Jumat, 21 Juli 2017

CAHAYA LISTRIK PERTAMA DI JAZIRAH ARAB

Masjid Nabawi dalam perjalanan sejarahnya bertabur kemuliaan. Memiliki arti penting bagi pengembangan agama Islam. Dari berbagai bangsa dan Negara, umat Islam berdatangan ke Masjid Nabawi berziarah dan beribadah hampir sepanjang waktu. Suatu rahmat bagi seorang muslim dalam hidupnya, dapat mengunjungi sekaligus beribadah di Masjid Nabawi.




Termasuk pada diriku sendiri. Dapat mendatangi Masjid Nabawi diantara sesama muslim di dunia adalah suatu yang membahagiakan, suatu tak dapat dipungkiri untuk disyukuri. Tidak hanya keluasan area beribadah yang tersedia tapi sekaligus memberi warna pada dunia arsitektur berbagai bangunan masjid di banyak Negara di dunia.

Masjid Nabawi merupakan dua masjid bertingkat berbentuk persegi panjang tidak beraturan. Memiliki ruang sholat yang dinamakan bangunan Utsmaniyah menghadap ke arah selatan. Atap bangunan dengan posisi rata. Terdapat 27 kubah yang dapat digeser. Terdapat berbentuk lubang di atas langit-langit masjid, menjadikan salah satu kubah itu berfungsi mengiluminasi interior. Kubah bergeser di atas jalur besi, menuju ke bagian pinggir atap, membuat cahaya tambahan masuk menuju ruang sholat utama. Atap masjid pada saat memasuki masa puncak kedatangan muslim ke Madinah, digunakan untuk sholat.  

Pada masa itu pula, halaman masjid ditambah dengan payung-payung yang membentuk pilar-pilar tunggal. Atap masjid terhubung dengan tangga dan escalator. Wilayah halaman sekitar masjid juga digunakan untuk salat, dilindungi oleh payung-payung besar. Kubah bergeser dan payung yang dapat terbuka secara otomatis di rancang oleh arsitek Jerman Mahmoud Bodo Rasch bersama temannya SL Rasch GmbH dan Buro Happold.



Selama berada di Kota Madinah, setiap memasuki kawasan Masjid Nabawi, hampir tak pernah mataku terpejam. Ada-ada saja yang menjadi menarik untuk aku lihat. Baik saat berada diluar maupun berada di dalam masjid. Tentu saja arsitektur bangunannya yang ada sekarang. Hampir tak ada bersisa dari perhatian pada detil-detil seni arsitekturnya.

Selalu aku terbawa dalam lamunan-lamunan ke masa lalu. Membayangkan situasi dan suasana masjid ini di masa-masa awal zaman kenabian, diteruskan zaman khalifah sampai akhirnya pada masa sekarang. Selalu saja kekagumanku kalah menarik dengan betapa rapinya arsitektur ini oleh lamunan masa silam itu. Apalagi kisah-kisah yang terjadi di masa lalu itu sangat mempengaruhi alam pikiranku. Termasuk sebagai salahsatu tonggak perkembangan dunia Islam sangat menentukan.

Rasulullah sendiri pernah menyatakan tentang masjid yang termasuk masjid dibangunnya ini,"Barangsiapa melakukan salat di mesjidku sebanyak empat puluh kali tanpa luput satu kali salat pun juga, maka akan dicatat kebebasannya dari neraka, kebebasan dari siksa dan terhindarlah ia dari kemunafikan." (Riwayat Ahmad dan Thabrani dengan sanad yang sah)

Masjid Nabawi ini salah satu tempat yang disebutkan namanya dalam Alquran. Kemajuan masjid ini tidak lepas dari pengaruh kemajuan penguasa-penguasa Islam. Pada 1909, tempat ini menjadi tempat pertama di Jazirah Arab yang diterangi pencahayaan listrik.

Masjid Nabawi berada dibawah perlindungan dan pengawasan Penjaga Dua Tanah Suci. Masjid ini secara lokasi berada tepat di tengah-tengah kota Madinah, dengan beberapa hotel dan pasar-pasar yang mengelilinginya. Masjid ini menjadi tujuan utama para jamaah Haji ataupun Umrah. Beberapa jamaah mengunjungi makam Nabi Muhammad untuk menelusuri jejak kehidupannya di Madinah.

Setelah wafatnya Rasulullah dan berakhirnya zaman kenabian, Masjid Nabawi berkali-kali direnovasi dan diperluas. Renovasi yang pertama dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 17 H, dan yang kedua oleh Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 29 H.




Di zaman modern, Raja Abdul Aziz dari Kerajaan Saudi Arabia meluaskan masjid ini menjadi 6.024 m² pada tahun 1372 H. Perluasan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Raja Fahd pada tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Masjid Nabawi kini dapat menampung kira-kira 535.000 jemaah.

Dalam sejarah renovasi masjid yang pernah dibangun oleh Rasulullah ini, setelah Pertempuran Khaybar, masjid "diperbesar". Perluasan masjid untuk 47.32 meter (155.2 ft) pada salah satu sisi dan tiga ruas pilar dibangun disamping tembok bagian barat, yang menjadi tempat salat. Masjid mengalami perubahan saat pemerintahan Khulafaur Rasyidin Abu Bakar.

Khalifah kedua Umar meratakan semua rumah dekat masjid kecuali rumah istri Nabi Muhammad untuk memperbesar masjid ini. Dimensi ukuran masjid baru saat itu menjadi 57.49 meter (188.6 ft) × 66.14 meter (217.0 ft). Lumpur digunakan untuk dinding penutup. Selain ditaburi kerikil di lantainya, tinggi atap ditambah hingga 5.6 meter (18 ft). Umar sedikitnya membangun tiga konstruksi gerbang baru sebagai pintu masuk. Dia juga menambahkan Al-Butayha bagi masyarakat untuk membacakan puisi-puisi.

Khalifah ketiga Utsman merobohkan masjid ini pada 649 M. Sepuluh bulan dihabiskan untuk membuat bentuk persegi panjang masjid yang menghadap ke Kakbah di Mekah. Masjid baru tersebut berukuran 81.40 meter (267.1 ft) × 62.58 meter (205.3 ft). Jumlah gerbang disamakan pada bangunan sebelumnya. Dinding pembatas terbuat dari lapisan bata dengan adukan semen. Tiang-tiang batang kurma digantikan oleh pilar batu yang disatukan dengan kempa besi. Kayu jati juga dimanfaatkan dalam rekonstruksi langit-langit.

Pada 707, Khalifah Umayyah Al-Walid ibn Abd al-Malik merenovasi masjid. Renovasi ini memakan waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya. Bahan-bahan material berasal dari Bizantium. Wilayah masjid diperbesar dari 5094 meter persegi pada masa Utsman bin Affan menjadi 8672 meter persegi. Sebuah tembok dibangun untuk memisahkan masjid dan rumah istri Nabi Muhammad. Masjid direnovasi dalam sebuah bentuk trapesium dengan panjang 101.76 meter (333.9 ft). Untuk pertama kalinya, beranda dibangun di masjid menghubungkan bagian utara struktur ke struktur terpentingnya. Untuk pertama kalinya pula,minaret dibangun di Madinah, ia membangun empat minaret.

Minaret-minaret pertama (jumlahnya empat) 26 feet (7.9 m) dibangun oleh Umar. Pada 1307, sebuah minaret dijuluki Bab al-Salam ditambahkan oleh Muhammad bun Kalavun yang direnovasi oleh Mehmed IV. Setelah proyek renovasi 1994, terdapat sepuluh minaret yang tingginya 104 meter (341 ft). Bagian bawah, dasar dan dan atas berbentuk silinder, segi delapan yang terlihat menarik.



Pada masa Khalifah Abbasiyah Al-Mahdi memperluas masjid ke utara sebanyak 50 meter (160 ft). Namanya juga ditulis pada dinding masjid. Dia juga mengusulkan untuk menghilangkan enam anak tangga menuju mimbar, tetapi usulan ini ditolak, karena hal ini dapat menyebabkan kerusakan yang merugikan. Menurut tulisan Ibnu Qutaibah, khalifah ketiga Al-Mamun melakuan pekerjaan yang tidak menentu pada masjid. Al-Mutawakkil memimpin pelapisan makam Nabi dengan marmer. Al-Ashraf Qansuh al-Ghawri membangun sebuah kubah diatas makam Nabi pada 1476.

Sultan Abdul Majid I menghabiskan waktu tiga belas tahun untuk membangun kembali masjid, yang di mulai pada 1849. Batu bata merah digunakan dalam material utama pada rekonstruksi masjid. Luas lantai diperbesar hingga 1293 meter persegi. Pada dinding-dindingnya, ayat-ayat Alquran di lukis dalam bentuk kaligrafi Islam. Pada sisi utara masjid, sebuah madrasah dibangun untuk "bimbingan mengajar Alquran "

Setelah pendirian Kerajaan Arab Saudi pada 1932, masjid mengalami modifikasi besar. Pada 1951 Raja Ibn Saud (1932–1953) merencanakan penghancuran bangunan sekitar masjid untuk membuat sayap baru ke timur dan barat dari gedung peribadatan utama, dengan tetap kolom beton dengan sentuhan seni. Kolom tertua diperkokoh beton dan dipasangi cincin tembaga diatasnya.

Minaret Suleymaniyya dan Majidiyya dipindahkan menjadi dua minaret bergaya Mamluk. Dua menara tambahan ditegakkan ke barat daya dan timur laut masjid. Sebuah perpustakaan dibangun sepanjang tembok bagian barat yang menjadi tempat koleksi Al-Qur'an bersejarah dan beragam teks keagamaan lainnya.

Pada 1974, Raja Faisal menambahkan 40,440 meter persegi untuk luas masjid. Perluasan masjid juga dilakukan pada masa kekuasaan Raja Fahd pada 1985. Bulldozer turut gunakan dalam penghancuran bangunan-bangunan sekitar masjid. Pada 1992, ketika konstruksi ini selesai, wilayah masjid menjadi 1.7 juta kaki. Eskalator dan 27 halaman juga ditambahkan dalam perluasan masjid.

Saat sekarang Masjid Nabawi dapat menampung lebih dari 1,6 juta jamaah(*)


@Bahan Data: Wikipedia.

Kamis, 20 Juli 2017

KERLIP LAMPU DI SELATAN KUALA LUMPUR

Apa yang luarbiasa perihal Selatan, selain hanya penamaan letak suatu daerah ??? Pastilah ada banyak pendapat setentang itu. Pendapat dari sudut keilmuan, dari hanya berupa pikiran atau pun hal berkaitan dengan suasana hati. Satu ketika aku pun menuju selatan Kota Kuala Lumpur!




Sepekan sudah aku berada di Kedah Darul Aman, negeri di utara Malaysia. Tibalah kemudian waktunya kembali ke Kuala Lumpur. Untuk seterusnya melanjutkan perjalanan mencapai kota tua Melaka, negeri bahagian selatan dari Semenanjung Malaysia.

Dari Alor Setar, bandaraya Negeri Kedah Darul Aman, perjalanan ditempuh dengan bus malam. Mencapai kota Kuala Lumpur ketika dinihari menancapkan waktunya. Titik tujuan akhir yakni Terminal Bus Selatan (TBS), suatu kawasan terminal terpadu. Dimana taxi, bus dan kereta api terhubung, memudahkan jalur transportasi. Di terminal sendiri, pelbagai fasilitas public dan perbelanjaan tersedia.

Di TBS ini, seakan tak pernah sepi. Di berbagai sudutnya, selalu dapat ditemui “kehidupan” berlangsung, walaupun tidak hingar-bingar. Sampai di TBS, di ruang kedatangan dan pemberangkatan, ramai dengan penumpang yang beristirahat. Di sana sini seadanya orang-orang tidur karena kelelahan, diantara mereka yang masih asyik bercakap-cakap. Bahkan asyik dengan gadgetnya, menunggu pagi benar-benar datang.




Antara rasa kantuk di dalam bus, aku mengetahui sudah mendekati Kota Kuala Lumpur, saat dinihari kian berjalan meninggalkan malam. Bus berjalan stabil sehingga membuat rasa aman dan nyaman penumpangnya. Jalan raya tidak ramai. Sekilas melalui jendela kuperhatikan tidak ada kesibukan, seperti biasa terlihat di berbagai kota-kota besar.

Beberapa kilometer mendekati titik akhir perjalanan bus yang aku tumpangi dari Alor Setar, Kedah, Darul Aman ke TBS Kuala Lumpur, tidak aku biarkan kantuk dan kelelahan menguasaiku. Naluriku untuk memotret suasana yang kutemui kembali tumbuh. Dengan berbekal sebuah camera pocket 16.1 mp, spontan kurekam, dan menemukan hasil foto digital yang artistic.





Inilah diantaranya sejumlah potret rekamanku ketika mendekati terminal terpadu selatan Kota Kuala Lumpur…, memunguti kerlip-kerlip lampu dan rasa rindu yang berceceran menjelang waktu siang menggantikan malam hari (*)









Rabu, 19 Juli 2017

DASRIL AHMAD

Dasril Ahmad, lahir di Padang, 25 Desember. Menamatkan pendidikan Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat.




Menulis sejak tahun 1976 di berbagai media cetak terbitan Padang dan Jakarta. Tulisan-tulisannya berupa esei, kritik, cerpen, cerita anak-anak, wawancara dan artikel kebudayaan, antara lain dimuat di Harian Haluan, Singgalang, Semangat dan Padang Ekspres (terbitan Padang), Pelita, Berita Buana, Terbit, Swadesi, Merdeka, Suara Karya, Tempo, Mingguan Mutiara dan Majalah Sastra Horison (Jakarta).

Aktif mengikuti berbagai diskusi dan seminar sastra-budaya yang diadakan di Indonesia, antara lain; “Temu Sastrawan dan Kritikus 1984” dan “Forum Puisi Indonesia 1987” di Taman Ismail Marzuki Jakarta. “Pertemuan Bahasa dan Sastra Wilayah Barat,” di Pekanbaru (1986), dan berbagai seminar bahasa, sastra dan budaya di Sumatera Barat.

Menyajikan makalah pada forum, “Temu Kritikus Muda Sumbar-Riau 1986”. Pada “Temu Kritikus Sastra se-Sumatera 1989” dan “Perkembangan Kritik Sastra Indonesia di Sumbar” (1988). Semuanya di Padang.

Dua kumpulan cerita pendeknya yang sudah dibukukan, “Debu” (1986) dan “Ngilu” (1988), diterbitkan oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat (HMSSB) di Padang.

Dasril Ahmad pernah menjabat Sekretaris Umum HMSSB (1985-1990), redaktur tamu pada rubric sajak di ruangan budaya harian Haluan (1991-1992). Selain menulis ia juga pernah menjadi dosen luar biasa di Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang (1988) dan Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta (1998-1999).


Juga kerap menjadi juri untuk lomba baca dan menulis puisi yang diadakan oleh berbagai lembaga di Sumatera Barat. Kini, beliau masih tetap menekuni menulis esei dan kritik sastra untuk dipublikasikan di berbagai media cetak dan online (*)

Senin, 17 Juli 2017

AKU YANG MENOLAK PERAN

Ada jugalah aku menyukai seni peran. Tetapi pada dasarnya, aku tak pernah ingin menjadi pemain dalam bidang yang demikian itu. Tak pernah mengimpikannya. Tampil ke depan penonton, memainkan peran. Yang jelas bukan diriku.




Yang pernah ada dan terpikirkan itu, aku hanya ingin menjadi seorang penata artistic sebagai bahagian kekuatan dari seni peran, atau hanya sebagai juru foto saja untuk mendokumentasikan seni peran yang dipentaskan di pentas pertunjukkan. Bila di film aku ingin bekerja sebagai cameramen atau kemudian bisa menjadi seorang sutradara. Menurutku itulah bidang yang kusukai.

Walau tak berkeinginan, pada usia belia di kota kelahiranku, pada masa dahulu kala itu, aku pernah mengawali seni peran hanya tersebab situasi tapi tidak karena tujuan. Aku pegang peran dengan sejumlah dialog naik panggung pentas teater. Untuk memenuhi tatapan mata di sebuah gedung pertunjukan kota kami, dimana malam itu penuh sesak dan sangat banyak penonton tidak bisa masuk, karena keterbatasan kapasitas gedung. Malam Pertunjukan Seni Sanggar Paris, Pariaman.

Lantas untuk kedua kalinya di seni peran, adalah tampil berdua bersama kakak kandungku sendiri, Gusfen Khairul Agustabeliau kemudian hari lebih serius menjadi seorang jurnalis media-- bermain untuk lomba teater di kota kami dan kiranya menang. Baik pertunjukan kami, begitu juga kemenangan kami, mendapat sambutan dari kalangan isi kota yang mengenal kami pada masa itu.

Setelah hijrah ke Kota Padang dan hidup di Taman Budaya Padang, tak hendak aku masuk lagi ke seni peran sebagai pemain untuk naik panggung pertunjukkan. Kegiatan latihan teater silih berganti. Aku hanya rajin mengikuti proses latihan, proses garapan kerja sutradara dan akhirnya tiba waktunya, aku dipercaya mengerjakan urusan artistic pentas mereka.




Kalangan yang bergiat seni peran ini semuanya saling kenal denganku. Terutama mereka-mereka  berbasis di Taman Budaya Padang. Salahsatunya hubunganku sangat dekat dengan pelukis yang kemudian lebih eksis sebagai sutradara teater, A. Alin De. Setelah di Bumi Teater, Padang, pimpinan teaterawan Wisran Hadi, A. Alin De mendirikan group teater sendiri, Sanggar Dayung-Dayung, Padang. Salahsatu group teater dari Sumatera Barat yang pernah sampai ke tingkat nasional.

Namun ada sejumlah kalangan berpendapat di banyak kesempatan di masa tahun 1980-an, andaikan aku dinaikkan ke atas panggung, disebut mereka aku ini punya karakteristik khas dan menarik. Alasan mereka, bila dalam banyak momen keseharianku, topik pembicaraan dan gaya bicaraku selalu satire, khas dan karikatural. Entah benar entah tidak. Itu kan pendapat dari sejumlah orang yang memperhatikan karakterku.

Walaupun aku serius dalam bicara, selalu saja ada banyak momen membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Termasuk yang biasanya pelit suara dan tertawa bisa seketika tak sadar, tersenyum dan tertawa. Padahal aku tak pernah bermaksud humor dan lawak. Namun semua itu terjadi, sejujurnya semata-mata hanya karena mood dan suasana saja seketika itu.

Aku kira boleh jadi benar, seperti kuketahui di kemudian hari dikatakan dalam sejumlah kesempatan pada kalangan teman-teman oleh Edi Anwar (Asfar) ---ayahanda dari Febri Diansyah, S.H, juru bicara KPK saat ini--- setentang diriku perihal itu, kira-kira begini; “Si Arkhi anak ajaib ---begitu khas Edi Anwar menyebut namaku--- kalau bergarah (bercanda) atau berolok-olok sekenanya tanpa beban, yang disampaikannya adalah hal menarik dan serius. Malah kalau dia serius bicara sulit untuk diduga…,”

Aku orangnya sebenarnya seorang pendiam dan serius. Jika terjadi hal semacam begitu, semata-mata spontan. Tidak ada rancangan yang kupersiapkan. Tidak ada bahan harus kuingat dan kuhafal. Karenanya, seringkali aku merasa bosan pabila seseorang suka mengulang-ulang sesuatu bentuk atau topic, meskipun awalnya lucu, segar, menarik tanpa ada sentuhan baru sekaligus bernilai lebih dari sebelumnya. Baik bersumber cerita orang yang diceritakan atau ceritanya sendiri yang diceritakannya. Apalagi paling memuakkan, jika ide orang-cerita orang dikesan seolah-olah ide-cerita merupakan pengalamannya sendiri.


   

Contoh berulang-ulang ini sangat mudah ditemukan kekinian pada keseharian kita. Pada umumnya pada saat bersama-sama, ada seseorang menjadi pusat perhatian. Karena ada-ada saja tingkah dan cerita yang dikemukakannya, agar menarik perhatian orang tertuju kepadanya. Cerita itu tidak lebih cerita yang hampir semua orang sudah mengetahui. Sedang si tukang cerita merasa itu lawak dan dapat membuat orang tertawa.Yakinlah bagiku tidak menarik. Jika aku berada di situasi itu, aku akan diam atau berusaha pergi untuk mencari kegiatan sendiri.

Pernah berulangkali, seorang kakak angkatku Emil Demitra ---nama pemberian dari Proklamator Bung Hatta--- untuk anak kedua budayawan Roestam Anwar --'-pendiri Penerbit NV Nusantara Bukittinggi-Jakarta dan Minang Int. Hotel--- mencetuskan dia ingin mendapatkan sebuah camera video, akan memasang camera itu ontime, merekam aku "ngoceh" saat dikurung di satu kamar dari pagi sampai tengah malam. Dia ingin mendengar hal apa yang dapat kukatakan sepanjang waktu itu melalui hasil rekaman.

Emil saat itu bergiat jadi salah seorang crosser di Sumatera Barat dan menekuni dunia mekanik. Ide gilanya tak terwujud. Dia tak berhasil melaksanakan niat hatinya itu untuk memperlakukan karakterku yang menurut orang serupa itu, aku ini dicapnya seorang yang tak pernah kehabisan topik cerita. Lebih mau bicara apa saja daripada harus istirahat tidur.

Aku kira sebahagian kecil kebiasaan demikian sudah terotomatis dalam diriku, bukan sesuatu dibuat-buat, yang membuat sutradara film Indonesia MT Risjaf ---nama berkibar dengan film Naga Bonar yang disutradarainya sukses, melambungkan nama aktor Deddy Mizwar dan aktris Nurul Arifin--- pernah “memaksaku” tampil untuk sejumlah peran kecil, menjadi teman kuliah Marissa Haque saat aku bekerja menjadi crew asisten artistik sinetron Masih Ada Kapal ke Padang,1995, ditayangkan kemudian di televisi SCTV-Jakarta. Walau menolak, akhirnya aku ikut main. Padahal aku tidaklah dalam suasana spontanku.

“Jin” dalam diriku tidak tampil. Tak keluar-keluar. Spontanitasku entah kemana. Mungkin Jin itu merasa takut disorot sinaran lampu. Tak ada luarbiasa di permainan yang sekejap-sekejap seperti itu. Sibuk dengan take, ok dan cut. Silih berganti. Namun hal itu tak kupikirkan demikian serius. Sudahlah. Itu tidak obsesi di dunia seni peran.

Beda dengan seorang seni peran. Dengan waktu terbatas, jika dia ingin memperlihatkan kemampuannya bermain, disaat itulah kesempatan berharga baginya. Apalagi, produksi sinema elektronik (sinetron) komersil adalah dunia impian banyak orang, popularitas dan menjanjikan honorarium. Sebuah jalan tidak semua orang bisa memperolehnya. Tetapi aku sayang sekali tidak termasuk demikian.




Walaupun tak hebat, tak diduga lain jadinya. Perkara itu bukan berarti sutradara yang kami akrab panggil Pak Taba' ini berhenti berharap aku bisa bermain kembali di penyutradaraannya. Di waktu lain, ia langsung saja memintaku untuk menjadi pemain peran pembantu pria utama, maksudnya kira-kira pemain urutan kedua setelah pemain utama pria, di sinetron Jenderal Naga Bonar versi 2, produksi Mutiara Film-Jakarta, 1996.

Membuat jurnalis senior-kemudian bergiat teater dan bermain sinetron Sjafrial Arifin (kakak sulung penyair Syarifuddin Arifin) merasa keki padaku, karena PH (Production House)  berkali-kali meminta bantuan dia agar menghubungiku di Padang untuk segera datang ke Jakarta. Mendengar menjadi pemeran, aku sebenarnya aku tak berminat. Aku hanya ingin menjadi crew artistic.

Namun akhirnya kutemui juga Pak Taba’ di lokasi shooting di daerah Citayam, Depok. Pertama berjumpa saja wajahnya cerah sambil tertawa. Aku sampaikan dengan polos bahwa aku tak berkeinginan untuk dapat peran. Pak sutradara itu tak peduli dengan ketidak-inginannya, ia terus saja mencoret-coret scenario, “Nah… kamu main saja untuk beberapa episode. Ini. Ini. Ini shoot untuk kamu…, kamu harus main.”

Beberapakali selesai shooting kala waktu dinihari, aku pulang dari lokasi shooting ke rumah saudara di Ciputat, menumpang dengan mobil Mathias Muchus menuju daerah Pamulang. Mathias Muchus adalah pemeran tokoh utama Naga Bonar. Muchus menyetir sendiri mobilnya, juga butuh teman agar tak sendirian. Kloplah. Aku sudah mengenalnya pada shooting sebelumnya pada sinetron Masih Ada Kapal ke Padang. Pasangan perannya aktris, Marissa Haque. Produksi Rana Artha Mulia Film Production, Jakarta. Di sinetron itu, ia juga Pemeran Utama Pria.  

Dalam perjalanan pulang berdua bersama actor Mathias Muchus, aku masih mengingat ucapannya  padaku, “Kamu bodoh menolak kesempatan. Ditunjuk langsung sama sutradara itu tak sembarangan. Apalagi sutradaranya ternama. Banyak orang ingin dapat kesempatan tapi tidak setiap orang dapat dengan mudah…, aduh kamu…,”  

Diantara waktu break shooting, hanya aku dan Pak Taba duduk bercakap-cakap di dalam gedung tua bekas pabrik roti, dijadikan sebagai setting di Citayam. Topik pembicaraan kami sekitaran kurenah urang Padang (maksudnya Minang). Disela-selanya kami tertawa.

Waktu itu aku sampaikan juga isi hatiku bahwa aku tak hendak main, karena aku merasakan kekurangan pada diriku. Apa jawaban MT Risjaf? “Naahhh…, itu yang dibutuhkan seni peran! Kekurangan itulah kekuatan. Peran kecil banyak orang tak suka. Padahal dari peran kecillah lahir actor.”

Sejujurnya, sedikitpun aku tak memiliki keinginan di dunia peran semacam menjadi pemain di televise sampai hari ini. Meskipun pernah terbuka jalan untukku. Tetapi tidak membuatku “tergiur” akan populeritas dan kemapanan ekonomi tanpa, mengurangi rasa hormatku pada sutradara Kardy Said, pertamakali mengajakku untuk terlibat produksi sinetron, penata artistic Ramidi Rogodjampi, sutradara MT Risjaf, sutradara Ami Priyono, aktris Marissa Haque, actor Mathias Muchus. Sehingga aku dapat mengenal banyak hal dan bekerja bersama banyak teman-teman senior ataupun yunior yang memang hidup di dunia perfilman Indonesia


Seketika akupun teringat akan sahabatku yang entah dimana sesama pekerja artistic dulu, Opung Lubis, Cak Mukhtar, Rukidarto dan si Geblek (*)

Selasa, 11 Juli 2017

JUM'AT DI MASJID AL MASHUN KOTA MEDAN

Setiap datang ke Kota Medan, Sumatera Utara, aku selalu menyempatkan diri mendatangi Masjid Raya Al Mashun yang dikenal sebagai Masjid Raya Kota Medan. Salah satu masjid tertua di Indonesia, memiliki sejarah dan arsitektur yang menarik sebagai identitas Kota Medan.




Masjid Al Mashun, satu diantara jejak sejarah dari peninggalan kerajaan Kesultanan Deli, yang masih terpelihara dengan baik sampai sekarang. Kesultanan Deli merupakan satu diantara kerajaan Melayu di nusantara. Bangunannya berarsitektur khas Timur Tengah, India dan Spanyol. Berbentuk segi delapan, dengan di bagian selatan, timur, utara dan baratnya, memiliki sayap. Dibangun pada awal abad 19 yakni tahun 1906 dan selesai tahun 1909.

Aku pertamakali mengenal dan mendatangi Masjid Al Mashun ini, pada pertengahan tahun 1970-an, saat kedatangan ke Kota Medan dibawa Pamanku. Selama di Kota Medan, kami tinggal di Gang Keluarga di Jalan Sisingamangaraja Kota Medan. Karena jarak masjid dengan rumah kami terbilang dekat, kami sering bersholat ke masjid raya.

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.

Pada masa pertengahan tahun 1970-an itu, aku sudah terpikat dengan arsitektur Masjid Raya Al Mashun. Sangat menarik perhatianku. Tersimpan dalam ingatan. Pun merasakan aura kesakralan yang relegius. Suasana, tiap aksentuasi dan pada semua sudutnya tidak luput dari pengamatanku.




Masjid memiliki gang. Gang-gangnya terdapat deretan jendela-jendela tidak berdaun. Berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Aku selalu merasa tertegun di salah satu jendelanya, bila aku tengah melangkah perlahan melalui gang masjid. Memandang ke halaman. Selalu menyerap pengalaman batin yang membuatku merasa nyaman.

Bila berada di dalam masjid, akan terlihat pilar yang kokoh. Karena di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m. Pilar menjulang tinggi, menyangga kubah utama pada bagian tengah. Tentu saja pandangan akan bertumbuk ke bahagian paling depan yakni ke arah terdapat mihrab. Mihrab Masjid Al Mashun terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing.

Ketika berada di bahagian luar masjid, kita dapat memandang keanggunan masjid tiada puasnya. Karena akan terlihat di antara bangunan di sekelilingnya, sebuah bangunan tua yang spesifik dengan kubahnya. Kubah Masjid Al Mashun menurut seni arsitektur mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh.

Barulah pada pertengahan tahun 2012 aku kembali menjejak Kota Medan. Tentu saja kembali menikam jejak masa silam, dari rumah Gang Keluarga di Jalan Sisingamangaraja dan berakhir di Masjid Al Mashun. Berjalan kaki di antara deretan pertokoan, yang sungguh jauh lebih ramai dibandingkan dengan tahun-tahun yang silam. Terakhir mendatangi Kota Medan tahun 1985 saat diundang sebagai peninjau pada Pertemuan Penulis Muda Sumatera Utara di Taman Budaya Sumatera Utara.

Kedatangan kembali tahun 2012 ke Masjid Al Mashun, Masjid Raya Kota Medan, di hari Jum’at. Hari yang baik. Entah bagaimana kebahagiaan hati saat memasuki gerbang masjid yang berbentuk bujur sangkar beratap datar. Segera terlihat oleh pandanganku menara masjid yang berhiaskan percampuran antara seni arsitektur Mesir, Iran dan Arab.




Masjid Al Mashun atau Masjid Raya Kota Medan, dibangun oleh Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam ketika memimpin Kesultanan Deli. Pembangunan dimulai pada 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan, dengan ditandai pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini.

Konon keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun masjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota Medan dari etnis Tionghoa yang sezaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyid turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.

Suasana bersholat Jum’at di Masjid Al Mashun bagiku mendatangkan kebahagiaan tersendiri. Sebelum sholat, aku menyempatkan diri berkeliling bangunan masjid. Menikmati keindahan arsitektur dan keterawatan bangunannya. Ada banyak orang kujumpai di berbagai sudutnya. Hampir-hampir tak sepi untuk menikmati suasana ketentramannya. Apalagi di waktu siang, dengan panas matahari menyengat, berada di masjid jauh lebih terasa sejuk.

Secara keseluruhan bangunan masjid ini sangat saling melengkapi. Fungsi atau pun aksentuasi keindahan bangunan. Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.

Rupa-rupanya, sejak kembali menjejak Kota Medan tahun 2012 itu, tidak berhenti begitu saja. Tahun 2013 aku kembali ke Kota Medan. Untuk beberapa hari aku dapat bersholat di Masjid Al Mashun. Termasuk juga pada tahun 2015 maupun 2017 ini.




Rasanya tidak ada yang berubah. Suasananya semakin ramai di waktu-waktu sholat. Selalu saja diluar waktu sholat, menjumpai pengunjung silih berganti di halaman masjid, mengabadikan keindahan arsitektur yang sudah menjadi kekayaan budaya. Termasuk salah satu jejak sejarah perkembangan agama Islam di Tanah Melayu.

Masjid Raya Al Mashun menurut catatan, padamulanya dirancang oleh arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang Istana Maimun, namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara lain: marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu gantung langsung dari Perancis.


@abrar khairul ikhirma --- data dikutip dari Wikipedia.

Sabtu, 01 Juli 2017

SEJARAH DI PULAU PENYENGAT

Mengunjungi suatu objek bagi mereka yang tidak sekadar berwisata, sangat memerlukan keterangan dan data-data mengenai objek, tempat dan latarbelakang sejarahnya. Karenanya begitu penting tersedianya narasumber, brosur atau pun buku panduan yang mudah didapatkan setiap orang dimana objek yang dikunjungi.




Ketika mengunjungi Pulau Penyengat, pulau yang memiliki peranan penting dalam perjalanan sejarah Melayu, keterangan sejarah secara tertulis sangat dibutuhkan. Karena pada umumnya, para pengunjung yang berdatangan dari berbagai daerah di nusantara, maupun para turis-turis asing, memerlukan panduan saat berada di pulau ini. Sehingga sangat membantu menuntun mereka mendekati dan mengenal secara langsung objek yang didatangi.

Dengan perkembangan teknologi, penyebaran informasi perihal objek Pulau Penyengat kini sudah banyak tersebar di internet. Tetapi keterangan tertulis berupa media cetak semacam brosur maupun buku tampaknya tetap diperlukan oleh setiap pengunjung.

Beruntung saat aku berkunjung ke Pulau Penyengat, pulau kecil di depan Pulau Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yang berada di dalam kawasan Selat Melaka, kiranya di kedai kecil depan pintu pagar kompleks Makam Engku Puteri, tersedia buku sederhana yang dijual untuk pengunjung berisi keterangan mengenai Pulau Penyengat.

Semula buku ini diperbanyak hanya dengan stensilan tapi kemudian dicetak pada cetakan keduanya.

@abrar khairul ikhirma



PULAU PENYENGAT - TANJUNG PINANG


Judul Buku: Peninggalan-peninggalan Sejarah di Pulau Penyengat
Disusun oleh: R. Hamzah Yunus
Editor: Elmustian Rahman
Penerbit: Unri-Press dan Yayasan Kebudayaan Indera Sakti, Pulau Penyengat, Tanjung Pinang.
Cetakan Kedua: 2003
Jumlah halaman: 24
ISBN: 979-3297-38-7

Daftar Isi:
1.Pengantar
2.Sekelumit Sejarah Riau
3.Penjelasan Ringkas Mengenai Peninggalan-peninggalan
   Sejarah di Pulau Penyengat.
4.Susunan Sultan-Sultan (Yang Dipertuan Besar)
   Riau-Lingga, Daerah Takluknya.
5.Urutan Yang Dipertuan Muda Riau dan Daerah Takluknya.

6.Penutup.