Sabtu, 24 November 2012

AZWAR: GENERASI TABUIK PIAMAN, PEWARIS SENI TRADISI


TAK banyak Indonesia memiliki orang yang mencintai tradisinya sendiri. Diantara yang tak banyak itu, Azwar, boleh dicatat salah seorangnya. Dia bukan keturunan dari “rumah tabuik” pewaris Tabuik tapi nyaris hari-harinya tenggelam sejak kecil mengikuti prosesi Tabuik dari tahun ke tahun. Ia beruntung dilahirkan sebagai anak Kampuang Perak, salah satu jorong dalam Kenagarian Pasa, yang memiliki empat jorong yakni Kampuang Perak, Pasia, Lohong dan Karan Aua.


Kampuang Perak adalah jorong keluarnya Tabuik Pasa, disebut juga Tabuik Asa (asal Tabuik). Dari Rumah Tabuik Kampuang Perak dimulai turun temurun diselenggarakan prosesinya. Sebagai anak Kampuang Perak yang tertarik dengan kegiatan Tabuik, setiap diselenggarakan prosesi, Azwar selalu berusaha merekam hal-hal yang menjadi daya tariknya. Mulai sambil bermain-main, kemudian “melibatkan diri” sebagaimana lazimnya masyarakat setempat, menghabiskan waktu bersama pekerja selama pembuatan Tabuik. Ikut membantu-bantu pekerja siang atau pun malam meskipun bukan pekerja. Sampai ikut menjadi pekerja dan akhirnya dipercaya untuk membuat Tabuik.

Alhasil, Azwar mengenali struktur bangunan sebuah Tabuik. Ia kenal bagian-bagian detilnya, fungsi dan maksud kenapa itu ada pada sebuah Tabuik. Ia pun mengenali warna, ornament dan komposisi yang turun temurun dilekatkan pada Tabuik Pasa. Selain itu ia mempelajari akan bahan rangka tabuik dan konstruksi yang baik, agar Tabuik jika dihoyak, dihentakkan, tak akan mudah patah dan rontok bagian-bagian yang dilekatkan. Ada bagian yang harus dipaku, harus memakai sistim pasak dan melalui sistim ikat. Semuanya itu diakuinya memang memerlukan proses.

Mula-mula Azwar menyediakan dirinya sebagai pekerja dalam pembuatan-pembuatan Tabuik. Baik saat prosesi Tabuik yang diselenggarakan satu kali setahun, sampai pada Tabuik pesanan untuk event-event dalam propinsi maupun luar provinsi. Diantara itu ia mulai mengerjakan sendiri pembuatan Tabuik Lenong, Tabuik Sedang dan Tabuik Mini sebagai cinderamata. Mulanya hanya sebagai dorongan pribadi dalam mengisi kesehariannya, namun akhirnya berupa pesanan dari orang perseorang dan organisasi mulai berdatangan sampai kini.

FESTIVAL SUNGAI MUSI DI PALEMBANG
Sebagai lelaki Pariaman, ia pernah melakukan perantauan ke daerah Lampung berdagang masuk kampong keluar kampong. Lalu ke Bengkulu.

Lantas cukup lama bekerja di kapal penangkap ikan dengan kapal di Bengkulu dan kapal tonda di Pariaman. Namun panggilan untuk bekerja dalam seni Tabuik tak pernah luntur dalam jiwanya. Ia merasakan ada kepuasan lain membuat Tabuik walau terkadang uang yang dia terima sering tak sepadan dengan nilai yang dikerjakannya.

Selain pembuat Tabuik, Azwar sebenarnya sejak kecil piawai memainkan alat music tradisionil yakni tasa dan gandang tambur. Boleh dikata ia “tukang tasa” tukang yang menjadi penentu ritme bergandang tambur. Nyaris semua pemuda yang berada di Kampuang Perak atau kenagarian Pasa dan sekitarnya dapat memainkan gandang tapi untuk “tukang tasa” pemainnya memang termasuk langka dan orang yang biasanya dapat memainkankan alat itu memang amat terbatas.

Dan Azwar bila ada kegiatan bergandang tasa di Kampuang Perak dan sekitarnya, ia selalu memegang tasa. Ketika ia masih duduk di bangku sekolah SMP, tahun 1980-an Azwar terpilih sebagai salah seorang untuk tim gandang tasa penyambutan Adam Malik di Bandara Tabing dan di Gedung Bagindo Aziz Chan. Pengalaman yang tak terlupakan baginya, karena ia yang menjadi tukang tasanya.

Sejak itu ia semakin percaya diri bahwa alat music gandang tasa sulit untuk punah. Tentu saja alat music inilah yang selalu akan memberi daya hidup dan ritme heroic pada setiap kehadiran tabuik. Kehidupan bergandang tasa masih hidup dalam masyarakat setempat sampai kini, bukan hanya sekali setahun untuk mengiringi menghoyak Tabuik. Maarak Penganten [anak daro dan marapulai] misalnya sampai kini masih memakai gandang tasa, melengkapi prosesi pernikahan dalam masyarakat. Begitu juga untuk event-event yang diselenggarakan pemerintah dan organisasi. Meskipun peralatan music sudah modern, namun daya hidup bergandang tasa serasa tak lengkap jika tak diikutsertakan.

Karenanya dengan sendirinya, Azwar juga sering mendapatkan pesanan dari berbagai orang dan organisasi dalam kesehariannya, untuk dibuatkan satu set gandang tasa. 4 gandang dan 1 tasa. Dengan kegiatan yang terkait itu, ia semakin memantapkan dirinya dalam penguasaan pembuatan Tabuik. Azwar tidak hanya berkutat membuat Tabuik di Pariaman saja, namun pernah membuat Tabuik untuk kegiatan perantau ke Batam, Pekanbaru, Padang dan Palembang. Ke Jakarta untuk membuat Tabuik dan memainkan di Festival Istiqlal tahun 1991.

Sampai kini menjadi berkesan bagi Azwar ketika dipercaya langsung membuat Tabuik untuk PKDP Palembang, 2 buah sekaligus, atas ajakan (alm) H.Zakaria, Ketua PKDP Palembang, dimana PKDP berpartisipasi di Festival Sungai Musi itu. Hampir semua tokoh-tokoh perantau dan masyarakat Pariaman turut berbaur saat kedua Tabuik itu dihoyak, termasuk unsur penjabat di Propinsi Sumatera Selatan yang saat itu hadir, spontan bergabung dalam kegiatan arak-arakannya, sehingga kehadiran Tabuik Piaman di Palembang menjadikan Festival Sungai Musi tahun 2008 silam sontak meriah luarbiasa.


Dalam beberapa tahun terakhir ini Azwar telah dipercaya ninik mamak Kenagarian Pasa sebagai pembuat Tabuik Pasa, Tabuik sekali setahun, yang dihidupkan kembali sejak mendiang Bupati Anas Malik setelah sebelumnya dinyatakan dihentikan, karena seringkali menimbulkan perkelahian.

Kepercayaan itu tidak disia-siakan oleh Azwar. Ia mendapatkan kesempatan sedapat mungkin mengembalikan ke bentuk asli Tabuik, sebagaimana tekadnya untuk tetap menjaga unsure dan nilai tradisi yang turun temurun itu.

Karena menurut Azwar, Tabuik sekali setahun mestilah mengikuti tradisi, tidak pada tempatnya dijadikan sebagai kreasi. Sebab dimana lagi sebagai pedoman bagi orang, jika keasliannya dilenyapkan. Itulah tanggungjawab seniman yang bukan tukang, tegasnya.

Azwar merasa memiliki tanggungjawab moral. Bukan hanya sebagai warga asal Kampuang Perak tapi sebagai seniman Tabuik dari Pariaman. Ia berusaha menjaga apa-apa yang pernah dipesankan akan kaidah pembuatan Tabuik dari pembuat Tabuik Pasa terdahulu, yang pernah didengar dan diketahuinya dari tahun ke tahun, sebelum ia dipercaya orang untuk membuat Tabuik. Diakuinya, batinnya sebenarnya tidak menerima pembuatan Tabuik Pasa sekali setahun dilakukan diluar Kampuang Perak. Namun sebagai pembuat ia tak memiliki hak suara untuk mengatakan bahwa sebagai penjaga tradisi kita semestinya “pulangkan saja pinang ke tampuknya.” Begitu juga dengan Tabuik Subarang, Tabuik orang Nagari Aia Pampan, dikembalikan pembuatannya di Kampuang Jawo, ke Rumah Tabuik yang mewarisinya, sebagaimana masa dahulunya.

Setiap mengerjakan pembuatan Tabuik, Azwar secara langsung tidak pernah mengajak anggotanya. Namun akan ada saja sejumlah orang yang menyediakan dirinya untuk ikut bekerja. Mereka-mereka itu jelas tidak sekadar pekerja yang terampil tapi memiliki rasa kecintaan akan Tabuik. Terbukti masing-masing berusaha bekerja agar Tabuik bisa siap sesuai dengan jadual yang ditentukan dan menghasilkan kerja yang sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan dalam pembuatan beberapa tahun terakhir ini, terlibat seorang anak muda ikut mengerjakannya. Sebagai bentuk regenerasi itu tengah juga disiapkan ke masa depan dalam pembuatan Tabuik Pasa.

Sebagai Seniman Tabuik Piaman Azwar tak ingin menonjolkan dirinya. Sehingga ia tak banyak terliput oleh pekerja media selama ini. Meskipun ada yang sudah berhadapan dengannya, ia selalu menunjuk anggota yang bersama dengannya bekerja, jika ada yang bertanya mengenai Tabuik yang sedang dikerjakan.

Dengan sendirinya, ia tak ingin besar sendiri tapi Tabuik itu adalah kerja bersama. Bukan hanya selama mengerjakan Tabuik Tradisi sekali setahun saja, jika mengerjakan Tabuik di perantauan pun ia selalu menunjuk salah satu anggotanya saja, bahkan sering dia katakan anggotanya itulah yang si pembuat Tabuik.

Padahal di balik semua itu, Azwar memegang peranan penting agar kualitas Tabuik terjaga. Meskipun bukan Tabuik Tradisi, ia tetap tak ingin berkreasi-kreasi, apalagi mencantumkan namanya di Tabuik, karena dia ingin mempertahankan Tabuik tetap dengan wajah aslinya. Milik Anak Nagari! Sampai saat ini Azwar tak pernah mengimpi untuk membawa Tabuik Piaman keluar negeri. Ia hanya punya impian suatu saat bisa membuat dan menghoyak Tabuik di Pulau Bali. Bisa dalam event Orang Minang, PKDP atau event kebudayaan. Entah kapan waktunya. (abrar khairul ikhirma, 1/10/2012)

Jumat, 16 November 2012

Prosesi Tabuik Maambik Tanah: Terhipnotis 1 Km Jalan Kaki


PARIAMAN, SO--Prosesi sakral “maambiak tanah” oleh “urang rumah tabuik” Kenagarian Pasa, yang dilaksanakan selepas sholat maghrib tadi malam, Kamis (15/11), di batang air Simpang Galombang, Kenagarian V Koto Air Pampan, Kota Pariaman, berjalan dengan baik. Ratusan warga sejak sebelum maghrib sudah memenuhi lokasi, dan bau menyan menambah suasana magis. Lalu lintas yang ramai di sekitar lokasi berjalan lancar tanpa terjadi kemacetan.

“Kami memang memutuskan pengambilan tanah baru dilaksanakan selesai sholat maghrib. Menurut tradisinya harus seiring dengan suara azan, tanda pergantian siang dengan malam,” ujar Erman Zuhri alias Man Wali, Ketua Tabuik Pasa, menjawab saat ditanyakan banyak orang setempat mempertanyakan tidak seperti waktu biasanya.

Pengambilan tanah dilakukan langsung oleh keluarga pewaris Rumah Tabuik Pasa Kampuang Perak. Sejak Mak Ciak Lumuik wafat 2 tahun lalu, kini digantikan oleh kemenakannya Yuang Pijal (38 thn). Beliau mengambil tanah di dasar sungai hanya berbalutkan kain kafan dan menyelam ke dalam sungai. Tanah yang diambil dibungkus kain kafan, lalu diletakkan di atas dulang yang kemudian dibawa pulang, untuk diletakkan ke dalam daraga. Sejak awal pelaksanaan sacral maambiak tanah dipimpin langsung oleh Jelok Naih (Nasrul), pewaris yang dituakan dari Rumah Tabuik Pasa.

Sebagaimana awalnya datang tadi sebelum maghrib, arak-arakan ‘maambiak tanah’ diiringi oleh music tradisionil gandang tasa tanpa henti. Gandang tasa dimainkan oleh anak nagari dari 4 jorong dalam wilayah adat Nagari Pasa yakni Kampuang Perak, Pasia, Lohong dan Karan Aur, Kota Pariaman. Di depan rombongan gandang tasa, sejumlah anak-anak nagari membawa telong-telong dan bendera mengiringi 2 orang yang menjunjung baki tanah yang sudah diambil dan baki pembakaran menyan.

Arak-arakan pulang mengambil tanah dari Simpang Galombang menuju Rumah Tabuik Pasa menjelang sholat Isya mendadak panjang, sejauh 1 kilometer. Disaksikan masyarakat sepanjang jalan yang dilewati. Tidak kurang dari 200 orang lebih berjalan kaki secara spontan, baik laki-laki maupun perempuan, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, terhipnotis suara gandang tasa yang bertalu-talu, dengan hentakan seperti langgam “basosoh,” pukulan gandang menyerang lawan di medan peperangan, menggambarkan suasana perang karbala dan kematian Hosen, cucu Nabi Muhammad SAW, yang diperingati bertahun-tahun di Pariaman, hingga menjadi alek tradisi kebanggaan Orang Piaman sampai kini.

Dilaporkan : @rkhi [abrar khairul ikhirma] http://sumbaronline.com/berita-12851-prosesi-tabuik-maambik-tanah-terhipnotis-1-km-jalan-kaki.html

Heroik Tabuik Piaman


MEREKALAH yang paling merasakan heroik bertabuik di piaman. dan merekalah regenerasi yang akan meneruskan tradsi nenek moyang ke masa depan. sore tadi, kamis, 15 nov 2012 dari rumah tabuik dan anak nagari pasa melakukan arak-arakan 1 kilometer menuju lokasi lokasi maambiak tanah, 1 muharram, di Simpang Galombang, mengawali prosesi tabuik menuju hari puncak tabuik dihoyak 25 nov atau 10 muharram mendatang [abrar khairul ikhirma]

Selasa, 13 November 2012

Perjalanan ke Pulau Gosong


DALAM peta, nama Pulau Gosong tercantum bernama Pulau Bando. Pulau kecil lebih kurang 2,5 hektar ini terletak di lepas Pantai Pariaman. Merupakan pulau paling terluar dari 5 pulau yang kini termasuk dalam wilayah Kota Pariaman. Pulau Gosong bukanlah pulau yang tertutup untuk masyarakat umum tapi nyaris tak pernah dikunjungi oleh masyarakat umum, meskipun perjalanan laut dengan biduk bercadik bermesin 9.0 pk, saat cuaca dalam keadaan baik, memakan waktu perjalanan 2,5 setengah jam saja dari Pantai Pariaman.

Dulu saya sudah pernah menjejak Pulau Gosong. Beberapa tahun ini ingin sekali menjejaknya kembali. Namun keinginan itu terpendam saja, karena tidak memiliki kesempatan. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini dalam sejumlah kesempatan pernah pergi bersama nelayan penangkap ikan, siang atau pun malam hari, dengan lokasi sekitar Pulau Gosong, dimana para nelayan setempat menyebut kawasan tangkap itu sebagai “laman gosong” maksudnya halaman Pulau Gosong. Tapi sekalipun tak terwujud selama bepergian melaut untuk singgah ke Pulau Gosong. Jadi selama itu hanya dapat memandang dari jauh saja jika sore hari dari atas biduk. Memandang ombak yang bergulung memecah di karang-karang sekitar pulau yang jauh dari pantainya.

Menurut rencana keberangkatan ke Pulau Gosong, pada hari Jum’at 26/10, sesudah pelaksanaan sholat Iedhul Adha. Karena cuaca buruk, hari hujan dan laut berarus deras, rencana menjadi batal. Akhirnya hari Selasa, 30/10 lalu, saya dapat menuju Pulau Gosong.

Bertolak dengan sebuah perahu bercadik milik nelayan penangkap ikan, biduk sepanjang 7 meter dan lebar 80 cm, bermesin 9.0 pk, pada pukul 9.00 wib pagi. Sinar matahari memang agak meredup tapi kelihatannya laut sangat tenang. Ombak di pantai biasanya besar namun saat pagi itu sangat jinak dan ramah mengantarkan keberangkatan.

Saya beruntung, diajak oleh saudara Azwar, seorang yang dulunya pernah cukup lama hidup sebagai anak buah kapal bagan di perairan Bengkulu dan ikut kapal tonda Pariaman. Azwar, anak Kampuang Perak, dalam sejak usia remaja sudah dikenal sebagai “tukang tasa” yang piawai di dalam atraksi “gandang tabuik,” kesenian tradisi masyarakat Pariaman. Selain piawai memainkan alat music tasa, Azwar terampil membuat “gandang.” Ada saja datang pesanan kepada beliau untuk membuatkan perangkat alat music tradisionil itu padanya, dari kalangan masyarakat atau organisasi, bahkan dari kalangan perantau.

Azwar sebenarnya dalam 15 tahun terakhir ini dikenal sebagai generasi spesialis penerus “pembuat tabuik” Pariaman. Profesi yang diperlukan dan termasuk langka dalam menjaga nilai-nilai tradisi terutama dari tahun ke tahun. Tahun 2012 ini, Azwar kembali dipercaya niniak-mamak kenagarian Pasa untuk mengerjakan pembuatan Tabuik Pasa, yang prosesi resminya baru dimulai 15 November mendatang.

Kali ini pembuatan Tabuik Pasa menjadi terasa istimewa, karena Azwar, lebih awal sudah memulai mempersiapkan sejumlah bahan baku, kendati prosesi resmi masih beberapa pekan lagi. Untuk mendapatkan “tonggak puncak” dan “tonggak gomaik” bahagian terpenting di bangunan Tabuik, Azwar khusus mengambilnya dari Pulau Gosong. Soalnya “urek gantuang” batang Jawi-jawi di pulau ini cukup banyak dan sudah berumur tua. Untuk kebutuhan “tonggak puncak” selain memiliki kekuatan juga mesti memiliki daya lentur. Soalnya ia berada di ketinggian dan memiliki resiko jika Tabuik dihoyak. Azwar membawa anggotanya yakni Ajo Muti, Amaik dan Zul yang sekaligus menjadi “tungganai” pembawa biduk.

Laut selama perjalanan cukup tenang. Boleh dikata kami seperti melayari danau. Nyaris alunnya kecil. 2,5 jam kemudian kami mendekati Pulau Gosong. Kami belum terlambat. Pasang baru akan mulai turun. Biduk masuk melalui “labung” satu-satunya rongga karang seukuran biduk dan itupun hanya beberapa meter. Mesin sudah dimatikan. Satu dua turun ke atas karang, lalu menuntun biduk lebih kurang 15 – 20 meter lagi agar sampai mencapai pasir pantai pulau.

Pulau Gosong tanpa penghuni. Namun akan ada saja satu dua orang nelayan yang mampir ke sini dan bermalam sewaktu-waktu. Terutama jika tiba-tiba cuaca buruk dan gelombang laut mengganas. Namun tidak semua nelayan yang memiliki keberanian untuk ke Gosong. Pulau ini jika tak mengenalnya baik siang atau malam, terutama saat gelombang laut besar, bisa berbahaya untuk keselamatan biduk. Bisa-bisa biduk dihempaskan ke karang. Sudah banyak biduk nelayan yang pecah di sini dan sudah banyak pula nelayan sampai 2 - 3 hari terkurung sendirian di pulau ini.

Sekeliling pulau dihampari karang yang cukup lebar. Hanya satu pintu masuk untuk mendekati pantainya. Itupun kecil seukuran biduk dan berbentuk rengkahan karang dan tidak pula mulus langsung ke pantai. Ombak seringkali dalam gulungan besar, apalagi ketika musim angin selatan atau pun barat. Namun pulau ini merupakan alternative yang mau tidak mau harus sebagai tempat penyelamatan jika laut bergolak siang atau malam bagi nelayan yang melaut di sekitar “laman gosong,” kawasan laut dalam. Menurut informasi, sehabis hamparan karang sekeliling pulau, kedalaman laut bisa mencapai 150 meter sampai 250 meter. Di bagian arah tenggaranya, malah terdapat dinding karang yang curam.

Di pulau ini setentang “labung” pintu masuk biduk, diantara pepohonan kelapa dan kerimbunan didirikan sebuah pondok kecil beratapkan rumbia. Pondok itu hanya berdinding seadanya dan ada di sudutnya berlantai kayu untuk dijadikan tempat tidur, untuk muat 2 atau 3 orang saja. Di pondok inilah kerap nelayan yang terkurung atau memang sengaja singgah untuk bermalam. Seperti biasanya, di pondok ini ada panci, kuali, juga sedikit kayu bakar untuk memasak. Biasanya nelayan yang melaut ke arah Gosong, selalu membawa persediaan beras untuk ditanak di pulau ini jika terjadi emergency.

Di bagian selatan pulau, tempat ombak kerap dengan gelombang tinggi memecah, pada malam hari selalu akan ada suara perempuan yang menjerit-jerit minta tolong. Atau dekat pondok hanya berjarak 25 meter terdapat rumpun batang jawi-jawi, pernah ada yang dipindahkan tidur dalam pondok ke batang jawi-jawi itu. Jika tengah malam sewaktu-waktu dari arah batang jawi-jawi itu, terdengar ada suara orang sedang mengaji. Kalau di darat pernah mendengar orang membaca Al-Quran, tidak akan pernah sehebat suara yang terdengar membaca Al-Quran di pulau ini. Atau tiba-tiba saja terdengar suara Azan. Padahal dari pandangan mata saja pantai bisa hilang kalau berkabut.

Di bagian tengah agak ke selatan pulau, terdapat rumpun batang jawi-jawi. Akar gantungnya sangat banyak, terbilang rapat mencapai 8 sampai 10 meter dari permukaan tanah. Dari tiga rumpun pohon jawi-jawi, inilah yang besar dan dahannya melebar sampai mencapai 10 – 15 meter dari pohon utamanya. Sangat rindang. Menurut sejumlah nelayan yang pernah terkurung bermalam di pulau ini, di rumpun jawi-jawi di tengah pulau ini, setiap malam akan terdengar suara pertunjukan music. Selalu ada saja seperti acara pesta.

Di rumpun jawi-jawi yang di tengah pulau inilah Azwar dan anggotanya mengambil “urek gantuang” untuk keperluan Tabuik. Sebelum pengambilan Ajo Muti membaca do’a memohon izin untuk mengambil kayu itu dan memohon diberi keselamatan. Pengambilan harus melakukan memanjat ke atas dahan setinggi 8 – 9 meter untuk memotongnya. Dan harus bersusah payah mengeluarkan dari akar-akar yang cukup rapat.

Sementara Azwar dan kawan-kawan bekerja, saya sendirian menuju jalan diantara semak belukar ke arah belakang pulau. Tidak jauh setelah meninggalkan rumpun pohon jawi-jawi di tengah itu, saya menemukan sumur tanah diantara semak belukar. Itulah sumber air tawar satu-satunya jika berada di pulau ini. Sewaktu-waktu sumur ini bisa kering dan bisa pula rasa tawar berubah menjadi asin. Menjelang mencapai bibir pantai bagian belakang pulau yang menghadap laut lepas samudera Hindia, dari jauh saya melihat ada rumpun pohon jawi-jawi lagi. Cuma akar gantungnya yang mencecah tanah belum seberapa banyak.

Setelah berada di pantai belakang pulau, saya dapat menyaksikan ke selatan pulau, di kejauhan di tubir karang, ombak bergulung cukup besar. Bunyi hempasannya memang mengandung nada yang menakutkan. Sempat bergidik bulu di kuduk dan tangan. Terlihat hamparan karang yang maha luas, dan pasang sudah turun. Pantainya sangat bersih dan tidak ada pepohonan yang rebah ke laut dihantam abrasi. Hanya saja tanah pulau seperti berdinding setinggi 1 sampai 2 meter, lalu baru hamparan pantai dan air laut semata kaki. Sendirian saya mengelilingi pulau. Mengingat hari sudah mendekati pukul 12.00 tengah hari, saya buru-buru untuk dapat mencapai pondok kecil dimana tempat awal kedatangan tadi.

Kebetulan saat kedatangan kami ke Pulau Gosong, ada seorang pekerja yang sudah 3 hari bermalam di pulau sendirian. Beliau bekerja memetik buah kelapa, lalu mengolahnya menjadi kopra. Kabarnya beliau menerima upah untuk pekerjaannya itu dari orang yang mengontrak ke pemilik pulau.

Beliau mempekerjakan 2 ekor beruk (monyet) sebagai pemetiknya. Katanya ia tidak masak nasi, hanya membakar ikan yang dipancingnya dan memakan daging kelapa muda. Baginya hal-hal aneh yang sering terjadi pada malam hari, dianggap angin lalu saja. Kalau dia mau tidur, ia tidur saja. Dia tidak peduli apa yang dilihat dan didengarnya saat berada di pulau itu.

2 jam berada di Pulau Gosong, kami harus buru-buru meninggalkan untuk segera pulang ke pantai lagi. Tanda-tanda cuaca akan berubah sudah ada. Suara hempasan ombak sudah keras dari arah belakang pulau dan suara guntur di langit yang mulai agak meredup berbunyi berurutan. Setelah satu jam perjalanan, kami disiram hujan untuk beberapa menit. Arah daratan sudah tak kelihatan karena hujan dan ketiga pulau agak dekat ke pantai Pulau Kasiak, Pulau Angso, Pulau Tangah dan Pulau Ujuang juga tak terlihat. Untung saja gelombang laut tidak ada, laut tetap seperti kami berangkat tadi. Tenang dan biduk melaju kencang. Masih sempat kami makan siang di atas biduk.

Ketika mendekati lorong antara Pulau Angso dan Pulau Tangah, hujan berhenti. Cahaya matahari kembali menerang. Pantai Pariaman sudah kelihatan. Alhamdulillah sampai di pantai ombak pun masih kecil gulungan dan hempasannya, sehingga memudahkan pendaratan. Namun dalam hati saya, masih tersimpan niat suatu saat ingin kembali menjejak Pulau Gosong dan bermalam agak semalam dua malam. Memancing, memasak, makan, tidur dan menikmati suasana magis yang selalu diceritakan mereka yang pernah terkurung di pulau itu. (abrar khairul ikhirma 30/10/2012)

* tulisan ini sudah dipublikasikan di SINGGALANG MINGGU, 11 November 2012

Kamis, 01 November 2012

Tonggak Puncak Tabuik dari Pulau Gosong


PEMBUATAN Tabuik Pasa tahun ini 2012, terasa istimewa. Pasalnya Azwar si pembuat Tabuik khusus mencari bahan untuk tonggak puncak ke Pulau Gosong. Kendati prosesi Tabuik direncanakan masih beberapa pekan lagi baru resmi dimulai, namun Azwar berinisiatif untuk lebih awal mempersiapkan sejumlah bahan-bahan yang diperlukan.
Tonggak atau tiang puncak memang diperlukan kayu khusus. Kuat dan memerlukan daya lentur jika diayun saat Tabuik dihoyak. Tiang puncak menyangga “bungo” berbentuk payung dan berada di bagian bangunan tertinggi Tabuik, dimana bangunan Tabuik tahun ini yang akan dibuat Azwar setinggi 12,5 meter itu.
Azwar membawa tim kerjanya Ajo Koti, Zul dan Amaik serta penulis pada hari Selasa 30/10 kemarin, dengan memakai sebuah perahu nelayan bercadik, bermesin 9.0 pk. Semula keberangkatan ke Pulau Gosong direncanakan setelah sholat iedhul adha tapi karena cuaca buruk terpaksa dibatalkan. Jadi pada hari Selasa itulah baru dilaksanakan. Berangkat dari Pantai Gandoriah pkl 9.00 wib pagi, cuaca lumayan baik dan arus laut tidak mencemaskan.
Pulau Gosong ditempuh 2,5 jam jika cuaca dan arus laut normal. Pulau ini satu dari lima pulau yang terletak di lepas pantai Pariaman, kini masuk dalam wilayah Kota Pariaman. Pulau Gosong disebut juga dalam Peta sebagai Pulau Bando. Pulau ini nyaris tak dikunjungi oleh masyarakat umum kecuali nelayan. Itupun tak semua nelayan yang berminat mampir. Karena pulau ini nyaris dikelilingi hamparan karang dan berbahaya bagi keselamatan perahu. Sehingga susah untuk mendekati bibir pantai. Sebelum mengambil kayu yang tumbuh di tengah pulau yang kini masih rimbun itu, Ajo Koti membaca do’a memohon tanda permisi dan dijauhi marabahaya. Selain mendapatkan kayu untuk tonggak puncak, juga sekalian diambil kayu untuk tonggak peti-peti atau kamar-kamar yang terdapat di bagian pinggang Tabuik. Pengambilan sampai berlangsung selama 2 jam, karena kesulitan untuk memotong dan mengeluarkannya dari kerimbunan pohonnya. Begitu juga satu dua orang harus memanjat ke atas pohon ke dahan setinggi 7 sampai 8 meter dari permukaan tanah itu.
Kami memang tidak bisa berlama-lama di pulau, soalnya suara ombak sudah mulai bergemuruh dari laut lepas, suara guntur pun di langit sudah terdengar. Kayu-kayu yang didapatkan segera dinaikkan ke biduk yang sudah berada di pasir pantai, karena pasang sudah turun. Setelah dimuat, kami bersama-sama harus menggiring biduk hati-hati untuk sampai ke tubir karang, tepatnya ke dekat ombak memecah yang jauh dari pasir pantai. Perasaan lega setelah biduk sudah melaju dengan baik menuju pantai, meski satu jam perjalanan kami harus disiram hujan, dan Alhamdulillah….. kami kembali selamat sampai di pantai ketika cuaca sudah agak menerang dan hujan telah berhenti. (abrar khairul ikhirma, 30/10/2012)

Jumat, 13 April 2012

MEMOTRET BUKIK TAKURUANG NGARAI SIANOK


Sejak kecil yang saya kenal hanyalah Ngarai Sianok. Ngarai yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari Jam Gadang di Pasa Ateh Bukiktinggi. Kalau dari Pasa Ateh atau Pasa Bawah Bukiktinggi, cukup hanya berjalan kaki menuju Ngarai Sianok atau naik bendi, melepas pemandangan jika datang ke Bukiktinggi. Di tempat yang sama terdapat juga Lobang Jepang. Sebuah terowongan dalam tanah yang dibuat dan dijadikan pertahanan tentara Jepang di masa penjajahan dahulunya.


Mereka yang datang ke Ngarai Sianok dulu umumnya hanya sekadar menikmati dari ketinggian satu sisi ngarai dari arah Kota Bukiktinggi itu saja, lalu berfoto dari bagian tubir ngarai, tepatnya di taman pintu masuk ke Lobang Jepang, dengan latar belakang ke arah Gunung Singgalang di kejauhan, jika cuaca sedang bagus. Atau ke view belahan ngarai dengan sungai berliku ke arah bawah. Sedikit sekali yang berkunjung menyengajakan diri untuk turun ke dasar ngarai, kecuali rombongan berkemah atau pecinta alam.

 
Saya baru mengetahui bahwa di dalam Ngarai Sianok terdapat Bukik Takuruang saat mengikuti Perkemahan Seniman Sumbar di pinggir sungai di dasar Ngarai Sianok, yang diadakan Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Sumatera Barat saat itu. Pertamakali saya datang ke Bukik Takuruang adalah bersama (alm) pelukis ASRIL JONI. Di pagi hari kedua perkemahan, kami berangkat dengan sepeda motor ke Bukik Takuruang yang berjarak sepengisapan sebatang rokok saja dari lokasi perkemahan, menikmati suasana ngarai yang teramat sejuk, segar, damai dan membuat sejumlah sketsa.

Bukik Takuruang ada juga yang menyebutnya dengan Bukik Tasapik yakni sebuah bukit yang terpisah dari jurang ngarai. Di kakinya mengalir sungai yang dangkal dan jernih. Di baliknya jika naik salah satu ketinggian di sisinya, tahulah bahwa terhampar areal persawahan masyarakat bertingkat-tingkat.


Tidak jauh dari Bukik Takuruang ini terdapat jalan mulus menyisi tebing batu yang dipalun rimbunan rumpun bamboo, berkelok, mendaki menurun, kelanjutan jalan dari Ateh Ngarai Kota Bukiktinggi menuju Nagari Matua, dimana jalan ini nantinya bertemu dengan jalan Maninjau ke Padang Lua. Melewati perkampungan Sungai Jariang, pepohonan di lereng bukit, sawah nun di lembah dan rumah-rumah dalam kerimbunan.


Sejak setahun terakhir ini, jika lagi berada di Bukiktinggi, saya selalu menyempatkan diri saat sore hari turun ke Ngarai Sianok lalu mampir ke Bukik Takuruang. Rasanya saya tidak puas-puasnya menikmati suasananya. Tiap cuaca dan tiap waktu selalu menemukan sensasi yang berbeda-beda. Waktu yang amat saya sukai ialah ketika sore menjelang disaat cuaca sangat bagus. Kala siang hari panas terik, langit bersih dan sorenya cahaya terang keemasan akan menyebar tanpa mendatangkan rasa panas. Sehingga Bukik Takuruang terlihat dengan jelas di kejauhan dan Gunuang Singgalang di latar belakangnya tertegak dengan view yang indah.


Jika sudah berada di kawasan Bukik Takuruang, selalu saya terbayangkan Bukik Takuruang saat-saat dahulu kala. Terutama seperti tahun 1935 sebagaimana ditemukannya selembar repro foto lama Bukik Takuruang berasal dari dokumentasi museum negeri Belanda, atau mengenangkan saat-saat pertamakali saya mendatangi tempat itu dengan jiwa yang penuh gejolak ingin menjadi seorang pelukis, membuat sketsa-sketsa di tahun 1980-an silam dan membandingkan dengan keadaan lingkungan sekarang ini, sungguh jauh berbeda.

Tidak hanya waktu tapi juga situasi lingkungan, pemandangan dan suasananya, yang seringkali mendatangkan kerisauan. Tidak hanya saya saja yang berulangkali mengabadikan Bukik Takuruang. Semua yang pernah berkunjung ke sini selalu ingin mengabadikan diri dengan momen bukit yang kini sudah semakin mengecil, karena terjadinya gempa dan ulah tangan manusia di masa silam sebelum dihentikan pengrusakan oleh pemerintah.

 Hasil-hasil pemotretan dengan mengambil objek Bukik Takuruang kini sudah tak terhitung lagi. Baik situs ataupun blog di dunia maya ataupun media cetak dan elektronik, bergegas berlomba mendokumentasikannya. Jangan-jangan hampir menyamai dengan momen foto-foto Ngarai Sianok yang sampai kini bertebaran tak terhitung lagi kalinya dan terus diabadikan oleh mereka yang berkunjung. Baik oleh fotografer amatiran ataupun profesional. (abrarkhairulikhirma/01/09/2011)

Minggu, 11 Maret 2012

Si Hitam Yang Sunyi


# hidup si hitam ini, hampir persis sama denganku. beberapa hari ini kuperhatikan ia hanya sendirian, terasing, sunyi dan bahkan seperti bertahan dalam kelaparan dengan kakinya yg sakit. tak hendak ia meninggalkan dari perahu-perahu di atas pasir. seringkali ia duduk di buritan perahu yg tak melaut memandang ke laut. menjelang maghrib tadi ia kulihat tertatih dan beberapakali terjatuh tanpa ada yg peduli padanya....

Selasa, 31 Januari 2012

BAKARLAH AKU DENGAN APIMU

# puisi abrar khairul ikhirma

Wahai panas nan garang
Bakar, bakarlah aku dengan apimu
Aku hanya kayu lapuk dimakan musim
Kering kerontang dari siang ke siang
Lumatlah aku dengan gejolak lidahmu itu
Jadikan aku arang atau pun abu
Lalu sekali waktu diterbangkan angin menderu
Berserak tak menentu


Wahai panas nan garang
Bakar, bakarlah aku dengan apimu
Aku menyerah tiada ragu
Daripada kau lumat aku perlahan-lahan
Dengan embun di malam-malam yang bisu
Dalam hening sunyi menyembilu hidupku
Kalau memang itu yang mau kau tuju padaku
Aku pasrah dan menyerah….

[puisiku:23-01-12]

Minggu, 08 Januari 2012

Menuju “Indonesia Creative”

SALAH satu kemacetan kemajuan ilmu pengetahuan disebabkan tidak banyaknya teraplikasikan yang dihasilkan ilmu pengetahuan itu sendiri. Tanpa aplikasi ilmu pengetahuan tidak berkembang. Karena dia hanya akan menjadi teori-teori dan strategi-strategi belaka

Apabila ilmu pengetahuan diaplikasikan, kemajuannya akan dapat terlihat sekaligus, dan dapat dirasakan bersama. Otomatis satu sama lain akan berlomba melahirkan berbagai konsep dan mengadirkan produk-produk yang dibutuhkan untuk kebutuhan manusia yakni kehidupan masyarakat kita.


Lembaga-lembaga pendidikan semakin banyak tumbuh dimana-mana dan pemerintah sendiri menyediakan anggaran cukup besar untuk biaya pendidikan dari tahun ke tahun. Sayang, kita masih saja baru menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang haus menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan pengangguran yang berpendidikan. Jumlahnya amat mengerikan dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia.

Sementara yang melakukan terobosan dengan mandiri (swasta) amatlah sedikit. Padahal dengan adanya pionir-pionir menerobos itulah yang dapat memecahkan permasalahan kita yakni ketersediaan lapangan pekerjaan. Rentetan itu kian panjang kalau kita uraikan lebih jauh. Ketidak-seimbangan itu kian terjadi dan ekses-eksesnya hadir hampir tiap detik di kalangan masyarakat kita. Bagaikan gangguan duri di dalam daging. Semuanya membuat kita panik dan putus asa. Pesimis dan anti pati pada hal apa saja.

Pendidikan karakter waktu lalu sempat menjadi wacana yang menghangat. Namun namanya wacana biasanya akan tinggal di wacana saja. Asyik disebut dalam pidato dan diulang-ulang di media masa belaka lalu menjadi hambar. Tidak mudah melaksanakan gerakan pendidikan karakter. Karena semuanya tetap saja berawal dari kehidupan “di rumah,” yakni “kehidupan lingkungan tempat lahir dan dibesarkan.” Lingkungan luar rumah hanya akan membentuk tapi dasar-dasar semuanya adalah di rumah. Jika dasarnya tidak pada tempatnya, tentu akan membuat perubahan luar biasa kelak jika mereka harus menghadapi kehidupannya.

Karenanya, kita memerlukan manusia-manusia yang creative. Manusia-manusia yang mampu mensiasati berbagai keadaan. Mereka yang creative itulah yang mampu menciptakan alternative dirinya, lingkungannya, ilmu pengetahuan dan segala produk-produknya di semua lini yang kita butuhkan. Indonesia butuh manusia creative.

Sabtu, 07 Januari 2012

Catatan Januari

Memang banyak yg tak sesuai dgn kenyataan dalam penglaman hdp kita, namun disanalah kita utk hati2 mengenali akan sesuatu, terkadang org tidak dtg dr dia tp kita yg suka terlanjur pd orang, saat tk sesuai, ada rs bersalah dlm menetapkan pilihan...

kita tak dapat mengatakan itu tidak baik, yang tahu buruk baiknya dan dapat menentukan adalah yg bersangkutan, sesuai dgn pilihannya. yg dapat disarankan ialah

jika dia yg memulai untuk mendekati ia harus menyelesaikan dgn baik2 agar org yg dituju tdk tersakiti dan dia sendiri tdk memiliki rs dihantui rasa bersalah kemudiannya.

jika org itu yg berusaha mendekatinya, maka dia memiliki daya tawar yg lbh tinggi untuk menyampaikan rasa suka dan tidak sukanya, tentu saja tdk mencari2 alasan yg tdk masuk akal. buatlah suatu alasan yg baik dan tidak membuat rasa sakit pada orang lain. sbb jika dia menciptakan rs skt pd org, hanya akan mendatangkan keburukan utk dirinya sendiri...