Senin, 13 Februari 2017

KUTINGGALKAN UTARA Puisi Abrar Khairul Ikhirma




Kali pertama kujumpai
Menjejak daerah utara

Kali pertama kurasai
Ada makna bertahta


Sepekan menelusuri
Lekuk liku negeri

Sepekan berada di sini
Membuka tabir misteri


Tiada kubertanya karenanya
Aku paham hanya diam

Bersuarapun tiada berguna
Tidak kata sebagai mahkota


Dari masjid ke istana
Dari sungai ke selat Melaka

Utara negeri tempatnya
Sejarah tak mungkin terlupa


Datang di waktu petang hari
Berangkat malam menyambut dini

Kala jalan sudah sunyi
Bandar enggan merenggut pagi


Aku datang tak demikian Kedah
Tiada mimpi bertekuk lutut
Semuanya tentulah sudah
Tak akan ada yang surut

Tali dapat direntang sejauhnya
Tapi tidak mengikat tak kan pergi
Telah kudatangi negeri utara
Namun ku tak tinggal di sini


Waktu malam selamat tinggal
Kutuju arah Bandar Kuala Lumpur
Bergegas menjemput semua amsal
Tiada dapat kita kan bercampur

Biarlah semua menjadi kisah
Bagaikan riak memercak di kuala
Tak usah menjadi keluh kesah
Biarkan berlayar ke samudera.

Selamat tinggal Kedah
14 September 2016

Minggu, 12 Februari 2017

SYAIR DALAM SEKAM, MUHAMMAD IBRAHIM ILYAS



Sejak pertengahan tahun 1970-an sebenarnya Muhammad Ibrahim Ilyas sudah mulai menulis puisi, diantara semangatnya yang “menggebu-gebu” bermain teater, semasa pada tahun-tahun tersebut semangat berkesenian dan dunia kepenulisan di media suratkabar daerah, di Sumatera Barat “memulai” era suasana kejayaan di kalangan orang muda yang luarbiasa.




Dimana pada masa ini (1970-an) sampai era tahun 1980-an telah melahirkan banyak nama-nama pengkarya dan penggiat dunia kesenian di daerah. Saling berkompetitif dan sangat kreatif. Masing-masing memiliki style dan “garapan” berbeda, sehingga masing-masing memiliki identitasnya. Hampir tak terlihat epigone dan berkarya “asal-asalan.”

Hal tersebut dimungkinkan, adanya “kehidupan” berkesenian yang kondusif di Pusat Kesenian Padang (PKP), kemudian dikenal sebagai Taman Budaya Padang, lalu kini bernama Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat. Namun sepertinya kekal dilafazkan hanya dengan Taman Budaya Padang.

Lalu tersedianya sarana media suratkabar terbitan daerah, Harian Haluan, Singgalang dan Semangat, yang mempublikasikan karya-karya penulis dan membackup kegiatan kesenian yang diselenggarakan. Hal ini dimungkinkan, pada masa itu, tenaga redaksi, redaktur dan wartawan pada ketiga suratkabar tersebut adalah mereka-mereka yang berlatar kesenian dan kebudayaan. Mempunyai visi idealisme jurnalistik media dan idealisme seni dan kebudayaan tak diragukan. 

Walau pun sudah memulai menulis puisi dari rentang masa itu, Muhammad Ibrahim Ilyas yang dipanggil akrab lingkungannya sebagai Bram, lebih dikenali sebagai orang teater. Karena memang Bram lebih intens menjadi pemain teater, menjadi sutradara teater dan mengurus group teater.

Pada beberapa tahun terakhir ini, semenjak Bram mulai aktif memanfaatkan sarana media social fesbook, Bram muncul bergiat mempublikasikan karya-karya puisinya ke public yang lebih luas. Hingga akhirnya ia pun menerbitkan kumpulan puisinya yang pertama, “Ziarah Kemerdekaan” pada tahun 2015. Pada tahun 2016, menerbitkan buku kumpulan puisinya kedua, “Syair dalam Sekam.”




Judul: Syair Dalam Sekam
Sub Judul: Sejumlah Catatan
Penulis: Muhammad Ibrahim Ilyas
Penata Letak & Rancang Sampul: Kartakusumah
Halaman: 104
Penerbit: Arifha, Padang
Cetakan Pertama: 2016
ISBN: 978-602-14947-8-3

“Syair dalam Sekam,” memuat 63 judul puisi.
Buku ini dapat dikatakan tampil dengan “berani” karena “murni” menampilkan karya penulisnya tanpa mengikuti trend yang biasanya di banyak buku puisi selalu dilengkapi dengan kata pengantar dari ahli sastra dan endorsemen dari sejumlah orang yang memberikan advisnya.

abrar khairul ikhirma
abrarkhairul2014@gmail.com

Sabtu, 11 Februari 2017

NASI “ORANG PIAMAN” DI MELAKA



Kalau berada di berbagai daerah di Indonesia, aku bertemu rumah (kedai) makan masakan “kampungku” tidaklah mengherankan. Sebab mulai dari kota-kota besar sampai ke pelosok-pelosok daerah dari Sabang sampai Merauke, hampir mudah ditemui “Rumah Makan Padang.” Tapi di Melaka, negeri jiran ?




Rumah Makan Padang sudah menjadi salah satu brand diantara “masakan” yang ada di Indonesia sejak lama. Tentu saja seiring dengan tradisi merantau Orang Minang dari kampong halamannya ke berbagai daerah, untuk berusaha “mengubah nasib, peruntungan.”

Sebutan Orang Padang adalah sebutan lain dari Orang Minang. Kedua-dua sebutan itu, entah mana terkenalnya. Sebahagian besar perantau yang membuka usaha kedai nasi atau rumah makan diluar Provinsi Sumatera Barat, adalah mereka yang berasal dari Pariaman dan Kapau, kemudian orang yang berasal dari Kabupaten Tanah Datar dan Solok.

Masakan Pariaman, terkenal dengan masakan ikan lautnya. Gulai kepala ikan dan ikan panggang. Sedangkan masakan Kapau, terkenal dengan spesifiknya gulai sayur kacang panjang, lobak (kol) dengan nenas muda, sampai ke gulai itik. Pariaman merupakan daerah pesisiran pantai barat Pulau Sumatera. Sementara Kapau, berada di daerah “darek” yakni daerah yang terletak di “pegunungan,” tidak jauh dari Kota Bukittinggi.


BERSAMA HAJI CHAIRULSYAH BIN HAJI ABDULWASLI


Satu hari diantara beberapa hari berada di negeri jiran Malaysia, tepatnya saat berada di Negeri Melaka, setelah bersholat Zhuhur di Masjid Selat Melaka, bersama Pak Haji Chairulsyah bin AbdulWasli, orang Kampuang Pondok, Pariaman – Indonesia, yang mengajar di Melaka, kami akhirnya memasuki kawasan pusat perbelanjaan tak jauh dari Dataran Pahlawan yakni Parade Mahkota.

Setelah berkeliling sejenak, kemudian kami sampai ke salah satu lantai dimana pada lantai tersebut tersedia counter-counter makanan dan minuman. Tersedia berbagai jenis masakan. Tidak hanya masakan Melayu tapi masakan sejumlah etnik/Negara. Tentu saja diperuntukan kepada berbagai selera yang bersifat antarbangsa.

Pada salah satu tiang beton depan counter yang berjejer meja-meja makan, dengan pengunjung silih berganti dan ramai itu, aku melihat terpajang tulisan “Nasi Padang Pariaman” dan gambar foto menu masakan yang tersedia.

Begitulah. Pabila terlihat yang berkait dengan tanah kelahiran kita saat berada jauh di rantau, ada rasa yang tak mungkin dapat dijelaskan ke dalam tulisan. Walaupun kota kelahiranku sudah menjadi Kota Pariaman dan terpisah secara administrative wilayah Kabupaten “Padang Pariaman,” namun kami tetaplah “Orang Piaman.”




Memperhatikan tulisan itu, ada mengandung 2 maksud menurutku. Dimana antara tulisan “Nasi Padang” dengan “Pariaman” dibuat terpisah dan dijadikan 2 baris. Bagi kami Orang Minang otomatis mengetahui bahwa tempat itu merupakan tempat berjualan, “Nasi Padang,” dimana masakan dan pemiliknya adalah orang “Pariaman.”

Sebagai makan siangku, walau pun sudah beberapa hari jauh dari kampong halaman, aku tidak makan nasi dengan lauk berupa masakan “orang kampungku” itu. Aku hanya memesan nasi sup, agar hangat dan menerbitkan selera. Nasi sup, pada umumnya selalu tersedia di rumah-rumah makan Padang di berbagai tempat di Indonesia. (*)

Jumat, 10 Februari 2017

LEPAS PANDANG DI JEMBATAN SERANGAI BENGKULU



Sebahagian besar jalan antara Kota Padang ---Provinsi Sumatera Barat--- menuju Kota Bengkulu ---Provinsi Bengkulu--- berada di pinggir pantai Samudera Hindia. Selain melintasi perkampungan penduduk dan kebun-kebun sawit, pandangan sepanjang perjalanan selalu menemukan view laut lepas, muara sungai dan teluk yang indah.




Jalan lintas antar provinsi yang disebut juga jalan pesisir barat ini, memang kaya dengan pemandangan yang menyejukkan pandangan, terutama yang sudah terbiasa hidup di keramaian kota-kota besar, dengan jalan raya penuh kendaraan dan bangunan-bangunan beton, akan merasakan sensasi tersendiri.

Bagi yang memiliki kesukaan touring, jalur Kota Padang – Bengkulu jalur pesisiran ini banyak yang menyukainya. Daerah Propinsi Sumatera Barat bagian Selatan dan Daerah Bengkulu bagian Utara, adalah wilayah yang kaya dengan pemandangan alam pesisiran. Dalam beberapa jarak saja bergerak, serasa ingin berhenti sejenak menikmati pemandangan dan mengabadikannya.




Dalam kesempatan melintasi jalur pesisiran dengan sepeda motor, di perjalanan beberapakali berpapasan dengan turis-turis asing yang bertouring bersama sepeda dayungnya. Mereka tanpa rasa lelah terlihat menikmati tantangan jalur cukup panjang itu. Walau pun harus melalui daerah-daerah tanpa penduduk, maupun panas terik sinar matahari.

Tak dapat dipungkiri, pesisiran barat Pantai Sumatera memiliki view amat menarik hati. Terbayangkan tidak salah kemudian menarik perhatian penjajah Portugis, Inggeris maupun Belanda berdatangan merapati muara sungai dan teluk, lalu menguasainya sebagai wilayah pertahanan dan mengambil hasil alam dan perkebunan daerah di masa lalu.




Sepanjang daerah selatan Propinsi Sumatera Barat yakni daerah Kabupaten Pesisir Selatan, hampir secara keseluruhan jalan berada bersisian dengan kawasan pantai. Selama perjalanan akan mendapati muara sungai yang besar, kawasan teluk dan pemandangan lepas laut dengan ombaknya silih berganti menemui pantai.

Ketika sudah berada di daerah utara Provinsi Bengkulu, tepatnya Kabupaten Bengkulu Utara, selain mendapati kebun-kebun sawit maha luas, sewaktu-waktu kita terbawa sesuai jalur jalan mendekati kawasan pantai. Dimana di kawasan pantai ini, akan terlihat keganasan ombak Samudera Hindia menggerus sepanjang daratan. 

Abrasi yang terjadi di sepanjang pantai, meninggalkan jejaknya yang artistic. Ada yang ditemui membentuk dinding, ada membentuk pulau-pulau kecil, bahkan teluk-teluk kecil, dimana saat gelombang besar terjebak ke dalam teluk, mendatangkan suara mistis alam yang berulang.

Seperti di daerah Urai, Ketahun, di tempat terbuka yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia itu, meninggalkan pemandangan dinding kerusakan abrasi tapi menarik dan unik. Dinding batu berwarna merah bata, penuh dengan lipitan dan aksentuasi warna-warna alami. Di lokasi ini, hampir tidak dilewatkan bagi mereka yang melewati daerah Urai untuk berhenti sejenak mengabadikan view ini.

Diantara banyaknya spot menarik yang aku temui, salah satunya selain di Urai-Ketahun, aku juga menemukan di daerah Serangai, tepatnya di Jembatan Serangai, dimana jarak jembatan dengan pintu muara hampir berdekatan dengan laut. Sergai daerah utara yang sudah terbilang dekat dengan Kota Bengkulu. 




Sungai yang terbilang lebar itu, tepat di bahagian pintu muaranya berdiri sebuah pulau kecil yang terbentuk akibat gerusan abrasi laut. Karena posisinya itu, membuat keindahan tersendiri bagi daerah ini. Pulau kecil ini berfungsi penahan dan pemecah datangnya gelombang memasuki kawasan sungai. 

Ada dua kali dengan waktu berbeda aku menyempatkan berhenti sejenak di Jembatan Serangai ini. Turun mendekati bibir pintu muara. Ternyata saat berada di pintu muara, terlihatlah pemandangan lapang kiri kanannya, menemukan pemandangan pantai yang dihantam abrasi dengan lekuk kan artististik. 

Saat kedatangan, merasa bersyukur, kiri kanan spot ini, belum ada bangunan-bangunan yang seperti biasanya “merusak” keindahan alam lingkungan di berbagai objek menarik. Pohon-pohon kelapa tumbuh subur, dan ruang terbuka sangat lapang.

Di dua kali kesempatan berhenti singgah di Jembatan Serangai ini, aku beruntung mendapati waktu laut sedang pasang naik dan pasang surut. Juga dapat pemandangan menarik, sebuah perahu nelayan pulang melaut, dengan sigap menembus detik-detik mendebarkan di pintu muara, dapat dengan selamat memasuki sungai, meskipun suasana laut sedang bergolak dan gelombang sangat tinggi (*)

abrar khairul ikhirma
abrarkhairul2014@gmail.com