindangan perbukitan ini dengan tanaman, masih dapat dipujikan. Kita akan dapat menemui suara burung, bunyi serangga atau pun rombongan kera liar pada suasana alaminya.

Di balik Bukik Silasiah terdapat Sungai Ibuah, perkampungan dan perkebunan penduduk. Jumlah rumah penduduk memang tidak banyak semakin ke belakang bukit. Akan tetapi ada banyak perkebunan penduduk. Termasuk areal persawahan dan bukit-bukit kecil lainnya yang masih alami.




Dalam rentang waktu beberapa tahun terakhir, aku rajin berkunjung ke Sungai Ibuah. Perkampungan ini dihubungkan jalan pedesaan dari Balai Sungai Sariak, kawasan yang berjarak dengan Bukik Silasiah. Kemudian jalan ini akan menyisi Bukik Silasiah, dimana jalan dan bukit dipisahkan oleh areal persawahan dan hutan kecil.

Setidaknya Sungai Ibuah, menarik bagi mereka yang suka alam pedesaan. Aku dalam sejumlah hitungan sering bermalam di perkampungan ini. Pada sebuah pondok yang jauh dari pemukiman. Jika diteruskan jalan pedesaan yang ada, kita dapat menembus ke arah Sicincin. Namun bagi mereka yang belum biasa, selain kondisi jalan belum memadai, suasananya sangat sepi. Jarang kita akan berpapasan kendaraan (*)


@abrar khairul ikhirma

Jumat, 16 Juni 2017

AKU DI BUKU PELUKIS HASSO MORSCHEK

Seingatku, aku pernah menulis review pameran lukisan Pelukis Hasso Morschek dua tulisan, dimuat di dua suratkabar terbitan Padang, Sumatera Barat yakni, suratkabar Harian Singgalang dan Harian Semangat.




Ternyata sejumlah pandanganku, yang kutuliskan pada artikel di suratkabar tersebut, setelah menyaksikan pameran lukisan Pelukis Hasso di Gedung Pameran Taman Budaya Sumbar ---Sumatera Barat--- dikutip dan termuat pada buku sang pelukis berjudul “Hasso, Rajo Sampono nan Putiah” yang disusun oleh Drs Am Yosef Dt. Garang.

Buku yang berisikan gambar-gambar repro dari lukisan Hasso, dicetak full-color. Berikut terdapat sejumlah pandangannya terhadap kepelukisannya dan inspirasi dari lukisan-lukisannya. Juga diikuti pandangan pengamat terhadap karya-karya lukisnya.

Selain terdapat kutipan pendapatku dalam buku Hasso ini, juga ada pendapat dari teaterawan dan pelukis dari Sumbar yakni, A. Alin De.

AM YOSEF DT GARANG


Am Yosef Dt. Garang, penyusun buku lukisan Hasso, merupakan seorang pelukis Sumbar dan menjadi salah seorang guru di SMSR ---Sekolah Menengah Seni Rupa--- Padang. 

Selain pelukis dan seorang guru, dia juga di era tahun 1980-an, aktif menulis artikel perihal kesenirupaan di suratkabar terbitan Padang.

Buku Haso yang terbit pada tahun 1988 ini sesuai dengan daftar keterangan di dalam buku, disumbangkan kepada berbagai Kantor Kedutaan Asing yang berada di Indonesia. 

Lembaga-lembaga kebudayaan dan seni, berbagai kantor redaksi media dan para pengamat seni.

Aku pernah diundang ke rumah dan studionya di Wisma Indah, Ulak Karang, Padang bersama teman penyair dan jurnalis, Prayuda Widyastitu MIA. Pada kesempatan tersebut, selain berdialog dengan Hasso, kami juga melakukan wawancara, yang kemudian dimuat di suratkabar Singgalang. Pada kesempatan yang sama, pelukis Hasso memberikan bukunya kepadaku.

HASSO MORSCHEK


Hasso Morschek, lahir tahun 1938 di Hannover, Jerman. Tahun 1983, merupakan fase baru bagi kehidupan Hasso. Bekerja sebagai seorang ahli untuk proyek Indonesia dari pemerintah Swiss. 

Beliau terpesona oleh kehidupan dan alam Minangkabau ---Sumatera Barat--- dan menuangkannya dalam karya beliau berkali-kali.

Hasso jatuh cinta dan menikahi seorang wanita Minangkabau tahun 1985. Hasso semakin “gila” menuangkan inspirasinya yang diserapnya selama bermukim di Tanah Minang. Ia sangat produktif melukis dan memulai melukis dengan ukuran kanvas yang besar.

Elemen kebudayaan dan kepercayaan dari rumah baru bagi beliau tersebut menjadi bagian penting bagi kehidupannya. Hingga perjalanan dunia melukis kian mendorongnya, untuk melakukan pameran lukisan-lukisannya selama berada di Padang.

Hasso akhirnya terpanggil untuk menuju Pulau Bali. 1996, Hasso meninggalkan Padang, Sumatera Barat, meninggalkan museum kecilnya dan membuat gaya baru dalam senilukis yang disebutnya nihilism, terpengaruh oleh Pulau Bali.

Hasso meninggal dunia tahun 2002 di Bali, oleh penyakit yang cukup misterius. Meninggalkan istrinya, 3 anak dan 2 anak laki-lakinya yang sudah dewasa dari pernikahan pertamanya.

Salah satu anak pelukis Hasso yakni, Sabai Morschek, kelahiran Padang, dikenal sebagai aktris film dan FTV berkebangsaan Indonesia, setelah bermain di film layar lebar pertamanya Sang Dewi, 2007. Sabai yang bersuamikan Ringgo Agus Rahman ini, pada film tersebut meraih penghargaan sebagai “Pendatang Baru Wanita Terpilih” di Festival Film Jakarta, 2007 (*)


@abrar khairul ikhirma

Rabu, 14 Juni 2017

BENTENG MARLBOROUGH DI ATAS BUKIT BUATAN

Setiap berada di Kota Bengkulu, aku selalu berkunjung ke Benteng Marlborough, peninggalan penjajahan Inggris di Bengkulu ini. Bukan hanya aku pecinta bangunan tua tapi sejarah benteng ini, selalu menarik pikiranku ke masa silam, situasi dan kondisi satu bahagian dari tanah airku, Indonesia.




Selama berada di Kota Bengkulu, aku setiap hari berkunjung ke benteng ini dan kawasan sekitarnya. Mengelilinginya dan menikmati suasana kota yang tidaklah ramai. Mengunjungi benteng, otomatis juga mengunjungi kawasan pasar dan pemandangan laut Samudera Hindia. Pasar, Benteng dan Laut, memiliki satu keterkaitan. Tidak salah Inggris mendirikan benteng ini, tersebab berada pada posisi yang sangat strategis di masa lalu.

Benteng Marlborough (Inggris:Fort Marlborough) adalah benteng peninggalan Inggris di kota Bengkulu. Benteng ini didirikan oleh East India Company (EIC) tahun 1713-1719 di bawah pimpinan gubernur Joseph Callet sebagai benteng pertahanan Inggris. Konon, benteng ini merupakan benteng terkuat Inggris di wilayah Timur setelah benteng St. George di Madras, India.

Pertamakali mengunjungi Benteng Marlborough di pertengahan tahun 1990-an. Kunjungan pertamaku itu bersama (alm) A.Alin De, tokoh teater Sumatera Barat yang juga seorang pelukis. Dihantar seniman teater Ilhamdi Sulaiman ---beberapa tahun terakhir ini bergiat pada seni pertunjukan monolog--- yang waktu itu sudah hijrah dari Sumatera Barat ke Provinsi Bengkulu.



Kedatanganku ke Bengkulu bersama A.Alin De, memenuhi undangan untuk menonton pertunjukan Teater Alam Bengkulu di Taman Budaya Bengkulu. Teater Alam Bengkulu, didirikan Ilhamdi Sulaiman, menghimpun bakat-bakat seni untuk tampil berteater ke atas panggung pertunjukan.

Selepas hari pertunjukan teater dan diskusi, kami menggunakan waktu melihat-lihat Kota Bengkulu. Salah satunya mengunjungi daerah Kampong ---sebutan yang kami dengar untuk kawasan lama Kota Bengkulu. Kawasan kota lama ini berdampingan dengan Benteng Marlborough dan pesisir pantai Samudera Hindia.

Di depan pintu masuk benteng waktu kedatangan kami, masih ada pohon besar yang sudah berusia tua tertegak di sana. Pohon yang rindang. Sejuk untuk bersantai. Pohon itu kini sudah tak ada lagi. Terakhir aku pernah baca beritanya di media, pohon itu yang sudah berlobang di bahagian bawahnya akhirnya “mati terbakar.”

Benteng Marlborough berada di atas ketinggian berupa bukit. Bukit tersebut adalah bukit buatan. Benteng menghadap ke arah kota Bengkulu dan memunggungi samudera Hindia. Benteng ini pernah dibakar oleh rakyat Bengkulu; sehingga penghuninya terpaksa mengungsi ke Madras. Mereka kemudian kembali tahun 1724 setelah diadakan perjanjian.




Tahun 1793, serangan kembali dilancarkan. Pada insiden ini seorang opsir Inggris, Robert Hamilton, tewas. Dan kemudian pada tahun 1807, residen Thomas Parr juga tewas. Keduanya diperingati dengan pendirian monumen-monumen di kota Bengkulu oleh pemerintah Inggris. Salah satu monument yang masih dapat dijumpai sampai saat sekarang, tak jauh dari benteng, dikenal masyarakat Bengkulu sebagai “Makam Bulek.”

Tahun 2013 aku agak lama berada di Kota Bengkulu. Aku menginap di rumah saudara yang rumahnya berada di Malabro. Malabro adalah kawasan pasar dan pemukiman yang berada arah Selatan Benteng Marlborough. Masih terdapat bangunan pecinan. Bangunan-bangunan lama yang mestinya sudah perlu penegasan dijadikan sebagai situs budaya selain Benteng Marlborough dan Makam Bulek. Sudah mesti dilindungi pemerintah daerah, sebagai kawasan Cagar Budaya.

 Arah Selatannya lagi dari pecinan Malabro, sebahagian besar pemukiman penduduk, perantauan Orang Minang. Mereka sudah turun temurun berada di Bengkulu. Salah satunya keluarga yang saat aku kunjungi berada di Bengkulu saat itu.

Selama berada di Malabro itulah, setiap hari aku selalu berkunjung ke kawasan Benteng Marborough. Baik waktu pagi, siang, petang maupun beberapakali pada saat malam hari. Entah aku merasa senang menikmati suasananya, entah memang bagiku objeknya menarik. Yang jelas, lelak liku bangunan benteng, setiap sudutnya menghadiahkan suasana dan pemandangan yang tak membosankanku.




Jika sudah bosan berada di Benteng, aku akan turun ke arah pantai. Dulu pertamakali mendatangi Marlborough, bahagian benteng sisi arah samudera ini, terhampar karang dan masih didapati air laut dan ombaknya.

Tetapi saat sekarang, akibat susutnya air laut dan pembangunan dam pemecah ombak, telah terbentuk kawasan luas daratan. Pemerintah sudah membangun jalan, fasilitas wisata dan taman-taman. Bila malam hari, warga kota, ramai bersantai di kawasan ini. Ada ramai pedagang kaki lima berjualan kuliner makanan dan minuman.

Dalam sejarah panjang kehadiran Benteng Marlborough ini, juga sejarah bagi perjuangan rakyat Bengkulu dimasa sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia. Marlborough akhirnya dari Inggris berpindah tangan kepada kekuasaan Hindia Belanda. Setelah keduanya melakukan perjanjian pertukaran. Belanda menyerahkan Singapura kepada Inggris dan Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Hindia Belanda.

Marlborough masih berfungsi sebagai benteng pertahanan hingga masa Hindia Belanda tahun 1825-1942, Jepang tahun 1942-1945, dan pada perang kemerdekaan Indonesia.

Sejak Jepang kalah hingga tahun 1948, benteng itu manjadi markas Polri. Namun, pada tahun 1949-1950, benteng Marlborough diduduki kembali oleh Belanda.

Setelah Belanda pergi tahun 1950, benteng Marlborough menjadi markas TNI-AD. Hingga tahun 1977, benteng ini diserahkan kepada Depdikbud untuk dipugar dan dijadikan bangunan cagar budaya (*)


@ abrar khairul ikhirma

Senin, 12 Juni 2017

WARISAN – SANG GUBERNUR - CHAIRUL HARUN

Sampai akhir hayat sastrawan, budayawan dan wartawan Chairul Harun, tak pernah berhenti untuk menulis. Menjelang akhir hayatnya, beliau terus menulis tulisan opini untuk rubric “Komentar” di suratkabar Harian Singgalang, Padang, Sumatera Barat.




Novel WARISAN, 1979, diterbitkan penerbit Pustaka Djaya, Jakarta. Novel yang bersetting dilema warisan dan masalah social di Tanah Minang.

Novel sastrawan Indonesia, kelahiran Kayutanam, 17 Agustus 1940, Sumatera Barat ini, direkomendasi juri Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta. 1976. Kemudian novel Warisan meraih hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1979).

Seterima mendapat Hadiah Buku Utama, sastrawan dan budayawan A. A.Navis, membuat kejutan dengan berinisiatif secara pribadi, mengadakan selamatan di Hotel Muara Padang, sebagai penghargaan terhadap seniman di daerah.

Setahun sebelum Chairul Harun wafat, Yayasan Abdul Muis, Jakarta, menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, SANG GUBERNUR, 1997. Umumnya cerpen yang terhimpun dalam buku ini, merupakan cerpen-cerpen sastrawan Chairul Harun yang pernah dipublikasikan di Majalah Sastra Horison, Jakarta.

Cerpen Chairul Harun memiliki konteks dengan situasi social dan politik di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat, yang kadangkala “mematikan.” Dalam karya-karya Chairul Harun, “polusi politik” yang kita hirup setiap kita bernafas sepertinya adalah bagian dari polusi lingkungan di dalam kehidupan sehari-hari.

Selain Warisan dan Sang Gubernur, Chairul Harun dalam tahun 1990-an bukunya tentang Randai, diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Karya puisinya diterbitkan  CV Genta, Padang, dalam buku Antologi “Monumen Safari” bersama Leon Agusta, Rusli Marzuki Saria dan Zaidin Bakry.

Cerita pendeknya terdapat dalam antologi, “Laut Biru Langit Biru,” susunan Ajip Rosidi, Jakarta, 1977. Buku antologi “Jakarta, Cerita Pendek Indonesia,” susunan Satyagraha Hoerip, diterbitkan di Kuala Lumpur tahun 1982.

Chairul Harun juga ikut dalam buku “20 Sastrawan Bicara” terbitan Sinar Harapan, Jakarta (*)


abrar khairul Ikhirma