Sabtu, 14 Juni 2014

Dumai, Puteri Tujuh



AKU merasa beruntung singgah di Dumai !!! Perjalanan menuju Pulau Batam membuatku singgah di Kota Dumai, sejarak lebih kurang 188 km dari Kota Pekanbaru. Kota Dumai tercatat sebagai Kota Terluas nomor dua di Indonesia, setelah Kota Manokwari di Irian. Setelah Manokwari pemekaran dengan dibentuknya Kabupaten Wasior, Kota Dumai sekarang menjadi Kota Paling Terluas wilayahnya, dibandingkan dengan kota-kota yang ada di Indonesia.




Nama Dumai, Propinsi Riau, sebenarnya tidak asing bagiku. Nama yang sering menjadi sebutan bagi orang kampung kami, karena merupakan salah satu daerah perantauan Orang Piaman, Sumatera Barat. Beberapa tahun ini, keinginan untuk mendatangi Dumai cukup besar dalam diriku. Tersebab, sejumlah temanku pernah mencoba peruntungan di Dumai. Terakhir yang paling sering sepasang suami-isteri yang sudah beberapa tahun ini menetap di Kota Dumai, berulangkali menanyakan kapan aku datang ke Dumai.


Jalan Puteri Tujuh tepat di depan Kilang Minyak Pertamina Puteri Tujuh




Afrimen Mn Piliang dan Devy Herawati, pasangan suami isteri menetap di Kota Dumai. Afrimen teman semasa sama-sama di dunia jurnalistik, sama bekerja di suratkabar yang sama dulunya di Padang. Sedangkan Devy, sudah dianggap adik, ketika masih sekolah menengah ikut di sanggar teater di Taman Budaya Sumbar. Keduanya sudah aku anggap saudara. Pulang-pergi menuju Batam, di rumah merekalah aku istirahat untuk transit.


Balai Adat Melayu Riau di Kota Dumai

Padamulanya Dumai hanyalah sebuah dusun kecil di pesisir timur Provinsi Riau. Lalu menjadi kota administrative, saat masih di bawah Kabupaten Bengkalis. Hingga akhirnya sejak 20 April 1999, ditetapkan sebagai Kota Dumai. Dalam wilayah Dumai terdapat 15 sungai, dapat dilayari kapal pompong, sampan dan perahu sampai jauh ke hulu sungai.


Dumai Central Park di Jantung Kota Dumai


Bertahan untuk transit, bermalam dan menikmati siang harinya Kota Dumai, kali ini, aku merasa beruntung selain hanya untuk transit dan menemui “saudara” yang sudah belasan tahun tidak bertemu. Selama ini aku hanya mengenalnya sebagai daerah pelabuhan semata untuk lalulintas minyak. Baik minyak bumi maupun minyak kelapa sawit, hasil pengembangan kebun kelapa sawit di daerah setempat dan sekitar Kota Dumai.

Saat berkeliling pusat Kota Dumai saat siang dan malam, melihat-lihat bangunan lama kalau ada, termasuk bangunan Melayu, aku melihat nama jalan “Puteri Tujuh.” Saat itulah aku diberitahu bahwa Puteri Tujuh adalah legenda Kota Dumai. Sekaitan itu juga, Kilang Minyak Pertamina di Dumai, dinamakan Kilang Puteri Tujuh. 

Sayang aku tidak bisa melihat situs Puteri Tujuh, karena berada dalam kawasan Kilang Pertamina dan konon harus mengajukan izin untuk masuk terlebih dahulu. Tersebab hal itu, akhirnya aku mencari data sipakah si Puteri Tujuh.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas: 

Situs Puteri Tujuh (Foto: WisataMelayu.com)
Putri Tujuh adalah dongeng atau cerita rakyat mengenai asal mula Kota Dumai.
.
Cerita ini mengisahkan tentang seorang pangeran yang pinangan nya di tolak oleh kerajaan Seri Bunga Tanjung. 

Karena malu dan tidak terima maka pangeran tersebut memulai perang, dan peperangan pun tidak dapat di hindari dan berlansung lah perang yang hebat selama empat bulan lebih lama nya.
Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai.

Selain itu, ada beberapa nama tempat di Kota Dumai yang di abadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh, bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.


abrar khairul Ikhirma
Tunas Setia Kelurahan Bukit Datuk
Kota Dumai
April 2014

Selasa, 03 Juni 2014

Masjid Baitus-Syakur



BULAN Desember 2013 hampir sebulan berada di Pulau Batam. Saat itu aku hanya memiliki kesempatan sekadar melintas-lintas saja di kawasan Jodoh, salah satu kawasan ramai, baik siang maupun malam hari. Tidak memiliki kesempatan mencicipi suasana maupun memotret Jodoh. Salah satunya… tidak jodoh memotret Masjid Baitus-Syakur di Jodoh, sampai harus meninggalkan Batam tahun lalu itu. Aku terpesona dengan menaranya yang tinggi menjulang.




Pernah memang, adikku Rafie Chaniago, yang sudah menetap di Batam 4 tahun, saat memiliki hari libur membawaku keliling. Aku sempat sampaikan ingin mengunjungi situs-situs yang ada di Pulau Batam. Salah satunya bila ada masjid tua atau rumah-rumah tua bercirikan masa silam. Malah sampai kami ke daerah Nong Isa waktu itu. Jauh rasanya jaraknya dari jantung Kota Batam. Terpasah ke kawasan pantainya. Tidak ditemukan yang aku cari. Akhirnya pulang dengan hasil potret yang kosong melompong.

Saat kembali lagi berada di Pulau Batam sejak pekan akhir Maret 2014, keinginan untuk mendatangi Masjid Baitus-Syakur begitu menggoda. Beberapa kali rencana untuk ke Jodoh selalu tertunda. Di waktu siang terhalang, di waktu malam tak jadi. Alhasil…, disimpan saja keinginan itu.

Sampai adikku Setiawati Bachtiar dan suaminya menjemputku, setelah lama berada di Batam, dari kawasan Batu Ampar, untuk dibawa menginap ke rumahnya di Batu Aji. Sebelum pulang, mereka keliling dulu di pusat Kota Batam mencari sejumlah keperluannya. Berhubung waktu sholat Ashar sudah masuk, mereka mencari masjid. Tahu-tahu masjid tempat kami tuju untuk sholat adalah  Baitus-Syakur !!! Wow !!! Jodoh !!! Padahal… sama sekali tak ada agenda masjid ini salah satu tujuan keliling pusat kota hari itu.

Selesai sholat, aku sempatkan waktu yang sekejap untuk memotret. Tidak banyak posisi yang dapat kuabadikan. Kemudian sedikit bercakap-cakap dengan orang yang kutemui. Dari percakapan itu, aku mengetahui bahwa di kawasan masjid terdapat kuburan, yang dikenali sebagai “makam keramat.” Karena buru-buru pergi, aku tak sempat memotret mana makam yang keramat itu.




Setelah aku telusuri cerita tentang makam itu, ternyata makam yang dimaksudkan konon diyakini sebagai makam Datuk Laksamana Hitam, salah satu petinggi semasa Kerajaan Riau Lingga. Pendekar keturunan Melayu-Bugis. Cerita bahwa sang petinggi itu dimakamkan di sebelah masjid Jodoh itu, cerita turun temurun orangtua di Riau Kepulauan, khususnya di masyarakat Lingga.


Yang pasti, periode kematiannya berbarengan dengan gugurnya Raja Ali Fisabilillah Yam Tuan Muda Riau ke IV. Disebut-sebut Datuk Laksamana Hitam melarikan diri dengan sejumlah Askar Diraja, setelah kalah perang melawan tentara Belanda di Teluk Ketapang, Malaka.   

Tampaknya sampai kini masih belum ada penelusuran lebih lanjut dari cerita makam ini. Walau belum sahih, namun menurut cerita sepintas, dalam waktu tertentu, banyak juga orang datang untuk berziarah, juga satu dua pelancong dari Malaysia dan Singapura.  ***

abrar khairul ikhirma
batu aji – pulau batam
april 2014

Minggu, 01 Juni 2014

Sejenak di KLPac



SUNGGUH merasa beruntung dapat mengunjungi KLPac –Kuala Lumpur Perfoming Art Centre—saat berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Diam-diam merasa berterimakasih pada penyelenggara Anugerah Puisi Dunia Numera dan Baca Puisi Dunia Numera 2014, yang telah menjadikan KLPac salah satu sesi untuk dikunjungi, sekaligus menjadikan lokasi penampilan baca puisi saat hari menjelang petang.




KLPac sudah lama aku kenal namanya. Sebahagian besar para orang kesenian yang bergelut dengan dunia kreatif, tentulah mengimpikan tempat seperti ini. Salah satu impian masa kecilku, aku pernah memiliki mimpi, memiliki sebuah kawasan luas, dimana di dalam kawasan tersebut terdapat tempat dimana bisa digunakan oleh para senman dari mana saja, untuk menampilkan karyanya. Sebuah tempat terkelola dan serba guna.

Walau impian itu suatu hal yang muskil, namun sampai kini, impian itu tetap tumbuh subur dalam pemikiranku. Pemikiran akan kehidupan kesenian dan keberlanjutan budaya, dalam kehidupan berbangsa. Bagaimana setiap daerah di Indonesia semestinya sudah memerlukan fasilitas dan ruang semacam KLPac ini tapi terkelola dengan baik, pengelolaan yang professional. Selain memperbaiki sistim dan pembiayaan Taman Budaya tiap provinsi  yang sudah ada atau juga seperti di Sumatera Barat selain memiliki Taman Budaya, juga telah dibangun Medan Nan Bapaneh di setiap kabupaten. Namun masih tetap belum hidup dengan baik, bahkan seringkali bak “karakok di ateh batu,” keberlansungannya.




Kemajuan yang dicapai Malaysia, disertai keinginan pemerintahnya untuk juga memajukan kebudayaan dan keseniannya. Karena hal itu dirasakan penting dalam kemajuan bangsanya agar dapat terpelihara dengan baik. KLPac adalah salah satu pusat seni terkenal di Kuala Lumpur. Memiliki fasilitas teater dan studio music. Memiliki areal terbuka yang luas. Bahkan juga digunakan sebagai pusat penelitian kesenian untuk kemajuan dan eksistensi kesenian di Malaysia. Sejak didirikan, rutin digelar pementasan drama, music dan tari, dengan banyak pengunjung.

Selain memiliki areal luas, patut dipujikan, pemanfaatan lahan diberikan untuk kepentingan kesenian dan kebudayaan, mengalahkan kepentingan bisnis. Dengan areal yang memadai, berada di tengah metropolitan Kuala Lumpur, bukan tidak mungkin dijadikan hotel, condominium atau mall, yang lebih menggoda mendatangkan keuntungan besar dan representative. Itu artinya, suatu penghargaan bagi dunia kesenian dan kebudayaan. Sungguh beruntung seniman dan penggerak kesenian dan kebudayaan memiliki fasilitas semacam KLPac.




Yang sangat menarik, sejarah kawasan Sentul Park dan bangunan di dalamnya, memiliki arti penting dalam perjalanan sejarah Malaysia di masa lalu. Bangunan KLpac adalah salah satu bangunan di Sentul Park, merupakan bekas gudang kereta api di masa lalu. Merombak fitur jendela kaca sepanjang depan bangunan , serta jalan menuju ke gedung. Pada 1800-an, bangunan itu menjadi lokakarya kayu kerajinan dan sawmill. Pada tahun 1906, ia menjadi bagian dari Sentul Pekerjaan, depot & lokakarya kereta api. Kemudian dibom selama Perang Dunia II. Bagian ujung ekor hancur tapi segera dibangun kembali. Dijadikan menjadi klub golf. Di akhir 1960-an, ditinggalkan. Di awal 1990-an, kemudian sebagai tempat seni pertunjukan




Pada tahun 1995 , Faridah Merican dan Joe Hasham mendirikan dan mengelola teater di Malaysia di bawah Dataran Merdeka, yang disebut The Actor Studio di PlazaPutra. Pada tahun 2003, banjir bandang di Kuala Lumpur menghancurkan kompleks bawah tanah dimana aktifitas mereka selenggarakan. Pada bulan Mei 2004, Yayasan Budi Penyayang Malaysia, YTL Corporation Berhad dan The Actors Studio Malaysia menciptakan sebuah platform bersama - untuk mengembangkan seni pertunjukan, yang menjadi Kuala Lumpur Performing Arts Centre ( KLPac ) di Sentul Park. KLPac dibuka pada Mei 2005.

Siapa yang membiayai KLPac ini? Ialah The Corporation Petronas. Tujuan utamanya ialah untuk menjadi wadah dan arena bagi para kawula muda di Kuala Lumpur khususnya dan Malaysia secara umum yang memiliki kecenderungan untuk berkesenian yang tinggi. Tempat ini terbuka untuk masyarakat yang ingin menyaksikan berbagai pertunjukan seni, tarian maupun music, termasuk para wisatawan asing. Banyak musisi dan seniman lokal maupun mancanegara, ikut ambil bagian dalam setiap perhelatan di tempat ini.




Dengan memanfaatkan salah satu sisi bangunan KLPac, Numera 2014, menjadikan sebagai salah satu panggung untuk baca puisi oleh penyair peserta Numera 2014. Jauh dari suasana formal. Teramat berkesan bagiku dan melambungkan berbagai “mimpi-mimpi” yang jauh lebih berkembang untuk kehidupan kesenian. Termasuk merasa beruntung dapat mengenal dan berfoto bersama Pui See, p. o. to executive produser KLPac di petang hari itu.

Pun menjelmakan mimpi dalam diriku, mana tahu suatu saat aku bisa baca puisi atau pameran foto atau pameran lukisan di sini. Setidaknya, aku telah merasa beruntung dapat datang mengunjungi KLPac, 23 Mei 2014. Sambil berkata pada diriku sendiri, “Andaikan suatu hari kelak datang lagi ke Malaysia, aku masih ingin untuk datang ke KLPac!”

abrar khairul ikhirma
kampoeng belacan
26 maret 2014

Sabtu, 31 Mei 2014

Nyanyikan Lagu Kebangsaan



“INDONESIA tanah airku, tanah tumpah darahku….,” Bulu romaku berdiri. Tubuhku tergetar  hebat seketika. Airmataku memercik. Tak pernah menduga lagu kebangsaan itu akan dinyanyikan kalau bukan di acara formal, tak pula setiap mendengar lagu itu dinyanyikan, mampu menggetar diriku. 

Nyatanya lagu itu dinyanyikan di sini, diantara mereka yang berbaris menuju daratan. Digiring bagaikan pesakitan. Aku terperangah kini. tersandar di pipa besi, pagar pengaman kiri kanan jembatan, salah satu lorong kedatangan, pelabuhan kapal Tanjung Pinang, saat matahari siang menggelincir !!!


 Hari ini adalah hari kedatangan kapal yang membawa warga negara Indonesia, yang terkena deportasi. Mereka konon umumnya adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.  Mengadu peruntungan ke negeri Malaysia. Tersangkut berbagai pelanggaran aturan pemerintah negeri seberang. Yang akhirnya dikembalikan ke negara asal.

Cerita tentang warga negara dideportasi, terutama soal “pendatang haram” istilah negara seberang, pun tersangkut masalah pelanggaran,  selama ini aku ketahui hanya melalui pemberitaan dan bahasan tulisan-tulisan di media cetak dan elektronik. Secara langsung, aku belum pernah menyaksikannya. Inilah pertamakali aku berada diantara mereka yang dipulangkan, dan merasakan suasana langsung kedatangannya kembali ke tanah air.

Suasana pelabuhan sepi-sepi saja. Tidak ada hal yang mencolok. Terasa lengang. Namun aku anggap suatu hal membuatku merasa nyaman. Pelabuhan laut yang terletak di Kota Tanjung Pinang, yang kini menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau, bernama Pelabuhan Sri Bintan Pura. Pelabuhan ini tempat sandar kapal-kapal jenis ferry untuk akses domestic ke Pulau Batam dan pulau-pulau lain sepeti Karimun dan Kundur serta kota-kota lain di Riau daratan, termasuk merupakan akses internasional ke negara Malaysia dan Singapura.

Sejumlah penanti kedatangan bergegas ke pintu imigrasi setelah mengetahui kapal yang membawa rombongan deportasi sudah merapat di dermaga. Konon mereka yang dideportasi di Tanjung Pinang hanya transit. Mereka akan dibawa ke asrama khusus Departemen Sosial, jauh dari pelabuhan, kemudian esoknya, seterusnya melalui jalur laut dibawa ke Jakarta. Setelah diproses di Jakarta, mereka dipulangkan ke daerah asal masing-masing.


Keluar dari pintu imigrasi mereka yang dideportasi dibariskan di lorong menuju daratan. Jumlah yang dideportasi kali ini diperkirakan ada 200 orang. Di bagian depan kelompok perempuan yang menggendong bayi dan tengah hamil. Jumlahnya ada beberapa orang. Di belakangnya kelompok perempuan, lalu baru kelompok laki-laki. Kebanyakan usia mereka terbilang muda. 

Pengawalan tidak terlihat begitu ketat. Namun mereka yang dideportasi juga terbilang tertib. Ekspresi mereka pada umumnya kelelahan dan pasrah. Namun sejumlah diantara mereka yang berbaris, terdengar “celetukan” yang satire. Kedengarannya bahasa yang kasar tapi bila didengar dengan pikiran dan perasaan yang jernih, kalimat yang sangat menohok. Hal itu muncul spontan dari mulut mereka, ketika petugas sedikit memaksa untuk mengikuti perintahnya. “Jangan main hardik saja, Pak. Kami juga punya negara ini!”

Sungguh !!! Aku tidak menyangka kalimat-kalimat mereka sangat tajam. Memiliki daya kritis luarbiaa. Merontokkan anggapanku selama ini TKI itu hanya seorang yang biasa dan memiliki pemikiran terbatas, sebagaimana yang seringkali dicitrakan media masa. “Jangan begitu pak. Di negara orang main hardik, masa’ di negeri kami sendiri juga dibentak !!!” atau “Kami cari hidup, bukan cari mati !!!”

Yang merontokkan keangkuhan, ketidak-pedulian, seharusnya mereka melihat dan mendengar semestinya. Bisik hatiku. Rasa kebangsaanku terbangkitkan, tatkala sambil berjalan mereka yang dideportasi menuju mobil, mengantarkan mereka ke asrama “penampungan” tanpa dikomando… terdengar mereka menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Indonesia Tanah Air Beta. Lalu yel… yel… patriotic.

Sampai mereka hilang dari pandangan, aku masih tertegak di lorong berupa jembatan beton beratap. Yang menghubungan dermaga ke daratan pelabuhan itu. Berkata dalam hati: sejauhmana nilai kebangsaan  seperti yang senantiasa berdengung di tingkat elite kita ??? Setarakah dengan saudara-saudara yang dideportasi ini ??? Datang dari spontanitas tanpa rekayasa hati.

abrar khairul ikhirma
Tanjung Pinang
04 April 2014