Selasa, 30 Mei 2017

SEBENING HATI DI MASJID NABAWI

Diantara hari-hari berada di Kota Madinah, kota suci, yang selalu didatangi dan didambakan setiap Muslim di berbagai Negara di dunia, masih sempatkan diri merekam, betapa kesunyian itu tidaklah senyap…




Tiada kurasakan dingin udara
Yang menjalari segenap tubuhku
Kala aku bergegas mencapai Mu
Dengan kerelaan hati
Dengan segenap permohonan
Ampunan Mu dan keredhaan Mu




Tiada kurasakan kala dinihari
Bergegas untuk dapat berjamaah
Berwudhuk bersama dingin
Mencapai barisan paling depan
Berharap dapat bersujud kepada Mu




Engkau telah memberi jalan bagiku
Alhamdulillah…
Telah Engkau izinkan aku mendatangi Mu
Mendatangi Kota Yang Bersinar
Menjejak lantai Nabawi Masjid Suci
Berada di dalamnya bagaikan Surgawi




Tiada kuhitung dan tiada kusadari
Pelupukku senantiasa terpercik basah
Bening-bening dari lubuk paling dalam
Betapa aku penuh noda dan dosa
Basuhlah pandangan dan jiwaku
Bersama do’a-do’a ampunan Mu




Mulai dari pelataranmu
Sampai kumasuki pintu mighrab Mu
Aku bersujud tiada lelah
Semata-mata mendo’akan jiwa
Menemukan ketentraman
Nafasku bergerak di siratal mustaqiem
Betapa teramat kecil diriku, hidupku,
Perbuatanku oh selalu kusebut nama Mu




Kesunyian dari segenap kesendirian
Tidaklah keheningan sia-sia
Hidupku, ibadahku, matiku
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui
Ketika dengan segala rahmat Mu
Aku dapat berada di sini
Bersujud, berdo’a, berada dalam jemaah
Demi memohonkan ampunan Mu
Demi menggapai jalan yang diredhoi.

foto dan teks:
abrar khairul ikhirma
madinah

februari 2017

Senin, 29 Mei 2017

BUNG KARNO, RUMAH PENGASINGANMU

Belum terasa lengkap, bila datang ke Kota Bengkulu, tanpa berkunjung ke Rumah Bung Karno, atau lebih tepatnya rumah dimana Bung Karno, Sang Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia, pernah tinggal selama diasingkan oleh Belanda di Bengkulu.




Pada salah satu kesempatan berkunjung ke Bengkulu, aku menyempatkan diri untuk mendatangi yang disebut masyarakat Bengkulu sebagai, Rumah Bung Karno. Selama berada di Kota Bengkulu, aku menginap di daerah Malabro, pemukiman penduduk, yang berdekatan dengan Benteng Marlborough, yang berada di kawasan pesisir Pantai Bengkulu.

Untuk mencapai Rumah Bung Karno dari Malabro terbilang dekat. Karenanya, disuatu siang sambil mengitari Kota Bengkulu, aku menyengajakan diri untuk mendatangi rumah tua, yang sudah dijadikan salah satu museum sejarah, yang dapat dikunjungi oleh masyarakat umum. Situs atau cagar budaya ini, merupakan salah satu “kekayaan” Kota Bengkulu, menjadi identitas yang kuat bahwa Bengkulu merupakan daerah yang bersejarah di dalam peta perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.




Bung Karno atau Soekarno menjalani hukuman pengasingan sebelumnya diasingkan ke Ende, Flores pada 14 Januari 1934. Beliau di Ende diasingkan selama empat tahun (1934-1938). Kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Saat kedatangan ke Rumah Bung Karno, suasana sepi-sepi saja. Cahaya matahari menerangi Kota Bengkulu, dengan udara yang terbilang panas. Ada pedagang asongan yang berada tak jauh dari pintu masuk. Areal parkirnya terlihat memadai dan bersih.

Begitu juga memasuki halaman yang luas, terlihat terasa lapang. Rumput di halaman dan sejumlah tanaman bunga, tampak terawat. Melihat suasana demikian, menggiring perasaan, di masa lalu Bung Karno tentu merasa nyaman dan menyukai suasana asri dan tenang.




Dalam banyak cerita yang pernah aku baca-baca, di rumah bekas rumah pengasingan Bung Karno ini, terdapat sebuah sumur tua, yang dikabarkan adalah sumur misteri. Sumur yang terdapat magis dan banyak yang mengatakan sebagai sumur yang angker.

Ketika sudah menaiki anak tangga, tepatnya di beranda, disambut oleh petugas yang menyodorkan berupa karcis kunjungan. Sayang karcis itu tidak diberikan, dianya hanya menerima uang yang diberikan. Namun aku tak hendak berdebat perkara itu. Karena hal-hal semacam itu, adalah pernak-pernik yang semestinya perlu dikontrol oleh pihak atasannya. Sehingga tidak merusak keberadaan objek yang didatangi oleh pengunjung yang memiliki latar belakang beragam.

Cukup lama aku berada di Rumah Bung Karno ini. Menikmati suasananya yang tenang. Bangunan tua ini sangat terawat setelah direnovasi. Mulai dari depan sampai bahagian belakang, terlihat bersih. Sayang sumur tua itu, sudah direnovasi. Tidak ada tanda-tanda bahwa itu sebuah sumur tua. Menurut hematku, sumur itu tak mesti diperbaharui, kesan ketuaannya tetaplah dipertahankan.

Rumah berpekarangan luas ini, ditempati oleh Bung Karno dari tahun 1938-1942. Masa-masa di Bengkulu ini, Soekarno memiliki jejak-jejak sejarah penting yang tak dapat dilupakan begitu saja. Selain rumah ini, Soekarno meninggalkan karyanya berupa bangunan Masjid Jami’ dan perjalanan kehidupan pribadinya dengan Bu Fatmawati. Sang Penjahit Bendera Pusaka Sangsaka Merah Putih.




Dalam Rumah Bung Karno ini terdapat sejumlah barang-barang peninggalan Soekarno. Ada ranjang besi yang pernah dipakai Soekarno dan keluarganya, koleksi buku yang mayoritas berbahasa Belanda serta seragam grup tonil Monte Carlo asuhan Soekarno semasa di Bengkulu.

Ada juga foto-foto Soekarno dan keluarganya yang menghiasi hampir seluruh ruangan. Termasuk sebuah sepeda tua yang dipakai Soekarno selama berada di Bengkulu.


Rumah Bung Karno ini terletak di tengah Kota Bengkulu, berada di Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka. Konon rumah ini adalah milik seorang pedagang Tionghoa yang bernama Lion Bwe Seng, yang disewa oleh orang Belanda untuk menempatkan Soekarno selama diasingkan di Bengkulu (*)

Senin, 22 Mei 2017

KETAM KAYU ZAMAN “SAISUAK”

Alat pertukangan dan alat-alat pertanian zaman lama, tidak banyak orang yang masih menyimpannya, sebagai suatu yang berharga. Ada sebahagian besar masyarakat kita tidak peduli dengan barang-barang semacam itu. Ada yang menjual pada peminat dan lebih banyak dibiarkan hancur atau hilang begitu saja.




Di salah satu bengkel las dalam Kota Pariaman, Sumatera Barat, ketika berkunjung, seperti biasanya terlihat di bengkel berbagai peralatan berserakan begitu saja. Diantaranya, terlihat sebuah peralatan manual sederhana yakni ketam ---katam--- kayu. Alat tukang kayu untuk menghaluskan permukaan kayu yang akan digunakan, agar terlihat rapi, bersih dan mudah dilakukan pengecatan.

Alat ketam kayu tersebut, terbuat dari lempengan besi, kemudian dipadukan dengan kayu yang diserut sebagai alat pegangngan tangan, kemudian pisaunya besi dengan mata yang tajam, lalu berbentuk sekrup seperti berbahan kuningan di bahagian belakangnya, berfungsi untuk mensetel posisi mata pisau ketam, sesuai dengan kebutuhan media yang akan diketam.

Anih Gamstone yang sehari-hari bekerja di bengkelnya, sebahagian besar memperbaiki mesin-mesin biduk nelayan tradisionil setempat, menemukan ketam kayu zaman saisuak ---zaman lama--- ini, secara kebetulan saja.

Ditemukan saat membongkar-bongkar suatu gudang tua. Ketam itu sudah dibalut oleh karat yang sangat tebal, hingga tak jelas bentuk yang sebenarnya. Karena menarik perhatiannya, dia mengetuk-ngetuk “bongkahan” itu hingga terlepas balutannya. Kemudian barulah dia mengetahui bahwa benda tersebut adalah sebuah alat pertukangan kayu, berupa ketam kayu yang digunakan pada zaman dahulu.


Ada sejumlah informasi dari beberapa orang temannya, ketam kayu itu diperkirakan sudah berumur lama. Sayang tak ditemukan buatan Negara mana dan tahun pembuatannya. Boleh jadi alat pertukangan buatan abad 18 dan masa-masa awal abad 19 (*) 

Sabtu, 20 Mei 2017

TERSEBAB (TAUFIK IKRAM) MELAYU

PIPA-PIPA besi terentang panjang di permukaan tanah. Dimulai dari sumur penghisap. Cukam ke perut bumi. Mengalir ke penampungan, lalu pengolahan, kemudian diekspor. Masyarakat Sakai menjadi “saksi” proses itu bertahun-tahun di depan matanya.




Kelompok etnis Sakai yang hidup di Provinsi Riau daratan Pulau Sumatera, adalah potret “usang” kebudayaan masa silam. Salah satu potret “luka” kebudayaan pembangunan di nusantara sampai hari ini.

Mereka dikenal sebagai masyarakat “terasing” dari gerak laju pembangunan (terutama ekonomi, teknologi, pendidikan atau pun kesehatan) di Riau. Karena terlambat (atau dilambatkan?) mengantisipasi dan menikmati perkembangan yang terjadi diluar kehidupan mereka, sebagai masyarakat tradisionil.

Ketertinggalan itu dalam kacamata kehidupan sosial moderen, mengakibatkan  terbelit “kemiskinan” dan “keterbelakangan” dibandingkan dengan masyarakat yang dibesarkan kemajuan modernisasi. Pembangunan (hampir-hampir) tak menyentuh mereka dan pemerintah tak serius melindungi hak-haknya, sebagaimana yang dikehendaki dalam pemerataan “kemerdekaan” bangsa.

Pada pemerintahan terdahulu, “potret Sakai” berlangsung dalam kehidupan yang kusam, robek, dimakan musim. Seringkali dimunculkan ke permukaan, Riau adalah daerah provinsi kaya minyak di Indonesia. Tambang devisa dan tambang alat “kekuasaan” dalam berpolitik. Selain menjadi gerbang perdagangan dan industri, karena berdampingan dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia.

Di balik “gemuruh” kekuasaan, “kepentingan” yang dianggap harus didahulukan dan lajunya ekonomi yang diagungkan, disitulah masyarakat seperti etnis Sakai semakin “terasing.” Hidup “tersuruk” di daerah pinggiran dan pedalaman. Mereka tidak berdaya “melawan” tekanan yang masuk pada kehidupan sosialnya, sebagai konsekuensi arus besar pembangunan.

Pipa-pipa yang menghasilkan berbarel-barel minyak dan dollar itu (suka atau tidak suka), terbentang melintasi wilayah dimana mereka hidup dalam kemiskinan. Potensi daerahnya “dikuras” tapi mereka boleh kata “tak menikmati.” Tak merubah keadaan dan bahkan seringkali “terpaksa” tak dapat mempertahankan haknya, saat memenuhi “kepentingan” tersebut.

Kegetiran di “bumi melayu” itu tak akan pernah hilang dalam catatan aktifis sosial dan kebudayaan. Banyak pihak “mengatasnamakan” mereka dan banyak pula benar-benar merasa prihatin. Merekalah yang setia mendampingi “keterasingan” dari riuh rendah “kemajuan” yang selalu bergerak bersama kekuasaan di daerah.

Perjuangan terhadap “keterasingan” tak pernah mati. Terutama bagi para pengibar panji-panji kebudayaan. Ia dikobarkan melalui tindakan, pemikiran dan hasil-hasil karya para seniman (sastra, teater, tari, musik atau pun seni rupa) kreatif. Walau pun sayup, namun adakalanya bertemu kala membalik kitab kehidupan kita.

Salah satunya, Taufik Ikram Jamil, salah seorang penyair terkemuka Riau selalu “bersigigih” menggali, mengembangkan dan mempertahankan kebudayaan Melayu. Dengan cermat mengolah sejumlah topik “spesifik,” bersungguh-sungguh pada estetis bahasa, mengambil idiom “keterasingan” etnis Sakai itu dalam sajaknya berjudul “Sakai,” dengan bait pertama penuh risau, “riang menghadang menjelang petang/ bayang-bayang telah jauh tumbang/ bersulam kelam”

“Penghargaan” kebudayaanlah alternatif menjadikan potret usang, berubah dalam mengentaskan “kemiskinan” bangsa. Pada kebudayaan tersimpan  tanggungjawab moral, kemanusiaan dan keberagamaan. Namun sistimatis pemberdayaan pembangunan dan hasil-hasilnya masih belum berjalan dengan baik. Karena seringkali “tidak sealur,” bahkan “mencampakkan”-nya. Simaklah bait kedua sajak Sakai, “apa dayaku kini kecuali berharap pagi/ juga berjanji tinggalkan sunyi/ saat terang lalat menyaput jagat.”

Bukan hanya Sakai. Masih banyak etnik lain mengalami hal sama. Tapi sebagai suatu “simbol,” mampu mengungkap bahwa kehadiran untuk “kesejahteraan” rakyat tak merakyat. Masyarakat di berbagai daerah di nusantara, yang sudah mulai mendekati hasil-hasil kemajuan juga tak terlepas pada masalah “keterasingan,” dari “apa” yang memasuki struktur sosial kehidupannya.

Kebudayaan-kebudayaan “baru,” bertolak belakang dengan “kebudayaan tradisi” mereka, menggeser pada perubahan seringkali secara “paksa” dan akibat perubahan itu menjadikan mereka semakin “terpuruk.” Dimungkinkan oleh “pemanfaatan” kekuasaan, melalui tangan-tangannya “praktek” ekonomi dan hukum “kapitalis” yang berjalan disadari atau tidak.

Sakai yang dimunculkan sebagai idiom oleh Taufik Ikram dalam sajaknya, adalah wakil dari keadaan “keterasingan” universal, ketika “perubahan” memasuki suatu wilayah. Di mana di dalamnya ada manusia, budaya dan tata alam tradisi.

Gambaran Penyair Taufik Ikram pada bait ketiga sajak Sakainya, dapat dilihat sebagai perubahan yang “menyimpan” proses pada pembentukan yang dihasilkan dari “keterasingan” manusia dan kelompoknya, “tapi hari-hari telah pecah/ aku pun tetap gagu/ bak lukah/ di batu-batu,” dapat menimbulkan konflik sosial dan merebak ke arah politik sewaktu-waktu, misalnya.

Berlanjut pada bait keempat sajak Sakai, upaya penjelasan penghayatan dari analisa (mempertanyakan) terhadap berbagai keadaan yang telah terjadi sebagai persoalan kebudayaan yang (kini) dihadapi semacam daerah Riau, “(demang-buana-mahmud-tuah-jebat-lanang-megat-jamil-kecik-ali-ali-soeman-hasan-tarji-mengapa kausakaikan daku)”

Nama-nama tokoh yang disebut penyair Taufik Ikram pada bait keempat, adalah nama-nama yang sudah tertera (dikenal) antara lain dalam perjalanan sejarah kebudayaan dan sastra Melayu di  Riau. Mereka adalah “acuan” sebagai penjaga nilai-nilai dari hasil suatu peradaban ke masa depan.   

Perubahan yang terjadi pada suatu bangsa, berubahnya struktur sosial akibat alam (bencana dan perpindahan) dan manusia (perang, politik-kekuasaan, kecerobohan pembangunan). Kebudayaan pun terbentuk sesuai dengan sejarah dan perkembangan masyarakatnya. Bertahan, berkembang atau hancur sama sekali.

Perjuangan sejumlah masyarakat Riau agar Kebudayaan Melayu dapat dipertahankan, terasa kental ditemui dalam sajak-sajak Taufik Ikram Djamil pada kumpulan sajak penggal pertamanya, “tersebab haku melayu,” yang pernah diterbitkan Yayasan Membaca Pekanbaru di tahun 1995 silam.

Taufik sang penyair, dilahirkan di Telukbelitung 19 September 1963, sebuah desa yang berada di suatu pulau di Riau, dekat perbatasan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia. Semula menulis karya sastra dan tulisan kebudayaan ke berbagai media terbitan lokal dan nasional hingga kemudian terjun ke jurnalistik sebagai wartawan di suratkabar Harian Kompas. Terakhir mengabdikan diri, salah seorang “pejuang” kehidupan kesenian dan kebudayaan (Melayu) di Riau.

Mencermati asal sastrawan dan budayawan Riau (seperti juga Taufik) mayoritas mereka terlahir dari kepulauan, yang kini sudah membentuk wilayah administratif Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian mereka hidup menetap di Pekanbaru (Riau daratan). Beraktifitas dan berinteraksi. Objektifitas pendekatan mereka dalam memahami situasi “keterasingan” terasa lebih murni. “Kemelayuan” mereka pun begitu “sublim.”

Perkembangan nilai Melayu dalam kesastraan daerah dan nasional yang dihasilkan “amat terjaga” cita rasa Melayunya. Dimungkinkan sejarah sastra Melayu sudah berlangsung dalam rentang yang panjang. Berangkat apa yang telah dilakukan oleh mendiang Raja Ali Haji dari Penyengat. Diperkukuh pula dengan dinyatakannya pulau itu (pulau yang terletak di depan pulau Tanjung Pinang) sebagai tempat pembinaan bahasa Melayu berpusat, sehingga menjadi baku dan salah satu “simbol” tonggak terbentuknya bahasa nasional, Bahasa Indonesia.


TAUFIK IKRAM JAMIL


Sakai dengan “keterasingannya,” dalam bentuk lain Taufik mencatat pula dalam karyanya tentang “tragedi” perubahan, juga akan mempengaruhi kebudayaan, khususnya “melayu” di Riau pada sajaknya berjudul “akankah muaratakus.” Simaklah bait pertamanya, “akankah/ akankah kausentrumkan riuh ria ini/ dengan listrik 114 megawatt/ hingga kita sama-sama hangus/ tinggal arang-arang tersergam/ jadi kabel kesedihan panjang.”

Kehadiran pembangkit listrik Kotopanjang, di perbatasan Riau dan Sumatera Barat, pernah menjadi “perdebatan” nasional. Perdebatan telah usai, dengan ditenggelamkannya sejumlah desa-desa untuk pembuatan waduk. Nyaris mengorbankan pula situs sejarah Candi Muaratakus. Candi tersebut didirikan semasa pemerintahan raja-raja keturunan Sjailendra seperti juga terdapat di Tanjung Medan (daerah Lubuk Sikapiang) dan Simanganibat (Tapanuli).

Bukan manusia dan budayanya saja menjadi “korban” tapi juga perubahan lingkungan tak sedikit mengalami kepunahan, “akankah/ akankah kau lupakan rentak kawanan gajah/ dengan lagu-lagu dangdut/ hingga kita sama-sama terdiam/ tinggal kebungkaman hari/ jadi nada kelaraan tinggi.” Sisi alam ini, tak serius dilihat dan  dipertimbangkan. Pengrusakan lingkungan selalu memakan korban. Mereka yang seharusnya berbuat “dibungkam” oleh berbagai sebab untuk mencapai tujuan.

Sebagaimana biasanya, “pembangunan” demi kejayaan “kemajuan” selalu menyisihkan “pertimbangan” kebudayaan. Senantiasa meninggalkan “luka” dan menambah masalah-masalah sosial dalam kebangsaan kita. Tersisa dan sisa-sisa itu lama-lama bergumpal dapat menjadi “akumulasi.”

Inilah tragedi terbesar yang akan dihadapi di masa depan. Tercerabutnya akar dan compang campingnya sebuah kehidupan. “akankah akankah akankah akankah/ akankah kaurendam rindu dendam ini/ hingga sungai kampar timpas kandas/ tinggal keperihan arus/ memenuhi waduk musim bermusim.”

“Mentilik” dan “menghening-inapkan” sajak-sajak Taufik Ikram, semakin nyata, dia telah menyerap persoalan diluar dirinya (diluar kebanyakan perilaku karya penyair Indonesia), lalu menguraikan di setiap kata sejumlah peristiwa yang patut dan tidak. Tidak “memaksa” orang agar memahami persoalan pribadinya sendiri tapi “menating” perihal yang dihadapi suatu masyarakat daerah berkembang.

Kekayaan sastra, tidak hanya dibangun oleh persoalan yang diceritakan tapi bagaimana suatu karya terbangun lebih komprehensif. Antara karya dan pembaca tidak menjadi berjarak tapi ikut saling memahami, persoalan apa yang sebenarnya sedang kita hadapi dewasa ini.

Pemanfaatan “kemelayuan” atau sosal-soal etnik bisa menjebak pada konsumsi lokal dan ego kedaerahan. Taufik (mungkin) menyadari betul sehingga dia memakai kata, memilih topik dan melumurinya dengan “makna” seperti sudah diperhitungkan sebagai pilihannya dalam berkarya. Lugas tanpa kehilangan estetika, rapi tak melenyapkan makna. Membuat “pembaca” yang tak berkait Melayu tak pupus ketertarikannya mendekati persoalan yang disampaikan.

Hal itu dimungkinkan, tersebab Taufik Ikram Jamil, Melayu (*)


[Artikel Opini Budaya oleh Abrar Khairul Ikhirma ini, pernah dipublikasikan di Suratkabar Harian Singgalang Padang]

Jumat, 19 Mei 2017

MASJID AS-SYAKIRIN KAMPUNG SINGKIR LAUT

Hari sudah berangkat siang. Kami baru saja selesai meninggalkan beberapa kilometer perhentian pertama kami, untuk menikmati makan siang, di sebuah kedai makan pinggir jalan. Kami pun melanjutkan perjalanan yang bermula dari Sintok, Negeri Kedah, dengan tujuan ke Lembah Bujang dan Gunung Jerai.




Mengingat waktu sholat zhuhur, akhirnya perjalanan dihentikan sejenak. Kami berhenti di sebuah Masjid yang kami temui yakni Masjid As-Syakirin, yang terletak di Kampung Singkir Laut, Bedong, Negeri Kedah Darul Aman, negeri yang terletak di utara Malaysia.

Kedatangan kami yang tidak di awal waktu sholat, hingga kami tidak dapat ikut bersholat jamaah. Suasana masjid sepi. Tidak ada kegiatan yang terlihat di masjid maupun sekitarnya. Lokasi masjid terletak di tepi jalan raya yang juga tidak ramai kendaraan.

Saat kami memasuki halaman masjid, tidak seorang pun orang yang terlihat. Toilet dan tempat berwudhuk terletak di salah satu sisi masjid. Air yang tersedia tidak jernih. Namun memang hanya itulah yang ada dan dipakai, kami pun ikut menggunakannya.

Posisi lantai masjid ditinggikan dari permukaan tanah. Untuk mencapai teras masjid, kami menaiki anak tangga. Rupanya masjid dalam keadaan terkunci, sehingga kami tidak dapat bersholat dalam masjid. Kami memaklumi hal itu dapat terjadi. Sudah hal biasa ditemui di berbagai tempat yang rawan dan masjidnya tidak memiliki petugas memadai untuk terbuka sepanjang waktu. Namun hal itu tidak membuat kami merasakan kesukaran. Karena di bahagian luar masjid terbentang karpet yang bersih dan dapat melaksanakan sholat.

Udara yang panas saat perjalanan ini, membuat kami berkeringat dan mata menjadi silau. Sebelum melanjutkan perjalanan, sebagaimana kebiasaan dalam perjalanan, aku senantiasa mendokumentasikan tempat-tempat yang kusinggahi dan kulalui, termasuk dapat melaksanakan sholat di Masjid As-Syakirin, di Kampung Singkir Laut ini. (*)

abrar khairul ikhirma
singkir laut – bedong - kedah

09 september 2016

Minggu, 14 Mei 2017

RUMAH BACA CHAIRUL HARUN



MEMBACA di negeri “Orang Bicara” adalah fenomena. Usaha terus menerus mendekatkan orang pada kegemaran, hingga (mudah-mudahan) bisa sebagai kebutuhan kiranya tugas mulia. Terkadang bagaikan sebuah mimpi di alam nyata. Namun kegigihan dari para pecinta kebudayaan terhadap jiwa bangsa tak pernah padam. Selalu tumbuh lalu mati, dan tumbuh lagi. Begitu perulangannya.




10 TAHUN Wafatnya Budayawan dan Sastrawan Indonesia Chairul Harun, yang juga tokoh pers, selain diberikan Penghargaan Budaya dari PERSINDO (Perhimpunan Seniman Indonesia) Sumatera Barat, diketuai Asbon Dudinan Haza, peringatannya juga ditandai dengan dibukanya secara resmi, “Rumah Baca Chairul Harun” di kampung kelahirannya, Kayutanam, Jumat (29/2/2008).

Rumah Baca itu semakin menambah bilangan dari kantung-kantung “tumbuh kembang” kegemaran membaca yang ingin ditradisikan, agar terbentuk keseimbangan akan kesukaan dari sekadar melihat dan mendengar menjadi plus “membaca.” Lokasinya sangat dekat dari pasar rakyat dan berada pada pemukiman masyarakat. Bangunannya menarik dan nyaman sebagai tempat membaca.




Membaca bisa dimaksudkan untuk suatu pengamatan (dari yang tersirat), lisan (melalui oral) atau tulisan. Dari ketiga hal itu, pada umumnya bangsa kita lebih menyukai secara lisan, baru kemudian tulisan, sedikit berjerih payah melalui bahasa pengamatan. Tak setiap orang dapat mencapai tingkatan paling tinggi membaca itu, apalagi kemudian dapat pula “menyimpulkan” sebagai perwujudan dari pemahaman.

Bukan tersebab perkara cerdas atau tidak tetapi berangkat dari kebiasaan, lalu pengalaman, kemudian membudaya. Proses demikian tidak dapat terjadi dalam waktu singkat. Ada waktu, keinginan dan kesempatan terbentuk dari suatu lingkungan yang menciptakannya.

Tradisi tulis baca sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Turun temurun. Bisa dipelajari melalui catatan sejarah. Namun tidak semua bangsa di suatu negeri, mempelajari dan membutuhkannya dalam keseharian. Ternyata yang jauh lebih pesat perkembangannya terpakai ialah bahasa lisan.

Dengan munculnya teknologi “tabung kaca” yang disebut televisi, telah membentuk banyak orang semakin gemar untuk melihat dan mendengar saja, dari pada harus berkutat dengan membaca “bacaan.” Keakraban bahasa lisan dan gambar sekaligus, disimpulkan telah melemahkan penjelajahan daya pikir untuk mempertimbangkan sehingga menjadikan pemahaman yang seragam.

Daya tarik yang ditimbulkan sangat luarbiasa. Berkat adanya gambar-gambar atraktif dan permainan bunyi suara, berupa kata-kata menyampaikan “sesuatu” atau sekaligus bunyi musik yang enak didengar dan menyenangkan.

Menghadapi lemahnya daya baca masyarakat, pemerintah pernah sampai perlu mengadakan program suatu gerakan nasional, agar tumbuh gemar membaca dalam masyarakat. Kampanye gencar dilakukan. Sejumlah rumah baca didirikan. Buku-buku dicetak dan perpustakaan besar atau kecil diadakan.

Namun jumlah pengunjung dan pembaca --pada umumnya,-- perbandingannya masih jauh di bawah angka menggembirakan dengan populasi dimana institusi itu ada. Tetapi harus diterima dengan gembira.

Tidak semua bibit unggul ada dalam satu persemaian. Ketika dipindah, ditanam, tumbuh dan dirawat, senantiasa diikuti mati oleh banyak sebab atau tumbuh tapi tak menghasilkan apa-apa. Menghasilkan tapi tak berkualitas.

Itulah tantangan bagi Rumah Baca Chairul Harun. Apa lagi berada di tanah di mana bahasa lisan berkembang sejak dulu. Minangkabau! Petatah petitih, tutur bahasa, disampaikan turun temurun melalui pengucapan yang terekam dalam ingatan, kemudian disampaikan lagi dengan kefasihan.




ADALAH menggembirakan, tatkala akhirnya terwujud dibukanya Rumah Baca itu. Mulanya, isteri pertama almarhum mengutarakan pada saya, bagaimana “menangani” buku-buku di rumah Pasir Putih, Padang. Waktu dibicarakan pada adiknya Syafrizal Harun (Da Zal), ia bukan tidak mau mengurus tapi tak etis kalau mengajukan diri. Akhirnya jalan terbaik saya minta ibu mendengar pendapat anaknya Gombang Nan Cengka di Jakarta yang lebih berhak. Dia tak keberatan.

Usulan saya, dari pada tidak terawat dan bisa lebih “agak” aman, buku-buku milik Chairul Harun bisa diungsikan ke rumah orangtuanya di Kayutanam. Uda Basril Djabar salah satu sahabatnya meminjamkan mobil dan sopirnya. Sehari tuntas. Tetapi perkara baru datang, bagaimana keadaan buku-buku itu selanjutnya?

Saya sendiri “kesulitan” datang ke Kayutanam. Sampai tulisan ini diturunkan ---dipublikasikan di suratkabar Harian Singgalang, Padang--- belum dapat menyaksikan bagaimana keadaannya.

Dari beberapa kali bertemu Uda Zal saya “gosok” terus adiknya. Bahkan saya terlanjur bicara “melankolik” pada Sutan Zaili Asril (almarhum) di suatu percakapan lepas di kantornya di suratkabar Harian Padang Ekspres. Sutan Zaili menawarkan diri, menyediakan salah satu ruang kantornya dan memberikan nama dengan “Kamar Baca Chairul Harun.”

Itupun tak saya tuntaskan. Sampai akhirnya sebagai pelepas “uneg-uneg” saya menulis catatan di Harian Singgalang (15/12/2003) dengan memanfaatkan momentum hari ulang tahunnya suratkabar bersejarah itu ke 35, dimana almarhum Chairul Harun berperan besar semenjak suratkabar tersebut terbit setiap hari dan dirayakan di INS Kayutanam, Desember 2003. Menyoal bagaimana “mendirikan rumah untuk Chairul Harun.” Agar buku-buku itu dapat dimanfaatkan oleh orang-orang berikutnya.

Mendapat kabar Rumah Baca Chairul Harun diresmikan, agaknya, kegembiraan itu bukan hanya milik saya sendiri tetapi, bagi kita semua dan khazanah ilmu pengetahuan dan kebudayaan secara luas. Sebab telah lahir sebuah kantung harapan, dimana nanti bisa menjadi salah satu sumber bagi penelitian mahasiswa,  tempat mengembangkan dunia baca secara dini, atau menghidupkannya dengan sejumlah kegiatan kesenian. Diskusi dan pertunjukan.

Di halaman bangunannya, bisa sewaktu-waktu diselenggarakan kegiatan diskusi, pertunjukan spontanitas atau pun terjadual. Masyarakat sekeliling sebelumnya sudah terbiasa, di sekitar bangunan tersebut sudah berulangkali terselenggara bermacam kegiatan pertunjukan seni, yang diadakan semasa almarhum hidup. Sehingga atmosfir yang nanti dipancarkan Rumah Baca akan memiliki korelasinya saling membutuhkan.

Bila dihitung saja ada 12 bulan dalam setahun, pengelola Rumah Baca cukup tahap pertama menyelenggarakan 4 kegiatan saja dalam setahun. Artinya sekali dalam tiga bulan. Misalnya, berupa Diskusi kecil, peluncuran/bedah buku, baca puisi dan pertunjukkan teater (monolog dan pantomim). Tak perlu kegiatan besar. Yang penting publikasi pada segmen yang tepat. 




TANTANGAN lain agar Rumah Baca tidak hanya sebuah tempat penyimpan buku, lengang, terkunci dan berdebu, diperlukan kerja keras tanpa pamrih. Karena dibutuhkan penjaga, listrik dan biaya lainnya. Diperlukan menarik hati simpatisan untuk mengalirkan donasinya menanggulangi pembiayaan, agar Rumah Baca bisa terkelola dengan baik. Termanfaatkan secara maksimal.

Sudah saatnya, sebagai langkah awal dari pihak-pihak pemerintah dan perusahaan besar swasta di daerah ini dilakukan pendekatan menjadi donatur. Semisal di wilayah Kabupaten Padang Pariaman terdapat, Angkasa Pura pengelola Bandara Internasional Minangkabau di Ketaping, Perusahaan konstruksi, minuman, pengolahan sari kelapa di Kasang, atau lagi air kemasan di Sicincin.

Lebih meluas lagi pada PT Semen Padang atau lembaga dan personal di PKDP dan Gebu Minang. Kemudian bisa dilanjutkan melakukan kontak dengan lembaga-lembaga swadaya yang mendonori kegiatan kemasyarakatan dalam dan luar negeri. Apalagi kinerja jelas dan baik, tentulah akan lebih banyak dukungan atas keberadaan Rumah Baca yang didirikan.

Jika Rumah Baca Chairul Harun dapat melangkah menerobos batas dengan donatur, bisa jadi sebuah pilot project ke depan atas meyakinkan, betapa pentingnya suatu kerjasama mengurus suatu bangsa. Karena di daerah ini, begitu kerap terjadi kegagalan pada apa yang telah dimulai (*)


[Artikel Opini Budaya oleh Abrar Khairul Ikhirma ini pernah dipublikasikan di suratkabar Harian Singgalang, Padang, Maret 2008]

Jumat, 12 Mei 2017

HANG TIKAM “DI TANGAN” TUAH KENANG


Mungkin aku tak terlalu berharap akan dibaca hari ini oleh setiap orang yang melihat atau menyimpannya, namun aku merasa suatu hari kelak, ada yang membutuhkannya untuk mengetahui bagaimana gambaran pada saat karya itu ditulis.


HANG TIKAM TUAH KENANG DI TANGAN YURNALDI - PADANG


Aku muncul seketika di pertengahan bulan Februari 2017, pada sebuah rumah di komplek perumahan di daerah Batang Kabuang, arah utara pusat Kota Padang. Ini kunjungan keduaku setelah bertahun-tahun “menghilang” dari “keterhubunganku” dengan banyak orang pada rumah ini. Kunjungan pertamakali di minggu pertama bulan Agustus 2016. Aku tidak berjumpa dengan orang yang ingin kujumpai. Saat itu aku hanya bertemu dengan isterinya yang sudah anggap saudara.

Kedatangan kedua ini pun orang yang akan kutemui juga tidak berada di rumah seperti kedatangan pertama dulu. Isterinya menelepon suaminya, memberitahu kedatanganku. Dia meminta aku menunggunya sesaat, untuk dapat kami berjumpa.

Hari itu aku berjumpa dengan Yurnaldi, teman satu angkatan dalam dunia kepenulisan pada media cetak suratkabar di Sumatera Barat sejak tahun 1980-an. Kami pernah sama-sama menjadi redaktur di Koran Masuk Sekolah Harian Singgalang, Padang. 

Aku tidak menseriusi dunia jurnalistik tapi lebih cenderung hidup pada dunia kesenian. Sedang Yurnaldi menekuni dunia jurnalistik hingga kemudian hari dapat bekerja menjadi wartawan di suratkabar nasional Harian Kompas, Jakarta. Setelah berhenti dari Kompas dia sempat bekerja di beberapa penerbitan suratkabar dan menulis buku-buku pengalamannya menjadi wartawan.


DI TANGAN PENYAIR MALAYSIA ROSMIATY SHAARI - KUALA LUMPUR


Pertemuan kami itu berlangsung dengan perbincangan sekitar dunia jurnalistik maupun sastra dan dunia kesenian. Perbincangan yang memakan waktu tak kurang dari 4 jam itu, ditemani dengan sajian mpek-mpek yang enak, kuliner buatan isteri Yurnaldi sendiri yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Daerah yang dikenal di Indonesia dengan makanan spesifik mpek-mpek. Dalam waktu terakhir, Yurnaldi bersama isterinya bergiat dalam produksi melayani pesanan makanan khas mpek-mpek tersebut.

Setidaknya Yurnaldi tahu kepribadianku, terutama sejak aku “menghilang” bertahun-tahun, tidak kebiasaanku untuk mau bersengaja menemui seseorang. Karenanya, kedatanganku ini baginya dan isterinya, sungguh suatu hal yang istimewa di bulan Februari 2017. Aku sendiri memang suka memberikan surprise pada orang-orang tertentu yang kukenal. Termasuk aku “hadiahkan” sebuah buku kumpulan puisiku “Hang Tikam Tuah Kenang,” yang diterbitkan pada 17 Agustus 2016.


MONOLOGER ILHAMDI SULAIMAN & LILY SITI MULTATULIANA - JAKARTA


Buku kumpulan puisiku yang keenam Hang Tikam Tuah Kenang, memang tidak kulakukan pemasarannya seperti sekarang gencar dilakukan oleh mereka yang menerbitkan buku, melalui jaringan media social. Tetapi buku puisi ini untuk pertamakalinya, sudah “aku hadirkan” pada sejumlah personal saat mengikuti “Temu Penyair Asean 2016” di Kuala Lumpur, Malaysia, yang diselenggarakan ITBM-Pena-Dewan Bahasa Pustaka, Malaysia, 2 – 3 September 2016.

Kemudian pada minggu ketiga bulan yang sama, aku hadirkan buku puisiku Hang Tikam Tuah Kenang di Negeri Melaka, pada acara yang kuhadiri  “Malam Puisi Sungai Melaka @ Festival Antar Bangsa Sungai Melaka 2016,” yang diselenggarakan PENAMA --- Persatuan Penulis Negeri Melaka, 18 September 2016.

Hari Puisi 2016 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, yang diselenggarakan minggu kedua bulan Oktober 2016, aku tak hadir dalam “kemeriahan puisi” itu, meskipun ramai berdatangan para penyair dari berbagai daerah, komunitas dan personal di Indonesia dengan “penuh semangat.” Aku pun sebelumnya juga tak pernah menyertakan puisiku untuk dapat termuat dalam buku antologi puisi tebal yang diterbitkan, berkaitan dengan acara tersebut.


INDONESIA - SINGAPURA DI TIM JAKARTA


Akan tetapi melalui media social fesbook, aku mengetahui bahwa sejumlah buku puisiku Hang Tikam Tuah Kenang, berada di tangan sejumlah orang sekaitan suasana itu. “Kehadiran” buku puisiku di Hari Puisi 2016 ini adalah semata-mata hanya inisiatif dari bu Lily Siti Multatuliana SutanIskandar, seorang yang dikenal dalam beberapa tahun terakhir, bergiat pada berbagai acara sastra di Malaysia dan Indonesia, sengaja datang dari Negeri Melaka, Malaysia ke Jakarta – Indonesia, “menghadiri” Hari Puisi 2016, salahsatu acara besar sastra Indonesia. Tentu saja inisiatif itu suatu hal yang positif dan patut diucapkan terimakasih.

Sebelum pulang ke tanah air, sewaktu berada di Melaka, aku memang “menyerahkan” sejumlah buku puisi Hang Tikam Tuah Kenang pada bu Lily, mohon bantuannya, mana tahu teman-teman di Malaysia yang ingin “memiliki” buku itu dapat memiliki via bu Lily. Termasuk juga dengan maksud yang sama, sebelumnya aku juga telah mohon bantuan saat berkunjung ke Negeri Kedah pada bu Amelia Hashim, penulis wanita Kedah. Terakhir kuketahui bu Amelia kemudian juga “menitipkan” buku tersebut kepada bu Lily di Melaka. Terimakasih (*)