Sabtu, 29 Oktober 2016

IEDHUL ADHA 2016 DI SINTOK KEDAH MALAYSIA



Pada hari raya tahun ini, 12 September 2016, adalah pertamakali aku alami, tidak di Negara sendiri. Jauh dari kampong halaman, jauh dari handai taulan. Aku berada di Negeri Kedah, Negeri di utara Kerajaan Malaysia. Dalam perjalanan budaya. Kelanjutan setelah mengikuti “Temu Penyair Asean 2016” di Kuala Lumpur, ibukota Malaysia.




Suatu anugerah bagiku, dapat melaksanakan sholat Iedhul Adha di masjid yang besar dan megah. Masjid yang terletak dalam kawasan Universitas Utara Malaysia (UUM), di Sintok, Kedah. Berbaur dengan mahasiswa antar bangsa dan masyarakat setempat. Bertemu dan berkenalan dengan mahasiswa dari Indonesia.

Seusai sholat, di bahagian salah satu sisi masjid, sudah disediakan makanan dan minuman untuk semua yang bersholat. Alhamdulillah… aku ikut menikmatinya dalam suasana kebersamaan dan kekeluargaan. Tak tersedia satu kursi pun. Semuanya dengan santai menikmati duduk di lantai masjid yang bersih di sana-sini. 



Jauh beda dengan di daerahku. Hanya sesaat seusai sholat, masjid segera menjadi senyap. Tapi di sini, untuk waktu yang lama, tetap ramai. Seperti terasa sekali momen ini adalah kesempatan untuk berkumpul, bersilaturahmi. Semua orang ingin memanfaatkan dan menikmatinya dengan baik.

Setelah menikmati makanan dan minuman diantara para mahasiswa itu, aku berjalan keluar. Posisi bangunan masjid terletak di ketinggian kontur tanah. Memiliki halaman dirawat dengan baik. Ada tanaman pohon yang rindang pada salah satu sudut. Ada terdapat gazebo, juga bangku-bangku permanen disediakan tanpa merusak kenyamanan keindahan.

Aku turut bergabung dengan Andhyka, mahasiswa UUM asal Palembang, Indonesia, mengambil Program Phd di UUM. Andhyka baru beberapa hari kedatangan isterinya dari Jakarta. Juga Erik, putera Minang asal Bukittinggi. Dan seorang teman mahasiswa lagi, aku lupa namanya. Kami menikmati udara terbuka di halaman masjid, di bangku beton di bawah siraman cahaya matahari yang lembut.




Sebelumnya, sebelum bergabung dengan teman-teman itu, aku sempat bertemu seorang mahasiswa di salahsatu sisi masjid, ternyata orang Bukittinggi. Cucu dari pemilik Bioskop Eri Bukittinggi. Beliau juga tengah kuliah dan tak sempat untuk dapat pulang kampong.

Tak berapa jarak dari lokasi kami berkumpul, ada dua gazebo. Dari sana kegembiraan tak berkurang. Suara keakraban terasa sangat kental. Mereka adalah para mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Begitulah…, dengan demikian, mereka masih dapat menikmati mengobat rindu dari orangtua, sanak family dan handai taulan yang berada di tanah air.

Dari halaman depan masjid, bersama-sama, kami menuju halaman belakang masjid. Lumayan juga ditempuh dengan berjalan kaki. Suasana keramaian belum berkurang. Dalam perjalanan, kami berpapasan mahasiswa berbagai bangsa. Suasana keakraban Islami.




Kami menuju lokasi pelaksanaan qurban. Pada saat ini, saya pun berkesempatan untuk menyaksikan pelaksanaan qurban, yang disaksikan para mahasiswa dari berbagai bangsa. (*)

Jumat, 28 Oktober 2016

PERTEMUAN PENULIS MUDA SUMATERA UTARA 1985



DIUNDANG sebagai Peninjau, “Pertemuan Penulis Muda Sumatera Utara 1985” di Taman Budaya Sumatera Utara di Kota Medan. Kehadiranku dari Padang, Sumatera Barat, tidak sendiri tapi berdua bersama actor teater dan pembaca puisi Asbon Budinan Haza.




Kami datang terlalu pagi di hari pertama acara akan dilangsungkan. Pintu gerbang Taman Budaya masih terkunci. Kesibukan lalulintas Jalan Jati yang berganti nama dengan Jalan Perintis Kemerdekaan, sudah sibuk. Maklumlah Kota Medan dikenal Kota Besar diluar Pulau Jawa.

Cukup lama kami menunggu akhirnya pintu pagar dibuka. Baru memasuki kompleks Taman Budaya terasa suasana keseniannya. Beberapa spanduk kegiatan terpampang. Setelah berkeliling dari bangunan berukuran sedang yang ada, kami menikmati sarapan dan minum pagi, di emperan salah satu sisi bangunan gedung pertunjukan, dimana acara akan dilangsungkan.




Taman Budaya Sumatera Utara, lebih sering disebut kalangan kesenian Taman Budaya Medan ini, berdiri di atas lahan terbatas.

Tapi jauh lebih beruntung orang kesenian di Medan, dibandingkan pada saat itu dengan Padang. Karena Seniman Medan juga memiliki tempat berkesenian lain yakni Tapian Daya. 

Sementara Padang hanya memiliki satu tempat saja meskipun Dirjen Kebudayaan mempersilahkan Taman Budaya dibawah pengelolaannya, dibangun tidak pada lokasi yang sudah ada Pusat Kesenian Padang, yang sudah dikelola seniman di bawah Pemerintah Kota Padang. 

Acara Temu Penulis Muda Sumatera Utara, berlangsung dua hari. 28 – 29 Oktober 1985. Cukup ramai juga pesertanya. Kesemuanya pun sangat antusias dengan kegiatan yang diselenggarakan. Topik hangat seputar dunia kepenulisan. Terutama dilema kepenulisan yang actual dihadapi penulis-penulis dalam mempublikasikan karya dan tulisan mereka di media cetak, khususnya terbitan Medan.




Setiap pergantian pembicara dari sesi ke sesi berikutnya, disediakan waktu untuk satu dua orang peserta membacakan puisi. Sebagai penghangat suasana pertemuan. 

Aku dan Asbon, sebagai Peninjau dari Sumatera Barat, diminta untuk baca puisi di hadapan peserta. Tidak mengecewakan. Kami dapat sambutan yang baik. Aku membacakan puisi karya John Conford , terjemahan penyair Chairil Anwar berjudul “Huesca.”


Pada saat kegiatan ini berlangsung, juga hadir penyair Sumatera Utara, A. Rahim Qahar. Penyair ini sudah kami kenal, karena beliau pernah datang sebelumnya ke Taman Budaya Padang membacakan puisinya.
Begitu pun aku dikunjungi Suardi Chaniago, seorang teman yang saat itu berada di Helvetia, tak jauh dari Taman Budaya Medan. Teman sama-sama memulai menjadi “wartawan” di kota kelahiranku Pariaman.



Seusai kegiatan Pertemuan Penulis Muda pada malam hari terakhir, penyair A. Rahim Qahar mengantarkan ke rumah abang kami, Zatako ---Zainudin Tamir Koto---  wartawan senior ternama yang juga beraktifitas di dunia sastra. Menulis puisi, cerita pendek dan novel. Kumpulan Puisinya “Angku Gadang.” (*)

Rabu, 26 Oktober 2016

HARI PUN SUDAH PETANG DI MUSEUM SASTRA MELAKA



SEBELUM datang ke Melaka kali kedua ini, aku sudah merancang tujuanku setelah mengikuti Malam Puisi Sungai Melaka 2016 ialah berkunjung ke “Muzeum Sastera Melaka,” sebagai tujuan pertama. Selain ingin melihat langsung sisa bangunan pintu gerbang Benteng Famosa, terlihat diposting oleh banyak pelancong yang datang ke Melaka ketika aku mengetikkan kata “Melaka” di aplikasi pencarian google.




Pada kunjungan pertama ke Melaka tahun 2014 silam, tak ada agenda kunjungan ke Muzeum Sastera Melaka. Padahal menurutku, berkaitan erat dengan momen yang kuikuti saat itu. Bisa jadi semula sudah dirancang panitia, namun tersebab waktu yang terbatas, mereka batalkan. Jadilah saat itu kami berada di sekitar kawasan Melaka Cruise. Tepian Sungai Melaka sampai malam hari sebelum akhirnya kembali ke Kuala Lumpur.

Dari sisa pintu gerbang Benteng Famosa, di balik bukitnya terdapat Muzeum Sastera. Karena aku tak memiliki peta dan tak mengetahui penunjuk arah, aku tak mengetahuinya. Nyaris, dalam kesempatan itu hampir saja aku tak jadi dapat berkunjung ke Muzeum Sastera. Untunglah, saat kembali setelah berkeliling sendirian dari kawasan sisa Benteng Famosa, ibu Lily Siti Multatuliana SutanIskandar bersama suaminya menunggu dalam Mall Dataran Pahlawan, menanyakan apakah aku sudah sampai berjalan ke Muzeum Sastera ? Belum, jawabku diingatkan dengan tujuanku semula.


 Akhirnya aku dihantar Bu Lily. Andaikan waktu tidak terbatas saat itu, kawasan museum ini rasanya bagiku dapat sangat menyenangkan. Dinikmati sehari penuh. Keluar masuk museum, pusat perbelanjaan dan akhirnya menjejak Jonker Walk. Satu sama lain, dikunjungi cukup dengan hanya berjalan kaki. Suatu kebiasaan yang aku sukai. Namun dalam keadaan kali ini, aku tak sepenuhnya dapat menikmati berjalan kaki di kawasan wisata Melaka itu. Rasa lelah begitu menghantui. Tubuh berkeringat. Udara terasa menjadi sangat panas di tubuhku.

Beberapa menit kemudian setelah berjalan kaki dari Mall Dataran Pahlawan, aku tertegak. Di hadapanku menghadang sebuah pagar tertutup. Tak ada siapapun yang terlihat. Tempat itu sangat sepi. Berbeda sekali dengan kawasan di sisa Benteng Famosa. Ramai. Silih berganti pelancong dan mereka yang hendak bersantai menikmati Melaka petang hari. 

Kegatalan pikiranku segera spontan berucap, “Beginikah sesungguhnya keaslian dunia sastera itu ? Pintu pagar tertutup menghadang di depan kita. Tak ada siapa-siapa. Berkawan senyap, terasing dari keramaian.” Hadir begitu saja tanpa terpikirkan semula. Sebuah realitas!

Sementara aku memotret bangunan Muzeum Sastera dari balik pintu pagar, rupanya Bu Lily mengetahui pintu sebenarnya tidak dalam keadaan terkunci. Kami melihat sekeliling sebelum hendak masuk ke halaman museum.  Yang jelas kami masuk tidak dengan cara seorang maling. Keh keh keh. Terlihat di kejauhan ada seorang petugas. Tidak diketahui, apakah petugas museum. Bisa jadi juga tidak. Karena dia berada pada kawasan bangunan berlainan. Namun kami berteriak, meminta izin untuk sekadar berfoto.
Hanya berfoto di halaman saja. 

Dengan berlatar bangunan tua yang menjadi museum. Kemudian berlatar dinding tembok pagar, ada lukisan gambar wajah. Aku mengenal satu diantaranya, A.Samad Said, sasterawan Malaysia. Beliau pernah bertahun silam datang ke Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Ada sempat bercakap-cakap sekadarnya saja di Taman Budaya Sumatera Barat denganku. Itupun kebetulan saja. 




Aku tahu, kedatangannya bertalian dengan seniman Edi Utama, kami sama-sama berkesenian di pusat kesenian ini. Sama-sama pernah bekerja di suratkabar Harian Singgalang, terbitan daerah yang sama. Kalau pun jumpa A. Samad Said, dia tak akan mengenalku. Walau semasa itu aku juga membiarkan rambutku panjang dari ukuran normative seorang lelaki.

Sewaktu pulang ke tempat orangtua angkatku budayawan dan impresario Roestam Anwar di Hotel Minang ---berdampingan dengan Taman Budaya--- diantara buku-buku di rak, terlihat sebuah buku A. Samad Said. Kalau aku tak salah “Warkah Eropa.” Rupanya “tamu” dari Malaysia itu sudah berjumpa dengan “si babe” kami, yang memang mau berhabis waktu berdiskusi dengan siapa saja. Aku tak membaca buku beliau ---tentu dihadiahkan sebagai cenderamata--- hanya sewaktu itu aku tertarik sesaat memperhatikan tata grafis, desain dan kualitas cetaknya saja.

Aku berfoto dengan latar gambar A. Samad Said di tembok itu.




Aku menyukai arsitektur bangunan Muzeum Sastra Melaka. Dicat warna hijau. Lambang kesejukan dan kesuburan. Juga halamannya terbilang memadai. Luas dan nyaman.
Waktu buka museum memang tak sesuai dengan kedatanganku. Sehingga aku tak memiliki kesempatan untuk mengetahui, apa-apa saja yang tersimpan dalam museum sastera itu.
Tersebab hari sudah petang. Museum tutup.

abrar Khairul Ikhirma
Bukit Katil Melaka
19 September 2016

Selasa, 25 Oktober 2016

MAZLAN NOOR; MELUKIS PERJUMPAAN DI TANGGA AUDITORIUM SKETSA, LUKISAN & PUISI


Di salah satu sisi tangga bahagian luar, merupakan pintu masuk auditorium, aku berdiri dalam kesendirian. Sendiri tak bersunyi senyap. Aku menikmati suasana di sana sini, sekitar kawasan tangga yang ramai orang. Mereka terlibat pembicaraan santai penuh keakraban, karena sudah saling mengenal. Di ujung kedua sisi tangga terparkir 2 mobil dimodifikasi menjadi kedai buku keliling. Dikelola DBP dan ITBM. Rak-rak buku, terisi buku beragam jenis terutama berkait dunia kesastraan. 




Sama sekali aku tidak merasa asing dalam situasi serupa ini. Tidak juga merasa sangat akrab. Karena memang dalam setiap keramaian, aku lebih senang hanya “memperhatikan” sekaligus “menikmati.” Sehingga aku senantiasa tidak akan reaktif, “memperkenalkan” diri atau pun memanfaatkan ambil “perhatian” di depan orang ramai dengan apapun alasannya. Bukan kepribadianku. Pilihan paling akhir ialah, mencari posisi pada lokasi aman, agar dapat duduk tenang sambil merokok. Walau pun tak merasa keberatan untuk tersenyum pada tiap orang yang bertemu pandang atau pun menyapa dengan baik.

Seketika, pada saat hari berangkat siang di Kota Kuala Lumpur, sinar matahari membakar, bangunan beton tegak kaku menguapkan rasa panas, mataku tertuju pada seseorang ---kebetulan aku duduk di bandul sisi tangga, menghadap ke arah kedatangannya ---lelaki tua itu berpenutup kepala, berkostum pakaian gunting China, berjenggot tak hitam lagi, dengan gayanya spesifik. Datang dengan langkah tergesa-gesa, seakan mencari seseorang atau sesegera mungkin sampai ke tujuan, sudah datang terlambat.

Aku memastikan lelaki tua menuju tangga auditorium itu adalah Mazlan Noor. Pelukis Malaysia. Aku tak menduga beliau juga hadir dalam tajuk acara puisi ini dan kami dapat berjumpa di sini. Namanya mulai aku kenal, sejak dia bergabung dalam list-pertemanan akun fb-ku. Di dalam fb ku ada sejumlah teman-teman dari Malaysia sudah terlebih dahulu bergabung. Tidak banyak jumlahnya. Karena aku sendiri berusaha untuk membatasi diri, dalam menerima pertemanan. Tak heranlah untuk bergabung dengan akun fbku, adalah kesukaran. Mungkin juga sasaran untuk sumpah serapah, tersebab aku telah banya menolak permintaan.

Pertalian pertamaku menerima akun Mazlan Noor, memastikan dia adalah seorang pelukis. Sama juga pada waktu sebelumnya, menerima akun Nazeka Kanasidena ---Zubir Osman--- dari Sabah, karena dia seorang fotografer. Dalam perjalanan waktu, barulah aku mengetahui, keduanya juga “bermain” dengan teks. Teks dimaksudkan ialah puisi dan catatan pendek. Dari banyak orang yang pernah aku perhatikan, khususnya pada dua bidang seni itu, tidak banyak memiliki kemampuan bersamaan. Bila melukis ya hanya menghasilkan lukisan. Bila memotret ya hanya menghasilkan gambar foto. 

Padahal kemampuan “menulis” adalah satu bukti, seseorang “memiliki” intelektual tak sekadar hanya mampu menghasilkan secara teknis --- misalnya, lukisan atau foto. Sebab menurut hematku, karya-karya terbaik dan bermutu, hanya dihasilkan oleh mereka pemilik ide ---pengalaman dan pemikiran--- Tanpa didasari oleh hal itu, kemampuan teknis hanya akan berhenti pada tingkatan “indah” dan “baik.” Tidak pada  pencapaian yang ingin disampaikan seorang seniman “seharusnya” dengan kreatif pada suatu karya yang diciptakannya. Menulis adalah menyampaikan pokok persoalan-pemikiran. Melatihnya dalam keseharian. Meningkatkan kepekaan. Ketajaman.

Aku pernah mengenal seorang pematung. Karya patungnya menurutku memberikan alternative. Kreatif. Pada saat itu nama dia mulai dikenal. Tatkala teringat akan kesehariannya, aku menjadi “hambar” karenanya untuk membedakan dari yang lain. Dia pernah tidur “menumpang” pada satu bilik yang dijadikan perpustakaan pribadi. Di sekelilingnya berada aneka macam buku, majalah atau pun suratkabar. Namun tak pernah terlihat bagiku dia membaca, membawa buku, bahkan buku terjatuh di dekatnya pun tak akan diselamatkan pada tempat yang baik. Begitu juga dalam pembicaraannya, tak terkesan ia memiliki pemikiran dan pengetahuan wawasan yang luas. Biasa saja. Hambar dan kering.

Berbeda pertemuanku dengan pelukis bohemian Indonesia, pelukis Nashar. Lukisan-lukisannya abstrak, penuh warna-warni. Ia amat menyukai dengan judul “Irama Alam.” Sebahagian besar lukisannya tidak disukai kolektor dimasa beliau hidup. Ketika booming seni lukis terjadi di Indonesia, beliau tidak ikut menikmati manisnya uang hasil penjualan lukisan karyanya. Namanya tercatat dalam peta seni lukis Indonesia tapi namanya tak komersil dalam bursa. Karena lukisannya tidak menjadi rebutan banyak orang. Nashar asal corat-coret kanvas saja ? Mengatakan lukisannya beraliran abstrak, sebagai penghindaran bahwa sesungguhnya ia tak beride, berpemikiran dan tidak kreatif ?

Pelukis Nashar tidak hanya seorang pelukis. Dia juga pemikir kesenian. Beberapakali bertemu beliau dalam perbincangan, di beberapakali momen dan tempat berbeda, terkesan ia memiliki wawasan yang luas. Pengamatan, analisa dan kesimpulannya sangat tajam. Lukisannya boleh-boleh saja beraliran abstrak tapi di balik itu, lukisan-lukisannya dihasilkan dari kematangan intelektual. Aku pun pernah membaca tulisannya yang terhimpun ke dalam buku, “Surat-surat Malam,” diterbitkan Penerbit Pustaka Djaya, Jakarta. Sangat inspiratif.

Itulah perlunya untuk mengetahui terlebih dahulu seseorang, tidak hanya sekadar nama. Bagiku sederhana saja. Di medsos ---media social--- ibaratkan mencari jarum dalam jerami. Susah menentukan akun-akun benar dan orang yang benar. Tentu saja perlu diketahui “selera” pemilik akun. Ada banyak akun-akun fb, diprediksi semula bertujuan berteman, tahu-tahunya hanya sekadar “media penyiaran” satu arah. Itu artinya, akunku dijadikannya sebagai salah satu “fansnya.” Tidak bertujuan pertemanan.

Mengapa pelukis dan fotografer ? Kedua profesi itu tidak asing bagiku. Aku sendiri pun memiliki jalan itu. Sehingga berkesimpulan “pertemanan” semacam dengan Mazlan Noor dapat bertalian. Pertemanan sulit terjadi pada perbedaan. Sekadar tahu tapi tidak berteman. Karenanya, alam sudah menunjukkan pelajaran berharga dalam hidup kita, air yang tak mendapatkan posisi kerendahan, tidak akan mengalir. Jika tidak mengendap ke dalam tanah, akan lenyap menguap ke udara.

Pada rentang pertemuan lewat media fb, postingan aktifitas Mazlan Noor tak pernah senyap. Dia rajin mempublikasikan aktifitasnya. Sekilas mungkin oleh banyak orang perihal itu membosankan. Padahal bila berelahati mencermatinya dengan pikiran positif, Mazlan salah seorang yang memanfaatkan fasilitas teknologi dengan baik, dengan tujuan sebagai pelukis mendekatkan karya dengan masyarakat, sebagai Mazlan peribadi mencatat perjalanan dan aktifitas yang dilalui.  

DI FORUM TEMU PENYAIR ASEAN 2016
Antara kami berdua, memang belum pernah terjadi percakapan lewat inbox. Hanya beberapakali saja di kotak comen status. Itupun say hello. Jadi, aku belum memiliki gambaran banyak hal terhadap dirinya sebagai pelukis, pun belum mengenal lebih jauh perihal lukisan-lukisannya. Namun berdasarkan pengamatanku, pada apa-apa yang diposting melalui akun peribadinya secara terus menerus, setidaknya, aku dapat sekilas mengikuti jejak kesenimanannya. 

Aku seorang yang menolak statemen mengatakan bahwa, apa yang diupdate pada media medsos bukanlah suatu ukuran dalam melihat seseorang. Karena bagiku, aku lebih sependapat filosofi garam. Dibekukan atau pun dimasukan ke dalam air, rasanya tetap asin. Bentuk boleh berubah, sedang prinsipnya tetap. Benang merah karakter dan pemikiran seseorang akan tercermin pada ungkapan ataupun perbuatannya. Juga pilihannya!

Merujuk dari sejumlah karya sketsa hitam putih pelukis Mazlan yang pernah dipublikasikan di akun fbnya, sketsa karyanya sangat kuat secara teknik, tarikan garis dan perspektifnya. Pemilihan objek pun tidak sembarangan. Membawa pesan-makna. Membedakan sebuah potret dari hasil camera teknologi. Misalnya, betapa ia tertarik mensketsakan rumah-rumah nelayan, saat mendatangi kawasan pesisiran. Sentuhan mood itu tentu tidak hanya tersebab melihat objek artistic belaka. Ada latarbelakang keprihatinan pada dinamika social, ekonomi dan keberlangsungan hidup segelintir masyarakat, diantara gegap gempita kemajuan-kemajuan di sisi lainnya.

Melihat sketsa dengan objek rumah dan kawasan masa kecilnya, Kampung Serkam, Melaka, misalnya. Kita dapat menangkap di balik dinamika social, ekonomi, manusia dan alam sekitarnya, Mazlan secara universal mencitrakan akan kerinduan. Sesuatu paling murni bagi setiap manusia. Suasana kerinduan masa lalu. Kerinduan itu dapat kita maknakan secara universal. rindu kita akan lingkungan yang damai dari gebalau kehidupan perkotaan. Dimana perihal tak dapat dielakkan di permukaan bumi ini. Bangunan penyekap beton yang dihuni dengan rutinitas. Pertumbuhan manusia menempati kawasan terbatas. Kaku. Hampir-hampir “mematikan” keterhubungan manusia dengan alam. Manusia dengan sesamanya. Serba sibuk. Serba nafsi-nafsi.

Pada dua contoh saja, dua karya sketsa Mazlan yakni dengan objek Candi Borobudur (Indonesia) dan bangunan tua di Pakistan. Dapat menjelaskan bahwa Mazlan juga memiliki perhatian pada kekayaan arsitektur, sejarah dan fungsinya. Terasa objek yang ditampilkan menjadi khas dan menarik.

Karena semakin berkurangnya di berbagai belahan bumi, sentuhan seni masa silam, tergantikan dengan arsitektur baru mewakili zamannya yang modern. Sementara lebih luas lagi, dapat pula dimaknakan merupakan karya seni symbol akan topic tak pernah padam, pada soal-soal keagamaan dan relegius. Di balik ketajaman goresan sketsanya, tersimpan memancing ingatan kita pada hal-hal semacam demikian: manusia dengan agamanya. Manusia dengan keyakinannya.

Dalam kepelukisannya, Mazlan dapat dipujikan, silih berganti berkesempatan untuk bepergian ke berbagai tempat, daerah, bahkan antar Negara. Beliau menamakan dengan “Kembara.” Perjalanan yang dilakukan, semakin memperkaya pendekatan social, pendekatan orang per orang, termasuk pengalaman batin kian mengental, kemahiran untuk melukiskan pun semakin matang. Membuktikan Mazlan bukan pelukis yang senang berkutat di dalam studio. Berkurung diri. Berasyik sendiri. Tanpa terlibat persoalan dunia luar dalam setiap proses kreatifnya.

Mazlan pada setiap “kembara” harfiahnya, selalu membawa peralatan untuk dapat mensketsa. Ia dapat melakukannya, kala berhenti sejenak pada satu tempat, atau memang bersengaja mengunjungi suatu objek, bahkan pada saat menunggu sang isteri berbelanja di supermarket, pada satu sudut lokasi tak masuk akal, ia segera saja dapat berkarya sketsa.

Mazlan Noor telah menghimpunkan karyanya pada sebuah buku, “dan kembara kuteruskan,” diterbitkan oleh Dewan Bahasa Pustaka Kuala Lumpur. Kembara perjalanan kreatifnya sebagai seorang pelukis dan menyair ---koleksi puisi dan lukisan terpilih 42 tahun, 1973-2015—  Setidaknya dengan kehadiran buku itu pada jagat perbukuan dan dunia seni khususnya di Malaysia, merupakan sumbangan memperkaya dunia literature, sekaligus pendokumentasian yang berguna. (Perihal buku ini, aku hanya tahu lewat postingan Mazlan Noor dan melihat dari jauh saja tersusun diantara buku-buku lain di rak kedai lori keliling DBP, saat acara Temu Penyair Asean 2016).

Sementara memerhatikan foto lukisan-lukisannya dan sejumlah moment sedang melukis di studionya, bila dihubungkan dengan tangkapan sepintas, ketika melihat pertamakali cara berjalannya datang di tangga auditorium DBP hari itu pertamakali, tergesa-gesa dan tangkas. Terasa bertolak-belakang. Secara teknik, pada lukisannya dengan pewarnaan meriah dan segar itu, berupa motif lingkar yang rumit, seperti spectrum, planet-planet saling tumpang tindih, menjadi suatu kesatuan, membutuhkan ketekunan ekstra mengerjakannya. Ketelitian dan kesabaran.

Hal semacam itu bagiku, menarik. Mazlan Noor meskipun “tergesa-gesa” bukan berarti lukisannya berkarakter ekspresionis spontan. Justru di dalam ketergesaan harfiah yang kulihat, ia sesungguhnya seorang yang tenang. Dapat mengerjakan kerumitan dengan ketelitian. Tentu saja penuh kesabaran. Teknik yang dikuasai akan memudahkan penghayatan proses kreatifnya dalam menyelesaikan satu karya ke karya berikutnya. Karena tampaknya, Mazlan Noor selalu melahirkan lukisan “berseri.” 

Ada 2 teknik aliran yang diakrabinya pada karya lukisnya. Pertama lukisan berupa motif spectrum, lingkar saling berhimpitan, dibentuk garis-garis dan warna. Kedua semburan abstrak ekspresionis, seperti muntahan lahar gunung merapi. Terbentuk dari percikan warna. Juga titik-titik yang dibentuk sedemikian rupa. Liar tapi terarah. Lukisan dengan teknik ini kuat dengan tata cahaya. Menggambarkan pengalaman dan perjalanan batinnya, hampir bersamaan dengan kesehariannya bertajuk “kembara” itu.

AKU DAN MAZLAN NOOR
Ketika sang pengembara itu berbalik arah, dari dalam lobi auditorium DBP menuju tangga, aku tak keberatan untuk menemuinya. Kusapa namanya dan kusebutkan namaku, kami berjabat erat. Ia spontan begitu gembiranya. Namun kami tidak memiliki waktu berdialog panjang di ujung tangga. Mungkin suasana dan momennya tidak tepat. Karenanya aku wujudkan dalam bentuk tulisan ini. Mungkin ada waktu-waktu lain. Langsung lebih khusus menelusuri lukisan, puisi dan pemikirannya. (*)

abrar khairul ikhirma
Seniman Rupa-rupa
25 Oktober 2016