Kamis, 07 Desember 2017

PERADA CINTA ILYA KABLAM

Tiada kehadirannya di SISMI17, mungkinkah aku dapat mengenal nama Ilya Kablam? Sebuah pertanyaan “nakal” terhadir saat menatap compactdisk “Perada Cinta,” himpunan lagu-lagu group music GLP-Malaysia.





Sepulang dari acara penobatanku sebagai Tokoh Patria Numera 2017, sesampai di bilik hotel tempatku menginap, menjenguk isi tas pemberian panitia, saat malam melarut di sudut kota Kuala Lumpur. Isinya tidak banyak. Diantara beberapa buku, plakat, terselip sebuah compactdisk, dengan covernya bersimbolkan hati dengan warna kuning.

Tentu semua peserta Seminar Internasional Sastera Melayu Islam (SISMI) 28-30 September 2017, yang hadir malam penobatan tokoh, di Dewan Al Ghazali, juga mendapatkan compactdisk, seperti juga aku memperolehnya. Peserta seminar berasal dari Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam dan Bangladesh. Peristiwa Sastra yang diselenggarakan Persatuan Sasterawan Numera Malaysia dengan Masjid Abdul Rahman bin Auf Kuala Lumpur.

Ilya Kablam ialah vokalis Grup Lagu Puisi (GLP) dengan album Perada Cinta. Ia menjadi salah seorang “motor” di balik kesuksesan penyelenggaraan seminar sastra bertaraf internasional, yang dirancang oleh Sasterawan Negara Dato’ Dr. Ahmad Khamal Abdullah, yang telah malang melintang nama penanya “Kemala” tertera pada perjalanan sastera Melayu selama ini.

Sebagai Koordinator Acara, ia memiliki kepribadian yang mudah berkomunikasi kepada semua yang berkait dengan SISMI. Ilya bekerja sebagai Assistant General Manager di Bioapps Sdn Bhd. Pusat Perubatan Universiti Malaya (PPUM) Kuala Lumpur. Merupakan Ahli Jawatankuasa Numera selain sebagai Setiausaha Eksekutif Persatuan Aktis e-Sastera Malaysia.

Di bawah label Esastera Records, Ilya Kablam, graduan dari Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM) dan mempunyai Ijazah Sarjana Muda dalam bidang Bahasa & Kesusasteraan Inggeris, bersama GLP, telah menerbitkan dua buah album berjudul, “Perada Cinta” (2014) dan “Dot Dot Dot,” (2016).

Setelah akan berakhir bulan November 2017, barulah aku mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan isi rekaman suara Ilya Kablam dan kawan-kawannya. Mula pertama yang aku perhatikan ialah penampilan dari cover dan penyertaan daripada desain compactdisk Perada Cinta.

Aku mengalami kesulitan, entah bagi orang lain yang “bermata terang.” Sukar untuk membaca teks yang terlampir bersama dengan cover. Pemilihan letter, font teramat kecil. Termasuk memberikan backround atas teks yang keduanya saling “berbunuhan.” Sehingga sulit untuk dibaca, apakah tulisan-tulisan itu isi yang disampaikannya. Termasuk untuk mengetahui nama-nama personil yang terlibat dalam proyek album music Perada Cinta.

Aku tidak tahu, apakah kesukaran itu salah satu sebab yang dapat mempengaruhi “seseorang” untuk mengetahui dan mendengarkan isi rekaman. Mempengaruhi untuk tidak melanjutkan mendengarkannya sebelum untuk menikmati sajian yang dikehendaki sebagai suatu karya music dan lagu, seterusnya puisi.

Bagiku, perihal itu jelas telah mengurangi “minat.” Dimana cover telah “memulakan” untuk tidak membuat “ketertarikan.” Aku tidak tahu, apakah produksi ini merupakan produksi comersial dengan pasar luas. Dan sejauhmana ia dapat diterima pasar industry music rekaman dan meraih kedudukan di pelataran lagu-lagu pop Malaysia?

Untung sekali PC burukku yang sudah ketinggalan generasi memiliki media player. Sehingga aku luangkan waktuku untuk sejenak mendengarkan lagu-lagu dalam album Perada Cinta. Musiknya bagus dan beragam alternative. Karena aku bukanlah “orang music” aku tidak mengetahui ragam music yang disajikan. Bagiku mungkin sebagai pendengar hanyalah berpihak kepada adakah harmonisasi, enak didengar dan menarik.




Vokal Ilya kudengar sangat merdu melantunkan lirik-lirik. Lagu-lagu ini lebih tepat didengar dalam suasana hening malam. Warna vokalnya bening dan lincah. Vocal itu sudah terasah dengan baik, seperti kudengar sepanjang acara SISMI, Ilya menjadi pembawa acara (MC).

Dalam kesasteraan di Malaysia sepanjang kuamati dalam beberapa tahun terakhir ini, ternyata antara karya puisi dan dunia music seringkali “berkahwin” membentuk “kehidupan rumahtangga.” Ada ramai kini mempertunjukkan pada berbagai media ekspresi seni, bagaimana hasil karya tulis didendangkan beriring music.

Di Indonesia pada masa perjalanan industry music rekaman, dikenal nama penyanyi Leo Kristi, Group Bimbo dan Ebiet G. Ade, yang melantunkan nyanyiannya berupa puisi. Nama mereka popular. Memiliki suara khas, music khas dan produk cassetnya “digemari.”

Di pentas-pentas sastra Indonesia diakui ada yang “tampil” dinamakan “musikalisasi.” Tetapi rasanya tetap saja ia merupakan terkesan “tidak dianggap” sastra, lebih kepada “music.” Puisi dianggap lebih “bertuah” pabila dibacakan.

Disaat mendengarkan Perada Cinta, aku teringat, mendengar suara Ilya Kablam sewaktu menjadi pembawa acara di SISMI. Kemudian aku bertanya-tanya sendiri, apakah suara itu suara yang sama pernah kudengar dulu di tahun 2014 di Auditorium DBP ketika menerima Anugerah Puisi Dunia Numera 2014. Suara MC yang “kupuji” karena terasa sejuk “Melayu”nya (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Senin, 04 Desember 2017

ASMIRA SUHADIS DARI SIJANGKANG

Asmira Suhadis, penulis script film wanita yang dimiliki Malaysia. Pernah menjadi wartawan. Kini mencampungi dunia kepenyairan.



ASMIRA SUHADIS - ABRAR KHAIRUL IKHIRMA
SEPTEMBER 2017


Aku lebih mengenal aktifitasnya, setelah kembali dari acara Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 yang diadakan di DBP Kuala Lumpur. Semenjak ia bergabung dalam list-pertemanan media social fesbookku. Beliau terlihat rajin menulis status dan memposting foto sampai hari ini.

“Pengenalan” terhadap Asmira selama ini hanya sebatas “mengenal” lewat menyimak dan melihat status dan postingannya yang hadir di beranda fbku. Belum pernah berkomunikasi dan berdiskusi, perihal persekitaran dunia kreatif kepenulisan dan lain hal.

Mungkin aku orang yang tidak biasa memanggil seseorang perempuan dengan “Mama,” sehingga ada hal bagiku “penghambat” untuk dapat berkomunikasi dengan baik dengannya. Asmira Suhadis di kalangan yang mengenalnya, memiliki panggilan akrab “Mama Asmira.”

Asmira Suhadis dilahirkan di Sijangkang, Selangor, Malaysia, pada 18 Mei 1961. Ia menjalani kegiatan sebagai penulis bebas dalam berbagai genre kepenulisan. Puisi, syair, script, lirik lagu. Beliau pernah bertugas menjadi tenaga jurnalis, menjadi wartawan untuk majalah dan media tabloid.



ASMIRA SUHADIS
KLCC SURIA - 2014


Asmira memulai masa kepenulisannya menulis cerita pendek untuk “Utusan Pelajar,” dan cerpen-cerpen remaja di tahun 1980-an. Ia memiliki pergaulan berbagai kalangan, salah satunya ia merasa senang mengenal “kaum peribumi.” Kaum dari masyarakat asli.

Beliau memenangi penulisan script TV, Misi di FINAS pada tahun 2003. Kemudian script yang ditulisnya itu diangkat menjadi drama seri di RTM (Radio Tv Malaysia). Menulis tentang perjuangan kaum Samai, untuk drama khas kemerdekaan RTM, Bah Tilot. Kemudian digarap menjadi drama musical.

Kesuksesan kepenulisannya di penulisan script, Asmira pernah memenangkan di beberapa pertandingan menulis script drama, documenter terbitan FINAS, semenjak tahun 2003-2008.

Menulis script documenter kaum Kadazandusun dalam: Agup Batu Tuluq, masyarakat Iban dalam Sureng Head Hunter dan Wetan untuk masyarakat Jawa. Aku Budak Bateq adalah waktu pertamakali usahanya mendekati kaum ini.



ABRAR KHAIRUL IKHIRMA
ASMIRA SUHADIS
AHMAD TAUFIQ
SISMI KUALA LUMPUR 2017


Selepas tahun 2014, saat menghadiri Malam Akrab Puisi Asean 2016 di Rumah Pena Kuala Lumpur, aku sempat berpapasan dengan Asmira Suhadis yang hendak pulang lebih awal. Aku menyapa dan menyalaminya. Tidak ada percakapan lain. Aku kira dia tidak ingat denganku, karena pertemuan yang mendadak itu.

Disela-sela acara Seminar Internasional Sastera Melayu Islam 2017, di Dewan Al Ghazali Masjid Abdul Rahman bin Auf, Puchong, Kuala Lumpur, kami bertemu untuk ketiga kalinya.  Kami hanya saling menyapa dan sejenak meluangkan waktu untuk berfoto. Tidak ada percakapan banyak.

Terlihat kondisi kesehatan beliau menurun dibandingkan dengan tahun 2014 silam. Tetapi semangatnya masih terlihat bercahaya untuk dapat berbaur dengan masyarakat kesenian. Termasuk “kesetiaannya” untuk menuliskan tentang apa saja yang ditemui dan dirasakannya dengan “keterlatihannya” dalam hal menulis. Didukung dengan adanya kemudahan mempublikasikan tulisan di media social.



SANTAI NUMERA 2014
KENANGAN DI KLCC SURIA 2014 KUALA LUMPUR
TERSEREMPAK DALAM SATU FRAME


Akupun dapat merekam Asmira Suhadis tampil membacakan puisi yang ditulisnya dalam rangkaian acara seminar yang kami ikuti. Hasil rekaman video itu pun telah aku posting di youtube, sebagai documenter agar setiap orang dapat menyaksikannya.

Sampai saat ini Asmira Suhadis tanpa henti terus berkarya. Dia rajin hadir di pelbagai peristiwa sastra dan membacakan puisi-puisinya. Termasuk mempublikasikan karya puisinya di media social. Dimana dunia puisi ini kian diakrabinya sebagai media berekspresi suara jiwanya (*) copyright: abrar khairul ikhirma  

Minggu, 03 Desember 2017

HUJAN - AIRMATA SEMPORNA

Gagasan atau ide tidak hanya tersimpan dalam angan-angan. Kini menetas, sayapnya telah keluar dari kepompong. Sanggupkah ia terbang?




Nazeka Kanasidena, mencetuskan satu ide dari sebuah status media social fesbook di wall pribadinya. Status itu membuka ruang kepada masyarakat pertemanan akunnya, untuk dapat berpartisipasi, sukarela, tidak sayembara, tidak berharap “imbalan” kecuali berupa kesan apresiasi, melalui “kotak” comentar di bawah status yang dipostingnya, medio akhir tahun 2017.

Nazeka, memberikan sebuah tajuk, “Antara Hujan dan Airmata.” Status bernada “jemputan” itu kiranya mendapatkan tanggapan baik. Tajuk demikian “ditanggapi” di kotak comentar. Silih berganti comentar berdatangan berupa puisi terupdate dari berbagai pemilik akun fb, terutama dari Malaysia.

Sepintas, demikian mudah “memancing” seseorang (pemilik akun fb) untuk dapat menuliskan hal puitis sesuai tajuk yang dikemukakan di media sosial. Tidak. Dibutuhkan luasnya pertemanan dan persamaan pandangan mewujudkan sebuah ide yang dikemukakan. Masyarakat media social terdiri dari berbagai lapisan dan latarbelakang tidak sama.

Padahal yang semacam itu, jauh lebih sulit daripada sekadar ber “say” dan “helo,” ataupun mengklik “like.” Seperti kebiasaan paling mudah dilakukan dalam pertemanan dunia fb, sebagai satu “bentuk” penanda kehadiran “keterhubungan” atau pun “penunjuk” bahwa apa yang ditulis dan diposting seseorang tidak dianggap “angin lalu.”

Kesulitan yang dimaksudkan ialah, bagaimana “menggiring” kesadaran kreatif, intuisi dan ide, dari banyak orang, agar menuju titik yang sama yakni, “berhalatuju” kepada perihal “hujan dan airmata.”

Itupun bila dicermati tidak pula langsung mengarah pada “hujan” dan “airmata” karena ada satu kata memulakannya yaitu, “antara.” Dapat diartikan, ada wilayah atau ada ruang yang “terdapat, menghubungkan, menjadi jarak, membatasi” keduanya. Tepatnya bersifat “makna,” dia ada tapi tak terlihat, tak terlihat tapi disadari suatu kenyataan.

Pada wilayah seni kreatif sastra, itulah sisi-sisi yang seringkali “disentuh” oleh sastrawan untuk dipresentasikan kepada kepenulisannya. Terlihat sederhana tapi adalah hal luarbiasa. Luarbiasa tapi dapat disederhanakannya.

Sastrawan yang (dimaksudkan) memahami kedudukan sastra dan mengikuti pergulatan kreatif dalam “membahasakan” suatu karya. Wilayah yang tidak semua orang dapat “meraihnya,” tidak semua orang yang tahu dapat “menjangkaunya.” Keluasan pandangan, kepiawaian berbahasa, ketekunan menjinakkan inspirasi, sungguh suatu hal menentukan pada sebuah karya serupa itu.

Meminta memasuki “wilayah” antara keduanya, tidak semua orang mungkin dapat “mencapainya” ataupun “menjelajahi” hingga kemudian “menuliskannya” dengan baik. Tidak verbal. Tidak sekadar sebuah potret. Tidak hanya berupa barisan kata datar dan hambar.

Sama seperti gambaran umum ketika dikatakan antara “hitam” dan “putih.” Diantaranya “dipahami” sebagai suatu bahagian filosofi merupakan wilayah “abu-abu.” Wilayah sulit diterka tapi mengandung dinamika kreatif setiap orang untuk mempelajarinya, membuat kesimpulan dan memahaminya.

Dalam bahasa politik praktis, “abu-abu” ialah wilayah yang tak dapat “dikuasai” namun ada kemungkinan “dipengaruhi.” Ditanggapi hanya akan menghabiskan enersi. Diabaikan “berbahaya” jika tidak diwaspadai. Sebab “sesuatu” dapat terjadi. Diluar perhitungan, sulit diprediksi.

Dalam kehidupan social manusia dikenal istilah “ya” dan “tidak.” Ketika seseorang menggunakan comitmen dirinya antara ya dan tidak, disimpulkan orang tersebut adalah manusia ragu, manusia penuh kebimbangan. Tidak memiliki pendirian diri. Mudah menjadi ya. Tidak sukar untuk tidak. Hakikatnya, tidak dapat mengambil suatu keputusan. Setuju atau menolak.

Sedangkan pada tataran kepenulisan sastra, daerah abu-abu, merupakan tantangan kreatif “menterjemahkan” hingga “menuliskannya,” dalam mencapai karya-karya sastra “membukakan mata” dan “mencerdaskan” pembacanya, untuk mendorong menjadikannya sebagai salahsatu sumber “inspiratif” bagi banyak orang.




Zubir Osman, adalah nama Nazeka Kanasidena. Putra kelahiran dari Pulau Omadai, Semporna, Sabah, Malaysia, 21 April 1970. Diketahui beliau adalah seorang cikgu/guru sekolah formal. Selain bekerja sebagai tenaga pendidik, ia “berkesinambungan” memposting karya-karya fotonya di wall media sosialnya.

Objek fotonya sebahagian besar menggambarkan “kehidupan” kepulauan dan kawasan pesisir pantai. Baik alam maupun manusianya. Karya-karya berunsurkan fotografienya “melintasi” beranda fb saya. Memulakan saya “mengenal” seorang Zubir Osman yang kemudian merubah nama akun fbnya dengan Nazeka Kanasidena.

Secara periodic, selain karya foto, Nazeka selalu menyertai dengan teks tulisan. Terutama berkaitan perihal sejarah dan budaya “orang laut.” Saya akui tidak semua tulisan yang pernah dipostingnya saya baca. Selain saya mengalami “masalah” membaca, juga tidak memiliki waktu sepenuhnya untuk “membaca.” Karenanya saya lebih “memperhatikan” karya-karya fotonya dari sudut artistic dan pemilihan objek.

Setelah menerima permintaan pertemanan dari Nazeka, akun fbnya masuk ke dalam list-pertemanan fb-saya, sejak itu setidaknya, saya “mengenal” pergulatannya dalam merespon perjalanan sejarah, budaya dan “kedukaannya” menyaksikan, sekaligus merasakan “peristiwa” demi peristiwa, leluhur, manusia dan tanah air “digerus zaman.”

Kemudian kami bertemu pertamakali sama-sama menghadiri “Temu Penyair Asean 2016” di Kuala Lumpur. Ia menghadiahkan buku kumpulan puisi pertamanya, “Iltizam,” (namanya dicantumkan pada buku, Zubir Osman) terbitan ITBM-Pena, 2015. Terbaca di belakang cover depan, tertulis; “…aku harus jadi sang pemula, demi margaku, pengembara benua.”

Ketika Nazeka Kanasidena atau Zubir Osman membentangkan idenya “menjemput” masyarakat (teman-teman) media social untuk menuliskan puisi “Antara Hujan dan Airmata,” saya “memakluminya” sebagai suatu “tindakan” menghidupkan dunia kreatif sastra.

Termakluminya mengingat perhatian Nazeka kepada hal sejarah dan budaya, termasuk merekam dinamika di sekelilingnya selama ini, wajar dia tergerak hati mencetuskan ide, untuk bersama menulis perihal Hujan dan Airmata. Tidak mungkin seseorang “berani” memiliki perhatian kepada hal-hal esensial tanpa didasari oleh “basic” yang kuat.

Ramai beberapa tahun ini “menggunakan” media social untuk “berhimpun” tapi “keramaian” itu “megah” dan “gagah” hanya lebih banyak bersifat “kehebohan” dan sekelas “pesta.” Saya kira, Nazeka tidak berada di sana. Mensiasati perkembangan teknologi internet, menjadi “wadah” atau “taman” untuk “membahasakan” persoalan universal manusia terhadap dua hal yakni Hujan dan Airmata.

Secara harfiah, hujan penunjuk kepada alam. Membawa symbol kesuburan. Airmata bahagian “khas” dari perasaan, keterharuan, kesedihan dan rasa sakit. Sewaktu-waktu dialami oleh semua manusia, termasuk makhluk lainnya.

Hujan dan airmata dapat dilihat secara berbeda. Sendiri-sendiri. Tetapi pabila dua kata itu dirangkaikan, membawa pada alam tafsir yang lebih luas lagi. Karenanya sanggupkah terungkap di dalam larik-larik puisi yang “dihantarkan” di kotak comen status Nazeka?

Ramainya tanggapan, ditandai dengan kehadiran puisi-puisi yang ditulis dan dimasukkan ke dalam kotak comen, bagi saya, itu sebuah perhatian luarbiasa. Membuktikan antara keduanya, baik hujan dan airmata adalah bahagian dari “kodrat” hidup tak terpisahkan. Hal tidak asing lagi dan erat pada kehidupan masing-masing personal si pengirim puisi.

Setelah dipublish di ruang media public media social, akan dikemanakan puisi-puisi itu?

Setiap puisi tidak terbuang dan tersia-sia. Sebagai sebuah karya, puisi itu setidaknya sudah ada yang membacanya lebih dari satu orang. Termasuk Nazeka sendiri pun, selain mengcopy, ia pun juga memberikan pandangan singkat terhadap puisi. Bahkan juga perbualan singkat, saling berkomunikasi dua arah.

Nazeka Kanasidena tidak “berjanji” tetapi ia pun tak ingin sampai hanya dipublish di media social saja. Puisi-puisi itu akan diupayakannya lahir ke dalam sebentuk buku antologi. Di awal mula status pengantar idenya, Nazeka pun telah “membayangkan” pabila ada “keberkatan” ia akan membawa serta puisi-puisi yang dikirimkan keluar dari fesbook dan menjelmakan sebuah buku antologi.

Menjelang tidur disuatu malam, di bulan November, sebagai perintang-rintang hari, saya merancang sebuah cover, “sumbangan” pabila buku “impian” itu akan berwujud. Desainnya belumlah finish. Langsung diposting. Tujuan utama hanya sebagai “penyemangat” dalam meramaikan kiriman puisi. Karena tidak request daripada Nazeka, hanya partisipasi dari saya, desain tersebut tidaklah mengikat. Tidak “meminta” agar sayalah “tukang” buat cover. Tidak pula “berharap” desain saya digunakan sebagai cover.

Dari satu rancang cover, akhirnya menjadi tiga desain. Tidak hanya Nazeka “terkesima” tapi sejumlah pengirim puisi di status Nazeka menyambut baik rancang cover yang saya rancang. Syukurlah. Tetapi pabila ada yang lebih baik, datang dari pihak lain, saya bersetuju. Itu jauh lebih elok. Saya menyukai memberikan “laluan” kepada orang.

Adapun terhadap “rancangan” menghimpunkan puisi-puisi ke sebentuk buku antologi puisi, sesungguhnya lagi “trend” pada dunia sastra. Baik di Indonesia maupun di Malaysia. Terutama sejak adanya “kemudahan” menghubungkan satu sama lain melalui media social. 

Judul dan tajuknya diakui tidak ada yang tidak “gagah” dan tidak “cantik.” Semuanya gagah dan cantik. Tetapi apakah gagah dan cantik suatu “jaminan” bahwa isi yang terkandung pada setiap buku, merupakan karya-karya berkualitas dan “bernilai” sastra” (?) Entahlah.




Dengan ramainya puisi berdatangan ke kotak comentar status Nazeka, apakah otomatis puisi-puisi itu termuat ke dalam buku antologi?

Pertanyaan ini bagi saya tidak bermaksud “menyalakan” yang satu dan “memadamkan” yang lain. Dunia buku sekarang ini berkembang pesat diterbitkan. Sementara seiringkah kepesatan kemajuan penerbitan dengan kualitas isi buku dan buku itu sendiri memang jatuh ke tangan orang “membutuhkan.” Membutuhkan bahan bacaan (?). Biasanya yang butuh, sudah pasti “membeli” dan bersedia “menyimpan” dengan baik. Menjadi referensi kelak kemudian hari.

Jika jawaban tidak ada “keharusan” setiap puisi disertakan ke dalam buku, berarti isi buku merupakan kandungan puisi-puisi yang telah melewati “tahap” seleksi. Tahap seleksi pun perlu dipertanyakan. Menurut kualitas puisi? Menurut nama seseorang yang menulis puisi? Ataukah menurut dari mana asalnya atau keterhubungannya?

Kemudian juga ketebalan buku yang ditentukan jumlah halaman. Biasanya apabila berupa antologi, seringkali terlihat adalah buku tebal. Ada 1000 penulis. 1000 puisinya “dipaksa” masuk ke dalam satu buku. Ada banyak buku-buku semacam ini terbit, lebih bersifat tidak sebagai himpunan puisi terpilih tapi “terjebak” menjadi buku dokumentasi puisi dari “beramai-ramai” orang dan “beramai-ramai” daerah atau Negara. Kualitasnya? Entahlah.

Oleh sebab itulah, begitu pentingnya criteria dan aturan-aturan, demi mencapai suatu maksud. Sepanjang hanya “mengikuti” apa yang sudah berlangsung selama ini, serupa dengan apa yang telah dikerjakan atau dibuat orang, tanpa ada suatu “sikap” yang jelas, cenderung yang “dihasilkan” menjadi “biasa-biasa” saja. Akan tinggal dengan gagah dan cantiknya saja. Seketika terlihat, sesudah itu mungkin terlupa. Sebab akan ada yang lebih gagah dan cantik lagi menggantikannya silih berganti.

Saya sengaja tidak menulis “Sabah” di judul tulisan ini tetapi “Semporna.” Semporna merupakan bahagian dari Negeri Sabah, Malaysia. Semporna daerah asal Nazeka Kanasidena yang memulakan ide untuk menulis puisi bertajuk “Antara Hujan dan Airmata.”

Dari Semporna itulah Nazeka, sedang menghulurkan tangannya berisi “wadah sastra,” antaranya untuk “menampung” turunnya Hujan dari langit, berderainya Airmata dari dua kelopak mata “kreatif.” Semporna “menulis” sejarah sastra (*)

Abrar Khairul Ikhirma – rangkayoputubasa@gmail.com - From Indonesia with Love

Kamis, 30 November 2017

6 KURMA MADINAH

Walaupun memotret adalah hobiku tapi tidak sepenuhnya kulakukan mendokumentasikan berbagai objek yang kutemui. Aku lebih focus untuk beribadah selama di Tanah Suci. Karenanya, ada sejumlah foto-foto yang kuhasilkan selama melaksanakan ibadah Umroh, serasa bagaikan kurma. Terasa manis, enak dan mengandung energy.




BERKUNJUNG ke Jabal Uhud. Aku melihat bayangan itu di salah satu kaca bus yang berjejer di salah satu sisi jalan. Siang dengan panasnya yang terik. Teringat Rasulullah berperang, pasukan pemanah dan orang-orang munafik. Petunjuk dan kekalahan itu.




BERJALAN menyusuri salah satu sisi Masjid Nabawi. Keteduhan itu menentramkan hati. Pandangan yang lapang menjadikan alam terbuka untuk manusia menghayati kehidupannya. Walaupun berbeda langkah, langkah itu seperti beriringan mengikuti denyut nadi pada sebatang tubuh.




KEDAMAIAN itu ialah menikmati dengan penghayatan. Di salah satu sisi Masjid Nabawi, tiap mukmin melangkahlah dengan hatinya. Bukankah semuanya diciptakan Allah, semuanya meraihnya sebagai suatu yang patut disyukuri. Hitam atau pun putih.




DIANTARA jalan-jalan itu, seakan semuanya menuju Masjid Nabawi. Jauh dari kebisingan, hiruk pikuk kendaraan dan gebalau suara. Seakan dunia merunduk dalam keheningan. Ada yang bergegas untuk mencapai masjid, ada yang mencoba memastikan detak jantungnya dengan langkah kaki menelusuri jalan menuju Masjid Nabawi.




HARI ini ada yang mengintai. Ada yang mencoba bersiasat. Menadah tangan. Wajahnya tertutup cadar. Jalannya sengaja diperlahankan, bagaikan seorang yang terseok-seok. Ia entah dari mana. Ia sudah ada saja berada di depan penginapan. Awalnya hanya sendiri. Ketika ada yang memberi, sekejap bagaikan laron datang menyergap. Sudikah memberi? Maknakan sendiri.




LANGKAH itu pasti. Seakan irama itu selalu pemandangan biasa meskipun diiringi do’a dan zikir dalam tapak yang melangkah. Aku selalu menangkap dengan makna dan artistic. Betapa ibadah itu keheningan yang sulit diterjemahkan pada berbaris kata. Ia akan menjadi ada pabila berada di dalam jiwa. Irama itu selalu membayang, menggema, tatkala lorong waktu selalu berada di hadapanku.


[copyright foto dan teks: abrar khairul ikhirma – Madinah – 2017]

Rabu, 29 November 2017

DARI HUDAN HIDAYAT

Buku Puisi Pemenang Anugerah Tokoh Patria Numera 2017, Abrar Khairul (Putu) Ikhirma.




Stilistik-sunyi
Linguistik sepi

“waktu ashar
kukirimkan jantungku
dengan hati tiada terbelah
padamu kehidupan
kembara”

Abrar Khairul (Putu) Ikhirma, teman yang unik dan sangat menyenangkan ini - mungkin 'menjengkelkan' bagi mereka yang belum mengenalnya dengan baik - tapi bagiku ia sangat menyenangkan, adalah Tokoh Patria Numera 2017.

Saya baru pertama kali ini berjumpa dengan buku puisinya, langsung terpesona. Mula-mula ia merawat bahasa Melayu dengan cara menghidupkan, ke dalam tema, tokoh-tokoh penyair di daerahnya, tapi lebih dari itu cara ia berpuisi itu sendiri.

Sunyinya benar-benar datang dari keadaan yang ia alami, bukan yang ia bayangkan. Kita tidak menjagokan sepi, tapi manakala hakikat kehidupan ini memang sunyi, dari setiap degup yang kita rasakan, maka tahulah kita bahwa sepi memang mesti dikelola oleh penyair agar hidup yang senyap ini terasa lebih menekan. Menekan ke/di dalam bahasa.

Tekanan yang dibaca oleh ilmu sebagai daya bahasa. Membuat saat kita membacanya, kita pun mengalami daya bahasa itu, dilibatkan oleh si puisi ke dalam sepi yang ia kisahkan itu.

Masih adakah suatu sepi di atas senyap ini, saat seseorang aku-saya mula-mula membelah dirinya, jadi aku-lirik dan di dalam kedudukannya sebagai aku-imaginatif ini ia kuasa untuk mengelola ada secara apa saja termasuk adanya kenyataan dirinya yang kini telah menjadi kenyataan aku-citra.

Abrar Khairul Ikhirma membuat "kehadiran"(nya) dalam buku puisi Hang Tikam Tuah Kenang, seperti ini. Puisi dibawa ke arah pribadi, individual, tapi "jantung melayu" sang penyair yang menuntun ia berpuisi, bukan jantung yang lain. Seolah-olah ia 'mengoreksi' para penyair, dengan membubuhkan waktu mengenangNya. "waktu ashar", kata Abrar Khairul Ikhirma akan kejadian yang ia kisahkan dalam "kehadiran".

Ada apa dengan "waktu ashar"? Rupanya ia dipilih karena keadaan adalah tepian - malam hendak menjelang, pagi siang sudah usai. Adalah waktu darurat bagi manusia. "waktu kembara" kalau istilah Abrar Khairul Ikhirma, bahwa kembara dimulai saat setelah waktu Ashar.

Apa yang abstrak menjadi konkret, pada saat yang sama yang konkret itu jadi abstrak lagi. Dalam istilah bentuk inilah jukstaposisi ke jukstapose. Bahasa itu memang aneh kalau kita hayati dalam kedudukannya sebagai pengertian, aneh ia pandai membubarkan kenyataan menjadi kenyataan ada yang tak dapat kita pegang, tapi ia kita kenali. "kehidupan", misalnya, kenyataan yang tak berbadan tapi tubuh kita dimuatkan ke dalam badan kehidupan ini. Berlakulah tubuh nyata kita menjadi tubuh nyata citra karena si aku, yang nyata itu, mengirimkannya kepada si dia adalah "kehidupan", yang tak nyata itu.

Kenyataannya begitu luas sehingga kata dasar hidup yang diikat kedua ujungnya lewat ke dan an pada dasarnya adalah ruang bagi waktu untuk menghilangkan tubuh nyata si aku. Apa yang kita sebut sunyi kini bermain di satuan kata, di bahasa, tempat bagi Abrar Khairul Ikhirma mengeola "kehidupan", dengan si aku di dalamnya. Si aku yang bermain pembelahan, lewat kegiatan tangan yang nyata tapi dada yang telah diambil oleh "kehidupan" - ia menjadi kabur lagi: mana tubuhnya? Tapi si tangan itu begitu meyakinkan membelah dirinya.

Membelah diri dan muncul dengan, inilah buah kreasi si tangan, jantung yang diambilnya dari dalam tubuh dan kini dikirimkannya ke kehidupan. Kejadiannya di waktu ashar, waktu perpindahan yang menjadi isyarat bagi kembara. Dengan cara begini linguistik saya sedang menempuh realisme dalam bahasa, bahwa satuan-satuan pengertian dikembalikan lagi ke dalam kalimat sebagai struktur, tapi linguistik ini rupanya mengada dalam stilistik yang akan menghasilkan permainan bahasa mengatasi tubuhnya sendiri. Ia kini beyond bahasa, karena si puisi melakukan "kembara" melalui dirinya.

[Ditulis oleh HUDAN HIDAYAT, penerima Tokoh Persuratan Dunia Numera 2017]

Selasa, 21 November 2017

"WALIKOTA SASTRA" BANJARBARU

Sulit untuk menemukan “pemimpin” di Indonesia berpihak kepada “budaya” dalam masa kepemimpinannya. Kalau sekadar hanya “retorika” misi-visi, hampir semua calon dan pemimpin pasti menulis dan menyebutkannya. Tidak lengkap kalau tidak mencantumkan perihal budaya menjelang “terpilih.”




SEKELUAR dari lobby Summit Signature Hotel di kawasan Jalan Puchong, bersama teman sebilik yang baru kukenal, Diding Tulus (dari Bandung), langsung dihampiri Hudan Hidayat (dari Jakarta), yang juga baru kukenali, mengajakku untuk minum, menunggu keberangkatan menuju tempat pembukaan acara Seminar Internasional Sastera Melayu Islam yang kami hadiri dari Indonesia.

Aku menerima tawaran itu, maklumlah selama ini kami hanya saling kenal nama saja melalui media social dan belum pernah berjumpa. Kami bertiga memasuki restaurant dan café yang terletak berdampingan dengan lobby hotel. Saat mencari meja yang akan kami gunakan, nyatanya, tokoh penyair gurindam dari Kalimantan Selatan, Iberamsyah Barbary mengajak bergabung di mejanya saja. Di meja itu sudah ada beberapa orang lebih dulu berkumpul.

Kami pun turut bergabung pada meja makan panjang yang sama. Alasannya, untuk saling mengakrabkan hubungan sesama orang kesenian. Sama-sama datang ke Kuala Lumpur menghadiri acara yang sama, yang diselenggarakan Numera Malaysia dan Masjid Abdul Rahman bin Auf Kuala Lumpur.

Iberamsyah berjarak beberapa kursi dari dudukku, diantara mula percakapan saat itu, menyebutkanku sebagai Tokoh Patria Numera 2017 yang akan dinobatkan. Ucapannya itu terkesan bagiku ditujukan kepada “seseorang” di hadapan kami. Orang tersebut bersebelahan denganku. Orang yang berulangkali menawarkan kami semua untuk memesan makanan dan minuman. Akhirnya hanya minum “teh tarik” saja tanpa makanan sepetang itu. Karena aku terikut berbasa-basi.

Aku hanya mendengarkan percakapan saja. Topik pembicaraan perihal potensi dan kegiatan kesenian yang tengah berlangsung di Kota Banjarbaru. Bukan aku tidak tertarik terlibat pembicaraan, akan tetapi susasana diriku di tempat semacam ini, seringkali tidak mampu membuatku merasa santai. Ditambah lagi orang-orang di hadapanku baru berjumpa dan belum sepenuhnya aku “kenali.”




Baru seteguk teh tarik kuminum, akhirnya bersama Hudan, memohon diri untuk duduk diluar, di meja-meja yang berada di teras depan restaurant dan café hotel. Petang hari menjelang maghrib. Tujuanku bersantai merokok. Bersama Hudan Hidayat. Topik pembicaraan tidak jauh dari persoalan sastra. Terutama perihal “Numera” dan teman-teman sastra.

Baru beberapa menit saja turut pula bergabung penyair dan pengajar Siamir Marulafau dari Medan, Sumatera Utara dan monologer Nuyang Jaimee asal Jakarta. Akan terbentuk suatu percakapan lepas, datang pulalah Iberamsyah Barbary, Sirajul Huda dan dua orang lagi turut bergabung. Maka meja kecil di hadapanku menjadi “sesak” tapi “menjelma” suatu peristiwa kecil yang menyenangkan saat itu.

Bagi kami kalangan seniman di Sumatera Barat, terutama dalam rentang tahun 1970 sampai 1990-an, hal serupa ini sudah menjadi hal biasa. Sudah tradisi terjadi begitu saja setiap acara kegiatan kesenian dan budaya diselenggarakan. Kami menyebutnya sebagai “acara maota-ota.” Suatu percakapan dan diskusi lepas oleh beberapa orang terjadi secara situasinal dan spontan.

Kelebihannya dari maota-ota demikian, semua yang ada adalah “bintang.” Tak ada yang menjadi tokoh menonjol atau pusat pembicaraan dan perhatian. Tidak pula ada sifat ingin menguasai pembicaraan. Setiap orang memiliki hak bicara sepanjang berada dalam “lingkaran.” Leluhur kami menyebutnya suasana semacam ini, “bakisa di lapiak nan salai.”

Satu sama lain memiliki pembicaraan kreatif menghidupkan suasana. Biasanya diantara yang ada saat itu, satu orang sendirinya memposisikan dirinya sebagai “janang.” Dalam hal forum resmi disebut sebagai “moderator” tapi tidak hanya sekadar berperan sebagai moderator saja, namun kerap juga “biang keladi” terjadinya intensitas percakapan dinamik.

Tak ada senioritas atau pun junioritas terjadi sehingga, pembicaraan mengalir begitu saja. Tak jarang memunculkan ide-ide bahkan kritik pedas atau pun candaria tawa. Karenanya di berbagai kegiatan acara-acara kesenian dan kebudayaan, peristiwa semacam ini seringkali disebutkan, momen “acara maota” itulah acara “sesungguhnya” dari acara yang mereka hadiri. Sebab kesimpulan dan keputusan acara resmi, seringkali malah “terlahir” dari hal semacam yang tidak resmi itu.

Pada waktu singkat menjelang maghrib, di selingkar meja di hadapan, duduk di kursi bersebelahan denganku, seorang yang datang bersama rombongan penyair Iberamsyah Barbary, terpancar keramahan yang familiar. Sehingga dengan singkat, ia pun menjadi titik perhatian kami semuanya. Sejenak, aku pun teringat, jauh sebelum kedatangan ke Kuala Lumpur, pernah membaca status fb Iberamsyah yang ditujukan kepada SN Dato’ Dr Ahmad Khamal Abdullah selaku pengerusi acara, mengabarkan kepastian ia dengan beberapa teman sastra akan datang bersama Walikota Banjarbaru.




Walau pun sejumlah pertanyaan diajukan oleh Nuyang Jaimee dan Hudan Hidayat kepada “seseorang” ini dalam percakapan lepas itu, setiap kali menjawab pertanyaan entah kenapa ia “seakan”  selalu “tertuju” kepadaku.  Diantara itulah, aku tersadar bahwa yang berada di sebelahku merupakan Walikota Banjarbaru. Patutlah ia memberikan gambaran sekitar perkembangan kegiatan seniman dan kesenian yang terjadi di Banjarbaru. Termasuk upaya menggerakkan potensi budaya, disertai usaha kerajinan masyarakat berbasiskan budaya.

Waktu percakapan sekejap itu, aku dapat memberikan penilaian kepada Sang Walikota, ia memang memiliki harapan besar bagi kemajuan di daerahnya. Dari cara ia mempresentasikan saat itu, aku dapat menyimpulkan, ia tidak hanya seorang Penjabat, tidak hanya seorang personal pemerintahan saja tapi seorang personal menguasai “masalah” yang sedang “dibicarakan.” Menunjukkan intelektual personality dan kecintaan kepada seni dan budaya.

Kehadiran seorang tokoh pemimpin pemerintahan daerah, Drs. H. Nadjmi Adhani, M.Si, dari Indonesia, pada peristiwa sastera oleh Numera di Kuala Lumpur ini, setidaknya patut dicatat suatu hal berharga memberi “pencerahan” terhadap pandanganku di atas. 

Nadjmi Adhani, Walikota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, khusus datang dari Indonesia, mengikuti “Seminar Internasional Sastera Melayu Islam.” Diikuti sastrawan, akademisi, pemerhati, dari Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam dan Bangladesh.

Selain menjadi peserta seminar, Nadjmi Adhani dari awal mula, sudah diberitahu panitia seminar dan Numera, diberikan kehormatan untuk memasangkan “tanjak” (songkok kehormatan budaya Melayu) menandai penobatanku sebagai Tokoh Patria Numera 2017, satu dari empat tokoh yang dinobatkan di Dewan Al-Ghazali, Masjid Abdul Rahman Bin Auf, Kuala Lumpur, pada malam 29 September 2017.

Drs. H. Nadjmi Adhani, M.Si (lahir di Banjarmasin, 27 September 1969) adalah walikota Banjarbaru yang menjabat pada periode 2016 hingga 2021, ia menggantikan walikota sebelumnya Ruzaidin Noor. Terpilih sebagai Walikota pada pilkada 2015, berpasangan dengan Darmawan Jaya Setiawan.

Sudah tidak rahasia lagi, penjabat-penjabat pemerintahan, pabila keluar dari daerah kerjanya, mengikuti acara-acara serupa ini, biasanya hanya “suka setor wajah.” Apalagi pada acara seni dan budaya. Momentum acara diluar daerah kerjanya yang dihadirinya hanya menjadi alat sebagai alasan untuk menggunakan masa “melancong.” Di waktu pembukaan acara dia hadir. Sesudah itu menghilang. Yang terlihat mengikuti acara hanya stafnya. Penjabat itu baru terlihat lagi di acara penutupan.

Sepanjang rangkaian acara seminar, Walikota Banjarbaru ini terlihat mengikuti dengan baik. Sayang aku tidak memiliki kesempatan untuk melakukan percakapan lebih jauh dengannya. Namun sikapnya pada saat kehadirannya, ia adalah seorang yang familiar. Akan bersemangat pabila bercerita perihal budaya dan potensi Banjarbaru.

Selepas acara penobatan Tokoh Numera 2017, ketika acara malam kedua berakhir, aku dan Walikota berjumpa di pintu keluar Dewan Al Ghazali untuk kembali ke hotel. Kami saling menyapa dan berfoto. Esoknya sebelum peserta seminar berangkat melakukan pelancongan ke beberapa destinasi di Kuala Lumpur, Walikota Nadjmi, kembali berjumpa di depan lobby hotel. Kami berbicara singkat dan saling mengucapkan salam. Dia menyampaikan ucapan maaf, karena lebih awal untuk kembali.

Saat menulis tulisan catatan ini, aku mencoba merangkai kembali perihal “perjumpaanku” dengan Nadjmi Adhani, Walikota Banjarbaru. Tersadarlah aku, bahwa selama acara itu aku sesungguhnya tetap dengan kebiasaanku yakni “tak pernah memikirkannya.” Kehadiranku saat itu tak obahnya sebuah alat rekam saja. Setiap yang terlihat dan terdengar terekam begitu saja. Tersadar atau tidak. Setelah berlalu, barulah aku melihat dan mendengar rekaman itu kembali.

Jadi “seseorang” yang bertemu satu meja di restaurant & caffe hotel hari pertama itu, adalah seorang Walikota. Aku mengira teman-teman peserta dari Kalimantan saat itu terjumpa “orang kampungnya.” Tidak tahu bahwa yang duduk di sampingku adalah Walikota.

Selang berapa waktu setelah itu pada petanghari yang sama, aku pindah duduk di teras depan. Duduk bersama Hudan Hidayat dan teman-teman. Datang rombongan Iberamsyah turut bergabung. Diantaranya yang duduk di sebelahku. Tapi setelah akan berakhir percakapan, baru terlintas dibenakku, orang itu adalah Nadjmi Adhani Walikota Banjarbaru.

Walaupun saat itu sekilas aku mengetahui Nadjmi adalah seorang Walikota tapi, aku tidak terpikir bahwa orang yang sama inilah sebelumnya, tadinya duduk semeja di dalam restaurant dan caffe hotel. Termasuk tidak pula sadar bahwa dialah yang akan didaulat memasangkan tanjak dan menyerahkan plakat penobatanku sebagai Tokoh Patria Numera 2017 malam esoknya.




Cilakanya lagi, pada waktu malam esoknya, Malam Penobatan Tokoh Numera 2017, aku juga tidak pernah terpikirkan bahwa Numera Malaysia memberikan kehormatan kepada Nadjmi memasangkan tanjak menandai penobatanku. Aku baru mengetahui, karena sudah sama-sama berada di atas pentas yang sama di waktu penobatanku.

Bahkan sampai rangkaian acara berakhir, sama sekali tak terpikirkan bagiku rangkaian dari tiga momentum “pertemuanku” dengan Walikota Banjarbaru itu. Seakan-akan tidak berkait. Padahal satu sama lain memiliki keterhubungan tak tersadari.

Hakikatnya, aku ingin menuliskan ini, karena selama ini, aku telah dipenuhi oleh perilaku “penjabat” yang tidak memiliki “respek” kepada aktifitas kesenian dan kebudayaan. Baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga membentuk diriku secara alamiah “protect” kepada “retorika penjabat.”

Sedang pada waktu singkat ---yang belum tentu dapat membuat kesimpulan pada personality--- aku telah “bersimpati” kepada Nadjmi Adhani, karena sepanjang kehadirannya di rangkaian acara seminar sastra, “tidak tampil” sebagai seorang penjabat tapi “menyatu” menjadi lebur dalam suasana sastra di dalam kesastraan.

Tidak hanya Walikota Banjarbaru saja yang mendapat kehormatan dalam peristiwa sastra internasional ini tetapi, acara Seminar Internasional Sastera Melayu Islam 2017 di Kuala Lumpur ini juga mendapat kehormatan “menuliskan sejarah.” Yang luput dari perhatian banyak orang. Dimana ada seorang Walikota dari Indonesia bersedia hadir dan menjadi “orang sastra.” (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Sabtu, 18 November 2017

KUMPULAN PUISI AHMAD TAUFIQ

“Mengulum Kisah dalam Tubuh yang Terjarah,” buku kumpulan puisi Ahmad Taufiq, penyair dari Jawa Timur, sekaligus salah seorang tenaga pengajar di Universitas Jember.




Buku kumpulan puisi Ahmad Taufiq ini terbit tahun 2016 tapi sampai di tanganku pada bulan September 2017 dari penulisnya sendiri. Itupun tidak di Indonesia tapi di Kuala Lumpur, Malaysia. Karena sama-sama menghadiri, Seminar Internasional Sastera Melayu Islam di Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur.

Pertama mengenal dan bertemu, karena sama-sama menghadiri Anugerah Puisi Dunia Numera 2014. Selepas itu, kami kemudian menjalin komunikasi melalui media social fesbook. Pertemuan kali kedua ini, sama-sama berada di Kuala Lumpur oleh penyelenggara kegiatan sastra yang sama yakni Persatuan Sasterawan Numera Malaysia.

Buku kumpulan puisi Ahmad Taufiq ini berisikan 41 buah puisi. Membagi dalam empat bahagian. Sebagai Adam Akulah Sejarah Tubuhmu yang Terbenam, Mengulum Kisah dalam Tubuh yang Terjarah, Suluh di Semenanjung dan Aku Berlayar dengan Kafan.

Cover buku “mencirikan” buku-buku sastra ini, tampil dengan format standar buku, tertata dengan baik, baik pilihan font judul dan teks isi, kualitas cetak, memberikan kenyamanan bagi pembaca.

Buku juga dilengkapi di bagian cover belakang, menampilkan dua endorsemen, sebagai pemberi gambaran terhadap karya dan penulisnya. Pertama merupakan kutipan dari pertanggungjawaban penilaian Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 oleh Ketua Dewan Juri, Sasterawan Negara Dato’ Dr. Ahmad Khamal Abdullah, dimana puisi Ahmad Taufiq menjadi salahsatu puisi penerima anugerah. Kedua dari penyair Yogyakarta, Imam Budhi Santosa.

Judul Buku: Mengulum Kisah dalam Tubuh yang Terjarah
Jenis Buku: Kumpulan Puisi
Penulis: Ahmad Taufiq
Halaman: viii -  62
Cetakan: 2016
Penerbit: Interlude, Yogyakarta

ISBN:  978-602-73873-9-3

Selasa, 14 November 2017

KAIN CINDAI PANJANG TUJUAH

Sejumlah puisi-puisi yang ditulis dan terinspirasi dari menghadiri “Anugerah Puisi Dunia Numera 2014,” di Kuala Lumpur, Malaysia, awal tahun 2014, disaat kabut asap kebakaran hutan di Sumatera mencapai tanah semenanjung.




Akhirnya, aku mengambil keputusan untuk pergi ke Kuala Lumpur, setelah ingin bertahan tidak akan pergi. Sejak akhir tahun 1990-an, aku sudah “menghilangkan diriku” dari pelbagai acara-acara kesenian. Termasuk mulai menghentikan mempublikasikan tulisanku ke media suratkabar. Aku memilih hidup “dalam kegelapan,” menghindar diri bertemu teman-teman dan tak ingin diketahui keseharianku sebagai “Pangeran Kegelapan.”

Puisiku “Hang: Kekal di Selat Melaka,” terpilih menjadi salah satu puisi yang mendapat Anugerah Puisi Dunia Numera 2014. Selain puisi itu, 2 puisi lainnya, “Puteri Hijau” dan “Tumpak nan Sembilan” termuat ke dalam buku Antologi Puisi “Risalah Melayu Nun Serumpun,” yang diterbitkan Persatuan Sasterawan Numera Malaysia sebagai penyelenggara peristiwa sastra tersebut.

Aku tidaklah seorang pendekar. Juga bukan seorang jagoan berkelahi. Aku hanya orang biasa yang menyukai dunia kepenulisan. Karenanya “kehadiranku” tak kuingini dengan hanya “tangan kosong,” seperti banyak kutemui para pendekar dan jagoan “tangan kosong,” di berbagai peristiwa kesenian.

Setiap seusai acara kesenian yang diikutinya, baik memang “murni” diundang hadir karena kapasitas diri dan karyanya maupun sebagaimana tradisi sekarang ini yakni “minta” sendiri agar diundang penyelenggara acara, biasanya pulang tidak “menghasilkan” apa-apa kecuali, hanya menambahkan satu baris dalam daftar riwayat hidupnya bahwa telah pernah diundang acara “bergengsi.” Sebagai bentuk penjelasan kepada orang lain, dirinya adalah pendekar atau jagoan di dunianya.

Karena pendekar atau jagoan itulah (barangkali) makanya mereka tangan kosong. Sepulang dari setiap acara, hanya membawa “sejumlah file foto digital” rekaman dirinya dan “sejumlah buku” pemberian atau hasil tukar menukar. Tak akan “ditemukan” sebuah tulisan artikel yang ditulisnya “bercerita” sesuai dengan “sudut pandangnya” perihal peristiwa yang dihadirinya. Atau sekurang-kurangnya berupa postingan foto yang disertai catatan pendek perihal acara (tidak dirinya pribadi) di akun media sosialnya.

Begitulah umumnya penulis yang menghadiri acara penulis. Atau kini lebih popular disebutkan sebagai sastrawan dan acara sastra. Penulis yang tidak “tergerak” hatinya untuk menulis meskipun penulis.

Tulisan berupa artikel dapat dikirimkan ke berbagai media atau setidak-tidaknya diposting melalui blog pribadi atau media social lainnya di internet. Atau lebih praktis berupa catatan 2 – 3 paragraf di media fesbook dan semacamnya. 

Tetapi tidak banyak menggunakan media tersebut sebagai “bentuk” dari kehadiran di pelbagai peristiwa. Bentuk meramaikan publikasi informasi. Bentuk menunjukkan tanggungjawab moral eksistensi diri. Di abad kemudahan teknologi informasi oleh setiap orang. Apalagi bagi seorang penulis yang kreatif.

Jika ada 100 orang penulis menghadiri acara sastra, ada 80 orang diantaranya tergerak hatinya menulis catatan topic acara yang dihadirinya, kemudian mempublikasikannya ke berbagai media mainstream atau pun media social. 

Itu artinya ada 80 orang “memperlihatkan” kemampuannya menulis dan ada 80 tulisan tersebar yang dapat dibaca dan diketahui oleh khalayak ramai perihal sastra, selain hanya dirinya sendiri dan teman-temannya saja. Ada 80 orang yang tidak menjadikan dirinya hanya sebagai “benalu” tapi “ikut” membesarkan “peristiwa” yang dihadirinya.

Sayang, hanya sedikit diantara para pendekar dan jagoan tangan kosong di rimba kepenulisan kita dewasa ini, menggunakan “senjatanya” dengan “baik” untuk menulis “peristiwa sastra” sekembali dari peristiwa sastra itu sendiri. Mereka itu memang tidak pendekar atau jagoan tangan kosong tapi ia menulis. Dengan tulisannya apapun kualitas dan kepentingannya, membuktikan dirinya adalah memang penulis!

Aku senang menulis. Aku suka menuliskan hal-hal yang aku lihat, aku pikirkan, juga apa yang aku rasakan. Aku tidak seorang pendekar atau pun jagoan. Aku hanya seorang penulis.

Adanya teknologi internet, adanya media social, tanpa menyita waktu, ada banyak kemudahan dan simple dapat dilakukan menuliskan catatan-catatan singkat untuk dibagikan, memberikan apresiasi pada masyarakat, selain hanya foto-foto diri sendiri.

Aku pun menulis beberapa tulisan, kemudian “kusimpan-publikasikan” di blog pribadiku, selain berbagai postingan lompatan spontanitas di media social akun fesbookku sendiri, perihal peristiwa Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 yang akan kuhadiri. Ternyata tulisan-tulisan itu tiada tersadari cukup untuk dikumpulkan dalam bentuk sebuah buku kecil sederhana. Akupun editing, mengatur tata letaknya, merancang cover dan mencetaknya menjadi buku.

Tenggat waktu yang singkat aku telah menghasilkan sebuah buku berupa catatan kebudayaan berjudul, “Izinkanlah Aku Bicara” (2014). Sejumlah dari buku ini kubawa serta ke Kuala Lumpur, bersama satu kumpulan puisiku, “Antara Bukik Punai” (2008).

Kedua buku itu telah menjadi “buah tangan.” Kehadiranku tidak sebagai pendekar atau jagoan “tangan kosong.” Tidak hanya sekadar “menerima” hadiah tapi “kukembalikan” dalam bentuk lain. Walau pun aku sadar, dalam konteks itu, aku tidaklah seorang yang “diutamakan.” Tidak memiliki beban moral yang tinggi. Tetapi bagiku, semampuku, kepada diriku dalam hal apapun, disitulah aku “mempertaruhkan” itikad kepenulisan yang kupilih.

Berbekal sebuah camera pocket 20.1 mp tanpa memiliki ponsel pintar dan laptop, aku mengikuti peristiwa sastra itu. Dari awal sampai akhir acara, aku “gunakan” alat sederhana yang kumiliki semaksimal mungkin, untuk merekam berbagai momen yang tidak hanya objeknya “diriku” sendiri.

Walau pun saat itu, aku belum memiliki sebuah personal computer atau pun laptop, sepulang dari Kuala Lumpur, di waktu-waktu senggang, aku gunakan waktuku menumpang bekerja menggunakan personal computer teman-temanku. Foto-foto dapat kuedit. Pergi ke kedai internet memposting. Berbagi informasi dan berbagi momen foto bagi yang membutuhkannya.

Sebuah buku catatan kebudayaan, foto-foto di album fb-ku, 9 video pendek documenter di youtube, sejumlah tulisan di blog pribadiku, itulah yang “kuhasilkan” dari momen peristiwa yang kuhadiri, meskipun bukan kewajiban yang dibebankan kepadaku. Tersebab aku penulis. Tidak karena orang lain. Tidak karena hadiah. Tidak karena honor. Juga tidak karena adanya hubungan “kedekatan.”

Sampai hari ini, masih ada sejumlah topic berkait peristiwa sastra itu yang belum sempat kutulis. Itu tetap akan kutulis nantinya untuk blog. Pun ada sebuah buku yang masih terbengkalai aku susun. Nanti ada waktu, tetap akan kuselesaikan. Walau waktu telah berlalu dari tahun 2014.

Begitu juga terhadap buku kumpulan puisiku ini, adalah puisi-puisi yang kutulis dan terinspirasi sejak mula menjejak kota Kuala Lumpur menghadiri Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, sampai aku kembali ke tanah air.

Sebagai penulis, aku bentangkan Kain Cindai Panjang Tujuah
Bacalah.

Abrar khairul ikhirma
November 2015

Judul: Kain Cindai Panjang Tujuah
Buku: Kumpulan Puisi
Penulis: Abrar Khairul Ikhirma
Penerbit: Cati Bilang Pandai
Cetakan Pertama: 2015
Halaman: 60

Kandungan Isi:

TITIAN KATA – BANGSAR – PANDANGAN PERTAMA – HANG: KEKAL DI SELAT MELAKA – SEBUAH ANALISIS AKRAB – PUTERI HIJAU – TUMPAK NAN SEMBILAN – DBP – KAIN CINDAI PANJANG TUJUAH – KUALA LUMPUR 2014 – LEMBAH BERTIMAH – SENJA DI MELAKA – CINDERELLA MELAKA – SANG PENEROKA – BANDARAYA – YAP AH LOY – JEUMPA D’ RAMO – KHATIJAH SIDEK – GURINDAM 13 – BUKIT BINTANG – BERLAYAR DI HUTAN BETON – TERBAWA MIMPI – GAGAK HITAM – RIWAYAT PERTEMUAN – LEPAS TANGKAI - BIOGRAFIE

Minggu, 12 November 2017

CERITA TULUS DARI DIDING

Satu eksemplar terakhir, “Hang Tikam Tuah Kenang,” buku kumpulan puisiku yang kubawa ke Kuala Lumpur, kuberikan kepada Diding Tulus.




“Terimakasih, kang,” sambut Diding Tulus menerima pemberianku, dalam bilik yang sama 1305, Summit Signature Hotel, Puchong, Kuala Lumpur, sepulang dari penutupan resmi “Seminar Internasional Sastera Melayu Islam,” yang diselenggarakan di atas kapal motor “Kelah” di Cruise Tasik, Putrajaya.

Buku tipis seadanya itu, dicermatinya seketika yang berada di tangannya. Secara spontan ia berkata, “Insyaallah, aku akan baca puisi-puisi Akang ini, terimakasih…,”

Meluncurlah perkataan yang lainnya kepadaku, perihal “kesederhanaan” buku yang diterimanya yaitu “keberanianku” memilih jalan jilid buku hanya dengan “hacter” atau biasanya di Indonesia dikenali “diklip.”

Sebelum popular tampilan buku-buku sastra sejak beberapa tahun terakhir ini dengan teknis jilid lem panas (menggunakan mesin), jilid sederhana (manual) dengan hacter sudah biasa dikenali pada dunia percetakan. Digunakan untuk buku dengan jumlah halaman tidak banyak. Jika buku tebal, umumnya dilakukan dengan jilid “jahit” dan “lem.”

Ketika aku sampaikan kepada Diding perihal, aku tidak begitu tertarik untuk semacam itu kepada buku-buku “setebal tembok.” Maksudnya buku tebal setebal batu bata. Dengan halaman yang sangat banyak. Alasanku, selain membutuhkan cost produksi lebih, mungkin akan lebih banyak tidak bermanfaat. Ada dua hal kerugian harus ditanggungkan. Pertama cost produksi yang umumnya tidak “pulang modal.” Kedua, diragukan apakah buku itu “sanggup” melawan “kemalasan” seseorang untuk “menyediakan” dirinya membaca “sepenuhnya,” isi buku itu.

Benar ada orang “gila” untuk membaca. Setebal apapun sebuah buku akan ditelannya habis-habis. Sampai yang bersangkutan mampu menahan “kencingnya” meskipun sudah waktunya pergi ke toilet.

Berapa orang gila semacam itu? Kita sadar, ada banyak diantara kita hari ini, melampaui jumlahnya dari orang gila itu, dibesarkan turun temurun tidak dalam budaya membaca. Kita lebih banyak hidup di tataran “membaca” lisan dan mendengar perkataan. Tidak membaca tulisan. Mungkinkah ada banyak orang bisa seketika melihat buku setebal tembok, berubah diri dari tidak biasa membaca menjadi membaca?

Setahuku sejak masa dahulu, yang sering dihembus-hembuskan ---terutama dari kalangan sastra sendiri--- itu, diingat banyak orang, apalagi bila lewat di depan perpustakaan ialah adanya tulisan semboyan, “buku adalah jendela dunia.”

Kita sadar. Di sekeliling kita hari ini, ada banyak rumah ditemui dengan jendela hanya tertutup. Penghuninya pada pergi. Hampir-hampir jendela itu tak pernah dibuka. Jendela secara fisik itu saja sudah fenomenal. Apalagi memiliki, membuka dan membaca sebuah buku? Termasuk di internet melalui media social. Untuk postingan dengan jumlah kata yang “sepanjang tali beruk” tidak semua orang hendak membacanya. Kecuali sekadar basa basi mengklik “like.” Itupun dalam jumlah terbatas.

Kemudian Diding bercerita, ada banyak orang selama ini membuatnya merasa terheran-heran. Pasalnya ia sering dengar perkara, puisi orang itu belum cukup banyak jumlahnya untuk membuat buku. Buku tebal perlu banyak puisi. Karenanya, orang itu sibuk menulis puisi untuk bisa satu buku diterbitkan. “Heran ya kang, apa memang ada ketentuan jumlah puisi dalam satu buku?” gumam Diding.

Senang juga mendengar perkataan Diding. Senang, karena aku menemukan orang yang memiliki pandangan sama “menggelitik” dalam perkara “kemeriahan” penerbitan buku, terutama buku-buku puisi ramai diterbitkan dimana-mana saat beberapa tahun terakhir ini. Tebal. Dijilid lem panas.

Diding Tulus, begitu nama lengkapnya dikatakannya kepadaku. Seorang teman baru kukenal. Karena sama-sama “menyertai” acara sama, Seminar Internasional Sastera Melayu Islam, yang diselenggarakan Persatuan Sasterawan Numera Malaysia, 28-30 September 2017 di Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur. Kami berdua ditempatkan satu bilik di bilik nomor 1305.

Diding menetap di Kota Bandung. Ia merupakan “orang Sunda.” Kesehariannya menggeluti usaha di dunia percetakan. Bergaul dengan kalangan kesenian. Kehadirannya di Kuala Lumpur adalah pengalaman pertamanya keluar negeri. Diakuinya atas dorongan Hudan Hidayat, seorang yang kini mengasuh halaman grup fb, “Sastra Maya,” di media internet. Ia datang bersama Hudan.

“Saya tidak penyair, tidak sastrawan, saya suka saja sama sastra dan bergaul dengan orang sastra,” tutur Diding diantara percakapannya denganku.

“Lebih baik begitu,” jawabku, “Daripada mengaku sebagai sastrawan.” Kujelaskan kepada Diding pandanganku terhadap “kehadirannya” di sastra. Kini banyak “bermunculan” diantara yang memang menekuni kesastraan, para “sastrawan rasa penerbit.” Lebih giat “menguruskan” penerbitan buku-buku, tidak giat berkarya sastra. 

Kesan ini terlihat di banyak penerbitan antologi. Sebagai tanda sebagai sastrawan, ia sertakan satu dua puisinya, kalau tidak “memasangkan” kata pengantar, sedikitnya endorsemen di bagian cover belakang setiap buku. Tentu lebih tersebab dia yang menguruskan buku itu.

Apapun alasannya, tidak ada salahnya hadir atau mengikuti kegiatan berbagai berbau sastra. Setiap acara tentu memiliki suasana berbeda. Meramaikan pertumbuhan dan perkembangan sastra. Maka jauh lebih baik kamu tegaskan kehadiranmu di sastra dengan jelas, sebagai seorang “penggiat buku” ketimbang “menyerupai” sastrawan tapi hanya bergiat demi “usaha” menerbitkan buku. Meskipun dalam usaha kecil-kecilan (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Sabtu, 11 November 2017

MASJID NEGARA DI KUALA LUMPUR

Masjid Negara ialah masjid utama di Malaysia, terletak di Kuala Lumpur. Masjid ini dibangun pada tahun 1963. Diresmikan 27 Agustus 1965.




Setelah puas berkeliling dan menikmati makan siang yang penuh keakraban di Muzium Kesenian Islam Malaysia, akhirnya sampailah ke waktu untuk bersholat zhuhur. Kunjungan selanjutnya peserta “Seminar Internasional Sastera Melayu Islam 2017” yang diselenggarakan Persatuan Sasterawan Numera Malaysia di Kuala Lumpur, ialah ke Masjid Negara Malaysia.

Masjid Negara berada di kawasan strategis pusat kota Kuala Lumpur. Berhadapan dengan Stesen Keretapi Malaysia, berdampingan Bangunan Daya Bumi, Pos Besar Malaysia, Muzium Kesenian Islam, Taman Burung Kuala Lumpur dan Taman Tasik Perdana.

Terletak di kawasan seluas 13 ha. Dapat menampung 15.000 orang jemaah. Menjadi salah satu icon Kuala Lumpur. Masjid ini merupakan lambang keagungan Islam sebagai agama resmi di Malaysia. Menjadi tonggak sejarah bagi Negara Malaysia. Karena masjid dibangun di masa awal Malaysia terbentuk. Melambangkan semangat perpaduan dan toleransi. Memiliki 7 pintu masuk.




Dari Muzium Kesenian Islam Malaysia, aku berjalan kaki menuju Masjid Negara. Udara siang tidak terlalu panas. Melangkah di jalan setapak yang disediakan, terasa dapat menikmati tiap jengkal yang dilalui. Suasana nyaman lebih terasa. Karena jauh dari keramaian lalu lintas kendaraan dan manusia. Tanaman pelindung pun memberi kerindangan. Kebersihan sangat terjaga dengan baik.

Sekilas mendekati kawasan masjid, langsung saja tertumbuk pandangan kepada menara Masjid Negara. Menara itu berbentuk roket. Konon tingginya ada 245 kaki. Dirancang mengingatkan sebuah payung yang sedang kuncup. Disebut sebagai lambang kesetiaan. Mengingatkan kepada bentuk payung Diraja.

Ketika mencapai salah satu sisi Masjid Negara, aku yang menyukai bangunan-bangunan lama dan bangunan dengan arsitektur penuh citarasa seni, mendapatkan pemandangan yang menarik pada bangunan di seberang jalan. Bangunan itu urusan agama di wilayah persekutuan.




Dari tepi pagar Masjid Negara, kunikmati lagi seni bangunan Masjid Negara yang menurut catatan kudapatkan, melibatkan 3 orang arsitek yakni Hisham Albakri, Howard Ashley dan Dato Baharuddin Kassim. Dengan melakukan perbandingan dengan masjid-masjid di India, Pakistan, Turki, Arab Saudi, Republik Arab Bersatu dan Spanyol.

Selesai berwuduk, aku pun menaiki tangga untuk mencapai lantai pertama. Arsitekturnya menawarkan suasana luas dan lapang. Saat kedatangan, terlihat sejumlah pekerja tengah sedang melakukan perawatan masjid. Di sisi terbuka, ada kolam. Airnya terlihat tidak jernih. Pekerja tengah memasang lampu hias di beberapa bahagian sisi kolam.

Aku memilih masuk ke dalam masjid, ke ruang sholat, melalui salah satu pintu di bahagian depan. Kedatanganku tidak pada waktu sholat berjamaah. Sehingga aku memilih bahagian depan bersisian dengan dinding ruangan. Lalu melaksanakan sholat zhuhur.

Selesai sholat, aku mengitari pandanganku ke sekeliling ruangan. Ada beberapa orang selain diriku di dalamnya. Mengingat kedatanganku bersama rombongan, aku tak hendak menyusahkan terlalu lama terpisah dari rombongan. Sekeluar dari dalam ruang utama masjid, aku bertemu Dr. Phaosan Jehwaee, pengajar di University Fatoni, Patani, Thailand Selatan, yang sama-sama satu rombongan pelancongan peserta seminar. Ia juga akan sholat.

Sendirian aku menyempatkan diri melakukan pemotretan beberapa momen. Mumpung sudah berkunjung ke Masjid Negara ini.

Selepas menuruni anak tangga, kembali hendak mencapai halaman, di tempat aku mengambil sepatuku, aku berkenalan seseorang. Ia sangat senang mendengar aku adalah datang dari Indonesia. Kami bercakap-cakap sekilas . Keakraban islami.




Menurut sisi lain sejarah pembangunan Masjid Negara ini, idenya muncul sebelum hari kemerdekaan Malaysia. “Sebuah majlis yang dahulunya dikenali sebagai Majlis Kerja Persekutuan memutuskan untuk mendirikan sebuah masjid sebagai tanda penghargaan kepada bekas Perdana Menteri, Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj, terhadap jasa-jasanya kepada rakyat. Selepas mencapai kemerdekaan, Majlis Raja-Raja memperkenankan projek tersebut. Bagaimanapun, Tunku tidak mahu masjid dinamakan sempena namanya, tetapi sebaliknya mencadangkan ia dinamakan Masjid Negara”.(Wikipedia).

Tercatat sebagai Imam Besar pertama Masjid Negara Haji Ghazali Abdullah (1965). Sejak dibangun, tahun 1987 bangunan Masjid Negara mengalami penyesuaian secara menyeluruh. Atap semula kusam kini bergemerlapan dengan jubin hijau dan biru. Memiliki jalan bawah tanah menyambungkan National Mosque dengan Stesyen Kerata Api, sepanjang Jalan Sultan Hishamuddin. Berhampiran dengan masjid terdapat Makam Pahlawan, tempat dimakamkan beberapa ahli politik Malaysia (*) copyright: abrar khairul ikhirma - 2017