Selasa, 21 Maret 2017

KALIO LOKAN, PASIA MUARO TIKU



Kawasan pantai Muaro Tiku, saat ini perlahan mulai dikenal sebagai salah satu objek wisata yang terdapat dalam wilayah Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Terutama pada hari libur ramai dikunjungi wisatawan luar daerah. Sayang…, pemerintahnya terkesan belum serius.




Pasangan suami-isteri Reymond Chandra-Resita Reymon bersama anaknya, sudah lama teragak makan kalio lokan. Lokan merupakan spesies yang hidup di kawasan berlumpur muara sungai. Selain dikalio ---dimasak santan dan bumbu yang kental--- lokan juga biasanya dipanggang ---dibakar. 

Biasanya menu lokan ini hanya tersedia di rumah-rumah makan tertentu. Termasuk dijadikan daging sate oleh penjual sate yang berasal dari kawasan pesisiran pantai barat Pulau Sumatera (Pariaman dan sekitarnya).
Karena Tiku merupakan daerah pertemuan antara pesisiran dan daratan, masyarakatnya sebahagian menyukai masakan ikan dan lokan yang hidup di air tawar. Ada beberapa rumah makan di daerah Tiku menyediakan menu lokan setiap hari.

Reymond Chandra, sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Pemko Pariaman, mendadak mengajak saya berpergian ke Nagari Tiku, untuk menikmati makan siang dengan menu lokan. Kami berangkat selepas sholat zhuhur. Jalan yang menghubungkan Kota Pariaman dengan Tiku saat ini dalam perbaikan pengaspalan. Sehingga di beberapa titik terasa kurang nyaman. Namun perjalanan dapat ditempuh lebih kurang setengah jam.




Selepas makan siang di sekitar Pasar Tiku, kami meneruskan perjalanan hanya beberapa meter lagi mendekat ke kawasan pantai. Walaupun kawasan pantai ini sudah dibuka sebagai salah satu objek wisata di kabupaten Agam, namun jalan penghubung dari jalan raya ke pantai belum tersedia jalan wisata yang mudah dan nyaman bagi pengunjung dari luar Tiku.

Jalan masuk ke pantai saat ini, belum terdapat penunjuk arah yang mudah dikenali setiap pengunjung, jalan aspal sudah lebarnya kecil, melintas diantara rumah pemukiman penduduk, terdapat kerusakan di sana-sini dan tidak merupakan akses praktis dari jalan raya menuju objek wisata.

Pasia Tiku atau Pantai Tiku ini terdapat muara sungai yang dikenal sebagai Muaro Tiku. Pada masa dahulu, terakhir di masa perdagangan Pantai Barat, Tiku merupakan daerah pelabuhan dan menjadi pintu gerbang kawasan “Piaman.” Di masa penjajahan Jepang, tentara Jepang sempat mendirikan sejumlah benteng pertahanan di sekitar Muaro Tiku.




Di tahun 1980-an kawasan pantai ini hanya terdapat rumah nelayan yang terbuat dari kayu beratapkan rumbia, tempat penjemuran ikan di sana sini, hingga dari kawasan ini sempat populer daerah penghasil ikan kering terbaik mensuplay pasar Sumbar-Riau-Jambi. Kini kawasan pantai yang luas dan terbuka pada masa dahulu tersebut, sudah terlanjur penuh dengan bangunan-bangunan rumah penduduk. Menjadi kawasan padat.

Terutama dengan dibangunnya Tempat Pelelangan Ikan dan sebuah pabrik es mini. Sendimen yang sangat tinggi di kawasan pintu muara hingga teluk di hadapan, terjadi pendangkalan. Begitu juga kawasan pelabuhan yang sampai saat ini rencana pembangunan dermaganya tidak kunjung terwujud, menyisakan tiang-tiang sebagai monument “kegagalan” menjadikan Tiku salah satu garda depan peningkatan perikanan laut.




Satu rangkaian dari satu kesatuan, antara Muaro Tiku dengan Pelabuhan, terdapat areal kawasan pantai yang kini sudah terbentuk sebagai kawasan terbuka ruang public objek wisata. Kerimbunan pohon pelindung, kedai-kedai berbahan kayu dan beratapkan rumbia, berjejer dengan rapi. Semestinya sedari sekarang hal ini perlu dipertahankan dan dibatasi jumlahnya. Saat ini kondisinya sudah ideal. Perlu tetap dipertahankan kedai tidak berubah fungsi berdinding dan menjadi tempat tinggal.

Termasuk payung-payung dari para pedagang dibatasi hanya berada di sekitar pohon pelindung, tidak melebar ke arah pantai. Pantai tetap menjadi ruang terbuka bebas bagi pengunjung. Saat berada di Pasia Tiku, terlihat pantainya dalam keadaan bersih dan nyaman. Kesenyapan ini justru dapat menjadi daya jual bagi Tiku. Termasuk masyarakat dan pemerintah harus mempertahankan kawasan ini menjadi kawasan pantai tanpa betonisasi. Sebab di banyak objek wisata pantai di Sumatera Barat mayoritas kini sudah rusak dengan kehadiran beton-beton dan tidak natural.




Isyu “natural” tanpa betonisasi ini dapat menjadi promosi ampuh bagi Tiku, mengundang wisatawan untuk berkunjung ke Pasia Tiku. Selain akses yang tidak praktis dan nyaman, pihak pengelola sudah harus mengantisipasi produksi sampah, sehingga tidak lagi ada di sana sini terlihat di objek wisata. Termasuk melakukan pemotongan rumput secara berkala di lapangan terbuka, terutama sekitar monument selfie “Pasia Tiku.”

Sayang saya tak berkesempatan bertemu dengan seorang pemuda Tiku yang bernama Idham Firmantara. Beliau dalam waktu terakhir ini sangat gencar mempromosikan “mutiara” Nagari Tiku ini di media social, termasuk bersama sejumlah pemuda-pemuda setempat dan para nelayan membuka ruang jalur pengunjung berwisata ke kedua pulau di hadapan Pantai Tiku dan memback-up kelompok hobbies “mancing mania” di kawasan laut Tiku.

Sampai berakhir petang kami merasa puas bersantai menikmati hari libur di Minggu 19 Februari 2017 di Pasia Tiku, walaupun cahaya matahari tak memenuhi standar pemotretan menghasilkan foto-foto terbaik. Cahaya redup bersatu dalam suasana senyap, diantara angin laut segar bertiup perlahan dan ombak hanya mencubit pantai tanpa keganasan (*)

Selasa, 14 Maret 2017

SENTOT ALIBASYAH BERSEMAYAM DI BENGKULU



Nama Sentot Alibasyah tak dapat dilepaskan dari nama tokoh besar Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol. Dua nama yang mengukir sejarah perjalanan perjuangan Republik Indonesia.



Dalam kesempatan berkunjung ke Kota Bengkulu, aku menyempatkan diri berkunjung ke lokasi makam Sentot Alibasyah. Dibandingkan dengan kunjunganku waktu beberapa tahun silam, dengan kunjunganku untuk kedua kalinya, ternyata kawasan pemakaman ini sudah jauh dirawat dengan baik.

Di depan makam, yang dipisahkan sebuah jalan pemukiman, terdapat bangunan sekolah. Antara makam dan sekolah saling berhadapan. Setidaknya regenerasi yang pernah bersekolah di sekolah itu, dari tahun ke tahun akan terpatri nama Sentot Alibasyah. Satu nama dari nama-nama pejuang pengusir penjajah di tanah air.




Sentot Alibasyah adalah seorang panglima perang pendukung Pangeran Diponegoro, pada perang Diponegoro (1825-1830). Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro, Sentot dan para pengikutnya dimanfaatkan oleh Belanda untuk memerangi kaum Paderi yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat (Minangkabau). 

Karena dianggap bersimpati terhadap perjuangan kaum Paderi, akhirnya Sentot Alibasyah dibuang hingga akhir hayatnya di Bengkulu.



Makam Sentot Alibasyah berlokasi di Desa Bajak, Kecamatan Teluk Segara. Pada masa kolonial Belanda letak makam ini berada agak di luar kota. Saat ini karena adanya perluasan kota, makam ini berada di dalam kota Bengkulu.

Pada makam Sentot tertulis tanggal pemakaman 17 April 1885. Berjarak sekitar 1,2 km dari Benteng Marlborough. Bangunan cungkup makam Sentot Alibasyah bergaya bangunan “tabot” dan memiliki keistimewaan, yaitu di dalam cungkup tidak memperlihatkan adanya nisan kubur, sebagaimana biasanya kubur muslim di Indonesia (*)

Minggu, 12 Maret 2017

RASA “MINANG’ SINTOK, NEGERI UTARA MALAYSIA



Begitulah, kalau dalam perjalanan ke negeri orang, ada saja yang berbau negeri “awak” langsung saja menarik perhatian. Aku kira bukan hanya aku saja. Rasa cinta dan rindu sekaligus bangga itu, adalah milik semua etnik, bangsa dan manusia, akan tanah airnya.




Selama berkunjung ke Negeri Utara Malaysia yakni Kedah dan Perlis, aku mendapat tumpangan di bilik Andhyka Nugraha, asal Palembang, yang sedang menyelesaikan pendidikannya, mengambil program doctor. Dapat pula berkenalan dengan seorang urang awak, asal Bukittinggi, yang juga menyelesaikan programnya. Berteman baik dengan Andhyka.

Pada satu kesempatan, aku dibawa Andhyka berkeliling kampusnya. Berkeliling dengan berjalan kaki diantara kerimbunan pohon-pohon pelindung. Terasa sekali begitu luasnya areal University Utara Malaysia (UUM), salah satu perguruan tinggi Malaysia yang terletak di Sintok,Negeri Kedah Darul Aman.

Aku memang lebih menyukai berkeliling dengan berjalan kaki, walau pun Andhyka mengajakku beberapakali untuk naik bus kampus yang berkeliling mengitari kawasan universitas, menghubungkan dari fakultas ke fakultas dan sarana-sarana pendukung kampus lainnya. Dimana satu sama lain bangunan itu terpisah-pisah tapi tetap menjadi satu rangkaian saling terhubung.

Mulai dari Mall mini dengan aneka macam kedai kebutuhan mahasiswa, bank dan cafe, serta laundry, sampai kami menelusuri perpustakaan, taman-taman terbuka, stadion olahraga, kolam renang, tempat berkuda, gokart, penyewaan sepeda terus melihat pemeliharaan rusa yang berasal dari Indonesia.

Menyempatkan diri mendatangi UUM Press dan Kedai Buku. Sayang tersebab hari libur dalam keadaan tutup. Akhirnya meneruskan berkeliling, sempat juga terjumpa bangunan bertuliskan Pusat Kajian Pemikiran Dr. Mahathir Mohamad. Memandang sejenak diantara sinar matahari yang terik.

Tak jauh dari Mall Mini Kampus itu terdapat bangunan-bangunan asrama mahasiswa, sekaligus di atas kontur tanah yang berbukit itu berdiri bangunan masjid kampus. Besar dan luas halamannya. Di persimpangan jalan menuju masjid tersebut, aku melihat papan kecil sederhana, di salah satu sisi jalan, “Kafe Pusat Islam Restoran Minang.”

Menurut Andhyka kafe itu terletak di bangunan tak jauh dari papan nama itu. Andhyka menunjuk ke arah agak ketinggian dari kami berdiri. Pada bangunan besar bahagian belakang areal parkiran. Kedua bangunan dipisahkan areal parkir tersebut.

Aku sudah terbawa rasa senang saja melihat itu. Sampai meninggalkan Sintok, Kedah, dimana universitas ini berada, aku tak sempat untuk berkunjung ke Restoran Minang itu. Tapi menyempatkan diri untuk sekadar berfoto di depan papan namanya saja, sebagai penanda bahwa aku pernah ke sini (*)

abrar khairul ikhirma
Sintok – kedah – Malaysia
September 2016

Kamis, 09 Maret 2017

ASSALAMU’ALAIKUM MADINAH, KOTA YANG BERSINAR



Setelah penerbangan lebih kurang 8 jam di ketinggian langit, akhirnya waktu malam menyambut kedatangan kami dan udara yang terasa dingin menembus baju penghangat menyentuh tulang, saat turun pesawat menjejak bumi Madinah, Senin malam 20 Februari 2017, di Bandara Mohammad bin Abdul Aziz International Airport. Assalamu’alaikum…




Semua penumpang Saudi Arabia Airlines yang terbang dari Kuala Namu International Airport, Medan, Indonesia turun bergegas “melawan” udara dingin dan tiupan angin gurun, bersegera memasuki bus yang terparkir beberapa meter dari tangga pesawat. Bus tersebut menghantarkan kami untuk mencapai bangunan imigrasi, sebagai salah satu pintu masuk Negara Arab Saudi.

Pada waktu kedatangan kami, suasana bandara tidaklah terlalu ramai. Namun waktu akan bersegera bertukar dengan dinihari Selasa 21 Februari 2017. Walau pun tidak sepi tapi rasanya sangat nyaman dan akrab. Terlihat yang datang bersamaan dengan kami, juga adalah rombongan-rombongan dari berbagai biro perjalanan lain di tanah air, yang bertujuan untuk berumroh ke tanah suci.

Walau pun menunggu beberapa waktu, lalu memasuki antrian, tidaklah membuat adanya perasaan tidak sabar dan terburu-buru. Perjalanan yang tidak mengalami sesuatu apapun telah menghapuskan munculnya berbagai kecemasan. Yang ada hanyalah rasa syukur, Allah telah memberikan perlindungan, memberikan keselamatan untuk kami semuanya. Karena insyaallah niat kami memang semata-mata hanya untuk melaksanakan ibadah. 

Kini diantara tamu Allah itu diantaranya adalah diriku sendiri. Alhamdulillah kini sudah “menjejak” Madinah, satu negeri diantara negeri-negeri di jazirah Arab. Sungguh tidak terbayangkan ! Subhanallah…
Madinah, atau disebut juga al-Madinah al-Munawwarah, “kota yang bercahaya,” adalah sebuah kota di Hejaz, sekaligus ibukota dari Provinsi Madinah di Arab Saudi. Dalam kota ini terdapat Masjid Nabawi, tempat dimakamkannya Nabi Islam Muhammad, dan merupakan kota paling suci kedua dalam agama Islam setelah Mekkah.

Madinah adalah tujuan Nabi Muhammad untuk melakukan Hijrah dari Mekkah, dan secara berangsur-angsur berubah menjadi ibukota Kekaisaran Muslim, dengan pemimpin pertama langsung oleh Nabi Muhammad, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali. Kota ini menjadi pusat kekuatan Islam dalam abad-abad komunitas Muslim mulai berkembang. 

Madinah adalah tempat bagi tiga masjid tertua yang pernah dibangun, yaitu Masjid Quba, Masjid Nabawi, dan Masjid Qiblatain ("masjid dua kiblat"). Umat Muslim percaya bahwa penyelesaian dari serangkaian penurunan surah alquran diterima Nabi Muhammad di Madinah, yang dikenal sebagai surah Madaniyah yang nampak perbedaannya dengan surah Makkiyyah .(Wikipedia)

Selepas dari pemeriksaan imigrasi, kami terus menuju pintu keluar. Harus berjalan melalui koridor sepi yang cukup panjang hingga mencapai kawasan parkir bus. Udara sejenak tidak begitu terlalu mendingin bagi tubuhku, serasa udara saat berada di Kota Bukittinggi ---Sumatera Barat, Indonesia--- daerah ketinggian diantara 3 gunung; Singgalang, Marapi dan Sago, dikala seusai hujan.





Kawasan untuk bus di Mohammad bin Abdul Aziz Airpot ini dapat menampung banyak bus-bus yang menghantarkan jemaah. Kala kedatanganku ini, kawasan ini tak terlihat kesibukan. Namun banyak bus-bus terparkir dengan rapi. Lampu penerang tidaklah terang benderang tapi tentu saja tidak menjadikan kawasan ini suatu tempat yang menakutkan.

Koper-koper rombongan kami tidak sekaligus dapat dikeluarkan dari bagian bagasi. Sehingga ada cukup lama kami harus tertahan di kawasan bandara, agar semua koper bawaan kami masing-masing sudah tidak ada yang tercecer lagi. Untuk hal ini petugas biro perjalanan yang mendampingi dari Medan dan petugas “khusus” yang bertugas di bandara, sedikit bekerja keras. Harus bolak balik dengan jarak yang lumayan membuat “goyah” dengkul. 

Karena udara yang dingin saat menunggu keberangkatan menuju penginapan, aku masih dapat berdiri santai diluar bus. Sementara yang lain sudah banyak duduk dalam bus. Aku sama sekali tidak merasa kelelahan tapi hanya rasa dingin “agak” membuatku kurang nyaman. Sekilas aku teringat pada masa sekolahan dulu, guru agama kami pernah memperkenalkan, Yatsrib.

Pada masa sebelum Islam berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib, dikenal sebagai pusat perdagangan. Kemudian ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah, kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai pusat perkembangan Islam sampai dia wafat dan dimakamkan di sana.

Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi Muhammad. Terdapat tiga khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan

Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak karena terjadi gejolak politik akibat terbunuhnya khalifah Utsman oleh kaum pemberontak. Selanjutnya ketika kekuasaan beralih kepada bani Umayyah, maka pemerintahan dipindahkan ke Damaskus dan ketika pemerintahan berpindah kepada bani Abassiyah, pemerintahan dipindahkan ke kota Baghdad

Pada masa Nabi Muhammad SAW, penduduk kota Madinah adalah orang yang beragama Islam dan orang Yahudi yang dilindungi keberadaannya. Namun karena pengkhianatan yang dilakukan terhadap penduduk Madinah ketika perang Ahzab, maka kaum Yahudi diusir ke luar Madinah.


Kini Madinah bersama kota suci Mekkah berada di bawah pelayanan pemerintah kerajaan Arab Saudi.
Secara geografis, kota ini datar yang dikelilingi gunung dan bukit bukit serta beriklim gurun.

Dari sektor ekonomi, terdapat sektor pertanian dan perkebunan terlebih perkebunan kurma yang sudah dikenal sejak masa lampau, peternakan selayaknya penduduk Arab serta perdagangan ditambah dengan sektor jasa terutama jasa pelayanan para peziarah di antaranya adalah usaha perhotelan dan penginapan.

Selain dikenal sebagai kota pusat perkembangan Islam. Madinah juga merupakan pusat dari pendidikan Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW. Juga banyak ulama-ulama dan Cendekiawan Islam yang muncul dari Madinah di antaranya adalah Imam Malik. Saat ini di Madinah terdapat berbagai Jami'ah (Universitas) dan perguruan tinggi Islam lainnya (*)