Jumat, 30 Desember 2016

KUALA BAHANG KUALA KEDAH



Seperti biasa, lokasi jejak sejarah, senantiasa dalam suasana sepi. Jauh beda dengan kawasan keramaian semacam pusat perbelanjaan atau pun tempat-tempat hiburan. Suasana sepi setelah hujan yang melintas reda, terasa saat akan memasuki Museum Kota Kuala Kedah siang menjelang petang hari.




Aku ditemani Amelia Hashim dan Andhyka Nugraha mengunjungi kawasan bersejarah Negeri Kedah Darul Aman ini. Kawasan museum ini terhampar di atas lahan luas. Masih terdapat tembok benteng, sejumlah meriam dan tentu saja nun di sana, terlihat sebuah menara Lampu Mercu Suar, salah satu titik penanda bagi jalur pelayaran kapal-kapal di Selat Melaka, yang sudah berusia tua.

Amelia Hashim, salah seorang penulis wanita Malaysia asal Negeri Kedah yang menghantarkanku ke destinasi ini bercerita, ini adalah salah satu tempat yang suka dikunjunginya. Selama ini, telah berkali-kali mengantarkan “tetamunya” pada objek tapak-tapak sejarah demi memperkenalkan Negeri Kedah. Selain itu, sambil mempelajari lebih jauh setiap objek untuk bahan-bahan penulisannya. 




Kota Kuala Kedah juga dikenali sebagai Kota Kuala Bahang. Merupakan salah sebuah daripada kota bersejarah yang didirikan orang-orang Melayu, terletak dalam negeri Kedah, Malaysia. Kota Kuala Kedah terletak di Alor Setar, merupakan satu kompleks sejarah popular di Kedah.

Kota Kuala Kedah menjadi salah satu tumpuan para pelancong untuk melawat bangunan peninggalan sejarah yang berkaitan dengan negeri Kedah.

Kota Kuala Kedah memiliki pelbagai peninggalan artefak sejarah, antara lain termasuk peninggalan bekas kota, meriam dan paparan maklumat mengenai sejarah Kota Kuala Kedah yang terkenal itu.

Muzium Kota Kuala Kedah terletak di tapak Kota Kuala Kedah atau Kota Kuala Bahang yang terletak di tebing utara muara sungai Kedah. Dibangun sebagai benteng pertahanan bagi negeri Kedah selain dari ibu negerinya di Alor Setar. 

Menurut sejarahnya kota ini dibangun dalam tahun 1771 semasa zaman pemerintahan sultan Muhammad Jiwa ini siap pembinaanya dalam tahun 1780.




Desain bentuk kota ini telah dilukis oleh Hafiz Sab yang ketika itu menjawat jawatan Dato' Maharaja Kadhi. Tukang-tukang mahirnya dibawa dari India. Sebuah pintu gerbang telah dididirikan di bahagian tembok timur menghadap ke Alor Melaka dikenali dengan nama "Pintu Gerbang Kadapuri". 

Kota ini juga pernah diserang oleh Bugis, Aceh dan Siam. Dalam tahun 1909 sewaktu Kedah di bawah penguasaan Inggris, beberapa buah bangunan urusan kerajaan telah didirikan di dalam kawasan kota ini, termasuklah rumah api. 

Aku cukup nyaman rasanya saat berada di Museum Kota Kuala Kedah. Hanya satu orang saja petugas yang ditemui menyambut kedatangan kami. Orangnya sangat familiar. Mendengar dialek Melayunya, aku sudah merasa senang. Masih sempat petugas museum itu memberi sedikit keterangan perihal menara lampu mercusuar, yang terletak di bahagian salah satu sudut areal museum.

Dalam kawasan museum ini, hanya terdapat sebuah rumah panggung berbahan kayu khas Melayu. Bangunan ini dalam keadaan terawatt baik. Luas bangunannya cukup besar. Sangat memadai bagi pelancong untuk mengetahui catatan perjalanan sejarah Kota Kuala Kedah. Ada enam segmen yang ditampilkan yakni; Pengenalan, Sejarah, fungsi Kota Kuala Kedah, Zaman Inggris (British), Zaman Jepang (Jepun) dan zaman selepas Merdeka.




Di areal Museum Kota Kuala Kedah, selain masih dapat ditemui tembok benteng, meriam-meriam, juga terlihat sebuah pintu gerbang. Semasa pendudukan Jepun di Tanah Melayu Kota ini dijadikan markas tentaranya hingga kekalahan mereka tahun 1945. Pada 31 Agustus 1978 kota ini telah diwartakan oleh Jabatan Muzium dan Antikuiti (sekarang Jabatan Muzium Malaysia) sebagai "Tapak Tanah Bersejarah."
Dalam bulan November 2000 Jabatan Muzium dan Antikuiti telah melaksanakan kerja-kerja konservasi tembok timur dan selatan, termasuk membangun kembali pintu Gerbang Kacapuri yang telah runtuh dalam tahun 1970.

Koleksi
Muzium Kota Kuala Kedah memperagakan 60 koleksi artefak arkeologi, seramik dan batu bata asal kota. Koleksi menarik yang dipamerkan di Muzium Kota Kuala Kedah ialah 13 buah peluru meriam dan enam buah meriam buatan Inggeris yang berusia lebih 100 tahun. Selain itu, terdapat artefak yang dipanggil ‘Pelita’ ditemukan semasa penyelidikan arkeologi dan kerja-kerja konservasi tembok timur berhampiran pintu gerbang Kacapuri. (*)

Kamis, 29 Desember 2016

RUMAH PENJAHIT SANGSAKA MERAH PUTIH



Satu kesempatan berada di Kota Bengkulu, aku menikmati petang hari berkeliling kota. Dalam perjalanan, terniat untuk mencari satu alamat pada hari itu. Rupanya, jalan untuk menuju alamat itu tak kutemukan, malahan aku salah arah. Kuputuskan untuk tidak melanjutkan jalan yang sudah kutempuh. Namun aku tak bisa begitu saja membelokkan sepeda motorku, karena lalulintas saat itu sedang ramai. Sambil memperhatikan kendaraan kiri dan kanan untuk dapat berbalik arah, terlihat di seberang jalan sebuah rumah khas Bengkulu. Pandanganku segera saja tertuju pada plank bertuliskan, “Rumah  Ibu Fatmawati Soekarno.”




Kebetulan itu tidak aku sia-siakan. Segera saja aku menyeberang jalan dan berhenti di depan rumah. Beberapa hari di Bengkulu rumah ini tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk mendatanginya. Padahal pemiliknya adalah seorang yang tercatat berjasa dalam kemerdekaan negaraku. Selain menjadi salah seorang isteri Proklamator Soekarno, Fatmawati adalah ibu mantan Presiden Republik Indonesia, Mengawati Soekarnoputri. “Maafkan aku Bu Fatmawati, engkau terlupakan dalam ingatan.”
 
Aku tidak merasa kecewa, tidak dapat masuk ke pekarangan rumah, karena pintu dalam keadaan terkunci. Maklumlah hari sudah petang. Walaupun konon kabarnya di rumah ini disimpan mesin jahit yang digunakan Bu Fatmawati untuk menjahit bendera  “sangsaka merah putih” Negara Republik Indonesia yang dikibarkan saat Soekarno dan Hatta, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Berdiri dari luar pagar di pinggir jalan saja bagiku sudah cukup. Tanda penghormatanku pada mereka yang telah berjasa atas negaraku. Semoga bangunan ini terjaga sampai ke masa depan. Diingat dan dikunjungi oleh generasi bangsa, sebagai penghormatan bahwa Negara ini didirikan dengan perjuangan.

Rumah Fatmawati merupakan salah satu cagar budaya peninggalan sejarah, ketika istri Bung Karno tersebut tinggal di Bengkulu. Rumah peninggalan Fatmawati yang didirikan sejak tahun 1915 dan masih terawat sampai saat ini, walaupun beberapa kali mengalami pemugaran. Rumah Fatmawati masih menarik minat pengunjung, baik pengunjung dari dalam negeri maupun mancanegara.

Rumah ibu negara pertama Fatmawati, berada di Jalan Fatmawati, Kelurahan Penurunan, Kecamatan Ratu Samban, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, yang menyimpan mesin jahit sang saka merah putih untuk dikibarkan saat Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kunjungan kerumah peninggalan Fatmawati relatif ramai terutama pada hari liburan sekolah. Wisatawan yang berkunjung tidak hanya dari wilayah Provinsi Bengkulu, namun juga wisatawan dari luar pulau, seperti dari pulau Jawa dan Kalimantan.

Rumah peninggalan Fatmawati ini sangat terawat dan kondisinya sangat bagus. Tempat bersejarah seperti ini akan terus dilestarikan agar anak cucu di masa depan dapat terus mengenang arti perjuangan para pendahulu negeri kita tercinta ini. (*)

Selasa, 27 Desember 2016

5 TANDA MATA: BUKIK BULEK NAGARI TARAM



Nyaris tak dapat menghitungnya, sudah berapakali aku bersengaja untuk datang ke Taram selama ini. Sebab bila aku berada di Payakumbuh, selalu menyempatkan diri untuk menuju Taram. Letak Nagari Taram, Kabupaten Lima Puluh Kota, hanya beberapa kilometer saja dari Kota Payakumbuh. Untuk mencapai lokasi titik tujuan, sepanjang jalan akan bertemu dengan areal persawahan dan pemandangan perbukitan yang menarik bagiku.




Bukan aku saja yang senang dengan Taram. Banyak juga pengunjung yang sengaja untuk datang ke Nagari ini. Di Nagari Taram terdapat Makam Keramat Syeikh Ibrahim, Bukik Bulek dan Kapalo Banda. Suasana alam dan lingkungannya masih kental sebagai suasana pedesaan. Masyarakatnya pun sangat ramah bila diajak bercerita tentang Makam Keramat dan Bukik Bulek.

Sampai kini, aku merasa belum juga puas melakukan pemotretan Bukik Bulek Taram dan alam sekelilingnya. Serasa aku belum dapat hasil foto yang sangat memuaskanku. Walaupun aku bukan seorang fotografer professional. Aku hanya memiliki camera pocket 16.1 mp dan menyenangi perjalanan seperti berkunjung ke Nagari Taram ini (*)









Minggu, 25 Desember 2016

KISAH PAKIAH GELEANG DI JANJANG AMPEK PULUAH DI BUKITTINGGI

Menyambut Peristiwa “Seminar Sastera Melayu-Islam 2017”

Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA – Seniman Rupa-rupa – Indonesia


[Tulisan ini tidak Kertas Kerja untuk seminar. Hanya ditujukan untuk apresiasi penghormatan ---sebagai orang sastra yang pernah bersama Numera pada “Anugerah Puisi Dunia Numera 2014”--- untuk menyambut akan diselenggarakannya peristiwa sastra internasional, “Seminar Sastera Melayu-Islam 2017” oleh Persatuan Sasterawan Numera dengan Masjid Abdul Rahman bin Auf, pada 28 – 30 September 2017  mendatang di Kuala Lumpur, Malaysia]





Antara Jam Gadang dan Pasa Bawah di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia, dihubungkan salah satu jalan berupa tangga termashur namanya yakni, “Janjang Ampek Puluah,” sesuai anak tangga jenjang tersebut berjumlah 40 buah. Pasa Ateh – Pasa Teleang – Pasa Bawah, sudah terbentuk sejak masa silam, sebagai lokasi berdagang (rakyat), pasar tradisionil dengan keramaian hari pekan Rabu dan Sabtu.

Ada apa dengan Janjang Ampek Puluah ???

Nama objek tersebut dapat dijumpai dalam khazanah sastra lisan (keseharian) masyarakat Minang dalam berpantun dan berpetatah-petitih, berpameo dan bergurau. Nama objek terselip dalam pantun-pantun dan lagu. Sebagaimana umumnya (mayoritas) berbagai nama tempat, daerah dan nama orang, senantiasa menjadi inspiratif bagi masyarakat Minang dalam merangkai “penciptaan” sastra lisan.

Bagi masyarakat Minang, “budaya tutur” jauh lebih mudah daripada menuliskan. Bertutur spontanitas adalah hal biasa dalam keseharian. Kiasan dan bermakna terjadi begitu saja pada setiap percakapan. Dengan bahasa lisan dapat memainkan pelbagai intonasi. Intonasi berbeda tekanannya, membawa “maksud dan tujuan” berbeda pula meskipun dengan kata dan kalimat yang sama. Itulah salah satu gaya bahasa Orang Minang. Kaya dengan kiasan dan perumpamaan.

Janjang Ampek Puluah adalah satu kesatuan dari kawasan yang disebut sebagai pasar Kota Bukittinggi. Sekeliling Jam Gadang merupakan pusat perdagangan rakyat, merupakan pasar tradisionil sejak masa silam bagi “Urang Agam” dan “Urang Kurai” dalam “transaksi” dengan “orang luar.” 

Untuk satu masa, direntang tahun 60-70-an konon pada keramaian setiap hari pekan di Bukittinggi, Rabu dan Sabtu, akan terlihat ada seorang lelaki dengan matanya yang buta bermain alat music tradisi kucapi (kecapi). Lelaki itu bernyanyi dan memainkan kucapi di salah satu anak tangga di Janjang Ampek Puluah, diantara keramaian orang turun naik tangga. 

Lelaki buta itu tidak hanya sekadar “keriangan hati” saja bernyanyi dan bermain music. Dia mengharap pada orang yang tersuka dengan permainannya, akan berbagi uang padanya. Uang itu dalam memenuhi kebutuhan hidup anak dan cucunya. 

Lelaki buta itu bekerja “menjual” kemampuan seni-otodidaknya. Bekerja sesuai dengan kondisi “kebutaannya” tidak sekadar menggunakan “keterbatasannya” untuk meminta-minta belas kasihan pada setiap orang.

Lelaki buta itu namanya “Pakiah Geleang.” Namanya sangat popular  bagi masyarakat, terutama para pedagang  dihari pekan Bukittinggi. Nama aslinya tentulah bukan Pakiah Geleang. Penamaan tersebut merupakan hal biasa bagi Orang Minang. Penamaan semacam itu disebut  nama “gala,” gelar diberikan orang berdasarkan spesifiknya sebagai penanda seseorang.


SN DATO AHMAD KHAMAL ABDULLAH

Tokoh Pakiah Geleang  kemudian menjadi inspiratif bagi seorang pencipta lagu Minang, Syahrul Tarun Yusuf untuk menciptakan sebuah lagu berjudul, “Pakiah Geleang.” Lagu ini sampai hari ini tetap popular sebagai salah satu lagu Minang Klasik. Pertamakali dinyanyikan dan dipopulerkan dengan suara emasnya oleh penyanyi Minang legendaries Elly Kasim di tahun 1970-an. Selain direkam pada bentuk pita casset, juga dicetak ke piring hitam dan diputar tiap saat di radio-radio pada zaman media hiburan masih terbatas di Indonesia.

Saya kutipkan bait pertama dan kedua dari lagu tersebut:

“Dahulunyo (ondeh) di Pasa Teleang
Iyo takaba si Pakiah Geleang
Jikok banyanyi nyo manggeleang-geleang
Mangko namonyo si Pakiah Geleang”

[Terjemahannya: Dahulunya di Pasa (r) Teleang/ Sangat terkenal si Pakiah Geleang/ Kalau bernyanyi ---kepalanya--- menggeleng-geleng/ Karenanya dinamakan si Pakiah Geleang]

Hari Rabaa (ondeh) jo hari Sabtu
Di Janjang Ampek Puluah Pakiah balagu
Mancari makan untuak anak jo cucu
Urang mancaliak (sanak) rami di situ

[Terjemahannya: Hari Rabu dan hari Sabtu/ Di Janjang Ampek Puluah Pakiah balagu ---bernyanyi/ Mencari makan untuk anak dan cucu/ Orang menonton ramai di sana]

Pada bait pertama menggambarkan asal muasal dan memperkenalkan tentang nama sang tokoh, Pakiah Geleang. Sedangkan bait kedua pekerjaan yang dilakukan Pakiah Geleang dan tempat Pakiah Geleang bekerja serta menjelaskan tujuan dan kegunaan atas uang yang didapatkannya. Sebagai suatu bentuk harfiah  manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Apakah keistimewaan seorang Pakiah Geleang, sampai harus saya mengutip sebuah lagu perihal beliau, untuk dijadikan topik pembicaraan tulisan saya ini ???

Berkait kepada akan diselenggarakannya Seminar Sastera Melayu-Islam 2017 oleh Numera dan Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, Malaysia di bulan September 2017 mendatang. Dimana seminar akan menampilkan sejumlah pemikir sastra sekaligus penyair --- akademisi sekaligus penyair dan akan dihadiri oleh penyair, orang sastra, akademisi, melibatkan terutama dari Malaysia sendiri, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Bangladesh. Masih dimungkinkan, acara ini juga akan terbuka dihadiri peserta dari Negara lainnya.


PENGUCAP UTAMA: HUDAN HIDAYAT GOZALI

Seminar akan menampilkan Hudan Hidayat Gozali dari Indonesia sebagai “pengucap utama.” Namanya baru saya kenal sama-sama hadir di Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala Lumpur. Belum pernah membaca tulisannya, pun juga tak mengikuti jejak rekamnya. Hudan “saya ketahui hanya sebatas” waktu terakhir ini terlihat intens memiliki “keterhubungan sastra” dengan tokoh Sasterawan Negara 11 Malaysia, Dato Ahmad Khamal Abdullah, Presiden Numera Malaysia --- penggagas seminar sastera yang akan diselenggarakan.

Dalam decade terakhir ini, diakui atau tidak, dunia kesastraan kita khususnya, sangat terasa tidak memiliki personal-personal yang “mengabdikan diri” kepada intensitas kesastraan. Sementara perkembangan kesastraan itu sendiri, dalam beberapa tahun terakhir ini, tumbuh bak cendawan di musim hujan. Terbantu pula dengan adanya media social yang dimungkinkan oleh kemajuan hasil teknologi serupa internet.

Pertumbuhan kesastraan jauh melesat. Karya-karya tiap saat dapat dituliskan dan diposting melalui media social tanpa harus melalui seleksi, editing dan pertimbangan seorang redaktur. Sangat jauh beda bila berhadapan dengan media cetak atau media elektronik, setiap karya harus melalui persyaratan dan giliran untuk dipublish.

Belum lagi “kemeriahan” itu ditambah lagi, dengan munculnya berbagai komunitas di berbagai tempat. Menghadirkan beragam kegiatan dengan aneka label, semuanya tak mau kalah mengacu kepada “atas nama” daerah, regional, nasional dan internasional. Kebebasan pelabelan itu, karena memang tidak ada aturannya. Sama juga setiap orang bisa melabelkan dirinya sendiri sebagai penyair atau biar gagah dan hebat sebagai sastrawan, kalau tak ada orang lain yang hendak melabelkan namanya.

Buku-buku pun tiap saat diterbitkan. Dalam tempo singkat, seseorang bisa menulis 3 – 5 buku atau lebih. Nama-nama penerbitnya pun beragam. Begitu ramainya, sulit juga untuk diingat nama penulisnya, nama buku, termasuk nama penerbitnya sendiri. Tentu saja ketiga hal itu dapat disebut sebagai “segala baru.” Sesuatu yang baru biasanya pula sudah biasa belum dikenal secara luas, seluas-luasnya. Dan untuk “dikenal” itu tak dapat dipungkiri tak mudah, tidak “semudah” seperti pelabelan, kemeriahan dan penerbitan yang tengah berlangsung.

Seperti di kehidupan sastra Indonesia pada masa dahulu, ada nama yang dikenal, karena peranannya dalam lajunya kesastraan serupa, HB Jassin dan A.Teeuw. Ada Umar Junus, Mursal Esten dan pada tingkatan lebih muda Korrie Layun Rampan. Mereka rajin mengikuti dan menelisik karya-karya yang terlahir dan tumbuh berkembang di jagat “sastra.” Dan kita akui bersama, hasil penelisikannya pun tidaklah mengecewakan. Karena yang ditelisik memang “karya sastra” diantara karya-karya yang juga bertumbuhan di sana-sini sesuai zamannya.

“Keterhubungan” Hudan Hidayat Gozali dari Indonesia kepada karya-karya Kemala ---Dato Ahmad Khamal Abdullah--- tampaknya sudah terjadi pada sebelum-sebelumnya. Pada rangkaian Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 yang silam, dia pun hadir selintas di forum pembacaan puisi di Tun Sri Lanang, Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur, dengan cuplikan mengenai buku kumpulan puisi “A’yn” Kemala. Kemudian kalau tak salah, melanjutkan terkait pembicaraan tersebut di UPSI ----University Pendidikan Sultan Idris.

Sebagai Pengucap Utama pada Seminar Sastera Melayu-Islam 2017, Hudan akan menuliskan “ucap utamanya” dalam bentuk buku esei. Bulan desember 2016 ini, ia telah memposting cuplikannya berkait untuk seminar di laman tertutup fb “NUMERA: The new poetry of Numera’s and world poests.” Saya (sempat) sepintas membacanya, tampaknya Hudan. mengurai pemaknaan dan keberadaan karya-karya Kemala ---SN Ahmad Khamal Abdullah--- dalam perspektif karya sastra, unsure Melayu, sejarah dan relegiusitas. Keterhubungannya sastra nusantara dan kesastraan dunia.


SEBAHAGIAN DARI WAJAH YANG AKAN HADIR

Selanjutnya Ucap Utama Hudan, akan ditanggapi oleh penanggap yakni DR Arbak Othman dari Malaysia. Selain Hudan, akan hadir sejumlah pemikir sastra dan akademisi sastra yang sekaligus juga penyair, dapat dianggap mewakili zamannya. Mereka akan membentangkan kertas kerja.  Misalnya sekadar menyebut nama saja seperti DR Ahmad Taufiq dari Jember (Indonesia) akan mengurai tentang Pujangga Ronggowarsito dan Chairil Anwar. Drs. Dasril Ahmad dari Padang (Indonesia) akan mengurai sastera daerah (?).Mungkin berkait dunia kepenyairan-keislaman di Ranah Minang. DR Phaosan Jehwae dari Pattani (Thailand) mengurai atmosfir kesasteraan di negaranya.

Terutama tentu mungkin dapat “dibaca” semua topic kertas kerja adalah merupakan yang dapat dijadikan sebagai gambaran perjuangan kesastraan dan perjuangan keislaman, yang akan diangkat sebagai pembicaraan pada forum seminar nantinya. Termasuk kehadiran Aminur Rahman dari Bangladesh. Semakin melengkapi maksud dan tujuan dari peristiwa yang akan diselenggarakan.

Seminar Sastera Melayu-Islam 2017 bertemakan “Melestari & Mengabdi Sastera Melayu Islami.” Dimungkinkan dari peristiwa sastra ini, akan banyak dipetik jejak-jejak sejarah, lintasan atau pendalaman terhadap keberadaan sastera yang bernafaskan keislaman di nusantara ini. Baik pada kesastraan lama maupun sastra modern. Tentu saja dapat memetakan pembicaraan dalam menyikapi perkembangan kesastraan Negara serumpun, kenusantaraan yang terikat dalam etnik-budaya-agama. Termasuk mengungkap keberadaan dunia kepenyairan di Negara masing-masing selama ini, kekinian dan masa datang.

Merujuk kepada hal tema dan topic yang akan dimunculkan pada seminar tersebut, terutama berkait dengan keislaman, saya seketika teringat, terutama dalam kehidupan seni tradisi masyarakat di Minangkabau yang menjadi bahagian dari wilayah budaya nusantara, kesastraan yang Islami itu sudah “hidup” sejak lama pada sastra lisannya. Telah memiliki sejarahnya yang panjang, setidaknya dimulai dari era Datuak Katumangguangan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang. Sesuai dengan landasan hidup etnik Minangkabau, “Adaik basandi syara’ – Syara’ basandi kitabullah.” (Adat bersendikan agama, agama bersendikan kitab --- Al Qur’an).

Salah satu contoh perihal kisah tokoh semacam si Pakiah Geleang, misalnya, yang saya kemukakan ini. Saya melihat pada tiga hal terhadap topic Pakiah Geleang yang saya sebutkan.

Pertama: Pakiah Geleang sebagai “seorang tokoh.” 

Pakiah Geleang tidak sekadar hanya mengandalkan bermain music dan menyanyi untuk mendapatkan uang sebagai pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya saja. Tetapi ia berperan untuk bersyiar keagamaan  lewat seni sastra (lirik pantun) dan seni suara (bernyanyi) sekaligus seni music (kecapi), kepada setiap yang mendengar ia menyanyi, agar tetap menjalankan ibadah (sholat) sebagai orang Islam.

Seperti yang digambarkan oleh bait lagu Pakiah Geleang berikutnya:

Matonyo buto (ondeh) hatinyo tarang
Jo kucapi Pakiah lah badendang
Pantun jo lagu manyuruah urang
Sakali jangan (sanak) tingga sumbayang

[Terjemahannya: Matanya buta tapi hatinya terang/ Dengan kecapi Pakiah berdendang/ Pantun dan lagu menyuruh ---menghimbau/mengingatkan--- orang/ Sekali jangan tinggalkan sholat]

Kedua: Pakiah Geleang sebagai “sebuah lagu.” 

Lagu Pakiah Geleang diciptakan tahun 1970-an ini oleh seniman penciptanya, menurut saya merupakan teks karya sastra bernafas Islami. Seperti banyak lagu-lagu Minang Klasik yang pernah popular di blantika pop music Minang, mayoritas mengambil dan menyerap dari “kesastraan lisan,” tradisi yang hidup di tengah kehidupan kebudayaan masyarakat Minang. Sehingga lagu tersebut disenangi dan akrab bagi masyarakat. Popular sepanjang masa, semacam lagu Pakiah Geleang ini.

Dengan adanya lagu ini, tokoh Pakiah Geleang yang bersyiar agama di Janjang Ampek Puluah akan tetap  diingat dan dicatat. Dari masa ke masa.

Pakiah Geleang sebagai sebuah lagu, selain bentuk hiburan tapi berperan sebagai suatu kelanjutan kesyiaran Islami yang telah dilakukan oleh Pakiah Geleang, untuk “mengingatkan” agar masyarakat terhadap kewajiban melaksanakan ibadah.

Ketiga: Pakiah Geleang Sebagai Simbol Zaman.

Saya menyimpulkan, Tokoh Pakiah Geleang dan lagu Pakiah Geleang, adalah salah satu dari symbol perjalanan zaman. Simbol dari upaya “syiar” dan upaya “pemenuhan” kebutuhan hidup. Dimana keduanya, merupakan suatu tantangan untuk menjalankan dalam satu kesatuan bersamaan pada “seseorang.” Salah-salah kegiatan “syiar” dianggap komersil. Atau sebaliknya “komersil” dianggap memanfaatkan “syiar.”

Tetapi penekanan pembicaraan saya ini, dengan mengambil sample Pakiah Geleang, tidak ke arah perubahan zaman perihal “penyelewengan” atas “kepentingan-kepentingan” terhadap keagamaan. Namun saya menekankan, tokoh Pakiah Geleang, dapat menjadi symbol, dimana kita merindukan orang seperti dia disaat gebalau zaman, dimana kita memerlukan suri tauladan dan akhlak yang baik.

Karenanya sebagaimana di bait akhir lagu Pakiah Geleang, saya kutipkan:

Sajak nyo pasa (ondeh) habih tapanggang
Si Pakiah Geleang kini lah hilang
Namun lagunyo dikana urang
Itu kisahnyo (sanak) si Pakiah Geleang

[Terjemahannya: Sejak pasar habis terbakar/ Si Pakiah Geleang kini sudah hilang atau tak ada lagi/ Namun lagunya diingat orang/ itulah kisahnya si Pakiah Geleang]

Tidakkah ini sebagai suatu kisah simbolik sangat actual pada hari ini ???

ABRAR KHAIRUL IKHIRMA

Ketika terjadi musibah kebakaran yang meluluh-lantakkan pasar, kemudian untuk membangun kembali pasar yang dibutuhkan oleh banyak orang perlu proses. 

Tentu saja tidak secepat proses kebakaran yang menghancurkan.

Ketika proses pembangunan selesai, bangunan baru dan suasananya juga baru, waktunya tidak lagi sama, sang tokoh Pakiah Geleang tak pernah terlihat lagi.

Dia yang buta dan bernyanyi di Janjang Ampek Puluah tinggal cerita.
Hanya sebuah lagu pop, kemudian dapat mengabadikannya (*)

Sambil minum kopi ketika dinihari
Dari pantai barat, 20-21 Desember 2016