Selasa, 19 September 2017

MEREBUT PAGI DARI TUHAN

Masuk penginapan di Madinah awal kedatangan sudah waktu dinihari. Sebelum subuh, aku sudah berada dalam Masjid Nabawi untuk dapat bersholat Subuh. Paginya bersama rombongan kami “berziarah” di Masjid Nabawi.




Apa yang kurasakan setelah bangun tidur sebelum waktu subuh ? Aku mengalahkan rasa kantuk dan dingin yang selalu menghantui hari-hariku selama ini! Mengantuk karena waktu tidur singkat. Dingin karena kamar dan ruangan hotel berpendingin. Udara diluar pun dingin.

Kemenangan dan kekalahan itu catatan awal dalam hikmahku sambil menuju ruang makan hotel. Memenangkan pertarungan rasa kantuk, ditambah rasa dingin, aku kira hampir semua manusia mengalaminya. Aku tidaklah manusia istimewa. Walau pun selama ini, aku terbilang suka untuk terbangun di kala pagi hari.

Bangun pagi tidak tersebab oleh pepatah umum, “kesiangan rezeki dipatok ayam.” Yang menunjuk kepada orang tak berusaha untuk mendapat waktu awal, hingga rezeki yang semustinya dapat diraihnya tidak diperoleh akibat hilangnya kesempatan.

Sedari kecil, kami semua sudah diajar untuk bangun pagi oleh orangtua kami. Bersholat Subuh dan mengerjakan tugas masing-masing sebelum berangkat sekolah. Bersholat wajib. Sedangkan mengerjakan pekerjaan boleh tidak bekerja. Tetapi konsekuensinya, bila sepulang sekolah sampai petanghari ada yang hendak dibeli, tidak akan dapat uang belanja dari orangtua, diluar uang belanja waktu sekolah.

Apa alasannya? “Kamu tidak ikut berusaha (bekerja), bagaimana kamu diberi uang. Kamu tak punya hak meminta,” kata orangtua kami. Menangis meraung-raung dan berguling-guling di lantai sampai ke tanah pun, orangtua kami tetap tidak akan beri uang satu sen pun. Bagaimana waktu pagi diberi belanja sekolah? “Itu kewajiban kami sebagai orangtua. Menyekolahkan anak dan memberinya belanja.”

Dapatkah dikatakan orangtua kami adalah orang yang pelit? Sebab menurut kata orang kampung kami padaku dan saudara-saudaraku, semustinya kami adalah anak-anak yang senang. Tidak perlu ikut bekerja memupuk padi di sawah atau menggembala ternak sepanjang hari. Kami orang kaya, “basawah laweh.” Artinya, kami memiliki lahan persawahan yang luas dengan hasil padi yang berlimpah. Untuk menumbuk padi menjadi beras di musim panen saja, kami memiliki mesin sendiri.

Orangtua laki-laki adalah Wali Nagari. Memimpin wilayah yang luas, seluas wilayah kecamatan. Disegani dan dihormati. Orangtua perempuan seorang guru yang menolak untuk berjabatan Kepala Sekolah. Satu-satunya pemegang hak waris warisan keturunan kami. Semustinya, kami anak-anaknya hanya bersekolah dan bermain tanpa dibebani oleh pekerjaan seperti teman-teman sebaya kami semasa itu.

Kedua orangtua kami tak pernah bosan berulang-ulang dalam berbagai kesempatan menyampaikan, bahwa semua garis aturan yang ditetapkannya tidaklah untuk mengajar kami tapi bertujuan untuk mendidik kami. Agar tahu untuk susah dan tahu untuk menghargai kesusahan. Semasa kecillah dapat diberikan, kalau sudah besar (dewasa) tinggal menentukan pilihan.



SAMIR ARABIAN, MUNTAWIF KAMI MENJELASKAN
SEKILAS TENTANG MASJID NABAWI


“Kalau mau dibentuk ketika masih jadi rabuang ---rebung, kalau lah jadi batuang ---bambu--- lah kareh.” Artinya. Mendidik itu waktu kecil sampai masa remaja. Sudah dewasa tak masanya lagi dididik, hanya akan hidup menjalani saja.

Bangun pagi sudah dibiasakan sedari kecil. Karenanya, semalas-malasnya kebiasaan itu pastilah sangat berpengaruh. Ada pekerjaan atau tidak, hal demikian terbawa ke dalam kehidupan selepas kami semua menjadi dewasa. Bangun dari tidur. Mengalahkan rasa kantuk. Kasur yang empuk adalah syaitan, bantal dan selimut tidur saudaranya syaitan, menggoda untuk lelap sehingga terbangun ketika matahari sudah naik melampaui pohon kelapa. Seperti istilah orang kampung kami waktu tidak pagi lagi.

Mengingatkanku, suatu kali di masa laluku pernah bertamu ke satu rumah. Di atas meja ruang tamunya itu tergeletak sebuah buku tebal bersampul hijau. Di kulit buku itu ditulis dengan tinta emas. Tafsir Alquran.  Aku pernah menemui Surat Al Muzzammil yang berarti Orang yang Berselimut dan membaca tafsirnya saat itu.

Ketika aku hendak menuliskan tulisan ini, yang bercerita perihal bangun pagi hari selama di Tanah Suci, segera saja aku ingat surat Orang yang Berselimut yang pernah kubaca itu. Surah ke 73 dalam Alquran. Al-Muzzammil. Terdiri 20 ayat. Segera kucari buku tafsir. Membaca dan mengutipkannya dari  ayat 1 sampai 8:

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah untuk (untuk bersembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). “

Meskipun aku sudah mendatangi Masjid Nabawi di waktu subuh, aku juga turut bersama rombongan menuju Masjid Nabawi sesudah menikmati sarapan pagi di penginapan. Agenda biro perjalanan, pagi itu kami dibawa berziarah ke masjid. Muntawif akan membantu kami, menceritakan hal-hal penting tentang masjid dan keterkaitannya dengan perjalanan sejarah Islam, yang cepat kami pahami dan cerna dalam ingatan.

Perasaan senang saja saat itu. Udara dingin yang dihembuskan dari gurun pasir, bersambut dengan cahaya matahari yang terang. Langit sedikitpun tak bermuram hati. Wajah-wajah yang terpandang olehku penuh cahaya. Seakan berlepas diri dari kehidupan duniawi. Di sini wajah itu menjadi runduk, bersujud, menyerah kepada keinginan untuk melaksanakan ibadah. Sepanjang hari memohon ampunan dan mengharapkan rahmat hidayah dari Allah.

Waktu pagi dan cahaya matahari adalah diperuntukkan untuk manusia memulai kehidupan dikala siang hari sampai petang bersambut Maghrib. Semuanya saling bergegas bangun dari tidur di waktu subuh, berjalan menuju satu titik dari tiap penginapan ke Masjid Nabawi. Ingin mendapatkan saf terdepan. Ingin segera bersujud memohon ampunan. Berharap diberikan petunjuk dan hidayah.

Pagi yang tentram dan sinar matahari di atas langit Madinah adalah rahmat, seakan beramai-ramai manusia dari berbagai Negara ingin merebutnya dari tangan Tuhan. Mereka para jamaah silih berganti berdatangan ke Masjid Nabawi. Berusaha. Berusaha. Berusaha mendekatkan diri sebab tanpa mengenal diri tak akan mengenal Allah. Hanya hamba Allah yang semakin mengenal dirinya, semakin dekatlah amal ibadahnya kepada Allah. Subhanallah…




Sampai dalam masjid, aku bersholat sunat. Pada salahsatu bentangan sajadah yang panjang, diantara tiang-tiang kokoh, berjajar dengan rapi. Bersama dengan jamaah-jamaah lainnya. Tak pernah terpikirkan berapakah jumlah tiang penyangga atap bangunan. Berapa lorong yang ada. Lorong mana saja yang kulalui.

Lorong yang manakah kulalui saat datang dan lorong manakah kutempuh untuk keluar. Berapa jumlah lampu penerang di langit-langit masjid, menyala tak pernah dibiarkan bergelap. Sungguh tak terpikirkan hal itu bagiku sampai meninggalkan Madinah. Apalagi tak berbilang kebesaran Allah yang diberikan pada semua makhluk, apa-apa yang dibutuhkan manusia untuk hidup dan kehidupannya.

Selesai bersholat sunat Muntawif memimpin kami untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah dan berdo’a. Terasa sejuk. Ia kemudian menyampaikan sejumlah perihal Masjid Nabawi secara ringkas. Lalu kami bergabung dengan jamah-jamaah lainnya, yang ingin masuk Raudlah. Raudlah atau disebut juga dengan al-Rawdah, adalah “Taman Sorga.” Terletak diantara mimbar dan makam Rasulullah. Dimana do’a-do’a dikabulkan Allah.

Mimbar Masjid Nabawi yang asli yang digunakan Rasulullah, sudah diganti. Menurut keterangan, mimbar asli Nabi Muhammad tersebut hanyalah terbuat dari "balok kayu kurma". Mimbar ini berdimensi 50 sentimeter (0.50 m) x 125 meter (410 ft).

Disebutkan bahwa pada tahun 629, tiga anak tangga ditambahkan pada mimbar. Kalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, tidak menggunakan anak tangga ketiga "karena mengikuti Sunnah". Sedangkan Khalifah ketiga, Ustman menempatkan sebuah kubah kain di atasnya dan kursi yang terbuat dari eboni. Kemudian mimbar itu dipindahkan oleh Baybars I pada tahun 1395. Kemudian oleh Sheikh al-Mahmudi pada tahun 1417. Juga dipindahkan lagi oleh Qaitbay pada akhir abad ke lima belas. Pada Agustus 2013 tidak lagi digunakan dalam masjid.

Terdapat dua mihrab dalam Masjid Nabawi, satu dibangun Nabi Muhammad dan yang lainnya dibangun oleh Khulafaur Rasyidin ketiga Utsman. Disamping mihrab, masjid juga memiliki tempat suci lain, yang mengindikasikan sebagai tempat salat. Termasuk mihrab al-tahajjud yang dibangun oleh Muhammad untuk tahajjud, mihrab Fatimah.

Lama juga aku bersama rombongan berada dalam Masjid Nabawi. Disela-sela semua itu, aku usahakan aku tetap menyebut nama Allah dalam hatiku. Aku dan juga yang lainnya memilih pintu keluar, mengikuti lajur yang terdapat di depan peristirahatan terakhir Nabi Muhammad, Khalifah Rasyidin Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Ketiga makam terletak di dalam masjid, berdampingan dengan Mimbar.

Sekeluar dari dalam Masjid Nabawi, kami menggunakan waktu mengelilingi masjid, dengan pelataran yang luas dan bersih. Cahaya matahari dirasakan tidak panas, karena udara dingin meredupkannya untuk membakar kulit. Antara panas dan sejuk hampir tak pernah kupikirkan sebagai suatu masalah yang pelik saat ini.

Berjalan sambil menyebut nama Allah, aku memperhatikan lalu lalang jamaah, kedamaian kelompok-kelompok jamaah bersantai, khusu’ membaca Alquran yang tergenggam di tangan. Lalu di sana-sini terlihat tak puas-puasnya mengabadikan diri di Masjid Nabawi dengan camera ponsel. Pemandangan yang tak membosankanku ialah, bagaimana pekerja-pekerja kebersihan Masjid Nabawi tak henti-hentinya disibukkan oleh pekerjaannya.



KAKAK SULUNGKU IRVAN KHAIRUL ANANDA
BERSAMA KETUA ROMBONGAN DARI SIAR TOUR  MEDAN
BERSAMA M. AZMI NASUTION DI MASJID NABAWI


Yang bekerja dan beribadah. Tidakkah ini menyentakkan pikiran kita? Hikmah bagiku! Bagaimana kita hanya tenggelam dalam ibadah tanpa melakukan pekerjaan dalam hidup ini? Atau sebaliknya, hanya diperbudak pekerjaan tapi hampir tak memiliki nilai ibadah. Suatu hal yang tak muskil dilakukan manusia mukmin yakni, melakukan pekerjaan tetapi pekerjaan itu sendiri merupakan ibadah. Tentulah akan menjadi pertimbangan kelak nantinya perihal amal perbuatan.

Maka aku pun teringat akan tragedi Garin yang dicimeeh Ajo Sidi dalam cerita pendek sastrawan Engku A.A. Navis, “Robohnya Surau Kami.” Ketika Garin tergoncang pada hidupnya, karena dikatakan hanya menghabiskan umurnya semata-mata di surau. Mengasahkan pisau, parang dan sabit orang kampong. Diberi wang alakadarnya dan belas kasihan diantar makanan oleh satu dua ibu-ibu yang bersedekah sewaktu-waktu.

Kerja. Kerja. Kerja.

Salahkah seruan itu disampaikan? Hanya seruan untuk menuju kebajikan pada semua orang. Tidak berbatas kepada keyakinan dan kepercayaan. Tidak karena berpihak. Tapi itulah seruan akhirnya bagi segelintir diantaranya menjadi bahan untuk diperolok-olokkan. Seakan bekerja hanya berarti verbal. Padahal pada setiap kerja terdapat hikmah berusaha. Bagiku, manusia memang tidaklah ada yang sempurna tapi menuju kesempurnaan adalah suatu kewajiban.

Karenanya aku datang ke Tanah Suci ini ya Allah, agar aku dapat memperbaiki hidupku dan berusaha untuk menyempurnakan ibadahku. Kurebut hikmah pagi dari tangan kemahabesaranMu ya Allah! Izinkanlah aku kerja dalam mengusahakan hidup, untuk memperbaiki menuju jalan Yang Diridhoi. Amin (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar