Jumat, 08 September 2017

ACEP ZAMZAM NOOR KE FAKHRUNAS MA JABBAR

Kalau sekadar nama, aku sudah lama mengenal keduanya. Karena pada masa usia mudaku, aku adalah anak yang “gila” membaca buku, majalah, apalagi suratkabar. Baik suratkabar terbitan di daerahku maupun suratkabar terbitan nasional.



Searah Jarum Jam:

AHMAD TAUFIQ (JEMBER) AKU (PADANG)
FAKHRUNAS MA JABBAR (RIAU)
ACEP ZAMZAM NOOR (TASIKMALAYA)
JEUMPA D'RAMO BANGSAR KUALA LUMPUR 2014


Dalam usia masih terbilang sangat muda, membaca suratkabar harian bagiku adalah lebih penting dibandingkan makanan mengisi perut. Hampir setiap hari aku harus bertengkar dengan saudara-saudaraku, tersebab mereka lebih dulu menerima dan membaca Koran yang diantarkan si pengantar Koran langganan di rumah kami.

Itulah penyebab aku banyak mengenal nama seseorang, karya-karya ataupun aktifitas yang dilakukannya. Karenanya peranan media sangat penting dalam “mengenalkan” diri dan karya kepada public. Ada benarnya statemen yang mengatakan, “orang yang dapat menguasai dunia, orang bisa memanfaatkan informasi dan komunikasi.”

Pada zaman keterbatasan media yang dapat menampung karya atau memperkenalkan seseorang, atau lagi menginformasikan kegiatannya, tak semua orang memperolehnya. Tak semua orang karyanya dapat dimuatkan. Tak setiap orang profilnya diperkenalkan. Tak setiap kegiatan yang diselenggarakan mendapat liputan sebagai pemberitaan.

Ketidakmudahan seperti demikian memang suatu hal yang menyedihkan. Banyak orang, karya dan peristiwa tak mendapat perhatian public . Namun disisi lain, keterbatasan ruang dan kesempatan yang tersedia, justru menjadikan media selektif. Tidak hendak “isi media” mereka tidak actual, tidak akurat dan tidak terpercaya oleh pembacanya (public). Redaksi akan mempublikasikan hal-hal menarik dan berkualitas agar dapat merebut “pasar” penjualan di masyarakat.

Di zaman itulah salah satunya aku mengenal nama Acep Zamzam Noor. Baik karya atau pun kehadirannya di kegiatan sastra. Walaupun aku tidak intens membaca karyanya dan kegiatannya, setidaknya nama beliau masuk ke dalam memoriku bahwa salah seorang Penyair di Provinsi Jawa Barat  ada yang bernama Acep Zamzam Noor.

Acep adalah sastrawan Indonesia Terlahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960
.
Dalam catatan riwayat yang pernah kubaca, Acep menghabiskan masa kecil dan remajanya di lingkungan pesantren, melanjutkan pendidikan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa Desain ITB, lalu Universita Italiana per Stranieri, Perugia, Italia.

Kemudian dalam tahun-tahun terakhir, aku baru mengetahui dalam suatu kesempatan, berbincang dengan kakakku Isson Khairul, yang lebih dulu dariku “terjun” ke dunia media dan menyenangi dunia sastra, menyebutkan bahwa Acep adalah putra tertua dari K.H. Ilyas Ruhiat, seorang ulama kharismatik dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.



BERSAMA ACEP ZAMZAM NOOR MAKAN SIANG
RUANG MAKAN MENARA DEWAN BAHASA PUSTAKA
KUALA LUMPUR - 2014


KH Ruhiyat dan Pesantren Cipasung. Satu nama tokoh. Satu lagi nama lembaga pendidikan keagamaan yang “tercatat” di Indonesia. Tidak asing bagiku. Sama juga dengan nama Acep sendiri yang sudah kukenal dalam usia remajaku. Masih hangat dalam ingatanku sampai kini. Aku mengenal nama KH Ruhiyat dan Pesantren Cipasung dari media nasional, semasa berada di alam “pergolakan politik” Indonesia era Orde Baru ke fase Reformasi.

Tokoh “eksentrikku” yang senantiasa fenomenal di berbagai pemberitaan media local, nasional bahkan internasional, KH Abdurahman Wahid yang kerap disebut Gus Dur, bersama kawan-kawannya memilih Cipasung salah satu tempat “menancapkan” jejak sejarah fase “Reformasi Indonesia.” Di penghujung rezim Soeharto, melahirkan yang disebut pemberitaan media terkemuka dengan “Perjanjian Cipasung.” Menghantarkan Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia.

Walau pun aku sudah “mencuri” beberapa eksemplar buku antologi, “Risalah Melayu Nun Serumpun” yang diletakkan di atas meja, di ruang resepsionis Jeumpa d’Ramo, Bangsar, tempat menginap, di awal kedatangan. Sama sekali pandainya aku hanya mencuri.  Memasukkan ke dalam tas. Tidak bersegera untuk membalik-balik halaman, apa saja isi yang terdapat di dalam. Sampai beberapa waktu sudah berada di tanah air pun tak hendak kusentuh. Padahal di dalamnya termuat 3 buah puisiku, yang menghantarkanku datang pertamakali di Kuala Lumpur, Malaysia.

Itulah diriku. Tak ada sesuatu yang luarbiasa dan berlebihan. Aku merasa semuanya berjalan seperti adanya. Setiap yang menanam pastilah akan menuai. Setiap yang berusaha pastilah akan memperoleh. Tapi tidak menanam, buah apa yang hendak dipetik. Jika tak berusaha apa pula yang akan didapatkan?

Demikian juga karyaku. Kalau tak kutulis dan tak kukirimkan, apa mungkin dia termuat dalam buku itu? Soal utama dan kategori pilihan, itu kan hanya “penilaian.” Bisa jadi diluar sana, orang lain dengan argumentasinya malah menilai yang pilihan adalah utama dan yang utama dikategorikan pilihan. Sesuatu relative. Hanya sebuah karyalah bukti akhir menentukan, apakah dia jauh lebih baik diantara karya-karya lainnya atau malahan jauh lebih buruk bila dicocokkan pada persyaratan yang hendak dituju si punya hajatan.

Tak melihat buku yang kucuri, itu berarti aku tidak mengetahui siapa-siapa saja yang menghadiri acara Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 yang kuhadiri. Aku baru tahu pada malam hari, di panggung Auditorium Dewan Bahasa Pustaka Kuala Lumpur, Acep Zamzam Noor menyampaikan Anekdot Sastra, rangkaian acara yang diselenggarakan Numera Malaysia. Ya hanya sekadar tahu saja. Sama juga pada yang lain.

Sampai acara selesai dan masing-masing peserta kembali pulang, aku tak pernah terlibat percakapan secara intens dengan Acep “Penyair dari Tanah Sunda.” Bila bertemu hanya sekadar senyum-senyum saja. Begitu juga dengan yang lainnya kecuali bersama Syarifuddin Arifin, penyair yang sama-sama berangkat dari Padang. Kemudian dengan Ahmad Taufiq penyair dari Jember dan A’yat Khalili dari Madura, Jawa Timur. Akrab sejak pertama bertemu saat kedatangan di LCCT, yang kini berobah nama bandara KLiA2.

Ada memang sesaat kami bercakap di dalam bus saat perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Melaka. Itupun yang kami perbincangkan hanyalah perkara seupil batu akik, “Lumuik Sungai Dareh” yang terpasang pada cincin di jemariku.



AKU BERLATAR DUA PENYAIR
FAKHRUNAS MA JABBAR DAN ACEP ZAMZAM NOOR
MELAKA 2014


Sepulang dari KL, selang berapa waktu kemudian, barulah kami berteman di media fesbook. Itupun sekadar bercanda sebagai bentuk pertemanan di dunia maya pada penyair Acep Zamzam Noor, yang telah banyak membukukan puisi-puisi karyanya. Yang dimulai dengan buku kumpulan puisi pertamanya berjudul, “Tamparlah Mukaku!” tahun 1982. Menerima, Penghargaan Penulisan Karya Sastra Depdiknas (2000). South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (2005). Khatulistiwa Literary Award (2007) dan Hadiah Sastra Rancage, 2012 untuk kumpulan sajaknya berjudul, Paguneman.

Dibandingkan dengan nama Acep Zamzam Noor, nama Fakrunas M.A. Jabbar, lebih dulu kukenal dan akrab dalam ingatanku. Penulis kelahiran Tanjung Barulak, 15 Januari 1960 ini, salah satu nama yang sudah biasa kukenali, diantara nama-nama seniman yang berasal dari Pekanbaru, Riau.

Pengenalanku pada aktifitas berkesenian di Riau dan senimannya, terutama pada bidang kesastraan, tidak hanya karena letak daerah provinsinya berdampingan dengan Provinsi Sumatera Barat, dimana aku bermukim. Tetapi sejak paruh tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, ramai para penulis dari Pekanbaru mengirimkan tulisan mereka ke suratkabar Harian Haluan Padang, untuk dipublikasikan. Karena masa itu Riau belum mempunyai suratkabar harian yang diterbitkan di Riau.

Sementara di Padang ada tiga suratkabar terbit. Menjangkau wilayah pemasaran tidak hanya di dalam Sumatera Barat tapi juga untuk Pekanbaru dan Jambi. Fakrunas MA Jabbar terbilang gencar mengirimkan tulisannya. Ada banyak tulisannya yang lolos dipublikasikan.

Hingga Fakhrunas dikenali sebagai penulis, tidak hanya membatasi diri pada satu bidang. Karyanya mencakupi esai, puisi dan cerpen, yang telah dimuat dalam kurang lebih empat puluh media local ataupun ibukota, seperti majalah sastra Horison, Panji Masyarakat, Sinar Harapan, Gadis, Pelita, Prioritas, Merdeka dan Terbit.

Dosen Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian, universitas Riau ini memiliki pengalaman luas dalam keorganisasian, seperti Sekretaris Lembaga Seni Budaya Pemuda KNPI Riau, Sekretaris HSBI Riau, Ketua Sanggar Dolphin dan pengurus Komisariat sastra BKKNI Tingkat I Riau. Selain mengajar, ia juga pernah menjadi wartawan dan banyak memenangkan berbagai perlombaan penulisan.

Karya-karya Fakhrunas MA Jabbar yang sudah diterbitkan menjadi buku, antara lain, adalah; Di Bawah Matahari (1981), Kumpulan Puisi dan Matahari-Matahari, kumpulan puisi bersama Husnu Abadi (1982), Cerita anak-anak Menembus Kabut, Di Bawah Merah Putih dan Bonan si Anak Gerilya. Kumpulan cerpennya Ongkak (2010). Karya nonfiksi adalah biografie, H. Soeman Hs; Bukan Pencuri Anak Perawan (1998) terpilih sebagai Buku Terbaik Anugerah Sagang 1999.

Pada satu kesempatan, semasa penyair Hamid Jabbar masih hidup, aku pernah sekadar berseloroh pada abang Hamid, begitu panggilan kami kepada Hamid Jabbar, bahwa saudaranya ada satu lagi di Pekanbaru. Orang yang kumaksudkan ialah Fakhrunas MA Jabbar. Waktu itu bang Hamid mengangguk sambil mengiyakan atau membenarkan. Namun aku tak serius. Jadi benar atau tidak tak begitu penting saat itu bagiku.

Di hari kedua berada di Kuala Lumpur, saat berada di penginapan, barulah aku tahu bahwa selain Acep Zamzam Noor juga hadir Penyair Riau, Fakhrunas MA Jabbar. Aku tahu dari cerita Syarifuddin Arifin. Karena dia memang berdekatan generasi di dunia kepenulisan, pun tentu berbilang acap berjumpa dim omen-momen acara sastra, yang kini alangkah banyaknya diselenggarakan dimana-mana. Berbeda denganku yang sudah lama “hijrah” Tidak hadir dimana-mana. Sehingga tak menjumpai banyak orang.

Meskipun sudah lama mengenal nama tapi aku tak pernah bertemu dengannya. Atau bisa jadi, karena aku orang cuek, berkepribadian tidak suka sibuk terkagum-kagum dengan orang ternama, tidak berhabis waktu bergegas minta berkenalan pada setiap orang di berbabagi kesempatan. Mungkin kami pernah bertemu dimasa 1980-an dan 1990-an di acara-acara kesenian di Pekanbaru atau pun di Padang tapi karena tak saling mengenal ya tak mengetahuinya.



AKU BERSAMA PRESIDEN NUMERA MALAYSIA
SN DATO' DR AHMAD KHAMAL ABDULLAH
FAKHRUNAS MA JABBAR
SANGGAR TUN SRI LANANG MENARA DBP KUALA LUMPUR
2014


Sedang sederet nama seniman Riau yang bermukim di Pekanbaru sudah banyak pernah bertemu olehku walau pun tidak akrab. Setiap aku datang ke Pekanbaru, aku hanya sering menjumpai penyair dan teaterawan Idrus Tintin dan Dasri al-Mubary. Begitu juga sebaliknya, bila mereka datang ke Padang. Menurut Pak Idrus, begitu aku memanggil Idrus Tintin, hubungan kami “bersahabat.”

Sejak awal sampai acara berakhir, “suaraku” saja yang “menciracau” kala sudah bersama Syarifuddin Arifin, Ahmad Taufiq dan A’yat Khalili. Dalam momen-momen begitulah Fakhrunas “terseret” ke dalam “teatrikal spontan” yang tercipta begitu saja. Membuktikan Fakhrunas berdarah Minang. Hal-hal semacam itu dalam kehidupan orang Minang, sebentuk “perbualan” social menanggapi situasi dan kondisi. Hal biasa “mencemooh” dan “memparodikan.”

Fakhrunas dalam istilah percakapan Minang, saat aku “berperan” ketika itu, memberikan “bola lambuang.” Istilah yang diambil dari permainan cabang olah raga volley ball. Dimana seorang pemain memukul bola yang datang dari pihak lawan tapi tidak langsung kea rah lawan. Ia melambungkannya ke atas dengan tekanan tertentu. Maka sebagai “toser” aku segera mensmash dengan pukulan kuat ke kubu lawan. Berkat bola lambuang yang diberikan Fakhrunas, pembicaraan kami “bersendagurau” menjadi hidup. Karena aku yang menjadi toser dapat mengarahkan pada topic perbualan lepas itu.

Waktu itulah aku baru bertemu secara fisik dengan Fakhrunas. Baru saling mengenal begitu saja. Beliau sendiripun mengungkapkan bahwa ia memang memiliki pertalian darah dengan Penyair Hamid Jabbar, karenanya ia memakai kata “Jabbar.” Mereka bersaudara sepupu. Namun aku kesulitan untuk akrab pada orang yang baru kukenal. Sehingga tidak banyaklah pembicaraan terjadi diantara kami.

Menjelang acara berakhir, aku mendatangi kamarnya di penginapan yang sama. Kamar kami berada di satu lantai. Memberikan buku karyaku yang diterbitkan. Juga kepada Acep Zamzam Noor. Fakhrunas balik menghadiahkanku buku kumpulan cerpennya berjudul, Ongkak. Sampai saat menulis ini, belum sempat aku membacanya. Meskipun ada terniat untuk membuat sekadar catatan apresiasi, pabila sudah selesai membaca cerpen-cerpen yang termuat dalam buku tersebut.

Fakhrunas dalam perjalanan berkeseniannya, sering memberikan cermah sastra budaya dan membaca puisi ke berbagai kota seperti, Kuala Lumpur, Singapura, Pekanbaru, Padang, Medan, jambi, Lampung dan Bandung.

Pernah diundang oleh Unesco Korea Selatan tahun 1999 bersama dua budayawan Indonesia lainnya pada ’99 Cultural Exchange Programme ASEAN-Republic of Korea di Seoul dan Kyong Ju. Tahun 2008, ia mendapat Anugerah Seni Seniman Pemangku Negeri (SPN) untuk bidang sastra dari Dewan Kesenian Riau (DKR).

Awal kedatangan di penginapan Jeumpa d’Ramo, penginapan peserta acara Numera 2014, aku ditempatkan Teratai Abadi (panitia Numera) pada kamar berbeda dengan Penyair Syarifuddin Arifin, yang sama-sama datang denganku dari Padang. Menurut anggapanku saja, pemilihan kamar itu agar  ditempati oleh orang yang “setara.” Padahal aku tidak tahu bersama siapa aku di kamar itu. Karena kedatanganku lebih awal, merasa aku sendiri saja di kamar, membuatku pindah dan bergabung ke kamar Syarifuddin Arifin dan Ahmad Taufiq.

Sewaktu mengantarkan buku puisiku “Antara Bukik Punai” dan buku catatan kebudayaan “Izinkan Aku Bicara” yang kutulis pada Acep Zamzam Noor dan Fakhrunas MA Jabbar, tahulah aku, andaikan aku tidak pindah kamar, tentulah kami selama acara, bertiga pada satu kamar itu (*) copyright: abrar khairul ikhirma   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar