Jumat, 13 April 2012

MEMOTRET BUKIK TAKURUANG NGARAI SIANOK


Sejak kecil yang saya kenal hanyalah Ngarai Sianok. Ngarai yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari Jam Gadang di Pasa Ateh Bukiktinggi. Kalau dari Pasa Ateh atau Pasa Bawah Bukiktinggi, cukup hanya berjalan kaki menuju Ngarai Sianok atau naik bendi, melepas pemandangan jika datang ke Bukiktinggi. Di tempat yang sama terdapat juga Lobang Jepang. Sebuah terowongan dalam tanah yang dibuat dan dijadikan pertahanan tentara Jepang di masa penjajahan dahulunya.


Mereka yang datang ke Ngarai Sianok dulu umumnya hanya sekadar menikmati dari ketinggian satu sisi ngarai dari arah Kota Bukiktinggi itu saja, lalu berfoto dari bagian tubir ngarai, tepatnya di taman pintu masuk ke Lobang Jepang, dengan latar belakang ke arah Gunung Singgalang di kejauhan, jika cuaca sedang bagus. Atau ke view belahan ngarai dengan sungai berliku ke arah bawah. Sedikit sekali yang berkunjung menyengajakan diri untuk turun ke dasar ngarai, kecuali rombongan berkemah atau pecinta alam.

 
Saya baru mengetahui bahwa di dalam Ngarai Sianok terdapat Bukik Takuruang saat mengikuti Perkemahan Seniman Sumbar di pinggir sungai di dasar Ngarai Sianok, yang diadakan Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Sumatera Barat saat itu. Pertamakali saya datang ke Bukik Takuruang adalah bersama (alm) pelukis ASRIL JONI. Di pagi hari kedua perkemahan, kami berangkat dengan sepeda motor ke Bukik Takuruang yang berjarak sepengisapan sebatang rokok saja dari lokasi perkemahan, menikmati suasana ngarai yang teramat sejuk, segar, damai dan membuat sejumlah sketsa.

Bukik Takuruang ada juga yang menyebutnya dengan Bukik Tasapik yakni sebuah bukit yang terpisah dari jurang ngarai. Di kakinya mengalir sungai yang dangkal dan jernih. Di baliknya jika naik salah satu ketinggian di sisinya, tahulah bahwa terhampar areal persawahan masyarakat bertingkat-tingkat.


Tidak jauh dari Bukik Takuruang ini terdapat jalan mulus menyisi tebing batu yang dipalun rimbunan rumpun bamboo, berkelok, mendaki menurun, kelanjutan jalan dari Ateh Ngarai Kota Bukiktinggi menuju Nagari Matua, dimana jalan ini nantinya bertemu dengan jalan Maninjau ke Padang Lua. Melewati perkampungan Sungai Jariang, pepohonan di lereng bukit, sawah nun di lembah dan rumah-rumah dalam kerimbunan.


Sejak setahun terakhir ini, jika lagi berada di Bukiktinggi, saya selalu menyempatkan diri saat sore hari turun ke Ngarai Sianok lalu mampir ke Bukik Takuruang. Rasanya saya tidak puas-puasnya menikmati suasananya. Tiap cuaca dan tiap waktu selalu menemukan sensasi yang berbeda-beda. Waktu yang amat saya sukai ialah ketika sore menjelang disaat cuaca sangat bagus. Kala siang hari panas terik, langit bersih dan sorenya cahaya terang keemasan akan menyebar tanpa mendatangkan rasa panas. Sehingga Bukik Takuruang terlihat dengan jelas di kejauhan dan Gunuang Singgalang di latar belakangnya tertegak dengan view yang indah.


Jika sudah berada di kawasan Bukik Takuruang, selalu saya terbayangkan Bukik Takuruang saat-saat dahulu kala. Terutama seperti tahun 1935 sebagaimana ditemukannya selembar repro foto lama Bukik Takuruang berasal dari dokumentasi museum negeri Belanda, atau mengenangkan saat-saat pertamakali saya mendatangi tempat itu dengan jiwa yang penuh gejolak ingin menjadi seorang pelukis, membuat sketsa-sketsa di tahun 1980-an silam dan membandingkan dengan keadaan lingkungan sekarang ini, sungguh jauh berbeda.

Tidak hanya waktu tapi juga situasi lingkungan, pemandangan dan suasananya, yang seringkali mendatangkan kerisauan. Tidak hanya saya saja yang berulangkali mengabadikan Bukik Takuruang. Semua yang pernah berkunjung ke sini selalu ingin mengabadikan diri dengan momen bukit yang kini sudah semakin mengecil, karena terjadinya gempa dan ulah tangan manusia di masa silam sebelum dihentikan pengrusakan oleh pemerintah.

 Hasil-hasil pemotretan dengan mengambil objek Bukik Takuruang kini sudah tak terhitung lagi. Baik situs ataupun blog di dunia maya ataupun media cetak dan elektronik, bergegas berlomba mendokumentasikannya. Jangan-jangan hampir menyamai dengan momen foto-foto Ngarai Sianok yang sampai kini bertebaran tak terhitung lagi kalinya dan terus diabadikan oleh mereka yang berkunjung. Baik oleh fotografer amatiran ataupun profesional. (abrarkhairulikhirma/01/09/2011)