Sabtu, 23 September 2017

SASTRA MELAYU: IBARAT RENDANG PADANG (4)

MENYONGSONG SISMI17 DI KUALA LUMPUR

Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA- INDONESIA

Sejauhmana sumbangan sastrawan di dalam karya-karyanya bernafaskan keislaman. Karena semangat budaya Melayu pada akhirnya sejak masuknya Islam sebagai agama di nusantara, adalah suatu jembatan yang mempersatukan, tidak pada tempatnya “berenang lagi” dengan alasan tiadanya jembatan, untuk menyeberang “sungai peradaban.”




Pentingkah Seminar Sastera Melayu Islam 2017  (SISMI17) ini?

Dr Phaosan Jehwae, seorang pengajar di University Fathoni, Patani, Thailand Selatan, secara khusus dimintakan pendapatnya perihal peristiwa SISMI17, dimana beliau salah seorang yang akan membentangkan kertas kerja pada seminar itu mengatakan, Suatu acara yang sangat bermanfaat. Kerana jarang sekali pihak penganjur mengadakan acara sastera yang berpandukan Islam. Melayu dan Islam dua komponen yang menjadi satu dan tak bisa dipisahkan.”

Phaosan di negaranya, terutama di Patani, dalam beberapa tahun terakhir ini aktif “memperjuangkan” keberadaan bahasa Melayu pada generasi muda. Melalui berbagai kegiatan Phaosan yang juga menulis puisi, bergiat memberikan apresiasi sastra mengatakan, “Apabila kita bicara tentang sastera Melayu pasti Islam menjadi komponen utama di dalam isu tersebut. Melayu beridentitikan dengan Islam.”



DR PHAOSAN JEHWAE


Sebelumnya hanya mengenal pasangan suami isteri, Asnida Daud dan Jeffrey Zauhari dari Singapura. Asnida seorang cikgu, artis dan penyair. Jeffrey orang music. Keduanya adalah regenerasi Melayu Singapura. Terpikat mengikuti aktifitasnya dalam menggelorakan semangat kemelayuan di tanah airnya. Semenjak mengenalnya pertamakali sama-sama mengikuti Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala Lumpur.

Selang belum berapa lama ini, lewat media social fesbook, suatu hal yang menggembirakan mengenal lagi seorang dari Negara yang sama, T. Ahmad Mohamed (Ahmir Ahmad), seorang yang bergiat di sastra Singapura. Menanyakan secara khusus kepadanya terhadap peristiwa SISMI17 yang akan diselenggarakan.
Ahmad mengatakan, “SISMI17 acara yang bagus. Ia adalah acara kerjasama komuniti sastera dengan aktivis Masjid. Secara tak langsung mendekatkan orang umum kepada sastera di samping mengajak aktivis sastera menfokuskan kepada sastera Islami.”

Ahmad yang bekerja sebagai seorang Penganalisis Makmal, bidang pengkhususan enjin analisis oktana di Singapura ini menyebutkan bahwa, “Sejak polemik sastera Islami di Malaysia tahun 1987, jarang sekali dibangkitkan soal sastera Islami pada akhir-akhir ini.”

T. Ahmad Mohamed tampaknya memang mengikuti kegiatan kesastraan di tanah Melayu selama ini. Karenanya, ia dapat menyebutkan bahwa, “Sedang acara Mahrajan Persuratan Islam sering diadakan di Sabah sejak 2012, di semenanjung Malaysia jarang kedengaran acara sastera yang bertema Islami, selain tema nasionalisme saja sering menjadi tumpuan.”

Diharapkan ramai dan beragam “hal” akan dikemukakan dalam SISMI17 yang akan berlangsung nantinya. Membuka catatan lama, membaca catatan hari ini dan membuat catatan ke depannya bagi sastra Melayu di nusantara.

Mungkin sisi demikian kiranya dapat dilihat pada pandangan yang terbuka. Karenanya T. Ahmad Mohamed, satu diantara sejumlah pembentang kertas kerja pada SISMI17, melihat peristiwa sastra ini penuh harapan. Dia mengatakan, “Sismi17 juga menampilkan gabungan ahli akademik dan juga penulis non-akademik  dalam suatu platform sastera dan forum ilmu.”



T. AHMAD MOHAMED


Sungguh disayangkan, Drs. Dasril Ahmad, dari Padang, Sumatera Barat, Indonesia, tak tampil dalam forum SISMI17. Semula namanya disebut-sebut sebagai salah seorang pembentang kertas kerja. Padahal dalam rentang lebih kurang 30 tahun terakhir ini, Dasril intens mengikuti dan mendocumentasikan perjalanan kehidupan sastra di daerahnya.

Akan terasa lengkap, Dasril dimintakan membentangkan penelusurannya sekitar sastra bernafaskan budaya Minangkabau yang tentu saja bertitiktolak dari nilai-nilai keislaman. Minangkabau termasuk bahagian terpenting dalam perkembangan sejarah kemelayuan. Apalagi dalam decade ini ramai diterbitkan karya-karya sastra berlatarbelakang budaya Minang.

Meskipun tak hadir, Dasril Ahmad dimintakan pendapatnya terhadap konteks peristiwa sastra Melayu ini pada SISMI17 mengatakan, “Persoalan kemelayuan dan sastra melayu yang Islami, adalah hal menarik untuk dikaji. Setidaknya kita mengetahui bagaimanakah situasi kesastraan Melayu dewasa ini, di dalam menyikapi perkembangan budaya-budaya modern, yang membuatnya pudar dan dapat menghancurkan dengan pengaruhnya.”



DRS DASRIL AHMAD


Kegamangan dan kecemasan, adalah dua hal yang seringkali “mendebarkan” kalangan pemikir kebudayaan di nusantara. Mereka tidak hanya melihat “ancaman” kepada datangnya “pengaruh” asing “menggerus” kebudayaan nenek-moyang. Akan tetapi “kebijakan politik” masing-masing pemerintahan adalah juga “penyebab” melemahnya kedudukan kebudayaan itu sendiri di dalam masyarakat, bangsa dan Negara. Realitas tidak segegap gempita slogan-slogan yang seringkali dikumandangkan para pemimpin di berbagai kesempatan nasionalisme.

Kegamangan dan kecemasan perlu tetap dipelihara dengan sikap waspada dan terus menerus melakukan perbaikan.  Tanpa kegamangan dan kecemasan, kita tentu tidak tahu bahwa pengaruh asing itu telah “merasuki” kehidupan kita secara sempurna. Tidak akan membangunkan pemikir kebudayaan, seperti sastrawan misalnya, hanya akan diam dan tidak melakukan perjuangan agar bahasa dan kesastraan “tidak diganti.”

Perjuangan itu melalui “MENCIPTAKAN” karya-karya sastra yang berkualitas, dengan jumlah pembaca yang semakin bertambah. “MELAHIRKAN” pemikiran-pemikiran sastra yang dapat membuka ruang pemikiran dan “MENCERAHKAN” masyarakat sastra secara universal. Tidak hanya mejadi “terasing” di atas puncak “menara gading.” Tidak juga menjadi “lebih rendah” sehingga menjadi “padang terbuka” melahirkan tempat berkarya “epigon” atau pun “copy paste.”

Karenanya, Sastra Melayu harus terus dihidupkan oleh sastrawan masa kini. Sejarahnya yang panjang sudah membuktikan bahwa Sastra Melayu itu hidupnya ibaratkan memasak Rendang Padang. Untuk mendapatkan “rasa enak,” dimasaknya akan lebih tepat menggunakan bahan bakar yaitu kayu yang dapat menghasilkan bara api. Tidak menyala tetapi “menghangatkan.” Tidak tergantikan oleh alat masak modern meskipun sama-sama menghasilkan api yang mengeluarkan panas di tungku.

Rentang waktu sampai akhirnya masak, membutuhkan waktu lama. Diperlukan kesabaran yang tidak hanya berpangku tangan di depan tungku. Secara periodic, si juru masak harus terus menerus “mengacau” isi kancah (kuali besar) dengan “menanggungkan” hawa panas api di depannya.

Sementara angin dengan rasa tak sabar, akan menebarkan kemana-mana “bau harum” rendang, sehingga membuat “orang sekampung” menjadi “ribut” diantara rasa lapar kala hidungnya mencium bau rendang yang dimasak.

Apa bedanya perjalanan Sastra Melayu atau kebudayaan Melayu dengan cara masak rendang? Sama. Sama-sama membutuhkan waktu yang panjang. Perlahan (baunyai-unyai) melintasi berbagai zaman di atas “bara api” akhirnya sampai kepada abad Milineum ini. Dan tepatlah dikatakan ---jika benar ini merupakan kutipan--- dari kata Hang Tuah (sendiri), “Takkan mati Melayu di bumi Melayu.”

Terbukti secara nyata bahwa memang tidak mati. Sampai hari ini perkara Melayu masih hangat untuk diperbincangkan. Masih kita butuhkan untuk ditelisik “keharumannya.” Walau realitas nasibnya di tengah kehidupan modern bak pameo orang Minang, “karakok tumbuah di batu” (Karakok tumbuh di batu). “Hidup sagan, mati tak amuah.” Yang artinya, hidup segan mati tak mau. Tetap “hidup” tiada terbantahkan namun hanya “kerap” menjadi “kebanggaan,” kalau pun tetap ada keberlangsungannya antara ada dan tiada.

Apakah semangat Melayu masih bercitarasa keislaman di dalam karya-karya yang dihasilkan para sastrawan di abad modern ini di nusantara? Disaat di berbagai belahan bumi “keislaman” itu sendiri, banyak dijadikan oleh “pihak tertentu” hanya sebagai “alat” untuk kepentingan pihak tertentu saja. Padahal sejatinya, agama memberikan rasa sejuk di tengah derita perjalanan “musafir” melintasi “gurun” kehidupannya dari zaman ke zamannya.

Para penjaga nilai-nilai Melayu-lah harus tetap berada di “garis depan.” Menjaga “kegamangan dan kecemasan” yang selalu “menghantui” dalam arus deras globalisasi yang tak mungkin dibendung dengan sikap “suka dan tak suka.”

Diantara penjaga nilai-nilai itu ialah sastrawan.

Karenanya, karya sastra yang berbicara harus tetap dilahirkan dan dihadirkan, selain terus menerus menghidupkan bara api di tungku-tungku peristiwa sastra semacam diskusi, seminar dan kajian-kajian keilmuan. 

Seperti peristiwa sastra yang akan dilaksanakan Numera Malaysia bertajuk, Seminar Sastra Melayu Islam 2017, di Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, 28 – 30 September 2017 (*)

[Tulisan ini bagian Keempat dari Empat Tulisan] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar