Rabu, 26 Februari 2014

Jelok Naih, Tuo Tabuik Pasa



BARU lima tahun terakhir ini lah aku berkomunikasi dengan Jelok Naih. Padahal aku bukanlah orang yang asing baginya, atau sebaliknya Jelok Naih bukan pula tak mengenalku. Sebelumnya kami hanya saling menyapa saja atau sekadar bicara pendek kala bertemu. Biasanya yang paling sering bertemu di kedai-kedai kopi.

Jelok Naih, salah seorang yang dikenal khususnya di pusat Kota Pariaman. Jelok Naih, adalah panggilan akrabnya oleh kalangan tua dan muda. Namanya adalah Nasrul Syam. Beliau adalah keturunan dari Rumah Tabuik Pasa, Kampuang Perak. Terakhir Jelok Naih adalah “Tuo Tabuik” yang tampil mengatur prosesi sacral dari “urang rumah tabuik” sebagaimana yang diterimanya dari para pendahulu.




Menurut perjalanan sejarahnya, Tabuik di Pariaman, pernah dibuat untuk mewakili setiap kenagarian di Pariaman, pada perayaan 1-10 Muharam setiap tahun.. Terutama nagari-nagari yang berada daerahnya dekat ke pantai. Waktu itu Tabuik yang diarak pada hari puncak 10 Muharram, jumlahnya banyak. Dari sejumlah orangtua di waktu tahun 1980-an, aku pernah dapat cerita dari mereka bahwa Tabuik dahulunya pernah juga dibuat di Sungai Limau, lebih kurang 14 km dari Kota Pariaman.

Namun jumlah Tabuik itu kian mengerucut seiring perkembangan zaman, hingga terakhir yang tetap menyelenggarakan adalah Kenagarian Pasa dan Kenagarian V Koto Aia Pampan. Kedua kenagarian berada di pusat Kota Pariaman dan merupakan nagari yang berdekatan. Hanya dipisahkan aliran sungai Batang Piaman. Tabuik Kenagarian Pasa disebut juga dengan “Tabuik Pasa.” Tabuik dari Kenagarian V Koto Aia Pampan disebut “Tabuik Subarang.”

Dalam waktu terakhir, sejak mendiang Bupati Anas Malik, semasa Kota Pariaman belum dijadikan sebagai Kotamadia, kedua Tabuik dari 2 kenagarian ini kembali dibangkitkan. Alasan yang paling mendasar bagi Sang Bupati pecinta kebudayaan tradisi ini ialah, agar masyarakat bangkit perekonomiannya lewat event budaya, agar Pariaman diramaikan oleh orang luar (wisatawan). Anas Malik mengajak ninik mamak, alim ulama, urang tuo, cadiak pandai dan anak nagari, untuk kembali “bertabuik” setiap 1-10 Muharram tiap tahun.




Dalam waktu beberapa tahun terakhir, aku kian menyadari satu persatu “orangtua” yang dihormati dengan keberadaannya kian berkurang, seiring usia mereka. Satu persatu telah wafat. Sementara banyak hal, perhatian dan penguasaan mereka terhadap pengalaman dan sejarah, pernak pernik kebudayaan tradisi “seakan tak ada” yang hirau untuk mencatat. Sungguh teramat disayangkan, memang.

Sehubungan itulah, intensitas ku mengikuti perjalanan kebudayaan semakin terdorong, terutama menyangkut seni tradisi, khususnya “mengamati” dari tahun ke tahun penyelenggaraan Alek Budaya Tabuik Piaman, membuatku berusaha untuk gigih “menyerap” bagian-bagian yang ingin aku dengar dari Jelok Naih, salah satunya. Ternyata ia pun senang, aku mau mendengarkan dan mau bertanya segala hal menyangkut Tabuik yang diketahuinya dan yang “diterimanya” dari para pendahulu keturunan Rumah Tabuik Pasa. Percakapan dengan Jelok Naih intens kulakukan setiap bertemu, yang semakin acap kalinya, karena kebetulan keseharianku bila berada di Pariaman adalah disekitar Rumah Tabuik Pasa, yang menjadi Rumah Tuo kaum Jelok Naih di Kampuang Perak.

Yang menggembirakanku, salah satunya, yang kuanggap istimewa, aku sempat membuat foto, saat malam “basalisiah” sepulang “Maambiak Batang Pisang” salah satu prosesi Tabuik Piaman, di Simpang Kampuang Cino, merupakan lokasi Padang Karbala, meminta Jelok Naih berpose bersama Ajo Awuang, Tuo Tabuik Subarang. Momen langka “menyatukan” kedua pihak yang “berlawanan” itu disaat prosesi tengah berlangsung. Itu terjadi saat Tabuik tahun 2012 silam. Sebuah dokumentasi berharga.

Kegembiraan lainnya, Jelok Naih di tahun 2012 silam itu, dijadikan profile sebagai salah satu tokoh oleh setasiun tv Trans-TV, Jakarta. Mereka membuat documenter khusus sekaitan prosesi Tabuik yang berjalan sampai berakhir. Cuma sayang, saat ditayangkan televise tersebut, aku tak sempat menontonnya. Tak apalah. Yang penting ada dokumentasi yang tidak hanya tentang beliau tapi sangat besar artinya atas keberadaan Tabuik sebagai produk budaya tradisi.




Walau pun aku belum tuntas menggali informasi melalui Jelok Naih, namun aku bersyukur, dalam 3 tahun terakhir ini, aku mendapat sejumlah hal mengenai Tabuik melalui percakapan-percakapan kami yang pernah berlangsung. Kadang diantara gelak canda atau saat makan siang di sudut kedai nasi kemenakannya di rangkaian Rumah Tabuik Pasa.

Jelok Naih kini telah tiada…., beliau wafat Rabu, 13 Februari 2014, dalam usia 56 tahun. Kita tak tahu, apakah pewaris berikutnya mampu memposisikan “diri” di dalam keadaan semakin “tergerusnya” nilai-nilai “tradisi” oleh kepentingan diluar tradisi dengan alasan pariwisata, padahal benarkah dengan penyelenggaraan beberapa tahun terakhir ini,  yang seperti itukah bernama pariwisata ??? 

Apalagi penyelenggaraan Tabuik sudah dimulai 2 tahun terakhir memakai dana APBD. Masih layakkah disebut sebagai “Alek Anak Nagari” sebab kendalinya sudah pasti tidak pada kedua “nagari.” Tidak salah “dominasi” pemerintah lebih terasa di dalam penyelenggaraannya. Entah ke depannya, Tabuik kembali ke “khittahnya.” [abrar khairul ikhirma]

Selasa, 18 Februari 2014

Sanggar Gumarang Sakti


TINGGAL KENANGAN: BATUSANGKA BALANTAI BATU, PARAK JUA LABUAH BASILANG: Setiap meliwati Jalan Parak Jua, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, jalan yang menghubungkan Batusangkar ke Bukittinggi dan Payakumbuh via Tabek Patah ini, aku selalu meliwatinya dengan perasaan berdebar. Getaran teramat hebat. Diliputi rasa sedih memandang ke rumah ini. Aku selalu teringat kepada almarhumah, ibu Gusmiati Suid, Sang Koreografer Tari Indonesia, sesudah seniwati Hoerijah Adam, yang selalu menghidupkan semangat Minangkabau di dalam karya-karya tarinya..



Gusmiati Suid, telah melahirkan beberapa karya seni tari terkenal, diantaranya tari Kabar Burung, Api Dalam Sekam dan tari Rantak pada tahun 1976. Sepanjang kariernya di dunia tari, Gusmiati telah menghasilkan sekurangnya 30 karya seni tari pementasan. Gusmiati juga memimpin sanggar tari Gumarang Sakti. Bersama putranya, Boy G. Sakti, mereka telah melahirkan banyak karya seni tari bertaraf nasional dan internasional melalui sanggar tari tersebut.

Karena disinilah bu Yet, begitu panggilan akrabnya mendirikan pusat kegiatan Sanggar Gumarang Sakti Batusangkar, sekaligus menjadi tempat tinggalnya, yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat, Awar Anas, tahun 1982 silam. Rumah yang selalu penuh suasana kesenian dan kebudayaan. Musik dan latihan tari. Diskusi atau pun gelak tawa. Terutama dalam mempersiapkan keberangkatan ke "Asia Festival of Theatre, Dance and Martial Art" di Calcutta, India, pada tahun 1987. Event itu, salah satu momen penting kemudian mempertegas hijrahnya Gusmiati Suid bersama sanggarnya ke Jakarta dan titik rolak menghadiri sejumlah event-event tari keluarnegeri.

Sepotong masa-masaku berkesenian, pernah tersangkut di rumah ini. Kini rumah ini hanya menjadi sebuah rumah yang nyaris tak menjadi perhatian bagi yang lalu lalang di Jalan Parak Jua. Karena bangunan mulai bersemak dan dibiarkan melapuk. Mulai dikepung bangunan beton dan rumah toko di kiri kanannya.
Di sini… dulu pernah menjadi tempatku berdiskusi, tidur sepanjang hari. Menghabiskan hari-hariku dengan segala kegelisahan ingin mencipta. Menanam bunga di halamannya dan menyapu halaman itu kala sore hari, dalam waktu lama.

Sejak kepindahan bu Yet ke Jakarta dan memantapkan Sanggar Gumarang Sakti menjadi Gumarang Sakti Company Dance, praktis rumah ini tinggal. Namun aku dan Rizanto Algamar tetap bertahan di sini. Pada malam-malam menjelang tidur, terlontar ideku pada Rizanto Algamar [kini anggota DPRD Sumbar} untuk membuat radio siaran, salah satu agar rumah ini tetap ditempati dan terawat. Ide itu pun diwujudkan.. Di sini pernah menjadi studio Radio Gumarang Sakti. Ternyata usianya juga tak berumur panjang.

Sepeninggal bu Yet hijrah ke Jakarta semua itu menjadi kenangan. Terlebih ia pun wafat di Jakarta, 28 September 2001, dalam usia 59 tahun. Termasuk juga seperti tak terdengar lagi nama anaknya Boi G Sakti sang koreografer tari kondang Indonesia di pelataran pertunjukan kita dewasa ini...., dan rumah ini menyimpan banyak kenangan suka duka mereka, kami dan aku tentunya. [abrar khairul ikhirma]