Senin, 25 September 2017

AHLI HISAP DARI RUANG MAKAN

Bagiku perjalanan kali ini, tidak sama dengan perjalanan berwisata. Entah bagi orang lain. Aku tidak tahu. Tidak pula hendak membicarakan mereka. Sebab lain orang lain pula cara mereka memaknakannya. Bagiku tujuanku hanya semata-mata untuk beribadah. Tidak bertujuan melihat-lihat Mekkah dan Madinah untuk bersantai.



BERSAMA M. ABBAS PANE TEMAN DARI MEDAN
RUANG MAKAN AT MUBARAK ALMASEE HOTEL


Kalau hanya sekadar bertujuan wisata, aku jauh hari pernah berkeinginan untuk dapat mencapai Yunani. Hanya sebagai suatu keinginan, tidak merupakan impian. Andaikan aku dapat kesempatan bepergian keluar negeri dan diberi pilihan maka kupilih Yunani sebagai Negara tujuan.

Yunani, nama resmi Republik Hellenik, juga dikenal sejak zaman purba sebagai Hellas, adalah sebuah Negara tempat lahirnya budaya Dunia Barat, yang berada di Eropa bagian tenggara, terletak di ujung selatan Semenanjung Balkan, di bagian timur Laut Tengah (Mediterania). Yunani memiliki sejarah panjang dan kaya, membawa pengaruh budaya besar pada tiga benua. Pada masa modern ini, Yunani adalah Negara maju dengan indeks pembangunan pendapatan per kapita yang tinggi.

“Di daerah Yunani inilah kebudayaan Eropa pertama kali muncul, dimulai dengan peradaban "Cycladic" di kepulauan Laut Aegea sekitar 3000 SM, peradaban "Minoan" di pulau Kreta (2700–1500 SM) dan peradaban "Mycenaean Greece" di tanah utama (1900–1100 SM). Periode antara 1200 dan 800 SM dikenal sebagai "Greek Dark Ages" diperkirakan setelah serangan orang Doria, yang mengakhiri zaman Mycenea. Dua karya sastra Yunani terkenal, Illad dan Odyssey karya Homer, ditulis dalam zaman ini.” (Wikipedia)

Di akhir zaman kegelapan Yunani, muncul berbagai Negara dan kota-negara di seluruh peninsula Yunani. Terciptanya tingkat kemakmuran yang tinggi dengan perkembangan budaya, sesuai dengan bukti-bukti peninggalan arsitektur, drama, ilmu dan filsafat, yang masih dapat dijumpai, terpelihara dalam lingkungan demokrasi.

Konstitusi Yunani menjamin kebebasan mutlak dalam beragama. Yunani juga menyatakan bahwa setiap orang yang tinggal di wilayah Yunani akan menikmati perlindungan penuh akan kepercayaan mereka. Sebagai tambahan, setiap aktivitas yang berhubungan dengan pembangunan rumah ibadah resmi harus disetujui terlebih dahulu oleh Gereja Ortodoks. Nyatanya, agama mayoritas di Yunani adalah Gereja Ortodoks Timur (94%)

Keinginan untuk sampai ke Yunani itu tak pernah tercapai, walau pun aku sudah pernah berkesempatan keluar Negara. Bisa jadi hanya karena sebuah keinginan, tidak merupakan impian. Sehingga tidak ada usaha upaya menemukan jalan dalam mewujudkannya. Karena tidak impian, tidak terwujud ke Yunani, tidak membuatku harus bersedih. Aku percaya antara usaha dan doa, antara keinginan dan kegigihan, antara hidup dan jalan kehidupan, sudah ditentukan Allah.

Bukti nyata bagiku, kini aku dapat menjejak Tanah Suci. Ada jalan kemudahan yang diberikanNya untukku, untuk dapat melaksanakan ibadah. Sepintas bagaikan mimpi tapi jelas tidak mimpi! Ini suatu kenyataan. Aku pernah berkeinginan untuk melaksanakan ibadah Haji. Keinginan yang terbersit dalam hati, disaat usiaku menjelang 40 tahun. Namun kenyataannya sepanjang masa, aku berada dalam situasi konflik batin “teramat dahsyat” sekaligus menghadapi kegetiran hidup di “jalanan” dengan “kesendirian.”

Setelah melintasi masa “kegoncangan” lahir batin, penuh dengan berbagai cobaan, menuntut kejernihan akal pikiran serta kesabaran untuk menerima kenyataan, sebelum berakhir usia 40-an, terbersit bahwa menunaikan ibadah Haji tak mungkin teraih sekejap. Harus mengumpulkan uang yang tidaklah mudah bagiku. Lalu harus meliwati quota jamaah dari negaraku sendiri. Timbullah keinginan alternative pabila ada kesempatan aku ingin melaksanakan Umroh.



BERSAMA JAMAAH DARI JAKARTA DAN PULAU JAWA
BERSANTAI DI PEDESTRIAN


Allah kiranya menentukan jalan bagiku. Dia memberikan kemudahan diluardugaanku sendiri. Dia mempercepat waktu yang semula bagiku tidaklah mungkin aku dapatkan dengan singkat. Sementara ada sebagian dari kisah-kisah pernah kuketahui sebelumnya. Ada mereka ditimpa musibah jauh sebelum keberangkatan. Keberangkatan tertunda-tunda. Ada yang harus membayar lebih mahal ongkosnya dari ongkos yang semula ditetapkan. Bahkan ada juga tertipu. Terperosok pada layanan abal-abal. Penyedia jasa layanan ibadah hilang lenyap tak diketahui rimbanya.

Perihal musibah demikian tidak mungkin terlepas dari izin Allah. Memalukan dan menyakitkan. Namun hal demikian adalah cobaan. Kita prihatin kepada mereka yang ditimpa musibah. Kita juga meyayangkan pada penyedia layanan yang memanfaatkan. Bagi kita semua, tentulah diberi hikmah, agar berusaha untuk sebaik-baiknya, sejak mula membersihkan lahir batin menuju ke jalanNya, diredhoi dan dirahmati. Setiap jalan yang dilalui Insyaallah penuh kemudahan.

Waktu sebelum berangkat esok hari, ibuku berpesan mengingatkan kebiasaanku merokok. Aku mengarifi pesan sepintas itu. Aku sendiri tak pernah terpikirkan apakah aku akan membawa rokok atau tidak. Bagiku hal itu tidak terlalu penting. Yang penting, apapun yang dapat mengganggu perjalanan dan ibadah tidak akan kuikuti.

Aku memang tidak ingin membawa rokok meskipun hanya sebungkus. Tidak pun diingatkan ibu. Kalau pun kubawa setelah dipesankan ibu, walau hanya sebungkus, hanya akan mendatangkan perkara nantinya. Aku tak hendak ada perkara. Itu kuyakini benar. Apalagi bepergian ke Tanah Suci. Apapun dapat terjadi pabila Allah berkehendak. Bukankah sudah disebutkan kata-kata orangtua, apalagi seorang ibu adalah do’a?

Merokok bagiku hanyalah soal kebiasaan. Kebiasaan yang masih dapat dikendalikan. Tidak merokok tidak menjadi soal. Misalnya tidak ada yang menjualnya. Tidak mempunyai wang. Mempunyai wang tapi ada hal lain lebih dibutuhkan. Tidak berada di tempat untuk merokok atau situasinya tidak untuk merokok. Simple saja. Karenanya aku tak pernah “menggubris” berbagai alasan pembenaran terhadap merusak kesehatan.

Sampai saat ini, aku tetap mencurigai “maklumat” internasional itu ada misi politis di baliknya. Karenanya, menurut hematku, pemerintah negaraku lebih tepat “membudayakan” kedisiplinan merokok. Tidak merokok sembarangan. Sebab budaya disiplin itu sangat rendah. Daripada melarang dan memberlakukan cukai tembakau “setinggi langit,” kemudian “ikut-ikutan” mengatakan “merusak kesehatan.” Karena secara umum, masyarakat kita tahu ada banyak hal jauh lebih merusak kesehatan, akibat adanya perdagangan, industry atau pun lingkungan tak terkendali.



KAMI AKRAB SAMPAI KE MEKAH
SELALU BERSAMA BERSHOLAT DI MASJIDIL HARAM
AKU DAN M. ABBAS PANE


Dalam sejarahnya yang pernah diteliti para ahli, manusia yang diketahui pertamakali merokok adalah suku bangsa Indian di Amerika. Suku Indian melakukannya untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Kemudian di abad 16, penjelajah dari Eropa menemukan Amerika. Diantaranya mencoba-coba menghisap rokok. Lalu mereka membawa tembakau ke Eropa.

Kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian  merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk Negara-negara Islam.

Setiap selesai makan aku selalu segera meninggalkan ruang makan, yang terletak di lantai 2 penginapan. Kalau tidak bersegera menuju Masjid Nabawi, sudah pasti kembali ke kamar. Ruang makan pada jam makan selalu ramai. Selain anggota rombongan travel agent kami, juga ada rombongan jamaah Umroh travel lainnya dari Indonesia, juga menginap di hotel yang sama. Termasuk jamaah dari Malaysia.

Pertemuan di ruang makan, suatu hal menyenangkan. Suasana ramai adalah menggembirakan. Termasuk rasa kekeluargaan terjalin dengan sendirinya. Saling mengenal satu sama lainnya terjadi dengan alamiah. Hal yang tak disengaja dalam perjalanan serupa ini, terkadang terlupakan adalah waktu untuk menunjukkan keterhubungan sesama mukmin. Orang muslim bersaudara.

Ada orang berbeda daerah, berbeda Negara, secara kebetulan duduk berdampingan di meja makan yang sama. Tidak mungkin tidak saling menyapa. Mungkin hal sederhana dengan senyuman setelah saling berpandangan. Atau lebih jauh bercakap-cakap, diawali hal remeh temeh. Kemudian berlanjut saling membuka diri perihal daerah, pekerjaan dan keluarga. Hal itulah kemudian aku temukan dari sebuah ruang makan penginapan ini.

Muhammad Abbas Pane, jamaah dari Medan, Sumatera Utara, akhirnya kami berteman. Kami satu rombongan dari travel agent yang sama. Dia tampaknya lebih banyak berdiam. Perawakannya tenang. Sewaktu makan tidak buru-buru. Rupanya, setiap jam makan malam, Pane tidak langsung meninggalkan ruang makan. Ia akan duduk bersantai dulu. Minum kopi dan merokok. Kalau sudah tidak ramai, merokok di ruang itu tidak mengganggu orang. Juga tidak dilarang.

Malam ketiga berada di Madinah itu, karena makan malamku sudah di penghujung waktu, aku juga ikut bersantai dengan Pane sambil bercakap-cakap. Tetapi aku tidak merokok. Aku tidak memiliki rokok. Kalau pun aku minta agak sebatang pada orang-orang yang terlihat merokok, tidak mungkin tidak diberinya, namun tidak satupun rokok yang kusukai. Pane menawarkan miliknya tapi karena tidak sama, aku tolak. Pane hanya membawa satu bungkus rokok dari tanah air. Ia merokok sekadarnya saja. Jadi rokoknya masih banyak.

Sejak itu selama perjalanan Umroh aku dan Pane menjadi sering bercakap-cakap. Bahkan sesampai di Kota Mekah kami berdua ditempatkan satu kamar di penginapan. “Cocoklah abang dengan abang Pane tu. Sama-sama ahli hisap,” kata Muhammad Azmi Nasution, saudara Pane yang sama-sama berumroh.

Istilah “ahli hisap,” sudah popular dalam masyarakat Indonesia, untuk menyebut orang-orang yang suka merokok. Ahli hisap merupakan “plesetan” dari sebutan “hisab.” Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menetapkan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Kalender Islam.

Hisab secara harfiah ‘perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan Bulan terhadap Bumi. Posisi Matahari menjadi penting, karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu sholat. Sementara posisi Bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fitri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah Haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).” (Wikipedia)

Jadi plesetan hisab kepada orang yang perokok dikatakan ahli hisap itu, aku kira plesetan berhikmah. Diantara kepopuleran ahli hisap, dengan sendirinya kita akan diingatkan akan pentingnya suatu penghitungan di dalam kehidupan. Terutama dalam beragama Islam. Perhitungan dalam berbagai kemungkinan dan penghitungan jumlah dan komposisi. Tanpa ada ukuran atau standar manusia akan kehilangan keseimbangan. Di dalam Islam aku kira, semua hal itu pabila dipelajari dan dilaksanakan dengan baik, tidak akan mendatangkan keraguan atau hal yang tak pasti.

Bila kita telusuri dengan sabar, dalam Alquran pada surat Yunus (10) ayat 5, dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan Bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Dipertegas pada surat Ar-Rahman (55) ayat 5, disebutkan bahwa Matahari dan Bulan, beredar menurut perhitungannya.



BERSAMA SEORANG ASAL MADURA MENJADI MUNTAWIF
JAMAAH UMROH DI KOTA MADINAH


Berkembangnya peradaban, juga diikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Termasuk dalam penghitungan modern Islam. Tercatat astronom muslim yang telah mengembangkan hisab modern yakni Al Biruni (973-1048), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani dan Habash. Sebagai ilmuwan mereka telah mengembangkan metode hisab.

Tidak banyak mungkin diantara kita yang menyadari, ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit, terutama adanya Matahari dan Bulan. Karenanyalah, jika dipelajari sejak awal peradaban, Islam menaruh perhatian besar terhadap dunia astronomi. Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada.

Khusus di Indonesia, diketahui ada beberapa criteria yang digunakan untuk penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah yaitu; Rukyatul Hilal digunakan oleh Nahdlatul Ulama, Wujudul Hilal digunakan oleh Muhammadyah dan Imkanur Rukyat MABIMS (adalah criteria penentuan awal bulan ---kalender--- Hijriyah ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama, Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan pada Kalender Resmi Pemerintah).

Bagi kami masyarakat pesisir, rantau dari 3 Luhak Minangkabau (Agam, Tanah Datar dan 50 Koto), selama ini pertikaian masuknya bulan puasa Ramadhan dan berhari raya Idul Fitri, sudah biasa saja. Sudah dikenali dan dipahami sebahagian besar masyarakat.

Dari tahun ke tahun daerah Pariaman berhari rayanya tidak satu atau dua hari tapi sepekan lamanya, tetap disebut sebagai Hari Raya. Pertikaian hari tidak jadi persoalan yang mendasar. Saling menerima dan menghormati saja. Berbeda secara nasional. Pertikaian seringkali dijadikan isyu yang saling merebut pengaruh. Tentu saja isyu bersifat “politis.”

Padahal suatu yang wajar saja. Metode penentuan criteria menetapkan awal bulan Kalender Hijriyah, berbeda pula hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri. Di Indonesia, perbedaan itu pernah terjadi beberapakali.

Pada tahun 1992 (1412 H), ada berhari raya Jum’at 3 April, mengikuti Arab Saudi, ada pada Sabtu 4 April sesuai rukyat NU dan ada pula hari Minggu 5 April, berdasarkan pada Imkanur Rukyat.

Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat tahun 1993 dan 1994. Yang menarik pada peristiwa di tahun 2011. Dalam kalender resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Namun siding isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Muhammadyah tetap pada pendirian bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011.

Tahun berikutnya, tahun 2011 terjadi lagi perbedaan. Dimana Muhammadyah menetapkan awal Ramadhan pada 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan bulan Ramadhan ialah pada 21 Juli 2012.

Kembali lagi pada hisap (merokok) dan hisab (menghitung). Tergantung keyakinan dan menghormati pada pilihan. Bertoleransilah terhadap perbedaan.

Semisal, pada hari ke 4 berada di Madinah, aku pun membeli dari “tangan seseorang” sebungkus rokok kretek produk Indonesia. Berkat menjadi ahli hisap, aku pun saling mengenal jamaah lain yang berbeda rombongan dan daerah walau sesama dari Indonesia. Ketika sama-sama mencari tempat yang tak dilarang untuk merokok (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar