Kamis, 21 September 2017

SASTRA MELAYU: IBARAT RENDANG PADANG (2)

MENYONGSONG SISMI 2017 DI KUALA LUMPUR

Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA- INDONESIA

Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat penghantar dalam berkomunikasi. Akan tetapi bahasa juga sebagai penunjuk kepribadian seorang manusia. Karenanya bahasa diidentik sebagai suatu kebudayaan. Menjadi cerminan suatu bangsa yang membangun peradaban, berkehidupan bernegara.




Bahasa Melayu berkembang sesuai dengan perjalanan bangsa Melayu bertebaran di muka bumi. Mereka berkembang oleh sebab sesuai zamannya. Kini di abad modern, dimana terpaaan dan hantaman gelombang kebudayaan, berdatangan dari berbagai macam lini. Akibatnya terjadi pilihan-pilihan. Terkadang pilihan itu benar. Namun umumnya malahan “menyesatkan” menghancurkan identitas dan keberadaan sendiri.

Karenanya intitusi pemegang kebijakan yaitu pemerintahan dari suatu Negara mestilah didorong untuk melakukan “keterjagaan” identitas supaya tak diganti oleh “sesuatu yang asing.” Yang bukan pakaian kita sendiri.

Gerakan ini tidaklah berhenti untuk diwujudkan. Karena silih berganti, terutama kalangan kebudayaan, dari masyarakat kesenian dan pelaku sastra, tak pernah “jera” menggelorakan semangat pelestarian bahasa. Semangat yang dikobarkan melalui kegiatan-kegiatan kesastraan atau pun dihasilkan dari diskusi, seminar dan peristiwa pendeklrasian. Meskipun sayup tak lantang namun tetap berketerusan. Sesuai dengan tuntutan perobahan zaman, dalam kesayupan sebenarnya terkandung “dian yang tak kunjung padam.”

Bahasa yang baik di alam kebudayaan yang terjaga, melahirkan karya-karya sastra dari tangan para sastrawan. Karya-karya sastra menjadi cerminan zaman. Menjadi perekat bagi catatan peristiwa zaman, pemikiran dan  makna kejiwaan masyarakat. Memperbaiki kerusakan sendi-sendi kehidupan manusia. Memperkuat kemampuan alam pikir. Memperhalus pemahaman dan makna alam rasa.

Betapa kayanya alam budaya Melayu, dimana begitu hidupnya di masa silam pada kehidupan masyarakat pepatah petitih, syair, pantun, gurindam dan hikayat. Tidak hanya ada di waktu momen acara adat dan keagamaan tetapi juga tumbuh berkembang di dalam keseharian masyarakat. Dimana jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri, baik secara lisan maupun pada karya-karya sastra yang dihasilkan.

Semisal bagi Indonesia secara tulisan dikenali sebagai masa periodisasi Pujangga Lama. Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia, dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil. serta Nurudin ar-Raniri..

Setuju atau tidak. Persoalan “kemelayuan” senantiasa tak pernah henti untuk dibicarakan, baik dalam kesejarahan maupun pada tataran social budaya dan politik. Tak pernah kering dijadikan sebagai kajian, digali terus menerus untuk menemukan “mata airnya” ditelusuri kemana alirannya untuk mengetahui dimanakah sebenarnya “muaranya.” Sebab laut, airnya menjadi tujuan aliran sungai. Air laut sendiri yang asin dikontribusi oleh air tawar yang berasal dari perut daratan.



SN DATO' DR AHMAD KHAMAL ABDULLAH


Pada tempatnyalah, Ahmad Khamal Abdullah “terbersit” ide di tahun 2016, untuk mengadakan perbincangan soal Sastra Melayu Islam. Karena sejarah Melayu dan Islam memiliki kaitan erat. Sedang karya sastra yang pernah ditulis sastrawan pun ada banyak memiliki kandungan keislaman. Ia ingin para sastrawan, akademisi dan pemerhati, berkumpul pada satu rangkaian momen. Berbagi pemikiran dan pengalaman.

Presiden Numera Malaysia Ahmad Khamal Abdullah, bergelar Dato’ dan Dr merupakan sastrawan yang dikenal bernama pena Kemala, melalui karya-karyanya yang telah banyak dipublikasikan dan diterbitkan dalam bentuk buku. Pun sudah diterjemahkan ke bahasa asing. Memainkan peranannya sebagai Sasterawan Negara melalui kegiatan kesastraan Persatuan Sasterawan Nusantara Melayu Raya (Numera) Malaysia, dengan menyelenggarakan “Seminar Sastera Melayu Islam 2017.”

Pembicaraan sastra Melayu dan keterkaitan kandungan nilai-nilai keislaman, tidaklah hal baru menjadi kajian-kajian dan perdebatan di berbagai Negara dan dunia pendidikan. Baik diselenggarakan kalangan kebudayaan dan kesenian atau pun di perguruan-perguruan tinggi untuk kebutuhan akademik. Sudah berlangsung lama. Penyelenggaraan seminar yang diadakan Numera ini satu diantaranya. Satu kelanjutan yang membuktikan bahwa pembicaraan terhadap sastra Melayu dan nilai Islami, masih hangat. Masih diperlukan mengisi ruang pemikiran kebudayaan.

“Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor, Kesultanan Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei dan Kesultanan Siak.

Kedatangan kolonialis Eropa telah menyebabkan terdiasporanya orang-orang Melayu ke seluruh Nusantara, Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di perantauan, mereka banyak mengisi pos-pos kerajaan seperti menjadi syahbandar, ulama, dan hakim.

Dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh Kepulauan Nusantara mendapatkan pengaruh langsung dari Suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah berkembang dan dipakai oleh banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia, Malaysia dan Brunei.” (Wikipedia)


MAKAM ABDURRAUF SINGKIL / SYIAH KUALA DI ACEH
(FOTO: FICKR.COM)


Yang patut digarisbawahi, momentum SISMI17 yang dilaksanakan pada 28-30 September 2017, di Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, Malaysia, memberikan peluang kepada kalangan muda, lebih luas dan terhormat, ruang untuk berekspresi di “podium” peristiwa kesastraan bertaraf internasional. SISMI17 melibatkan kalangan sasterawan, akademisi, pemerhati dan artis (seniman) dari Negara Malaysia sendiri, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam dan Bangladesh.

Antara gagasan dan jalan untuk mewujudkan peristiwa sastra internasional nusantara ini, juga tidaklah mudah. Membutuhkan kesadaran, keteguhan dan pembiayaan. Karena yang menyelenggarakan tidak institusi pemerintahan atau pun kelembagaan yang memiliki donatur permanen. Hanya satu diantara banyak organisasi kesastraan yakni Persatuan Sasterawan Numera Malaysia. Suatu hal yang luarbiasa, Numera merancang dan mempersiapkannya berlangsung satu tahun lamanya. Berproses sampai ke hari H.

Dari proses inilah Pengerusi SISMI17, SN Dato’ Dr Ahmad Khamal Abdullah, menyebutkan bahwa; “Bagi merealisasikan Sismi17, AJK Induk Marba-Numera, bakal menghadapi tantangan kiri kanan, depan belakang. Bukan semua yang bernama Melayu di atas itu sayangkan sastera Melayu-Islami. Ramai yang mahu “menjahanamkan”nya. Namun dengan keyakinan dan nawaitu yang baik, Allah berikan kemudahan dan jalan terbaik untuk kita melaksanakannya demi pelestarian sastera Melayu-Islami di dunia. Insyaallah.” (*) BERSAMBUNG

[TULISAN INI KEDUA DARI EMPAT TULISAN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar