Jumat, 30 September 2016

NAZEKA KANASIDENA: “ILTIZAM SABAH” ANTARA BAHASA GAMBAR DAN KATA





“OOOIIIKKK…!!!” suaranya spontan terkejut tatkala aku menghadang langkahnya sembari kusapa Sang Penyair dari Semporna, Sabah --- daerah terletak di ujung Timur Pulau Kalimantan (Borneo)--- saat malam baru saja berangkat menjadi sempurna di Kuala Lumpur. 




Suatu yang tak sukar bagiku untuk mengenal rupanya dan nama penyair ini. Beliau sangat rajin memposting karya-karya fotografie, puisi dan buah pikirannya di media social (medsos). Tidak hanya sekadar rajin. Bila mencermati dari setiap postingannya di akun fb-nya, beliau sangat gigih untuk berbagi informasi, perihal dinamika daerahnya, sejarah dan pengalaman-pengalamannya, termasuk juga untuk berdiskusi.

Sehingga aku mudah mengenalnya. Suatu kebiasaan bagiku, aku akan respek pada seseorang bermula dengan apa yang telah dihasilkan. Lalu bagaimana proses dari setiap yang dicapai, sesuai dengan lompatan-lompatan pikirannya, yang ditunjukkan dengan cara bertutur, baik lisan maupun tulisan. Tidak semua orang mau berbuat hal demikian. Juga tak semua orang memiliki kemampuan dengan tujuan pada hal-hal yang mencerdaskan orang lain, lewat informasi maupun komunikasi, semacam terjadi di ikatan pertemanan media social dewasa ini.   

Karenanya, aku tak keberatan bersedia menyapanya lebih awal, ketimbang kemudian dia menyadari kehadiranku. Itulah perjumpaan kami pertamakali. Sama-sama menjadi peserta di Malam Puisi ASEAN 2016, bertarikh Jum’at malam 2 September 2016, yang berlangsung di Rumah PENA-Kuala Lumpur.

(Foto: Amelia Hashim)

Nazeka Kanasidena, nama pena dari Zubir Osman, Sang Penyair dan fotografer, saat itu sedang mencari teman sesama dari Sabahnya diantara keramaian para penyair dan tetamu. Karena ia memerlukan ada yang memotret kala ia baca puisi nantinya. “Untuk documentasi,” katanya. Spontan saja, aku menyatakan bahwa aku juga bermaksud akan memotretnya bila nanti dia sudah berada di panggung. 

Tetapi niatku itu rupanya kemudian tidak terwujud. Karena sesudah bercakap sejenak di perjumpaan pertamakali itu, aku mendapat seorang teman baru, kemudian aku kenal namanya setelah kami berteman fb, Murad Salleh, seorang penulis dari Johor. Percakapan kami  saling respek ---bertopik dunia penciptaan sastra--- penuh keakraban membuat aku terlupa untuk datang ke depan panggung. Aku baru tahu Nazeka sudah selesai saja baca puisi, lewat pengeras suara dari MC (Master Ceremony).

Dunia fotografie, dunia yang memerlukan tak hanya sekadar alat modern dan mahal. Pun tak sekadar mengandalkan penguasaan teknik camera sebagai alat. Diperlukan juga wawasan pemikiran, pendekatan seni dan kebudayaan, feeling terhadap objek dan peristiwa. Tanpa adanya dasar-dasar demikian, kecil kemungkinan kita dapati hasil foto dengan tema dan teknik yang berkualitas. Jutaan foto indah dengan teknik yang tinggi, telah banyak dihasilkan para “tukang foto,” mudah kita jumpai, terutama di jejaring internet. Namun karya foto berkualitas “berbicara” tak sekadar keindahan, tak semudah mendapatkan foto “landskap” dan foto “selfie” yang bertaburan di berbagai media.

(Foto: Amelia Hashim)

Menurut hematku, mencermati karya-karya fotografie Nazeka selama ini, berdasarkan postingan di akun fb-nya, adalah termasuk karya foto yang “berbicara.” Ada realitas yang direkamnya. Ada pesan hendak disampaikannya. Tanpa harus meninggalkan unsure artistic dan teknik sebuah foto. Mengingatkan perkataan fotografer professional Indonesia, yang pernah bekerja lama di Majalah TEMPO, Jakarta, “Mat Kodak,” Ed Zoelverdi, “Foto berisi berita, mencatat peristiwa dan sejuta makna.”

Sejak awal akun fb Nazeka aku terima masuk dalam list pertemananku, Nazeka memposting karya-karya fotonya selalu disertai dengan teks. Teks-teks tersebut berupa karya sastra puisi dan catatan-catatan sejarah/pemikiran. Berupa bentuk-bentuk “kegelisahannya” sebagai seseorang yang “mengamati” kehidupan social, politik, ekonomi, budaya dan pembangunan, yang sedang berlangsung.

Jujur saja, selama pertemananku di medsos sejak aku terima akun fb Nazeka di dalam akun fb-ku, rasa “pertemanan” lebih tersebab oleh karya foto yang dipublikasikannya. Karena aku sendiri dewasa ini lagi sedang tertarik “memerhatikan” hasil-hasil karya fotografie yang lewat di beranda fb-ku. Sementara teks-teks yang menyertai setiap foto, hampir tak pernah secara intens aku baca. Maklumlah, dalam hal membaca teks aku memiliki problem yang sangat kompleks dewasa ini.  Itupun seringkali aku sampaikan kepada banyak orang, sesuatu yang bertolak-belakang, dibandingkan dengan masa-masa terdahuluku, buas dengan pelbagai bahan bacaan.

Karya foto, baik teknik maupun topic yang dihasilkan seorang Nazeka, pada umumnya berlatar kehidupan yang terjadi di masyarakat “kelas bawah.” Masyarakat di pesisir pantai, khasnya di kawasan Semporna. Kawasan dimana terdapat etnik “orang laut,” yang disebut juga dengan Suku Bajau. Rupanya demikian juga pada Nazeka, dia pernah mengungkapkan sekali masa bahwa ia pun menyukai hasil-hasil fotoku, dengan objek alam dan kehidupan pesisiran ---pantai barat Pulau Sumatera--- yang seringkali aku tampilkan sebagai objek foto. Itu artinya, kedekatan kami tersebab dilatarbelakangi “dunia laut.”

SAMA MEMANDANG LAUT BUDAYA NUSANTARA


Pada kurun waktu ini, Nazeka dalam mengekspresikan “kegelisahannya” melalui media fotografie sebagai gambar dan karya tulis sebagai karya sastra puisi. Bahasa gambar dan bahasa kata. 

Kedua media tersebut berdampingan menjadi alat untuk berkarya, sesuai dengan sudut pandang yang dimilikinya. 

Sebagai sokongan apresiatif, aku pun pernah menyatukan teks puisi dan gambar ke dalam media video, berjudul “Nazeka Kanasidena: Penyair dari Sabah,” yang sudah kuposting di youtube. Sebentuk sumbangan untuk masyarakat sastra, masyarakat Melayu dan masyarakat dunia. 

Di Loby Auditorium Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur, waktu siang 3 September 2016, kami bertemu bicara di anak tangga loby, masa jeda acara Forum Penyair Asean, diantara keramaian para peserta acara. Tentu saja topic pembicaraan kami perihal “kehidupan orang laut” di nusantara. Meskipun tidak seilmiah kaum akademik atau para ahli sejarawan, pembicaraan kami sangat komunikatif dan menyenangkan. Karena memang, nusantara terbangun pada mulanya adalah dengan adanya “manusia-manusia laut.” Penyebaran manusia memanfaatkan laut.

Walaupun kini sudah terbagi-bagi tempat masing-masing bermukim ke dalam Negara-negara namun masyarakat nusantara, sesungguhnya adalah serumpun. Salah satunya, menurut pendapatku, “Langkah-langkah kesastraan yang dilakukan semacam ITBM-PENA-DBP, Malaysia, dengan menyelenggarakan acara Temu Penyair Asean, merupakan upaya penyatuan kebudayaan dengan jalan kreatifitas dan silaturahmi sesama Penyair dari Negara-negara se Asean.”

Dalam pembicaraan singkat bertemu muka ini, termasuk dalam sejumlah kontak lewat fb selama pertemanan fb, Nazeka selalu “berkobar” membicarakan tentang “orang laut.” Itu tak bisa dipungkiri, Nazeka merupakan salah seorang regenerasi dari suku “orang laut” nusantara. Seorang yang gigih dalam menelusuri sejarah perjalanan kebangsaan. Nazeka dilahirkan di Pulau Omadal, Semporna, Sabah, 21 April 1970. Merupakan keturunan Bajau Kuvang atau A’A SAMA KUVANG. Selain menulis puisi dan artikel menjadi fotografer, beliau merupakan Cikgu atau seorang guru di daerahnya.

Perjumpaan Nazeka denganku dalam tajuk Temu Penyair Asean 2016 ini, teramat menggembirakannya. Nazeka Kanasidena adalah nama pena dari Zubir Osman. Aku dihadiahkannya sebuah buku perdananya berupa kumpulan puisinya berjudul, “ILTIZAM.” Selain ucapan terimakasih, aku sampaikan, Insyaallah bila ada kesempatan aku akan mencoba membacanya.

Waktu senja, para peserta Temu Penyair Asean 2016 pulang ke penginapan dan kembali selepas waktu sholat Maghrib, untuk melanjutkan dengan acara “Deklamasi Puisi Asean 2016,” rangkaian acara sampai tengah malam. Auditorium DBP seketika menjadi senyap. Ada satu dua petugas terlihat di loby. Tak ada percakapan. Memilih diri untuk bersunyi senyap sendiri-sendiri. Aku memilih tidak pulang ke penginapan. Tak ada para penyair. Yang ada diriku sendiri. duduk sendiri di tangga luar auditorium Dewan Bahasa Pustaka Kuala Lumpur. Senja itu, bertarikh Sabtu 3 September 2016. Udara panas dengan sisa air hujan di ujung tangga.

Dalam suasana cahaya matahari menghilang digantikan cahaya malam, lampu penerang sudah dinyalakan. Kubuka buku ILTIZAM karya Nazeka. Aku tidak membilah-bilah halamannya, karena aku tidak bertujuan serius membacanya. Hanya sebagai alat pelerai kesendirian saja. Halaman yang terbuka, itulah puisi yang akan kubaca. Rupanya terbuka halaman 32-33. Di halaman buku setebal 200 halaman itu, terdapat puisi:

ALAM

Aku tenggelam
dalam kebesaran alam
merunduk fikir
bergetar sukma
bilang ego
sirna kesombongan diri
aku hanya setitis air
dalam lautan tujuh benua
aku hanya segumpal awan larat
dalam mega selaksa bahana
mana pun kupalingkan wajah
di situ jua tertumbuk akalfikir
tentang siapa empunya.

Jika kupandang sarwajagad
aku hanyalah sebutir debu
kuteroka diriku seutuhnya
tidak kuberdiri tanpa iradat-Nya

Pada Dia Sang Pencipta
kulebur diriku dalam zat-Nya
tidak perlu kucari Dia
hingga jauh ke belantara
kerana aku sendiri
datang dari Dia
dan akan kembali kepada-Nya.

Tong Talun
12012014


NAZEKA KANASIDENA (SABAH) ABRAR KHAIRUL IKHIRMA (INDONESIA) AMELIA HASHIM (KEDAH) LILY SITI MULTATULIANA (MELAKA) DI DEWAN BAHASA DAN PUSTAKA, KUALA LUMPUR





Sebagai proses wawasannya, baik dalam berfikir, rasa dan bertindak, Nazeka pada sejumlah pernyataannya menyebut, ia mengagumi hasil kesastraan yang ditulis sastrawan dari Indonesia. Ia membaca lumat dan berulang-ulang, karya-karya Pramoedia Ananta Toer dan pujangga, Prof. Dr. Hamka (H. Abdul Malik Karim Amrullah).

Nazeka pernah mengungkapkan, dia sangat ingin berkunjung ke tanah kelahiran Buya Hamka, sebagaimana pernah aku ceritakan, sebuah kampung bernama Sungai Batang, yang berada di salah satu sisi Danau Maninjau, Sumatera Barat (Ranah Minangkabau), Indonesia. Sampai kini ramai dikunjungi orang berbagai Negara dan bangsa. Salahsatunya berasal dari Malaysia. Menikmati alam, menziarahi rumah kelahiran Buya Hamka dan perpustakaannya, yang kini sudah dijadikan sebagai museum.

Aku sendiri pun pernah juga terbetik terkatakan bahwa suatu saat hendaknya aku dapat pula sampai menjejak tanah Semporna di Sabah. Karena “terpesona” akan hasil-hasil fotografie Nazeka dan catatan-catatan sekitaran sejarah perjalanan kehidupan alam dan budaya setempat. Tentu saja aku terkilan-kilan ingin mengabadikan sebuah potret dengan latarbelakang kebanggaan Sabah yakni, Gunung Kinabalu. Disuatu hari nanti.

Nazeka belum datang ke Maninjau. Aku pun belum pergi ke Sabah. Kami sama-sama belum mewujudkan keinginan itu. Rupanya, kami yang selama ini hanya saling mengenal melalui fb, malah bertemu pertamakali di Kuala Lumpur pada acara yang sama kami hadiri Temu Penyair Asean 2016.

Siapa yang menduga???
Tak ada sama sekali kami menyangka dan merancangnya.
Pantarei…

 Abrar Khairul Ikhirma
Sintok-Kedah, 07/09/2016

Kamis, 29 September 2016

TABUIK DI PADANG KARBALA Puisi Abrar Khairul Ikhirma



Arakan Tabuik Pasa "Maambiak Tanah"

Di satu Muharam lelaki menyelam sungai.
Menggenggam pasir dari dasar waktu, yang hadir bersamamu.
Pertanda dikenang engkau kembali, di abad yang sudah lalu

Sebatang tebu yang ringkih sebatang pisang putih,
dalam lingkar orang-orang tercengang berdebar:

Pedang panjang terhunus tajam berkilat,
sekali tebas mengayun kematian terdahulu.
Penggal kepala penggal hidup, tinggalkan dunia.
Cinta hadir mengalir anyir darah tak sudah kepadamu.

Serentak bangkitkan takbir perlawanan 
kezaliman manusia atas manusia:
Hasan! Hosen!
kami berseru!
kami menyerbu!

Batang-batang bambu kini ditegakkan di halaman sejarah pilu.
Tangan yang lincah menganyam bilah-bilah rotan mengukir rambu-rambu.
Bungo salapan terkulai tak patah, burak hitam tegak gagah, rumah itu tak sunyi hari.
Sepanjang siang sepanjang malam engkau hadir bersama kami.
Di sini wahai para cucu Nabi.

Kezaliman zaman tak akan abadi
kami datang!
kami serang!

Lihatlah, orang-orang telah habis meratap di kubur halaman rumah.
Airmata itu menyayat sembilu di bilah-bilah waktu.
Tempat merangkai tekad tak sudah tegakkan jalan Allah.
Sayat menyayat, hilang timbul, kasih bergelombang bersama ombak,
hilang datang lawan berlawan, kami berseru:

Fissabilillah....!

Kematian itu, wahai..., melebur atas embun yang gugur.
Lihatlah, panja telah di arak berkeliling.
Jari jemari, tulang belulang di atas dulang.
Tabuik lenong berlenong-lenong!
Perang segera terjadi bagimu!
Kezaliman. Angkara murka.
Nafsu manusia.

Sebelum fajar bersambut pagi, keranda naik pangkat, naik ke puncak haribaan-Nya.
Burak bersangga tiang, sayap terkepak dua sisi, bungo salapan dan puncak menjulang langit. Kematian bukan rasa haru tapi darah menderu sederap untuk maju.

Padang Karbala, arak yang berduyun.
Lengang itu menjadi ramai.
Bertemu Tabuik Pasa kambang bulu, Tabuik Subarang patah pinggang! Hoyak!
Tengah hari tegak, matahari membakar amarah. Hoyak!
Gandang tasa berdentam-dentam, jiwa perkasa masa silam. Hoyak!

Hoyak!
Hoyak!
Hoyak!

Sesudahnya, persengketaan itu dibuang ke laut bersama senja:
“Kematian itu wahai saudaraku, tak seabadi duka yang panjang bersamamu.”

* Pariaman, 1 Muharram 2007