Senin, 22 Agustus 2011

Mendaki Kelok 44 Diambang Sore

SEMULA ingin menghabiskan separo hari, dari siang ke senja, diantara kelok-kelok pendakian di Kelok 44. Namun niat itu tak kesampaian rupanya. Biarlah… yang penting kami semuanya selamat dan dapat menikmati sepanjang perjalanan. Walaupun tidak keriangan yang berlebihan, namun cahaya kegembiraan itu menampak di wajah dan sikap kami semuanya. Dan kata-kata hampir tak dapat dirangkai untuk menjelaskan apa-apa yang kami rasakan saat itu.

Tak ada diantara kami yang baru pertamakali melintasi Kelok 44. Hampir semuanya sudah pernah. Mungkin jumlah kalinya yang berbeda dan waktunya yang tak sama. Nyatanya, kami semuanya masih tetap merindukan suasana perjalanan, apalagi dengan bersama-sama melintasi dengan rute yang panjang seperti kali ini. Tak ada yang mengeluh dan tak ada yang ingin buru-buru untuk pulang.

Sebelum mencapai Kelok 44, kami masuk dari daerah Kampung Dalam, Padangpariaman dari jalan lintas Padang – Pasaman Barat. Kami tidak menyukai lewat jalan raya yang penuh dengan kendaraan dan tidak memiliki kesempatan menikmati pemandangan, karena otomatis harus konsentrasi ekstra berkendaraan untuk tidak terjadi kecelakaan.

Menikmati pemandangan, perkampungan, semak belukar, sungai dan sawah-sawah, tebing, pendakian dan penurunan, juga kelokan-kelokan, alangkah hal yang mengasyikan saat bersepeda motor. Udara pun terasa segar. Suasana kadangkala menjadi sunyi. Kami seperti tak ada apa-apanya dengan sesuatu yang kami rindukan yakni bagaimana hidup berjalan secara alami.

Kampung Dalam – Sungai Garinggiang – Aua Malintang, kami masuk Kabupaten Agam: Lubuk Basuang, nah akhirnya kami menyusuri Batang Antokan, melewati Lubuak Sao (ada lagu yang dinyanyikan alm Tiar Ramon, “Lubuak lah Sawo di Maninjau, tampak nan dari Ambun Pagi….”) menuju salah satu sudut Danau Maninjau. Danau ini kaya dengan cerita, foto, lukisan dan juga nyanyian. Banyak yang terinspirasi untuk menciptakan karya dan usaha. Cerita tentang ikan karamba, peternakan ikan dengan memanfaatkan lokasi danau dengan ikan-ikannya sering mati tiap tahun dan perusakan alam lainnya yang kini terus terjadi, hanya sebahagian kecil dari dimulainya penggerogotan perusakan Danau Maninjau, yang suatu saat nanti mencapai titik lepas kendali. Sayang memang…

Dari Maninjau kami berbelok ke kiri, kalau kami lurus akan terus ke Sungai Batang dimana kampung halamannya ulama besar BUYA HAMKA. Penulis roman legendaries “Tenggelamnya Kapal van der Wicjk” lalu juga “Di Bawah Lindungan Ka’bah.” Berbelok ke kiri sudah langsung menghadapi pendakian. Kami lebih memilih untuk mendaki daripada menurun. Karena banyak pertimbangan. Tentu saja pertimbangan itu salahsatunya kesepakatan bersama. Bisa jadi… isyarat lain bahwa kami sangat menyukai suatu tantangan yang dapat untuk dinikmati. Daripada bersiluncur turun keenakkan tapi dapat menciderai.

Teman-teman seperti bergegas mendaki. Seperti mereka tak sabar lagi menikmati kelok demi kelok. Bagaikan anak-anak yang rebutan kala melihat ibunya pulang membawa makanan dari pasar. Tapi aku tidak mau secepat itu. Prinsipku selalu perjalanan harus dinikmati dan tidak memerlukan bergegas. Karena aku telah menyediakan waktu memang semata-mata untuk perjalanan hari itu. Mengapa diburu waktu ???

Setelah berhenti sejenak, aku pun menyusul teman-teman yang sudah menghilang dari pandangan. Sendirian aku mulai menekan gas motor. Biasanya memang aku senang bepergian sendirian saja ke berbagai pelosok selama ini. Tidak seperti kali ini. Perjalanan dengan teman-temanku ini sudah terjadi beberapakali, semacam perjalanan berkala. Bagiku penting juga. Dengan bersama-sama kita akan merasakan kekeluargaan, persahabatan dan mengasah kepekaan sosial. Saling menyadari bahwa kita memang hidup bukan ditakdirkan sendiri di atas dunia ini tetapi, bersama bukan berarti tidak ada aturannya. Ada tenggang dan rasa. Ada pikir dan perbuatan. Ucapan dan kenyataan. Kita akan dapat berlajar dan melakukannya. Semuanya akan terlihat sendirinya…

Disepanjang perjalanan di kelok-kelok yang empat puluh empat itu, kita akan dapat menikmati keindahan Danau Maninjau dan sekitarnya. Alam Danau Maninjau sangat menakjubkan jika dilihat dari ketinggian. Setiap kelok 44 selalu memberikan nuansa yang lain bila menukik-kan pandangan ke danau. Begitupun waktunya, pada pagi hari, siang atau senjahari. Beragam rekam mata dan kata hati akan dituliskan oleh sanubari. Apalagi bagi mereka yang sedang masa jatuh cinta atau patah hati, atau barangkali menghabiskan umur di masa tua, sambil merenungkan perjalanan yang sudah terjalani ???

Danau Maninjau merupakan danau vulkanik, yaitu danau yang cekungnya terbentuk karena letusan gunung berapi. Terletak di kecamatan Tanjung Raya, kabupaten Agam, pada ketinggian 461,50 meter dari permukaan laut. Luas permukaan Danau Maninjau lebih kurang 99,5 km persegi, dengan kedalaman maksimum 495 meter

Sepanjang berkelok-kelok pendakian, aku tak ingin mengkhayal dan berandai-andai. Kunikmati saja. Biarlah alam rasa yang berbicara. Cuaca memang tidak cerah, lebih banyak mendungnya. Lagian juga hari sudah sore. Keindahan yang diinginkan ternyata tidak sepenuhnya ada, yang ada suasana alam misteri. Alam dimana mendorong diriku untuk merenungkan ke dalam batin. Terasa mendesau seperti nyanyian dedaunan bambu tertiup angin. Tajam dan bermiang.

24 Juli 2011 menjelang senja, akupun sampai di kelok 37 dimana teman-teman sudah menikmati istirahat. Akupun turut bergabung. Tentu saja secangkir kopi yang hangat segera menemani. Melepas pandang ke arah danau nun di sana. Sebuah karpet abu-abu. Udara berangsur mencekam, entah karena lapar. Di kelok ini… salah satu objek foto paling banyak yang dipublikasikan terutama di internet kulihat selama ini. “Andaikan kamu ada di sisi ku

Dan aku bersama teman-teman menghabiskan waktu sampai senja menjelang di sini, memandang Danau Maninjau dari ketinggian, sampai gelap memastikan diri menjadi malam. Sebelum akhirnya kami mendaki sisa kelok sampai ke hitungan 44 menuju Jam Gadang di Bukittinggi. …,” * (abrarkhairulikhirma/27/07/11)

I HAVE A DREAM

ABBA - atau yang biasa disebut dengan sebutan Eybibi'e - (1972–1982) adalah kelompok musik pop dari Swedia. Mereka adalah salah satu artis paling berhasil dari Skandinavia. Terdiri dari Benny Andersson, Björn Ulvaeus, Agnetha Fältskog, dan Anni-Frid Lyngstad. Sebelum menjadi ABBA, Fältskog dan Ulvaeus telah menikah dan kemudian setelah menjadi satu kelompok, Lyngstad dan Andersson juga menikah. Namun kedua pasangan ini kemudian bercerai. ABBA adalah akronim dari huruf pertama keempat anggotanya.
Prestasinya yang paling terkenal adalah saat mereka berhasil menjuarai Kontes Lagu Eurovision tahun 1974, dengan lagunya yang berjudul "Waterloo". Lagu tersebut juga menjadi lagu favorit pemirsa saat diluncurkannya album "Congratulations". Selain itu ABBA juga membuat film berjudul "ABBA:The Movie" pada tahun 1977.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Kesenangan itu Terganggu

Kemerdekaan adalah impian semua bangsa. Karena dengan kemerdekaan itu akan ada kebebasan, kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan. Namun apalah artinya kemerdekaan, jika kemudian impian bangsa tercabik-cabik “ketakutan” yang dilahirkan oleh kemerdekaan itu sendiri???

Sebagaimana pernah saya temukan dalam suatu pembicaraan, suatu kali di tahun 80-an awal, dengan seorang pejuang 45 yang tersisa di alam kemerdekaan, diantara kekecewaannya terlompat perkataannya di hadapan saya, kira-kira nadanya seperti ini: “kemerdekaan bukanlah kebebasan tanpa kendali, bukanlah kebebasan yang berkonotasi liar tetapi kemerdekaan adalah sesuatu yang mengikat.”
Ucapan itu dikatakannya, karena dia prihatin menanggapi hal yang tengah berlangsung di alam kebebasan, bagaimana arus kesewenang-wenangan, ketidak-pedulian dan seenaknya, begitu merajalela di berbagai lini. Tidak hanya di jalur kekuasaan, di tengah keseharian pun dia menjadi tumbuh subur bagaikan epidemi. Sebahagian besar seakan-akan tidak bermasalah, sebahagian besar sebenarnya sangat bermasalah.
Jangankan dalam masyarakat, di dalam keluarga yang merupakan lingkaran kecil pun sudah menjadi embrio, yang kelak terlempar ke lingkaran yang lebih luas lagi: masyarakat. Dari lingkaran kecil itu atau dari lingkaran besar, sama-sama menyumbang terjadinya perihal demikian itu.
Misalkan saja, seorang anak dapat saja berlaku seenaknya pada kedua orangtuanya, yang seharusnya tidak terjadi atau orangtua membiarkan hal-hal yang tidak disiplin terjadi pada anaknya dan menganggapnya hal yang biasa saja. Kedua hal itu: seenaknya dan membiarkan: akhirnya merusak bukan hanya untuk mereka tapi juga orang lain.
Krisis itu terus berlangsung. Mulai dari hitungan satu ke hitungan kelipatan berikutnya. Apa jadinya? Kebebasan yang dipahami adalah kebebasan yang liar. Kemerdekaan yang dimaknakan sebagai sesuatu yang tidak memerlukan aturan dan tidak dirasa sebagai sesuatu yang mengikat seseorang, keluarga, kaum, masyarakat, bangsa dan seterusnya…..???
Kebebasan yang dikatakan sebagai kemerdekaan itu selalu diinginkan untuk kesenangan. Kesenangan yang relatif dipahami adalah wujud dari kesejahteraan, ketentraman dan kebahagiaan. Namun sepanjang sejarah, karena relatifnya, tak pernah semuanya itu tercapai dengan sempurna dan berlangsung panjang. Hanya sesaat. Jadi hidup kita sebenarnya dituntut untuk mengimpikan dan mengusahakannya terus menerus, silih berganti, ganti berganti, sebagai titik tujuan dari semua orang bahwa kemerdekaan adalah hal yang mutlak.
Makanya, tidak akan pernah ada sepenuhnya seseorang, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara yang mendapatkan atau merasakan secara bersama-sama. Untuk sebahagian merasa senang, sebahagian lain menyengsarakan. Sebahagian merasa aman, sebahagian lagi tertekan. Ada benarnya, walaupun terlahir sebagai seloroh, “jika semua orang adalah presiden, siapa lagi yang akan jadi rakyat?” atau “kalau semua orang kaya, siapa lagi orang miskin yang bisa disuruh-suruh?”
Itu artinya kekurangan dan kelebihan adalah keseimbangan hidup. Jika tidak ada suatu titik yang akan diperjuangkan, dunia akan menjadi berhenti. Beku. Semua orang jika setuju saja, tidak akan tahu bahwa yang dilakukan adalah benar. Kanan memerlukan kiri, begitu juga sebaliknya.
Dalam perpolitikan di dunia, kuasa-menguasai adalah kodrat manusia. Baik yang dianggap baik, begitu juga baik yang menganggap buruk. Selalu ada pro-kontra. Hanya saja dalam beberapa decade ini, pertumbuhan kepentingan semakin banyak dan semakin meluas sehingga melahirkan taktik dan kelicikan tak bertanggungjawab. Bukankah kebebasan telah melahirkan praktek segala cara. Karenanya, ada yang meneror dan ada yang terteror.
Singkat cerita, teror yang hadir diantara kita akhir-akhir ini: sebahagian menganggap perjuangan, sebahagian lain menganggap kesenangannya terganggu. Padahal semuanya ini tak akan jauh dengan hukum alam, bayang-bayang akan bergerak, pabila objek itu bergerak. Keduanya saling mengikuti. Kemajuan pastilah melahirkan kemunduran.***(abrarkhairulikhirma/20/08/2011

* Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan oleh Tabloid Target 2011


Jumat, 19 Agustus 2011

Mengangkat "Batu Angkek-Angkek"

SUNGAYANG bukanlah suatu yang asing bagiku.
Aku pernah disana dalam waktu yang lama dan secara berkala selalu ke sana sampai saat ini. Di sana bermukim ibuku Ernilitis, seorang pengasuh group randai, suatu kelompok seni tradisionil yakni Randai Rambun Pamenan. Selain mengurus anak-anak randai yang juga pandai bersilat iapun dikenal sebagai penyanyi saluang –menyanyi diiringi alat tiup— salah satu generasi berikut setelah penyanyi saluang Minang yang legendaries Syamsidar nak rang Pariangan, Padangpanjang.

Kenapa aku menyebut nama ibuku ? Ernilitis pertamakali menikah dengan Datuak Lagan dan kelak kemudian hari wafat, lalu menikah dengan Chairul Harun, sastrawan, budayawan dan wartawan. Datuak Lagan begitu orang memanggilnya adalah mamak pasukuan pewaris kedua akhir dari generasi akhir pewaris “Batu Angkek-angkek,” di Sungayang.

Letaknya rumah gadang tempat Batu Angkek-angkek itu tersimpan dari rumah ibuku tidak jauh. Ya… mungkin kurang lebih sekilometerlah. Namun sudah selama itu aku mengetahuinya dan memiliki “kedekatan” hubungan dengan pewarisnya, tak sekali hendak aku untuk mencoba “kekeramatan” sang batu itu.


Cerita adikku One –anak Ernilitis— padaku diapun dulunya sering disuruh nenek untuk mencoba “mengangkat” batu itu tapi tak pernah dia mau. Dia merasa juga tak memiliki niatan apa-apa. Bertahun kemudian setelah dia dewasa dan sudah bersuami… akhirnya dia mencoba “mengangkatnya” sebagaimana yang dipintakannya saat itu untuk lebih meyakinkan kepercayaan dirinya. Memang dia menemukan kenyataan setelah kemudian hari, sebagaimana yang dimohonkannya kepada Allah saat sebelum mengangkat batu itu.

Sudah begitu menyatunya aku dengan Sungayang, baru di tanggal 16 April 2011 lalulah sengaja mendatangi Rumah Gadang Batu Angkek-angkek setelah singgah ke rumah menemui ibu dan adikku. Tentu saja sambil menemani teman-teman yang ingin menguji niatnya, semoga kelak Allah kabulkan apa-apa yang dimohonkan pada-Nya. Kami adalah serombongan setelah berangkat dari Padanggantiang, daerah yang masih satu Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat; Darmansyah dengan isterinya serta Bustanul Arifin dan aku.. .

Juga kedatanganku sekaitan memastikan “salah pemahaman” di dalam “memahami” batu tersebut oleh banyak orang dan juga Majelis Ulama yang senada dan seirama kira-kira mengatakan perbuatan kepada batu itu adalah salah menurut agama Islam dan kalau memohon kenapa ke batu kenapa tidak pada Allah ???
Perkara itu kuketahui setahun lalu sempat menjadi polemic di suratkabar lokal dan konon adanya keluar surat pelarangan dari lembaga Ulama untuk tidak melakukan wudu’ sebelum mengangkat batu, sebagaimana biasa dianjurkan oleh pewaris batu yang menunggui Rumah Gadang itu selama ini..

Aku sendiri terlahir dari penganut agama yang taat. Juga tidak memiliki tradisi di keluarga kami hal-hal yang dianggap melecehkan keberadaan Allah. Begitu juga kami tidak mengikuti paham agama melalui suatu aturan menurut orang banyak tetapi menurut keyakinan kami pada agama yang kami anut, sesuai yang dianjurkan oleh Al Qur’an dan Hadist, sesuai dengan pemahaman dan kemampuan kami..

.Makanya… pemahaman orang lain, pemahaman sebuah lembaga --saya anggap pemahaman itu bisa benar menurut agama, bisa benar memang segitulah baru pemahamannya terhadap agama, bisa pula tidak tahu bagaimana yang sebenarnya mengangkat batu itu, dan bukan berarti tidak bisa pula pemahaman dan keputusan yang bersifat memiliki kepentingan di baliknya -- tidak menjadi ukuran benar bagiku, dan jelas tidak membuatku menghentikan diri untuk tidak “mengangkat” batu itu. Agaknya barangkali juga termasuk sebahagian lain dari masyarakat yang tidak menganggap itu “musyrik” terus saja dari mana-mana sampai kini datang dan “mengangkat batu” di Sungayang.

Batu Angkek-angkek berawal dari mimpi Dt.Bandaro Kayo salah seorang kepala kaum dari suku Piliang. Ia didatangi oleh Syech Ahmad dan disuruh untuk mendirikan sebuah perkampungan yang sekarang di kenal dengan nama “Kampung Palagan”.
Pada saat pembangunan tonggak pertama, terjadi gempa lokal dan hujan panas selama 14 hari 14 malam.
Karena terjadinya peristiwa tersebut diadakanlah musyarawah dan saat musyawarah berlangsung terdengar suara gaib yang berasal dari lobang pemancangan bangunan bahwa di lokasi tersebut terdapat sebuah batu yang harus dirawat dengan baik.
Sekarang batu ini dikenal dengan batu “Angkek – angkek”, dan untuk mengetahui dapat/tidak tercapainya niat seseorang, dapat dilihat dengan ter angkat atau tidaknya batu tersebut

Di hari tanggal 16 April 2011 itu aku pun turut mencoba mengangkat batu itu. Sebelum mengangkat dan masuk ke tempat dimana batu itu terletak, aku memang tidak berwudu’ sebagaimana kabarnya dilarang. Aku tidak berwudu’ bukan karena larangan itu, karena memang aku tidak sempat ke tempat adanya air untuk berwudu’ Menurutku seharusnya aku berwudu; karena aku akan memohon pada Allah, kalau ke batu itu jelas tidak.

Aku duduk berlutut, di depan lututku di lantai di atas permadani batu itu terletak, aku sebagaimana lazimnya membaca doa dan aku pertegas, “apabila doa yang hamba mohonkan engkau kabulkan ya Allah, tunjukkanlah pada batu di hadapanku ini, jadikanlah seringan-ringannya hingga hamba dapat mengangkatnya ke pangkuan hamba.” Alhamdulillah…. Batu itu dapat aku raih, angkat dan peluk.

Sayang aku tidak melakukannya dua kali. Hanya sekali. Seharusnya mengulangnya lagi setelah batu itu terangkat dan dikembalikan pada tempat semula. Dan berdo’a “….apabila engkau kabulkan apa yang kumohonkan tadi ya Allah, untuk menghilangkan keragu-raguan hari ini dan selanjutnya, perlihatkanlah pada batu di hadapan hamba ini, jadikanlah dia berat seberat-beratnya sampai hamba tidak dapat mengangkatnya…”
Sayang memang. Tapi kabarnya banyak yang bisa mengangkatnya dengan mudah dan banyak pula tidak bisa batu itu terangkat sampai kini. Tak tahu apa niatnya terkabulkan atau tidak. Hanya Allah yang tahu…..

Rumah Gadang tempat batu itu disimpan, kini dijadikan sebagai objek wisata. Terbuka untuk umun. Tepatnya di Nagari Tanjung Kecamatan Sunggayang tempat batu itu berada + 11 km dari kotaBatusangkar (abrarkhairulikhirma/19/08/2011)

Arab Pertama Masuk di Pariaman

AKU dan EMRAL DJAMAL DT.R. MUDO pernah berdiskusi lepas tentang kebudayaan setahun silam. Saat berkunjung suatu malam ke rumahnya di Gurun Laweh, Kotamadia Padang. Suatu kebiasaan kami berdua jika sudah bertemu, dan itu sudah kebiasaan sejak lama diantara kami.

Karena kami sama-sama memiliki intensitas yang tinggi dalam kesenian dan kebudayaan di daerah sampai kini. Mungkin kami tidak banyak terlibat di acara-acara formal tetapi kami memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap hal ini, karena memang hidup kami di kesenian.

Emral sang Datuak dari Nagari Bayang, Pesisir Selatan, dalam waktu terakhir semakin mendalami sejarah Minangkabau. Di pentas kesenian di Sumatera Barat, dia seorang pesilat, penyair dan sempat juga bermain teater.

Dalam diskusi itu kami melayok membicarakan sepintas tentang adanya Tabuik di Pariaman. Sebagaimana yang diyakini sampai sekarang, Tabuik dibawa oleh orang-orang penganut Syi’ah. Benarkah itu pertanda bahwa orang Kaliang (India) etnik yang dianggap generasi pertama datang ke Pariaman ???

Tampaknya sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut. Seakan pengkajiannya berhenti sampai disitu bahwa orang Kaliang, Potugis, Belanda lalu ada Tionghoa dan Jawa ???

Kami berharap suatu hari kelak ada pemerhati sejarah yang memperlajarinya dan membuat referensi baru bahwa pemahaman selama ini mesti diluruskan. Setidaknya dengan catatan saya ini, membuka pemikiran seseorang untuk menelusurinya dengan segala sudut keilmuannya.

Jejak-jejak sejarah itu menggelitik pemikiran saya dan Emral sampai saat ini.
Pada diskusi yang berlangsung malam hari itu, kami membuat wacana pemikiran dengan sejumlah alasan-alasan --yang mungkin benar dan mungkin pula belum tentu keliru—bahwa etnik pertama yang masuk ke Pariaman adalah ORANG ARAB bukan Orang Kaliang.

Anehnya….
Kok mereka (Orang Arab) sama sekali lepas dari banyak pembicaraan dan literature menyangkut Pariaman ???

Kami menduga pada masa silam Orang Arab itu masuk ke Pariaman tidak membentuk suatu perkampungan “ekslusif” sebagaimana Orang Kaliang, Cino, Balando dan Nieh. (Konon pembentukan perkampungan ini ada yang menegaskan terjadi di zaman Belanda, dengan tujuan memudahkan mengendalikan etnik-etnik itu dengan pribumi) Dimana sampai sekarang masih ada jejaknya, dengan nama-namanya yang tak berobah seperti. Kampuang Kaliang, Kampuang Cino, Kuburan Balando atau pun Kampuang Nieh..

Menurut analisis kami, Orang-orang Arab yang datang ke Pariaman sangat luarbiasa. Konsep mereka tidak menjadi terpisah tapi masuk dalam kehidupan masyarakat setempat.. Kemudian erat juga kaitannya dengan kegiatan syiar agama Islam yang dilakukan Orang Arab.

Sehingga memungkinkan Orang Arab mudah menyatu dan tidak terpisah dengan pribumi sehingga (makanya) sampai sekarang jejak-jejak kehadiran mereka berupa peninggalan kasat mata atau sebutan tidak ditemukan dalam keseharian masyarakat Pariaman.
Dan dalam wacana kami, tradisi Tabuik di Pariaman sebenarnya sudah ada dibawa oleh Orang Arab tetapi kemudian tradisi itu dimanfaatkan oleh penjajahan Belanda dengan mengkondisikannya sebagai acara kolosal.

Dalam kesimpulan saya dengan Emral Djamal, Orang Arab adalah etnik pertama yang datang ke Pariaman. Orang Arab yang datang ke Pariaman bertempat tinggal di antara Sunua dan Ulakan, lalu menyebar lewat perkawinan dengan masyarakat setempat dan sekitarnya. Keturunan Arab itu adalah mereka yang bergelar Sidi yang berasal dari kata Saidi. Merekalah yang membawa tradisi Tabuik ke Pariaman. ( Abrar Khairul Ikhirma/19/08/2011)

Fenomena Berkesusasteraan di Koran Terbitan Padang

Oleh: Muhammad Subhan
Penulis www.kabariindonesia.com

"Belum pernah ada sejarah koran dibredel gara-gara cerpen". (Cerpenis Harris Effendi Thahar).

SEBARIS kalimat itu saya kutip dari berita yang dipublikasi media online tempointeraktif dot com ketika seorang wartawannya mewawancarai Harret (panggilan akrab Harris Effendi Thahar-pen), usai sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Jakarta, akhir September 2006 silam, ketika ia merampungkan disertasinya dengan predikat memuaskan. Namun saya tidak hendak memperbincangkan cerpen-cerpen Harret yang memang sudah menasional itu.

Harret dalam pandangan saya adalah seorang pegiat sastra dengan genre cerpen yang harus menjadi cermin bagi generasi-generasi sesudahnya. Tak salah, kalau kita, saya rasa juga, cukup meneladani kegigihannya yang memang sangat gigih menelurkan banyak cerpen-cerpen bermutu. Yang sedang saya "tafakuri" saat ini-tepatnya beberapa tahun terakhir-adalah fenomena keringnya kualitas cerpen-cerpen yang dilahirkan penulis Sumatra Barat untuk koran di daerah sendiri. Bahkan yang lebih kering lagi, adalah minimnya kritik sastra untuk cerpen-cerpen yang muncul di sejumlah koran terbitan Padang.

Saat ini, setidaknya ada tiga koran harian di Padang yang menyediakan rubrik Seni dan Budaya dengan kolom cerpen "serius"nya. Saya katakan serius karena ketiga koran itu memang serius menampilkan cerpen-cerpen bernilai sastra. Koran-koran tersebut adalah harian Singalang, Padang Ekspres dan Haluan. Singgalang sepengetahuan saya sudah cukup lama memberi kesempatan kepada penulis-penulis Sumbar, khususnya kalangan muda untuk menulis cerpen-cerpen serius. Padang Ekspres sebagai koran yang masih berusia muda di daerah ini juga memberi kesempatan yang sama. Haluan sendiri, yang sebulan belakangan merubah formatnya menjadi 16 halaman, baru memulai membuka kolom cerpen serius untuk pembacanya, khususnya pada edisi Haluan Minggu. Sebelumnya, Haluan masih fokus pada cerpen-cerpen bertema anak dan remaja.

Dari ketiga koran harian yang terbit di Padang sebagai pusat Provinsi Sumatra Barat itu, sejumlah nama cerpenis muncul dengan gaya penulisan masing-masing. Sekedar menyebut nama, ada Yetty AK, Sondri BS, Anwar Thahar, Agus Hernawan, Ade F Dira (Ragdi F Daye-pen), Yonda Sisko, Yung Ster Twin, dari generasi terakhir. Nama lain-tanpa mempedulikan generasi-Gus tf Sakai, Yusrizal KW, Iyut Fitra, Upita Agustin, Nita Arifin, Syarifuddin Arifin, Abrar Khairul Ikhirma, Inriani, Asril Koto, Eddy Pranata, Edy Sumanto, Dasril Achmad, Irmansyah Ucok, Alwi Karmena, Pinto Janir, Andri Sandra, Yusril Katil, Yulizar Nassa, Prel T, Free Hearty, Sastri Yunizarni Bakri, Luzi D, Maifirizal, Eddie MNS Soemanto, Zurianti, M. Isa Geutama, Rudi Rusli, Yusril Ardanis, Iggoy el Fitra serta sejumlah nama lainnya.

Belum tersebut siapa kritikus sastra Sumbar hari ini yang dapat diandalkan. Beberapa tahun belakangan, masih terlihat produktivitas Prof. Hasanuddin WS dan Ivan Adilla di media, sebagai dua nama di antara sedikit nama-nama krirtikus yang ada di Sumbar. Sebelumnya, ada almarhum Prof. Mursal Esten dan AA Navis yang sudah mendahului kita semua. Selain nama-nama itu, tak ada lagi generasi baru yang muncul.Mereka, menurut cerpenis Khairul Jasmi, adalah orang-orang yang memberi warna pada konfigurasi dunia sastra di Padang saat ini. Namun, menurut saya, sebagian di antara nama-nama yang tersebut itu masih sangat diharapkan produktivitasnya untuk secara rutinitas mempublikasikan karya-karya mereka di koran terbitan Padang yang hari ini "merindukan" karya-karya mereka. Tentunya, dengan harapan ada munculnya kritikus-kritikus baru untuk mengkritik karya-karya mereka pula.

Kurang produktifnya cerpenis-cerpenis Sumbar di "kampoeng" sendiri, menurut hemat saya, karena masih rendahnya penghargaan koran terhadap karya-karya mereka. Penghargaan yang saya maksud, mungkin secara finansial sebagai input "kerja keras" mereka. Melalui esai ini, saya merasa risih menyebut berapa jumlah honor yang akan diterima penulis untuk setiap cerpen yang dipublikasikan di koran bersangkutan. Artinya, honor untuk cerpenis Sumatra Barat di daerah sendiri masih sangat rendah.

Maka tak heran, kalau saya melihat bahwa koran-koran di Padang hanya sekedar "batu loncatan" saja, khususnya bagi para penulis pemula. Target mereka adalah koran-koran Jakarta yang tampaknya telah menjadi kiblat, meski sejujurnya sering kali tak terpanjat. Beberapa orang yang saya cermati berhasil menembus "dinding" yang tinggi itu, adalah Wisran Hadi, Harris Effendi Thahar, Darman Moenir, Gus tf Sakai, Yusrizal KW, Ode Barta Ananda (alm.), Asril Koto, Iyut Fitra, Heren Yahya, Khairul Jasmi, Agus Hernawan, Yusril Ardanis, Yetty AK, Ragdi F Daye, dan sedikit nama lainnya. Mereka berhasil menerbitkan sejumlah cerpen terbaik mereka di koran-koran Jakarta, seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo dan sejumlah media cetak lainnya.

Jelas saja, sudah menjadi tradisi bagi cerpenis Sumbar untuk berlomba-lomba mengirimkan karya mereka ke koran-koran Jakarta. Selain untuk sebuah prestise, prestasi, dan tentu juga "pitih". Tak tanggung-tanggung, koran Jakarta memang sangat mengharagai karya-karya penulis daerah yang mampu memenangkan kompetisi. Honor yang akan diterima cerpenis yang karya mereka lolos sensor meja redaktur budaya, ratusan ribu rupiah jumlahnya. Cukup menggiurkan, lebih dari sekedar untuk mengganti ongkos cetak dan ongkos kirim, bung! Maka, semakin menghilangkan satu demi satu penulis-penulis Sumatra Barat yang selama ini memang memanfaatkan koran-koran Padang sebagai batu loncatan saja. Karena kehilangan penulis-penulis produktif itu pula, redaktur budaya sering kewalahan akan menerbitkan cerpen siapa. Maka bercampurbaurlah antara cerpen-cerpen yang berkualitas rendah dengan cerpen-cerpen yang sedang berupaya mencari jati diri kepenulisannya. Sebab kelangkaan karya bermutu itu pula, tak ada lagi yang berminat mengkritik cerpen-cerpen yang muncul hampir setiap pekannya itu.

Sampai saat ini, belum ada nama kritikus baru yang terlihat di koran-koran terbitan Padang. Bahkan yang ironisnya, mahasiswa jurusan sastra, baik di Universitas Negeri Padang maupun Universitas Andalas masih belum tampak secara konsisten menulis. Satu dua muncul, satu dua pula yang menghilang. Tapi mau apa lagi. Itulah fenomena berkesusateraan yang terjadi di Sumatra Barat hari ini. Media semakin banyak, namun cerpen-cerpen bermutu semakin langka. Tak ada lagi karya yang bisa menandingi--atau setidaknya sama-dengan cerpen "Robohnya Surau Kami" karya AA Navis yang cukup fenomenal itu.Memang, kata orang-orang tua kita dahulu, setiap zaman selalu meninggalkan sejarahnya. Dalam sejarah tiap-tiap zaman itu pula, muncul tokoh-tokoh penulis yang mengukir sejarah baru.

Tak kecuali para cerpenis dan para kritikusnya. Sudarmoko, kritikus muda Indonesia hari ini, dalam esainya di harian Kompas berjudul "Menimbang Kembali Kondisi Kritik Sastra Kita" menulis, "kondisi kritik sastra yang berorientasi pada keilmuan dan kebutuhan sastra saat ini masih terus diliputi tanda tanya. Kritik sastra belum mengarah pada usaha yang maksimal. Setidaknya, melihat kondisi yang ada, seharusnya kondisi kritik sastra dapat lebih baik dari hari ini...." (Kompas, 24 Juli 2005).Ada benarnya harapan Sudarmoko itu. Namun, tidak maksimalnya usaha kritikus-kritikus sastra hari ini, faktor penyebabnya tidak lain "kemalasan" mengkritik karya sastra yang belum menunjukkan mutu sebenarnya. Dan, saya rasa, kualitas sebuah cerpen akan menentukan kualitas kritik yang dihasilkan para kritikusnya. ***

* Tulisan ini dikutip dari: www.kabariindonesia.com edisi 19 Agustus 2011

Indra Nara Persada: Inilah 236 nama Rang Singgalang

Jadinya, 236 nama Rang Singgalang (bukan 215 seperti pertama kali
saya kirimkan), khususnya di jajaran Redaksi plus unsur pimpinan dan
pemegang saham. Tambahan 21 nama berasal dari Atviarni 4 nama, Hary B
Kori’un 2 nama, dan 15 nama `nan baru takana’ alias baru saya
dapatkan. Namun masih saja ada `nan alun takana’ bagi saya. (Di
antara 236 orang ini juga ada koreksian data)

Nama-nama ini sekadar `mangana-ngana nan salaruik salamo nangko’.
Tidak dibedakan antara yang sudah keluar atau yang masih di
Singgalang, antara yang lama ataupun yang baru. Disusun urut-abjad.
Kalau ada yang terlupa, indak tasurek-an, data yang salah ataupun
kurang tepat, penulisan nama yang tidak semestinya, mohon sangat
dimaafkan. Untuk itu, tolong malah dikoreksi dek dunsanak kasado-
alahe.

1. Abdul Halim Yunus – mantan Koresponden di Pesisir Selatan
2. Abrar Khairul Ikhirma/Arkhi – mantan Redaktur Koran Masuk
Sekolah
3. Abrar Yusra – mantan Redaktur Pelaksana, kini di Jakarta
4. Achmad Jalinus – Baso, mantan Reporter
5. Achyar Sikumbang/Tan Baro – Padang
6. Adek Rossyie Mukri/Supriadi Mukri – Bukittinggi/Agam
7. Adi Bermasa – Padang, mantan Redaktur Pelaksana, kini
Redaktur Senior
8. Adi Hazwar – Padang, Reporter
9. Afdal – Jambi, mantan Reporter
10. Afrimen MN – mantan Staf Redaksi, kini di Dumai
11. Afrinal Aliman – Padang, mantan Fotografer
12. Afrizal Koto – Bukittinggi/Agam
13. Ahmad Ibrahim – mantan pemasaran Singgalang, terakhir sbg
Reporter di Medan
14. Ahmad Sumardi – Koordinator Daerah Agam
15. Akmal Darwis – Padang, mantan Redaktur, kini jadi pengusaha
16. Alfian Zainal – mantan Staf Redaksi, kini di `Tribun Batam’,
Batam
17. Ali Akbar Navis/AA Navis (alm) – selain banyak menulis di
Singgalang, AA Navis pernah menjadi Manajer Penerbitan PT Genta
Singgalang Press
18. Amiruddin – Padang, mantan Staf Redaksi, kini Penasehat Hukum
dan Supervisi Personalia
19. Amrin ….. (alm) – Jakarta
20. Ananda Utama – Koordinator Daerah Padang Panjang
21. Anwar Lanjumin – Pasaman, mantan Reporter
22. Anwar Muin/Uwan/One (alm) – Painan, mantan Reporter
23. Anwar Thahar – Padang, mantan Redaktur
24. Apsek – Jakarta, mantan Reporter khusus artis dan hiburan
25. Arizal – Padang, Reporter
26. Arizal Oce (alm) – Padang, mantan Reporter
27. Armadison – Padang, Reporter
28. Armen (alm) – Padang, mantan Reporter
29. Armidas Moenir – Bukittinggi/Agam, mantan Koresponden
30. Asbon Budinan Haza – mantan Pemred Edisi Khusus Koran Masuk
Sekolah
31. Aslim (alm) – Solok, mantan Reporter
32. Asmar – Padang, mantan Reporter
33. Asnelli Ridha Daulay – mantan Staf Redaksi, kini di Dinas
Peternakan Jambi
34. Asraferi Sabri (Afess Muhammad) – mantan Staf Redaksi, kini
Wali Nagari Pasie, Agam
35. Asri Rosdi/Katik – mantan Redaktur Koran Masuk Sekolah
36. Asrial Gindo – Koordinator Daerah Bukittinggi
37. Asril Anwar – Bukittinggi
38. Asril Joni – mantan Redaktur, kini di Jakarta
39. Asrul Rayders – Padang, mantan Reporter
40. Atviarni Yusbar – Padang, mantan Staf Redaksi, kini
di `Mimbar Minang’
41. Awaluddin Awe – kini di Batam
42. Azmeyeda Makmur – Sijunjung, mantan Reporter
43. Bachrum Ronny Arifin – mantan Redaktur, kini di Bogor
44. Bachrum Yonda Djabar – pemegang saham, mantan Pemimpin
Perusahaan, kini Wakil Pemimpin Umum dan Ketua Dewan Redaksi
45. Bakhtiar Danau – Batusangkar, Koordinator Daerah Tanah Datar
46. Basril Basyar – mantan Staf Redaksi, kini Ketua PWI Sumbar
47. Basril Djabar – pemegang saham, mantan Pemimpin Redaksi, kini
Pemimpin Umum dan anggota Dewan Redaksi
48. Bastian W Sompie – mantan Pemimpin Perusahaan dan anggota
Dewan Redaksi
49. Ben Ibratama Tanur – mantan Redaktur, kini caleg DPR-RI dari
Partai Indonesia Sejahtera, beralamat di Depok
50. BG Sikumbang – Pariaman, mantan Reporter
51. Boby Lukman – mantan Redaktur, kini Peneliti Politik dan
Parlemen Lokal YHB Indonesia, Jakarta
52. Brian Hariadi Tamon/Ong – Jakarta, mantan Reporter
53. Budi Putra – mantan Redaktur, mantan wartawan Tempo News Room
dan Koran Tempo di Jakarta, kini mengelola beberapa blog-internet
54. Budiwarman – Lubuk Sikaping/Pasaman, mantan Reporter
55. By Kati – Pariaman, mantan Reporter
56. Chairul Harun (alm) – mantan Wapemred dan Ketua Dewan Redaksi
57. Chun Masido – Koordinator Daerah Bukittinggi
58. Darlis Syofyan – mantan Koordinator Liputan dan Wakil
Pemimpin Perusahaan, kini Wakil Pemimpin Umum dan anggota Dewan
Redaksi
59. Darmansyah – Koordinator Daerah Pariaman
60. Darmijas Majid – mantan Staf Redaksi, kini Kepala Perpustakaan
61. Darmius – Muaro Sijunjung, mantan Reporter
62. Dede Amri – Padang, Reporter
63. Deliwar Tahar (alm) – Jakarta, mantan Reporter
64. Denni Risman – Padang, mantan Fotografer, kini Koresponden
SCTV di Sumbar dan GM Favorit TV
65. Dodi Nurja – Padang, mantan Koresponden di Painan, kini di
Mimbar Minang
66. Edi Gope (alm) – Pariaman, mantan Reporter
67. Edi Suardi (Mak Etek) – Padang, mantan Redaktur
68. Edwar DF – Padang, Redaktur
69. Edwardi – Koordinator Daerah Kabupaten Solok
70. Edy Utama – Padang, mantan Redaktur
71. Effendi – Padang, Reporter
72. Eki Hari Purnama – mantan Reporter, kini di Payakumbuh
73. Eko Yanche Edrie – Padang, mantan Redaktur Liputan, kini
Redaktur Pelaksana `Haluan’
74. Elvi Susanti – mantan Reporter di Padang, kini di Jakarta
(istri Budi Putra)
75. Epriwan – Sijunjung, mantan Reporter
76. Eri Satria Darma – Jakarta, Reporter
77. Eriandi – Padang, Reporter
78. Erizal Effendi – Padang, mantan Reporter
79. Erman Tasrial (alm) – Padang, mantan Reporter
80. Evi Endri/Ombak – mantan Staf Redaksi dan Koresponden di
Pesisir Selatan
81. Fachrul Rasyid HF – mantan Koordinator Liputan, kini
Koresponden Majalah `Gatra’
82. Fifi Suryani – Padang, Redaktur
83. Gusfen Khairul – mantan Redaktur, kini Koresponden RCTI di
Sumbar dan caleg DPRD
84. Gusliyanti – Padang, Reporter
85. Gusnaldi Saman – Koordinator Daerah Pariaman
86. Guspayendri – Padang, Redaktur
87. Hambali Syarkawi – mantan Reporter, kini di Depag Sumbar
88. Hamid Jabbar (alm) – mantan Redaktur, terakhir berdomisili di
Jakarta
89. Hardimen Koto – mantan Redaktur, kini Komentator Olahraga,
dll, di Jakarta
90. Hartono – Padang, Redaktur
91. Hary B Kori’un – mantan Staf Redaksi, kini Redpel
Harian `Riau Pos’ Pekanbaru
92. Hasbullah Ahmad/Has Ahmad/Aciak – Bukittinggi/Agam, pernah
ditempatkan di Lubuk Sikaping, mantan Koresponden
93. Hasril Chaniago – mantan Redaktur Pelaksana, terakhir sbg
Pemred Mimbar Minang
94. Hendrivon – Koordinator Daerah Solok Selatan
95. Herlambang Fajar – mantan Staf Redaksi, kini di …..
96. Ida Yani Nasroen – mantan Staf Redaksi, kini di Jakarta
97. Imran Rusli – mantan Staf Redaksi, kini di Pekanbaru
98. Indomer – Payakumbuh/50 Kota
99. Indra Nara Persada – kini di Depok
100. Indra Sakti – Koordinator Daerah Pariaman
101. Indra Sakti Nauli – Padang, mantan Reporter
102. Ismet Fanany MD – Padang, mantan Redaktur, kini Redaktur
di `Haluan’
103. Iva Tureyza Idroes – mantan Reporter khusus rubrik
Wanita/Mode, kini Kepala Bagian Iklan
104. Jamalis Sutan Permato – Bandung
105. Jamil Dagang – Selat Panjang, mantan Reporter
106. Jamilus Dt R Batampat – Muaro Labuh, mantan Reporter
107. Jaratan – Batusangkar/Tanahdatar, mantan Reporter
108. Jasriman – Koordinator Daerah Padang Panjang
109. Jayusdi Effendi – Pariaman, mantan Reporter, kini di Pos
Metro, Padang
110. Jhon Kennedy – Payakumbuh/50 Kota, mantan Reporter
111. Jhoned Chan – Jambi, mantan Reporter
112. Juss Parmato Intan – Jakarta, Koresponden
113. Kardinal Munir – mantan Staf Redaksi, kini di Jakarta
114. Kasnadi NP – Bukittinggi/Agam, mantan Reporter
115. Khairul Jasmi – mantan wartawan Semangat, koresponden
Republika, kini Pemred Singgalang dan anggota Dewan Redaksi
116. Khudri – Lubuk Basung, mantan Reporter
117. Latif Hasan – Jambi, mantan Reporter
118. Lindo Karsyah – mantan Kepala Desk/Redaktur, kini Redpel
Harian Media Umum `Riau Pesisir’ di Dumai
119. Lukman – Lubuk Basung, mantan Reporter
120. Luna Agustin – mantan Staf Redaksi, kini di Pekanbaru
(kelompok Riau Pos)
121. Luzi Diamanda – mantan Redaktur, pernah di `Riau Mandiri’,
(istri Asraferi)
122. M Dt Sati – Pasaman, mantan Reporter
123. M Joesfik Helmy (alm) – Padang, terakhir sbg Redaktur dan
Wakil Pemimpin Perusahaan
124. M Junir – Koordinator Daerah Pasaman
125. M Zen Dt Bandaro – Solok, mantan Reporter
126. Maifil Eka Putra – mantan Reporter, mantan Koresponden
Majalah Ummat, kini Kepala Divisi Publishing PT Inmark Komunika di
Jakarta, dan `ngeblog’ di http://palantaveteran17.wordpress.com/
127. Maizar Dt Tantamo – Jakarta, mantan Reporter
128. Maizar Rangkuty – Batusangkar, mantan Reporter
129. Marjeni Rokcalva – mantan Reporter
130. Marlison – Koordinator Daerah Pesisir Selatan
131. Martin Hamid – Solok, mantan Reporter
132. Marwan Zein – Jakarta, mantan Reporter
133. Marzie Thamrin (alm) – mantan Koresponden Padang Pariaman dan
pengisi rubrik tetap `Cimeeh Piaman’ Edisi Minggu
134. Masful – Padang, mantan Reporter, kini di DPRD Sumbar
135. Me Djabar – pemegang saham dan Wakil Pemimpin Umum
136. Melda Riani – Padang, Reporter
137. Metrizal – Padang, Redaktur
138. Muazim Syair – Palembang, mantan Reporter
139. Muchlis Sulin Dt Marajo Basa (alm) – Padang, terakhir sbg
Wapemred
140. Muhammad Fitrah – Padang, Fotografer
141. Muhammad Ibrahim Ilyas – Padang, mantan Redaktur dan Pempers
di KMS `Edisi ABH’
142. Mursyid Y Sonsang – mantan Reporter, kini Koresponden RCTI di
Jambi
143. Mursyidi – Koordinator Daerah Agam
144. Muslih Sayan – Padang, mantan Redaktur Pelaksana, kini di
Mimbar Minang
145. Musriadi Musanif – Padang, Kepala Desk Khusus/Redaktur
146. Nasril Zainun/Buya – Payakumbuh/50 Kota, terakhir di Solok,
mantan Koresponden
147. Nasrul Chandra – Solok Selatan, mantan Reporter
148. Nasrul Rasyad – Koordinator Daerah Sawahlunto Sijunjung
149. Nasrul Siddik – pendiri dan pemegang saham awal Singgalang,
mantan PU/Pemred, terakhir sbg Wakil PU, lalu pindah/mendirikan Canang
150. Nasrun Chatib – Padang, mantan Redaktur, sudah pensiun
151. Naswardi – Padang, Redaktur
152. Nazif Basir – pendiri dan pemegang saham awal Singgalang,
kini di Jakarta
153. Nilakusuma – Padang, mantan Sekretaris Redaksi dan Redaktur,
sudah pensiun
154. Nilwan Bata/Nilwan Balai Talang – Payakumbuh/50 Kota
155. Noer W St Mudo – Solok Selatan, mantan Reporter
156. Nusyirwan – Bangkinang, mantan Reporter
157. Nusyirwan – Padang, mantan Staf Redaksi
158. Nusyirwan Damhoeri Dt Mangkudun – mantan Koresponden
Bukittinggi/Agam, lalu pindah ke Tanjung Pinang
159. Osman Purba – Bukittinggi/Agam, mantan Reporter
160. Putri Juita – Sekretaris Redaksi
161. Ramadhan – Jakarta, mantan Reporter
162. Ramlie Karlen (alm) – terakhir menjabat Wapempers Singgalang
163. Ratna Yunita – Jakarta, mantan Reporter
164. Rendra – Koordinator Daerah Payakumbuh/50 Kota
165. Replianto – mantan Staf Redaksi, kini Koresponden RCTI dan
Redpel Tabloid `Metro’ di Pangkal Pinang, Bangka Belitung
166. Richardi Akbar – Padang. Mantan Reporter
167. Rika Yosmeri – Padang, mantan Reporter, kini Kabag Pemasaran
168. Rilianty – Padang, Wakil Pemimpin Perusahaan
169. Rina Morita – mantan Staf Redaksi, kini di Dinas Pertanian
Pariaman
170. Rito – Solok, mantan Reporter
171. Rory Halimis – Jakarta, mantan Reporter
172. Rosnelly – Padang, mantan Sekretaris Redaksi, kini Sekretaris
Pemimpin Umum
173. Rousman Maulana – Bengkulu, mantan Reporter
174. Rusdi Bais – Padang, mantan Staf Redaksi, kini Redaktur
di `Haluan’
175. Rusli Dahlan – Jakarta, terakhir sbg Penasehat Singgalang;
rumahnya di Jl Cisadane, Cikini, Jakarta merupakan tempat pertama
Kantor Perwakilan Usaha
176. Rustam Anwar (alm) – ketika memiliki NV Nusantara di
Bukittinggi, Rustam Anwar memberi kesempatan kepada Singgalang di
masa-masa awal untuk bisa terbit/dicetak dengan cara awak samo awak
177. Salius Sutan Sati – Padang, pendiri dan pemegang saham awal
Singgalang, mantan Pemred, terakhir sbg Wakil PU, lalu
pindah/mendirikan Canang
178. Sawir Pribadi – Padang, Kepala Desk/Redaktur
179. SH Dt Limpatiah – Situjuh, 50 Kota, mantan Reporter
180. Shofwan Karim Elha – Padang, mantan Redaktur Tamu, penulis
produktif utk Singgalang, kini Rektor UMSB
181. Sjafrial Arifin – mantan Redaktur Pelaksana, mantan wartawan
Tempo, mantan redaktur Majalah Zaman, mantan Koresponden Singgalang
di Jakarta, kini di Depok
182. Soeparto Har – Jakarta, Kepala Perwakilan Usaha
183. Soesilo Abadi Piliang – Padang, Kepala Desk/Redaktur
184. Soewardi Idris (alm) – Jakarta, mantan Penulis Tetap
185. Subandi – Koordinator Daerah Sawahlunto
186. Sudirman Limi – Jakarta, mantan Koresponden
187. Syafni – Pasaman, mantan Reproter
188. Syafri Piliang – Koordinator Daerah Dharmasraya
189. Syafri Syam – Pesisir Selatan, mantan Koresponden
190. Syafrizal – Padang, Redaktur
191. Syafrizal Tasir – Solok, mantan Reporter
192. Syafruddin AL/Ujang – mantan Redaktur Pelaksana, mantan
Kepala Biro Redaksi Jakarta, kini Kepala Perwakilan `Riau Mandiri’ di
Jakarta
193. Syahruddin Said/Pak Indin (alm) – Payakumbuh, mantan Staf
Redaksi dan Redaktur Pelaksana KMD Edisi Payakumbuh/50 Kota
194. Syamsoedarman Ps.Sy. – Padang, mantan Koresponden di
Padangpanjang, kini Redaktur Pelaksana dan anggota Dewan Redaksi
195. Syawaldi – Padang, Reporter
196. Syofyan Kudan – Koordinator Daerah Kabupaten Solok
197. Syofyan Tanjung – Tanjung Pinang, mantan Reporter
198. Syofyardi Bakhyul – mantan Redaktur di KMS `Edisi ABH’
199. Syukri Nur – Sijunjung, mantan Reporter
200. Tamsir – Pak Tua yang dipanggil Bang Tamsir ini berawal dari
bagian Rumahtangga dan Kebersihan, kemudian jadi orang pertama di
Dokumentasi Redaksi yang kini jadi Perpusatakaan
201. Tan Syam – Pasaman, mantan Reporter
202. Tun Akhyar – mantan Redaktur, kini di `Riau Mandiri’ Pekanbaru
203. Ujang Datuak – Padang, mantan Reporter
204. Wanef Latif – Lubuk Sikaping, mantan Reporter
205. Wannedi Saman – Koordinator Daerah Kota Solok
206. Wardas Tanjung – Padang, mantan Staf Redaksi
207. Widiat B Arta – Jakarta, mantan Koresponden
208. Widya Navies – Padang, mantan Sekretaris Redaksi, kini
Redaktur Pelaksana dan anggota Dewan Redaksi
209. Wismar Atmaja/Wisja Sikumbang – mantan Reporter, kini di
Jakarta
210. Wisran Hadi – Padang, mantan Redaktur
211. Yasrizal – Padang, Redaktur
212. Yenita – mantan Staf Redaksi, kini di Batam (istri Zul
Effendi)
213. Yongki Salmeno – Padang, mantan Staf Redaksi
214. Yoserwan – Padang, mantan Reporter
215. Yosrizal – Padang, mantan Staf Redaksi
216. Yuharnida – Bukittinggi, mantan Kepala Tata Usaha dan
Sirkulasi di Perwakilan Bukittinggi. Ketika masih aktif, banyak
terkait dengan kegiatan wartawan sehari-hari. Maklum, tanggung jawab
kantor
217. Yuhendra – Padang, Redaktur
218. Yulisman – Koordinator Daerah Pasaman Barat
219. Yun Chairul – Lubuk Sikaping, mantan Reporter; (kalau tak
salah) pindah ke Jakarta, aktif di majalah Kinantan, jadi penulis
buku, dan kabarnya sudah almarhum
220. Yuneldi Yunis – Bangko, mantan Koresponden
221. Yuniar – Padang, Reporter
222. Yurman Dahwat – Padang, mantan Kepala TU dan wartawan,
terakhir di Canang
223. Yusman Mahyudin – Jakarta, Reporter
224. Yusril Ardanis Sirompak – mantan Staf Redaksi, kini
Koresponden SCTV di Pekanbaru
225. Yusron Matondang (alm) – Padang, tugas pokoknya di
Perwajahan, tapi juga jadi Reporter
226. Zaharuddin – Pariaman, mantan Reporter
227. Zainal Abidin/Zeta – Sicincin, mantan Reporter
228. Zainal Piliang – Palembang, mantan Reporter
229. Zal Mega – Padang, mantan Reporter
230. Zar Chaniago – Padang Panjang, mantan Reporter
231. Zoeltan/Zulfirman – sejak SMA di Bukittinggi aktif membantu
Singgalang. Tamat, pindah ke Jakarta, berlabuh di berbagai media
232. Zul Effendi – mantan Koordinator Liputan, kini Pemred `Sijori
Mandiri’ Batam
233. Zul Koto – Padang, mantan Reporter
234. Zul Nazar – Solok, mantan Reporter
235. Zulharmans/Zulharman Said (alm) – mantan Penasehat dan
Penasehat Ahli Singgalang, serta pemegang saham dan Pemred Harian
Ekonomi `Neraca’, Jakarta
236. Zulkarnaini – Curup, Bengkulu, mantan Reporter
237. (Ada beberapa nama reporter/mantan reporter Singgalang di
Jakarta dan berbagai daerah kabupaten/kota di Sumbar yang kebetulan –
maaf sekali lagi – masih belum dapat saya ingat. Tolong yo, sanak!)

Nama-nama di bawah ini – dengan hormat dan mohon maaf – saya belum
tahu pasti, apakah pernah di Singgalang atau baru bersama rekan-rekan
ketika di Mimbar Minang. Nama-nama saya ambil dari catatan Eko Yanche
ketika milis palanta ini pertama kali diluncurkan Budi Putra:

1. Askar
2. Hendra Dupa
3. Israr
4. Joni Firdaus
5. Mairi Nandarson

* Disalin dari blog Indra Nara Persada

Rumah Tabuik di Kampuang Perak Harus Dipertahankan

Polemik seputar rencana pembangunan rumah tabuik di Karan Aur Kota Pariaman terus melahirkan tanggapan beragam. Salah satunya berdasarkan hasil reses yang dilakukan DPRD Kota Pariaman pada Dapil II bertempat di KBIH Baitullah Simpang Sianik Pariaman Tengah baru baru ini, pemuka masyarakat dalam pertemuan tersebut berharap agar keberadaan rumah tabuik di Kampuang Perak Pariaman hendaknya tetap dipertahankan. Karena keberadaannya selama ini dinilai tidak bisa dilepaskan dari perjalanan historis sejarah perkembangan tabuik di Kota Pariaman.

Seperti diakui Zulbakri, anggota Komisi A DPRD Kota Pariaman Selasa (11/5/2010). Disebutkannya, saat kegiatan reses tersebut juga terungkap bahwa ninik mamak dan tokoh masyarakat yang hadir dalam pertemuan tersebut menyebutkan lahan yang tersedia di Kampuang Perak tempat berdirinya rumah tabuik tertua di Pariaman masih cukup memadai untuk kebutuhan pembangunan rumah tabuik.

"Makanya dari hasil pertemuan tersebut berhasil disepakati tentang luas lahan serta besaran harga nya nantinya akan diajukan dalam bentuk proposal kepada pihak DPRD. Intinya masyarakat sangat berharap keberadaan rumah tabuik di Kampuang Perak hendaknya tetap bisa dipertahankan," harapnya.

Abrar Khairul Ikhirma salah seorang pengamat budaya menilai bahwa sah sah saja jika Pemko Pariaman berencana membangun berbagai fasilitas penunjang untuk lebih mempromosikan budaya tabuik di Pariaman. Seperti souvenir shop atau fasilitas pendukung lainnya seperti balairung dan yang lainnya, namun khusus untuk rumah tabuik hendaknya tetap dibangun di Kampuang Perak. Karena seperti diketahui keberadaan rumah tabuik di Kampuang perak merupakan salah satu rumah tabuik tertua dalam sejarah perkembangan tabuik di Pariaman.

Baru setelah itu hadir pula rumah tabuik lainnya sebagai bentuk simbol perlawanan yang menggambarkan pertempuran cucu Rasulullah Hasan dan Husein cucu menghadapi pasukan Yazid Bin Muawiyyah.

"Permasalahannya, kalau rumah tabuik dibangun di tempat lain itu sama artinya kita telah mencabut budaya tabuik dari akar tradisi budaya aslinya. Jadi kalau hanya untuk membangun rumah tabuik rasanya lahan yang tersedia di Kampuang Perak masih cukup memadai, dan itu tentunya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan rumah tabuik. Jadi rasanya tidak mesti harus mencari lahan yang begitu luas sampai mencapai 3 ribu sampai 6 ribu meter. Kalau hanya untuk rumah tabuik saja, lahan yang ada di Kampuang Perak masih cukup memadai," ungkapnya.

Aris Munandar anggota Komisi C DPRD Kota Pariaman berharap, rencana pembangunan rumah tabuik yang akan dibangun oleh Pemko Pariaman hendaknya tetap mempertahankan nilai nilai historis sejarah tabuik itu sendiri.

"Artinya kalau memang ingin membangun rumah tabuik sebaiknya tetap di tempat yang lama, jadi tidak di Karan Aur atau di Galombang, kalau seperti itu berarti sama saja kita telah mencabut tradisi tabuik dari akar budayanya," tegasnya. (*Yurisman Malalak )
* Dikutip dari Padang Today.com - Padang Ekspres Berita Budaya Selasa, 11/05/2010 - 15:40 WIB

Aku dan Achyar Sikumbang

SUDAH lama kami tak jumpa. Terakhir kali aku bertemu dengannya setahun yang lalu. Meski sudah berumur tua juga, waktu itu, dia masih sanggup "nyetir" mobil kecilnya kemana-mana.

Kami bertemu di sebuah warung pinggir jalan, di depan kantor redaksi Harian Singgalang, di jalan veteran, dimana kami pernah sama-sama menjadi salah makhluk yang berkubu di suratkabar itu.

Achyar Sikumbang kalah saing dengan nama lainnya "Tan Baro." Itu adalah nama tokoh kartunnya yang sampai kini masih menjadi ikon koran itu. Dia sering dipanggil dengan Tan Baro. Selain membuat kartun, dia juga pembuat ilustrasi cerita pendek di edisi minggu, selain juga seorang pengajar di IKIP yang kini berobah nama dengan UNP (Uinversitas Negeri Padang).

Sang Tan Baro ini dengan ku entah mana saling mengaggumi. Beda umur boleh saja tapi jika bertemu, kami selalu berdiskusi mengenai dunia seni dan budaya, terutama perihal dunia lukis melukis.

Aku senang dengan goresan ilustrasi cerpennya. Cuma sayang.... beberapakali aku pernah mengatakan padanya tentang kekecewaanku. Setiap cerpen yang ditulis oleh orang yang tidak dekat dengannya, malah cerpen itu kedodoran kalau tidak terbilang "payah" mutunya, hanya setara cerpen remaja, Tan Baro membuat ilustrasinya bagus dan angat kreatif sebagai ilustrasi. Namun kalau giliran cerpenku yang dimuat edisi minggu, selalu saja ilustrasi yang dibuatnya tak berkenan sama sekali olehku. Ilustrasinya setiap untukku seperti aal-asalan saja....

Namun aku tetap juga menghargainya
Begitupun dia padaku....

Tabuik Makin Jauh dari Tradisi

Perayaan Pesta Tabuik Pariaman yang dimulai pada tanggal 1 Muharram kini sudah mempertimbangkan faktor pariwisata.

Pesta Budaya Tabuik telah menjadi kalender wisata nasional.

Karena itu, kini yang ditampilkan anak nagari Pariaman bukan lagi Tabuik budaya, tetapi Tabuik Pariwisata.

Tabuik Budaya hanya digelar dari tanggal 1 hingga tanggal 10 Muharram. Sedangkan beberapa tahun belakangan, Tabuik digelar hingga melewati tanggal 10 Muharram.

Tabuik tahun ini puncaknya digelar pada 13 Muharram atau bertepatan dengan hari Minggu, sehingga pengunjung dapat memanfaatkan hari libur dengan melihat Tabuik dilarung ke laut.

Dirjen Destinasi Wisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Firmansyah Rahim mengaku Tabuik sangat berpengaruh besar pada sektor pariwisata.

Ia melihat Pesta Budaya Tabuik sebagai potensi yang besar.

Potensi tersebut, menurut dia, tidak hanya untuk Pariaman, tetapi juga untuk Sumatra Barat, bila dapat dikemas dengan baik.

Informasi yang dihimpun, Pesta Budaya Tabuik antara tahun 1950-an hingga tahun 1965, perayaan "hoyak hosen" itu mengalami degradasi nilai dan kesakralan.

Sama halnya seperti dikatakan Wali Kota, Drs Mukhlis Rahman, perayaan Tabuik tidak lagi mengikuti tradisi yang berlaku, yakni diadakan setiap tanggal 1-10 Muharram.

Bahkan, karena dapat menarik perhatian massa dalam jumlah besar, Pesta Tabuik Pariaman banyak dilaksanakan sebagai bagian dari propaganda partai politik pada zaman itu.

Perayaan hoyak hosen baru diizinkan kembali oleh Orde Baru di tahun 1980. Pada Muharram tahun 1972, perayaan hoyak hosen sebenarnya dihidupkan kembali, namun pemerintah Orde Baru kemudian melarangnya sampai tahun 1980.

Pelarangan tersebut akibat adanya tragedi di tahun 1965, namun masyarakat Pariaman pada tahun 1967 kembali mengadakan perayaan hoyak hosen.

Campur tangan pemerintah dalam Pesta Tabuik dimulai pada tahun 1980 ketika Bupati Anas Malik kembali mengadakannya.

Ia menekan dan mengeliminir perkelahian yang mendatangkan kerusuhan dan ketidakstabilan Pariaman dalam perayaan.

Anas Malik kemudian mereduksi perayaan tabuik sebagai bagian dari komoditi ekonomi. Pada saat itu Anas Malik menyatakan, bahwa Tabuik adalah Tabuik adat, pariwisata, dan pembangunan.

Semenjak tahun 1991 perayaan hoyak hosen ini kemudian diarahkan sebagai penarik wisatawan ke Pariaman dan pembawa pesan pembangunan pemerintah Orde Baru.

Pengamat Kebudayaan Pariaman, Abrar Khairul Ikhirma menilai, perayaan Pesta Tabuik Pariaman tahun ini tidak lebih meriah dibandingkan dua tahun lalu.

Menurut dia, setelah era Bupati Anas Malik, perayaan Tabuik dari sisi antusias pengunjung, mencapai puncaknya pada tahun 2008.

Hal itu dibuktikan dengan antusias pengunjung, yakni masih bertahannya pengunjung di Pariaman hingga dini hari pada puncak pesta Tabuik.

"Saat Tabuik ini digelar, biasanya pengunjung belum bisa cepat pulang. Tapi Tabuik hari ini, belum sampai pukul 20.00 WIB pengunjung sudah menghilang dari Pariaman," katanya.

Tahun ini, seperti disampaikan Wali Kota Mukhlis R, pengunjung yang hadir sebanyak 90 ribu orang.

Abrar Khairul Ikhirma menegaskan, pada tahun 2008, pengunjung yang hadir lebih dari jumlah tersebut, mencapai ratusan ribu pengunjung pada hari puncak.

Ia menilai, Tabuik tahun ini terasa sangat ramai karena ruang-ruang yang kosong di wilayah pantai telah menjadi sempit karena diisi sejumlah pedagang dan kendaraan yang parkir sembarangan.

Tetua Tabuik Nagari Subarang, Syafrudin mengakui Tabuik tahun ini tidak bisa melebihi keramaian pengunjung pada Tabuik tahun 2008.

Dikatakannya, tahun ini warga baik di Pariaman maupun di Kabupaten Padangpariaman banyak merasakan trauma pasca gempa 30 September.

Mereka, katanya, lebih memikirkan bagaimana nasib mereka dibandingkan harus menyaksikan Tabuik.

Selain kondisi pascagempa, isu-isu mengenai akan terjadinya bencana yang tersebar belakangan ini juga menjadi faktor takutnya pengunjung datang ke Pariaman.

* Dikutip dari situs BERITA DAERAH.COM /a regional news from wibizportal.com /selasa 21 desember 2010

Kamis, 18 Agustus 2011

Ada Fotonya (Masuk) Berita Antara

Sudah lama hanya lihat-lihat foto bunga bangkai belaka. Saat dapat informasi bunga bersangkutan ada yang menemukannya mau mekar di kawasan Gunung Letter W, salah satu bagian dari rangkaian pegunungan Bukik Barisan, sontak saja aku ingin melihatnya langsung.

Kebetulan temanku Iggoy el Fitra, wartawan Kantor Berita Antara Padang, dapat informasi sama. Kami sama-sama suka masuk pelosok dan bahkan menelusuri pedalaman. Kontan saja kami secara spontan tanpa persiapan sebagaimana orang mau ke daerah, berangkat.

Kami kira lokasinya dekat. Nyatanya..... menempuh perjalanan lumayan juga. Lokasinya jauh dari perkampungan, harus jalan kaki menyisir semak belukar, sungai, mendapati sepasang air terjun dan mendaki sisi air terjun, menyisir sungai, menyeberang sungai, dan oooohhhh..... sampai juga di mana sang bunga bangkai menyembul di lereng tepi sungai, berbatu-batu dan airnya jernih.

Walaupun agak kecewa, kami puas melakukan suatu perjalanan memasuki alam yang masih dikatakan masih perawan. Bunga bangkai yang malang itu sudah menjadi bangkai sebelum mekar, tertimpa dahan kayu semalamnya.

Memang badan terasa pegal tapi jungle-track itu amat berkesan. Bahkan fotoku juga dimuat di "Antara Online" dan sejumlah media cetak memuatnya.

Nih tulis sang wartawan pada foto yang dipublikasikan itu :

PADANGPARIAMAN, 7/7 - BUNGA BANGKAI RAKSASA. Warga melihat Bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum) yang layu di kawasan hutan Koto Hilalang Utara, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padangpariaman, Sumbar, Kamis (7/7). Bunga bangkai raksasa endemik Sumatra setinggi 2 meter ketika mekar itu ditemukan warga yang menyusuri hutan sejak sepekan terakhir, namun warga tidak mengetahui jenis bunga itu. FOTO ANTARA/Iggoy el Fitra/ed/pd/11

WARTAWAN PARIAMAN YANG LINCAH



SUATU kali Kasad, Jenderal Poniman mengunjungi Desa Tiram, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Seperti biasanya, begitu turun dari mobil ia disambut para pejabat setempat dan jepretan para wartawan. Namun kali ini petugas kaget. Seorang anak kecil menyelonong dan ikut membidikkan lensanya. Walaupun dilarang, anak itu membandel. Hampir saja anak itu dipukul petugas, kalau seseorang tidak berteriak: "Hai, dia wartawan, pak!"





Anak kecil itu, Abrar Chairul Ikhirma, pelajar SMP kelas II di Pariaman, memang mewakili Harian Singgalang, Padang. Ia salah seorang pelajar yang tertarik memenuhi panggilan rnenjadi wartawan setelah media cetak Padang melaksanakan program Koran Masuk Desa. Semula hasratnya itu disalurkannya melalui rubrik cerita anak-anak, cerpen remaja dan artikel ringan di koran itu. Kesempatan bagi Abrar Chairul Ikhirma -- memakai nama Arkhidisinggalang--semakin besar setelah koran itu membuka edisi desa untuk peredaran di Kabupaten Padang Pariaman sekali seminggu, sejak awal 1980.

Ia rajin menulis berbagai berita singkat. Singgalang membuka kantor perwakilan di kabupaten itu enam bulan lalu. Marzie Thamrin, wartawan harian itu di Pariaman, semula mengajak Arkhi belajar menulis dan mencari berita. Nama Arkhi sudah sering terpampang di harian itu. Dan dia mondar-mandir dengan menyandang kamera tua merek Seagull dan tas sekolah memasuki berbagai desa. Belakangan ini setiap bulan tata-rata ia membuat 20 berita. Ia menerima honor rata-rata Rp 20.000 sebulan. "Kadang-kadang bisa kurang, sebab sekolah saya utamakan," katanya. Pelajaran sekolah Arkhi memang beum terganggu oleh kegiatan barunya itu. Ia mencari berita pagi hari bila sekolah sore, begitu pula sebaliknya.

Siang hari, anak itu menyempatkan diri pulang ke rumahnya di Sungai Pasak, 3 km dari Pariaman untuk memberi makan ayam atau sapi ternaknya. Tampaknya ia pandai membagi waktu kegiatan sehari-hari. Selain Arkhi, dua pelajar SMA Pariaman, M. Rusmin dan Irwansyah, memperkuat perwakilan Singgalang. Rusmin mengkhususkan diri pada berita olahraga dan Irwansyah pada berita kriminal. Keduanya mengaku belajar banyak dari Arkhi walau lebih tua. "Mental saya masih lemah bila berhadapan dengan pejabat," kata Irwansyah.

Haluan, koran Padang lainnya, juga membuka kantor perwakilan di Pariaman. Bahkan koran ini mengkoordinasi beberapa remaja yang dibinanya di pospos berita yang ditentukan seperti pengadilan, kantor bupati dan kantor polisi. Di antaranya Gus Khairul alias Guska kakak Arkhi. Guska sudah memantapkan hatinya menjadi wartawan kelak. Pelajar SMA Pariaman ini belajar membuat berita dari membaca surat kabar saja.

Sekarang setiap hari ia bersama beberapa temannya menghasilkan berita untuk Halzan. Berita yang dihasilkan para remaja itu, menurut Redaktur M. Yoesfik Helmy dari Singgalang, sudah lumayan. Tetapi "kira harus berlapang dada mengolah kembali berita itu," ujarnya. Yoesfik merencanakan pendidikan khusus untuk mereka.

Makin Pintar Para pejabat daerah Pariaman, yang sering menjadi sumber berita anak-anak itu, tidak keberatan. "Saya senang karena mereka menulis apa adanya," kata Camat Datuk Indomo. Wartawan senior kata camat ini, malah sering menulis keliru atau minta duit. "Sebaliknya mereka (yang remaja itu) masih murni. Malah ketika saya beri uang untuk beli film, mereka tolak."

Mungkin yang harap-harap cemas adalah orang tua para wartawan cilik itu. Chairul Munir, ayah Arkhi dan Guska, mencemaskan pelajaran sekolah keduanya terganggu. "Apa pun yang hendak kalian lakukan, sekolah mesti diutamakan," kata Chairul Munir, anggota DPRD Padang/Pariaman dan bekas wartawan, pada anak-anaknya. Justru karena menjadi reporter sambilan Arkhi makin pintar di kelas. Keterangan guru bisa cepat ditangkapnya. Dari pengalamannya mencari berita ia sudah terbiasa menyimpulkan pembicaraan orang. Reporter cilik itu berani tampil ke depan.

Ketika Gubernur Awar Anas tiba di Pariaman dengan helikopter, misalnya, Arkhi mengejarnya. "Pak, tunggu sebentar. Saya ingin memotret bapak," katanya. Sang gubernur tertawa. Jepret. Tak semua pejabat ketawa karenanya. Pernah pejabat kantor penerangan setempat merasa tersinggung akibat pemberitaan Arkhi tentang pesawat tv umum di desa yang tak berfungsi. Pejabat itu menulis surat pada Arkhi. "Tugas wartawan memberitakan," demikian reaksi sang reporter, "dan berita itu betul."

* Majalah Berita Mingguan TEMPO 5 Desember 1981 / Dikutip dari Majalah TEMPO ONLINE, silahkan kunjungi website sumber berita ini.