Kamis, 31 Agustus 2017

EKSOTIKA BENGKULU

Pada awal abad ke-17, daerah Bengkulu berada di bawah pengaruh kerajaan Banten dan penguasa dari Minangkabau.



KOTA BENGKULU DI MASA LALU


Inggris menduduki Bengkulu selama 140 tahun. Di samping Fort Marlborough, Company juga membangun Fort York di Bengkulu dan Fort Anne di Mukomuko..

Tahun 1719 Inggris dipaksa meninggalkan Bengkulu. Inggris kemudian kembali. Namun tahun 1760 Fort Marlborough menyerah.

Di bawah perjanjian Inggris-Belanda yang ditandatangani tahun 1824, Inggris menyerahkan Bengkulu ke Belanda, dan Belanda menyerahkan Melaka ke Inggris. Namun, Belanda baru sungguh-sungguh mendirikan administrasi kolonialnya di Bengkulu tahun 1868.

Belanda mendirikan  VOC atau Verenigde Oost Indië Compagnie atau "maskapai serikat untuk Hindia Timur". Inggris mendirikan East India Company atau "maskapai untuk Hindia Timur"

Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 Pemerintah Republik Indonesia tentang pembentukan Provinsi Bengkulu, Kotamadya Bengkulu sekaligus menjadi ibukota bagi provinsi tersebut. Namun UU tersebut baru mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 1968 setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1968.




K E T A H U N

Aku tak pernah merasa bosan menelusuri jalur lintas Pantai Barat. Jalan yang menghubungkan Kota Padang (Provinsi Sumatera Barat) dengan Kota Bengkulu (Provinsi Bengkulu). Dari utara ke selatan.

Pemandangan laut, lekak liku kontur Pulau Sumatera, berpantai dan berteluk. Termasuk jalur jalannya sungguh menyenangkanku. Bukan tersebab aku penyuka avonturier tapi aku menyukai melakukan kunjungan ke berbagai tempat.

Ketahun dan Lais, dua daerah dalam wilayah Bengkulu Utara merupakan tempat favouriteku sepanjang pantainya. Meskipun setiap menatapnya, hatiku kecut. Samudera Hindia demikian luas dan ganas ke daerah ini.

Tak berbilang meter lagi, daratan dihancurkannya. Abrasi gelombang laut tak henti mendera daratan. Pada waktu sebelumnya aku memotretnya dan di kali berikutnya, semua sudah hilang lenyap. Yang tersisa hanya kenangan kala menatap gulungan gelombang dan serpihan ombak menghantam daratan (*) copyright: abrar khairul ikhirma





PONDOK BESI

Menatap tertegak di pantai di kaki perbukitan kecil Tapak Paderi, Kota Bengkulu. Memandang ke arah setentang kawasan dermaga pelabuhan ikan Pondok Besi.

Betapa keras perjuangan nelayan setempat kala pergi dan pulang. Gelombang selalu tak pernah beramah hati. Bila pasang pun menyusut pantai menjauh ke tengah. Biduk dan kapal tak dapat merapat mendekati pantai.

Aku melihat hantaman itu membuat tak berdaya. Cadik biduk berderak dan patah. Ikanpun hasil tangkap tak sesuai dengan perjuangan yang dilakukan dan dihadapi taruhannya.

Hidup memang ada tantangan. Ada pula rasa tolong menolong dan persaudaraan. Tak bisa sendiri menghadapi perjuangan hidup (*) copyright: abrar khairul ikhirma




TIGA GADIS – TIGA MERIAM – TIGA RUMPUN BUNGA

Tiga gadis pengunjung benteng sisa penjajahan Inggris di Bengkulu, Fort Marlborough, melintasi ruang terbuka berumput dalam benteng ketika pagi menjelang siang.

Ketiganya masuk ke dalam frame pandanganku untuk mendapatkan suatu komposisi yang artistic. Tak sekadar bertemu keindahan. Aku memerlukan suatu cerita yang tidak hanya sebuah gambar. Karenanya kulihat tiga moncong meriam tua itu tepat mengarah pada tiga gadis yang melangkah dan sebuah pemberi keindahan tak jauh dari objek tiga rumpun bunga.

Begitulah aku menatap ke bawah. ketika aku tengah berada di bagian salahsatu puncak sisi benteng tua, dibangun sebelum Indonesia merdeka. Di Kota Bengkulu, aku seperti merindu (*) copyright: abrar khairul ikhirma




BOOM BARU PAGI-PAGI

Memasuki awal tahun 2013 silam, aku bertemu dengan genangan air laut yang dikurung membentuk danau kecil. Dulunya merupakan laut, menurut cerita orang-orangtua. Tapi ketika berdiri di atas benteng Fort Marlborough di tahun 1992 aku masih melihat kawasan arah laut di kaki benteng, ketika pasang laut susut, terbentang hamparan karang. Mendekati kaki benteng.

Kini laut sudah lama susut, daratan sudah terbentuk dan ditimbun. Kaki benteng sudah berjarak jauh dengan laut. Tiada lagi ombak mendekati benteng seperti dulu dikenal kawasan ini sebagai pelabuhan Boom. Kawasan laut dengan membuat kungkungan batu-batu yang didatangkan. Pelabuhan namanya.

Ada sebuah bangunan bulat, ada jalan dua jalur, ada bangunan café juga deretan tenda pedagang kaki lima membatasi pandangan sebelum mencapai danau kecil, membendung air laut.

Tapi ini hanya di tahun yang lalu.

Pada pagi-pagi di tahun 2017 ini, aku hampir tak menemukan seperti ini lagi. Maka itu artinya ia menjadikan sebuah kenangan dalam ingatanku (*) copyright: abrar khairul ikhirma




BOOM BARU WAKTU SIANG

Aku berjalan di tanggul beton penahan ombak setentang dari Benteng Marlborough memanjang setentang bukit kecil Tapak Paderi, Kota Bengkulu. Saat siang mulai menancapkan pisau cahayanya terang dengan udara terik. Membuat keringat dari tubuh dan kulitpun menjadi legam.

Air laut yang dibendung ke dalam suatu danau kecil itu tidak bertahan lagi, seiring pasang susut. Kalau pun pasang naik, kedalamannya tidaklah begitu dalam. Sepertinya impian untuk menjadikannya sebagai tempat bersantai berkayuh perahu, hilang pupus.

Yang kusaksikan terbentuknya bentangan pasir, lalu tanaman tapak kuda merambati di pinggir beton berusaha menutupi permukaan pasir di dalam “danau kecil” kawasan Boom Baru ini.

Dari arah laut sesiang ini, aku menatap arah daratan yang berjarak sepemandangan mata, nun Benteng Marlborough terlihat disela tanaman, juga bukit Tapak Paderi yang dikepung bangunan (*) copyright: abrar khairul ikhirma




PANTAI LAIS

5 tahun lalu, aku berhenti pada salahsatu titik. Beristirahat dalam perjalanan menyusuri jalur Lintas Barat pesisir pantai.

Mendekati pantai. Berdiri di atas daratan yang bertebing. Laut berada di bawahnya. Aku melihat sudah dibuat batu dalam ikatan kawat. Bukan batu-batu kecil yang didatangkan, agar ombak tak lagi merampas daratan.

Gelombang sambung menyambung mengakali agar tebing menjadi runtuh. Kiranya abrasi itu memang tak dapat dihentikan. Titik yang 5 tahun silam aku pandang, kini tempat yang sama itu sudah menjadi laut. Terjangan Samudera Hindia yang terus menerus membuat pertahanan daratan runtuh.

Pantai Lais, Bengkulu Utara tak jauh berbeda dengan nasib sepanjang Ketahun. Abrasi terus saja menggila.
Kukira ilmu juga demikian. Semakin kita pelajari dan pahami, kita akan tahu bagaimana semestinya hidup dimaknai (*) copyright: abrar khairul ikhirma




PULAU BAI

Kawasan pelabuhan Pulau Bai, Kota Bengkulu adalah pelabuhan alam yang aman dan indah. Terjangan Samudera Hindia kala musim cuaca tak bersahabat, merupakan tempat bersembunyi kapal-kapal adalah Pulau Bai. Indah, karena sekelilingnya ada view di kejauhan, hutan bakau mangrove yang kini masih dapat ditemukan. Entah ditahun-tahun mendatang.

Hutan bakau adalah salah satu lokasi aman bagi satwa atau pun ikan-ikan. Terletak di salah satu sisi Pulau Sumatera membentuk teluk yang luas. Dapat dimasuki kapal bertonase. Meskipun selalu dibayangi ancaman sendimentasi (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Rabu, 30 Agustus 2017

JEJAK VIETNAM DI PULAU GALANG

Tiga kali sudah aku mengunjungi bekas kamp pengungsi Vietnam di Pulau Galang, Riau Kepulauan. Dengan tahun yang berbeda. Dengan kesenyapan yang sama.




Dibandingkan dengan nama-nama pulau di Riau Kepulauan, Pulau Galang adalah nama pulau yang paling melekat dalam ingatanku. Karena pada paruh akhir tahun 1970-an berita Perang Vietnam dan pengungsi Vietnam hampir selalu menjadi berita utama Koran-koran daerah maupun nasional di Indonesia. Sebagai “penggila” pembaca berita suratkabar daerah dan nasional masa itu, berita “hangat” itupun sendirinya tak terlewatkan untuk kubaca.

Sungguh pun punya perhatian pada berita yang “mengharu-biru” itu, aku sendiri sejak masa itu tak pernah “bermimpi” untuk suatu hari dapat menjejak Pulau Galang. Namun perjalanan hidup memang sulit diduga dan diperkirakan. Tahun 2013 aku menjejak pertamakali Pulau Batam. Pulau Batam pernah popular sebagai kawasan perdagangan bebas dan industri semasa berstatus otorita. Dimasa-masa itu dari berbagai daerah di Indonesia, banyak orang berdatangan ke Pulau Batam “mengadu nasib” bekerja dan berdagang.

Pulau Batam di “tangan” BJ Habibie, yang menjadi Kepala Otorita Batam, sekaligus dikenal sebagai konseptornya, telah menyatukan tiga pulau berdekatan Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang hingga, menjadi satu kesatuan. Ditandai dengan dibangunnya Jembatan Barelang (Batam-Rempang-Galang). Sampai kini merupakan icon. Tempat “wajib” dikunjungi bagi mereka yang pertamakali menjejak Pulau Batam.



KAPAL YANG  DIGUNAKAN PENGUNGSI VIETNAM KE INDONESIA


Selama berada di Kota Batam, aku mengunjungi sejumlah tempat. Salahsatunya berkesempatan mendatangi “Kampung Vietnam,” sebutan masyarakat Batam untuk menyebut nama lokasi bekas camp pengungsi dari Negara Vietnam.

Memang jaraknya dari Kota Batam terasa sangat jauh dan melelahkan. Namun bagi yang menyukai perjalanan keluar kota, adalah suatu mengasyikkan. Dalam perjalanan kita akan disuguhkan pemandangan teluk dari ketiga pulau, lalu perbukitan batu dan tanah merah. Pepohonan tidak banyak tumbuh di sana sini, sehingga udara terasa panas.

Dari jalan raya yang menghubungkan Kota Batam sampai ke ujung Pulau Galang, Kampung Vietnam  hanya sejarak lebih kurang sekitar 60 meter. Dari pintu gerbang kita sudah disambut dengan kerindangan pepohonan. Udara pun terasa sejuk.

19 April 1975 pecah perang saudara di Vietnam. Perang berlangsung panjang dan kejam. Ribuan warganegara Vietnam berusaha menyelamatkan diri dari keadaan yang terjadi di negaranya. Sejak itu ribuan pengungsi meninggalkan negaranya, menuju Negara-negara yang dapat menerima “pengungsiannya.”
Pengungsi Vietnam menyelamatkan diri dari kekejaman tentara komunis Vietkong, banyak memilih keluar negaranya melalui jalan laut. Dengan kapal dan perahu mengharungi Lautan Cina Selatan, dengan berisi pengungsi melebihi kapasitas kapal dan perahu.




Tidak sedikit kapal dan perahu pengungsi dalam pelayaran mereka mengalami kerusakan, bahkan hilang tenggelam begitu saja. Ada jatuh sakit dan mati kelaparan, kehabisan air dan makanan. Diantaranya yang selamat setelah mengharungi samudera selama satu bulan, gelombang pertama pengungsi Vietnam mencapai Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Indonesia, 21 Mei 1975. Berjumlah 75 orang menggunakan satu buah perahu kayu.

Gelombang pengungsi Vietnam ini semakin lama semakin banyak, tersebab Perang Vietnam kian berkecamuk. Kehadiran pengungsi Vietnam ini akhirnya menjadi “masalah” di sejumlah negara tetangga Vietnam, yaitu Malaysia, Thailand dan Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsapun kemudian turun tangan. Organisasi PBB yang mengurusi pengungsi UNHCR mengadakan rapat beberapa negara di Bangkok. Menetapkan satu pulau di Indonesia dijadikan tempat pengungsian.

Pulau Galang seluas 250 ha di tahun 1970-an relative kosong. 80 ha digunakan sebagai camp pengungsi. Pengungsi Vietnam ini disebut juga sebagai “Manusia Perahu,” sudah tersebar di berbagai lokasi, akhirnya disatukan di Pulau Galang, hingga tercatat sebanyak 250 ribu jiwa. Biaya makan pengungsi, pendidikan dan kesehatan dibiayai oleh PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa).

Memasuki kawasan bekas camp Pengungsi Vietnam, seperti melakukan safary alam. Tidak banyak lagi bangunan yang dapat dilihat. Banyak yang sudah terlanjur hancur. Yang ada kini semak belukar dan pohon-pohon tanaman tumbuh subur. Konon tanaman tersebut, dulunya ditanam oleh para pengungsi, selama berada di pengungsian.



DI DEPAN VIHARA DI KAMPUNG VIETNAM MASIH TERAWAT
BERSAMA RAFQI CHANIAGO YANG MENETAP DI KOTA BATAM
KAMI PERNAH SAMA-SAMA BEKERJA DULU DI SURATKABAR
HARIAN SINGGALANG PADANG


Mungkin agak terlambat keputusan pemerintah untuk menjadikan Kampung Vietnam ini sebagai satu destinasi yang dibuka untuk wisatawan. Ketika asset yang ditinggal satu persatu “hilang lenyap” barulah keinginan datang. Sejumlah bangunan yang letaknya terpisah-pisah segera “diselamatkan.”

Sebuah museum yang dapat “menuntun” pengunjung ke masa pengungsian di camp ini pun didirikan. Dilengkapi sebuah kandang rusa tak seberapa jarak dari lokasi museum, sebagai daya tarik didirikan. Rusa-rusa ini sudah berkembang biak. Berdampingan dengan sebuah kapal yang digunakan pengungsi dari negaranya masuk ke Indonesia.

Kampung Vietnam ini dulunya cukup lengkap fasilitasnya. Selain fasilitas barak-barak pengungsi, terdapat juga rumah sakit, sekolah, rumah ibadah berbagai agama, pemakaman umum, termasuk sebuah penjara untuk yang melakukan kejahatan.

Kawasan ini dulunya tertutup bagi orang luar, kecuali fasilitas rumah sakit di mana masyarakat umum bisa menggunakan fasilitas tersebut secara gratis. Tempat ini dalam penjagaan TNI Polri, diawasi secara ketat oleh PBB.

Camp Pengungsi Vietnam tahun 1996 akhirnya ditutup. Setelah 16 tahun sejak mula kedatangan mereka di Pulau Galang. PBB memulangkan pengungsi ke tanah air mereka setelah perang berakhir.

Tiga tahun berturut-turut, aku berkesempatan mendatangi Kampung Vietnam bekas camp pengungsi Vietnam ini, 2013-2014-2015, hanya terlihat bangunan ibadah yang cukup terawat sampai kini, karena pemeluk agamanya ada yang memanfaatkan sebagai tempat ibadah.

Sedangkan bangunan-bangunan lainnya, sungguh menyedihkan. Semestinya bangunan tersebut harus tetap dirawat, apalagi sudah dijadikan suatu destinasi bagi wisatawan ke Kota Batam. Terutama bagi warga Vietnam yang ingin melihat jejak “kelam” sejarah bangsanya di masa lalu (*) copyright: abrar khairul ikhirma.

Selasa, 29 Agustus 2017

SUNGAI SUCI SUDAH KERING

1 Agustus 2017, tidaklah suatu penanggalan keramat. Tapi pada tanggal itulah, untuk pertamakali aku mendatangi Sungai Suci. Arah utara dari pusat Kota Bengkulu.




Beberapakali berada di Kota Bengkulu tapi tak ada kesempatan ke Sungai Suci. Nama Sungai Suci sudah lama menjadi agenda. Tentu saja tersebab ada kata “Suci” pada nama daerahnya, tidak pada kata “sungai” dimana kata suci dilekatkan.

Tidak mungkin nama itu ada begitu saja. Sudah pasti memiliki keterkaitan pada peristiwa atau suatu hal spesifik pada tempat, daerah atau pun menyangkut orang di masa lalu. Sehingga disebut dan diceritakan turun temurun pada kehidupan keseharian masyarakat setempat.

Daerah Sungai Suci adalah salah satu kawasan pantai dari Samudera Hindia, di bahagian selatan pantai barat Pulau Sumatera. Terletak di Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah. Tidak sulit untuk dicapai bagi yang berkeinginan mendatangi tempat ini untuk bersantai menikmati waktu libur.

Kawasan ini sudah lama banyak dikunjungi orang, hingga “dijadikan” sebagai salah satu objek wisata daerah. Dari pusat Kota Bengkulu hanya sejarak 15 km dan dari Bandara Fatmawati Soekarno, lebih kurang sekitar 25 km.

Dari jalan raya Bengkulu – Padang, ada sekitar 500 meter jalan menuju lokasi kea rah pantai. Melalui pemukiman penduduk dan tanah kebun mereka. Karena tidak ramai, serasa memasuki daerah kampong dan kebun. Udara terasa sejuk. Pemandangan hijau dengan pohon tanaman. Kiri kanan jalan kecil yang dapat dilalui kendaraan roda empat.

Jauh sebelum kedatanganku hari ini ke Sungai Suci, pada berbagai kesempatan berbeda, aku pernah bertanya perihal Sungai Suci pada sejumlah orang yang sudah lama bermukim di Bengkulu. Diantaranya ada hanya kenal sekadar nama tapi belum pernah mendatangi tempat ini. Mereka bercerita bahwa konon dulunya, ada orang-orang meyakini air sungai di tempat itu dianggap suci. Digunakan sebagai obat untuk si sakit sebagai jalan penyembuhan. Karena hal itu dinamakan Sungai Suci.




Boleh percaya, boleh tidak. Namanya juga kepercayaan orang pada masa dahulu. Aku sampai pada titik yang disebut dan kutemukan hari ini di kawasan pantai Sungai Suci. Daerah pesisiran yang selalu terancam oleh gelombang abrasi Samudera Hindia ke daratan.

Tempat ini semasa booming batu akik, menjadi lokasi orang mencari batu-batu yang dapat diasah dan dijadikan sebagai batu permata.

Aku tak menemukan sungai sebagaimana yang disebutkan sebagai sungai. Hanya sebuah saluran air dari daratan, bermuara ke laut. Tidak lebar. Hanya beberapa meter saja. Karenanya aku menyebutnya hanya sebagai saluran air. Bisa jadi di masa lalu memang merupakan sebuah sungai, jauh lebih lebar dengan ukuran yang terpandang olehku ini. Sebab namanya alam dan perubahannya memungkinkan untuk terjadi.

Uniknya, di depan air yang bermuara ke laut, terlihat sebuah batu besar sebagai penghalang ombak, hingga tak memasuki muara. Posisinya secara alamiah, dapat dikatakan suatu yang artistic. Sementara kiri kanan saluran itu kini, sudah diberi batu-batu yang didatangkan dari tempat lain untuk pengaman dari serangan abrasi oleh pemerintah.

Hanya beberapa meter saja dari mulut muara, terdapat sebuah jembatan kecil. Jembatan ini merupakan rangkaian dari sarana jalan penghubung dari jalan raya Bengkulu-Padang menuju pantai ini. Jalan yang sudah diaspal. Berdiri dari jembatan kecil tak lebih 5-6 meter ini, memandang ke arah bahagian hulunya, sebuah lekukan kontur tanah rawa. Tumbuh belukar tanaman sagu yang rimbun.




Bila aku memperhatikan sekeliling, mulai dari jalan raya sampai ke daerah pantai, dalam tanah-tanah kebun milik masyarakat itu, sangat banyak terlihat tanaman kelapa sawit. Apalagi jika ditelusuri sepanjang aliran air ini sampai ke hulunya, kiri kanannya tak jauh beda. Mayoritas tanaman adalah kelapa sawit.

Kita sadar atau tidak, yang jelas dalam berbagai ulasan menyangkut keterjagaan lingkungan bahwa tanaman kelapa sawit adalah tanaman yang hidup “menghisap” ketersediaan simpanan air di dalam tanah atau tanah rawa. Tidak suatu hal yang ganjil lagi saat ini, di berbagai daerah yang selama ini terdapat kawasan tanaman sawit, telah berdampak mengeringkan sumber-sumber air. Padahal air merupakan kehidupan.


Hal yang aku saksikan saat berada di Sungai Suci ini, setidaknya pabila kita sadar dan pemegang kebijakan (beritikad) benar ingin memelihara daerahnya, sudah mesti merobah konsep perkebunan dan pertanian ramah lingkungan.  Seperti Sungai Suci ini semakin kering, telah hilang “kesuciannya.” (*) copyright: abrar khairul ikhirma - 2017

Senin, 28 Agustus 2017

MASJID MUTTAQIEN BENGKULU

Masjid Agung Muttaqien, salah satu masjid Muhammadyah ini, berada di Kota Bengkulu.




Masjid Muttaqien terletak di ujung Jalan Pendakian, yang bersisian dengan Pasar Kampung, tidak beberapa meter dari Monumen Thomass Parr dan benteng Fort Marlborough, peninggalan Inggris. Juga tidak jauh dari lapangan terbuka Menara Pemantau Tsunami dan kediaman resmi Gubernur Bengkulu.

Walaupun tidak terlihat menonjol, Masjid Muttaqien berlokasi di lokasi yang sangat strategis. Selain berada di pusat Kota Lama Bengkulu, memiliki jalan akses yang mudah untuk dicapai. Baik dari arah pemukiman dari Malabro, kawasan pantai, kawasan pasar, perkantoran maupun dari lapangan terbuka.

Selama berada di Kota Bengkulu, aku tidak sempat untuk bersholat di masjid ini. Tapi tidak terhitung kalinya melewatinya. Karena aku lebih memilih untuk bersholat di Masjid Jamik atau Masjid Bung Karno di ujung Jalan Soeprapto, meskipun aku harus menempuh lebih kurang 10 menit dari rumah tempatku menginap di Malabro (*) copyright: abrar khairul ikhirma - 2017 

Minggu, 27 Agustus 2017

QASWA PUN BERHENTI MELANGKAH

Masjid Nabawi atau disebut dengan Al-Masjid an-Nabawi, adalah masjid yang didirikan langsung oleh Nabi Muhammad. Terletak di pusat kota Madinah, Arab Saudi. Tercatat sebagai masjid ketiga mula pertama dibangun dalam sejarah Islam.




Kini Masjid Nabawi menjadi salah satu masjid terbesar di dunia. Merupakan menjadi tempat paling suci kedua dalam agama Islam, setelah Masjidil Haram di Mekkah. Setiap hari dari berbagai belahan dunia, umat Islam terus berdatangan untuk mengunjunginya tak putus-putusnya. Menjadi dambaan umat Muslim di seluruh dunia ingin mendatanginya untuk beribadah, walau sekali dalam hidupnya.

Setiap aku memasuki salah satu pintu halaman Masjid Nabawi, perasaan tenang selalu menjalari segenap tubuhku seketika. Dalam udara siang yang sejuk atau pun waktu malam dengan udara yang dingin bagiku, pikiran dan hatiku menjadi hangat melafazkan Allahummasali’alaMuhammad dan Allahua’bar berulangkali.

Masjid ini berada dibawah perlindungan dan pengawasan Penjaga Dua Tanah Suci. Berada tepat di tengah-tengah kota Madinah, dengan beberapa hotel dan pasar-pasar yang mengelilinginya. Masjid Nabawi menjadi tujuan utama para jamaah Haji ataupun Umrah. Karena di Masjid Nabawi ini terdapat makam Nabi Muhammad.

Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m. Rasulullah turut membangunnya dengan tangannya sendiri, bersama-sama dengan para shahabat dan kaum muslimin. Tembok di keempat sisi masjid ini terbuat dari batu bata dan tanah, sedangkan atapnya dari daun kurma dengan tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka begitu saja. Selama sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di malam hari. Hanya di waktu Isya, diadakan sedikit penerangan dengan membakar jerami.



BULAN TERLIHAT KECIL DI ATAS MADINAH


Aku tidak sedang mengkhayal atau berangan-angan. Dalam saat berkeliling Masjid Nabawi, aku berhenti pada salah satu sudutnya. Diantara para jamaah yang ramai. Sambil menatap bangunan masjid, aku berusaha menarik ingatanku dari kemegahan bangunan beton saat ini, jauh ke belakang, ke masa-masa dimana Rasulullah masih hidup. Mengira-ngira bentuk bermulanya Masjid Nabawi di zaman kenabian.

Aku pun membayangkan tentu di zaman itu, betapa demikian sulitnya ketersediaan air untuk berwuduk. Angin dan debu pasir dari gurun bahagian kehidupan. Juga terik sinar matahari kala siang, dengan kegelapan di waktu malam. Oh betapa sunyinya suasana malam-malam di zaman itu. Sunyi yang kental untuk berzikir dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Aku pun teringat akan ayat, “berserakanlah (siang hari) mencari penghidupan di muka bumi, jadikanlah waktu malam masa untuk beristirahat dan gunakanlah separohnya untuk berzikir (mengingat-Nya)”

Pada waktu selesai sholat Isya atau menjelang waktu sholat Subuh, selama di Masjid Nabawi, selalu aku gunakan untuk tidak menutup mataku dan membuka selebar-lebarnya hati dengan pikiran. Sehingga apapun yang terlihat dalam pandangan mata, selalu aku jadikan sebagai tanda penuh hikmah. Melihat tingkah laku orang. Cara masing-masing berada di tempat suci dan cara mereka melaksanakan peribadatannya diantara manusia-manusia lain. Karena di tempat itu tidak dirinya sendiri, juga ada orang lain. Tidak anak, tidak saudaranya, tidak teman, tidak orang sekampung, tidak senegaranya saja tapi sesama muslim dari seluruh dunia.

Di beberapa sudut dan ceruk bangunan Masjid Nabawi yang bersih dan lapang itulah, di bahagian luar masjid, aku selalu melihat setiap selesai sholat Isya atau dinihari menjelang sholat Subuh, ada saja terlihat orang-orang dengan tenang tidur nyenyak tanpa tikar. Wajah mereka hampir tak terlihat, karena pada umumnya kulihat tidur “berkelumun” berbungkus selimut tebal. Seakan-akan udara terbuka yang dingin sudah hal biasa bagi mereka.


IRVAN KHAIRUL ANANDA
KAKAK SULUNGKU KETIKA PAGI DI MASJID NABAWI


Disaat lain, sewaktu membaca literature perihal Masjid Nabawi, aku baru menyadari orang-orang yang tidur di bahagian luar masjid itu kenapa “tidak dilarang.” Bisa jadi pada zaman Rasulullah sendiri tidak melarangnya. Sebab bangunan Masjid Nabawi yang mula didirikan Rasulullah, di salah satu sisinya digunakan sebagai tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak memiliki rumah. Kemudian orang-orang ini disebut sebagai ahlussufah atau para penghuni teras masjid.

Nabi sendiri bertempat tinggal di Masjid Nabawi. Bangunan kediamannya melekat pada salah satu sisi masjid. Disebutkan bahwa kediaman Nabi ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan masjidnya, hanya tentu saja lebih tertutup.

Masjid ini sebenarnya merupakan bekas rumah Nabi Muhammad yang dia tinggali setelah Hijrah (pindah) ke Madinah pada 622 M. Bangunan masjid sebenarnya dibangun tanpa atap. Masjid pada saat itu dijadikan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat, majlis, dan sekolah agama. Masjid ini juga merupakan salah satu tempat yang disebutkan namanya dalam Alquran.




Diriwayatkan Nabi Muhammad setelah kedatangannya di Kota Madinah, menemukan lokasi ini sebagai pilihanya mendirikan Masjid Nabawi. Ketika itu Nabi mengendarai seekor unta yang dinamai Qaswa. Qaswa berhenti di tempat yang sekarang dijadikan masjid. Lahan tersebut pemiliknya ialah Sahal dan Suhayl. Bagian dari lahan ini digunakan untuk lahan tempat pengeringan kurma; sedangkan bagian lainnya dijadikan taman pemakaman.

Menolak di sebut "menerima lahan sebagai sebuah pemberian", Nabi membeli lahan tersebut dan memerlukan waktu selama tujuh bulan untuk menyelesaikan konstruksi. Saat itu luasnya 30.5 meter (100 ft) × 35.62 meter (116.9 ft). Atapnya, ditunjang oleh pelepah kurma, terbuat dari tanah liat yang dipukul dan daun-daun kurma. Tingginya mencapai 3.60 meter (11.8 ft). Tiga pintu masjid yaitu Bab al-Rahmah ke selatan, Bab al-Jibril ke barat dan Bab al-Nisa ke timur.

Kini merupakan jantung Masjid Nabawi ialah Raudlah (merujuk pada al-Rawdah al-Mutaharah) dan tempat dimakamkannya Nabi Muhammad, dan dikenalnya dengan nama Kubah Hijau.

Diterima dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad bersabda (artinya):"Barangsiapa melakukan salat di mesjidku sebanyak empat puluh kali tanpa luput satu kali salat pun juga, maka akan dicatat kebebasannya dari neraka, kebebasan dari siksa dan terhindarlah ia dari kemunafikan." (Riwayat Ahmad dan Thabrani dengan sanad yang sah).


Setiap memasuki pintu gerbang halaman Masjid Nabawi, aku mengucapkan Assalamualaikum dalam hati. Kuingat kedatangan Nabi ke Madinah dan nama onta kendaraannya yang indah, Qaswa (*) copyright: abrar khairul ikhirma 2017

Sabtu, 26 Agustus 2017

RUMAH GADANG NAN CHEDOH

RUMAH GADANG Tuanku Nan Chedoh di Koto Nan Ampek, Kelurahan Balai Nan Duo, Payakumbuh, Sumatera Barat, yang merupakan aset budaya dan sejarah.




Sebuah rangkiang di halaman dibiarkan melapuk dan sudah dirambati tanaman liar. Sementara di tangga naik pot penghias dibiarkan jatuh dan tergeletak rusak tanpa bunga. Begitupun rumput dibiarkan tumbuh menutup tanah mendekati tapak bangunan.

Di tahun 1990-an rumah ini pernah dijadikan salah satu lokasi shooting sinetron Salah Asoehan –SCTV-- yang disutradarai Ami Priyono, sinetron peraih artistic terbaik di Festival Sinetron Indonesia (FSI) 1984. Sepanjang waktu rumah ini pun sering dikunjungi wisatawan pecinta budaya dan banyak diabadikan para fotografer. 

Tuanku Nan Chedoh,  seorang regent di Luhak 50 Koto.  Regen Limopuluah Koto ini punya sebuah mitos, konon pangkal lidahnya berbulu. Tetap menang berunding dan perintahnya dipatuhi oleh anak buahnya. Konon kabarnya pembesar-pembesar Belanda sering minta pendapatnya.  Rumah peninggalannya ini sarat dengan simbol identitas daerah dan budaya. 

Bangunan Rumah Adat memiliki tiang atau tonggaknya sebanyak 52 buah. 50 tiang menggambarkan Luhak Limopuluah Koto, sedangkan gambaran dua berikutnya kelarasan yang digabung, Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Rumah ini adalah rumah yang terluas, terbesar di Kabupaten Limapuluh Koto. Didirikan kira-kira 300 tahun yang lalu. Di samping tertua, terbesar, rumah peninggalan Tuanku Nan Chedoh ini mempunyai perbedaan dari rumah bagonjong / rumah adat yang kebanyakan.


Rumah tua yang bersejarah itu sudah pernah direnovasi oleh pemerintah dan saat kini masih merupakan rumah adat tradisional terbesar di Payakumbuh dan Limopuluah Kota. Direnovasi kira-kira dua puluh tahun yang lalu. Model, tipe, ukiran disamakan dengan asli. Sebagai bukti otentik pekayuan lama yang diukir masih tersimpan dalam di bawah rumah. Menurut informasi Rumah Gadang Regen Tuanku Nan Chedoh ini sampai sekarang, telah dihuni oleh 9 (sembilan) generasi menurut silsilah yang masih lengkap dengan nama-namanya (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Jumat, 25 Agustus 2017

HAJI RASUL DARI TEPIAN MANINJAU

Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dijuluki sebagai Haji Rasul, adalah ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Ia bersama Abdullah Ahmad menjadi orang Indonesia terawal yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.




Aku kira sejak 5 tahun terakhir ini, tak dapat kuhitung kalinya telah sering “singgah” sekadar “menjenguk” makam ayahanda dari Buya Hamka ini. Diantara mereka-mereka yang silih berganti pernah mendatangi tempat ini dan tepian Danau Maninjau.

Semata-mata kunjungan yang aku lakukan karena senang saja. Selama ini aku sangat menyukai mendatangi tempat-tempat “orang bersejarah” dan tempat-tempat “bersejarah.” Seperti yang kusempatkan berkunjung ke Makam Haji Rasul, setiap kali aku berada di Maninjau atau hanya sekadar melintas tepian Danau Maninjau, Kabupaten Agam, dari Bukittinggi – Pariaman atau sebaliknya.

Apalagi sejak lama, aku sudah mengetahui lewat bacaan perihal Haji Rasul dan kisah-kisah anaknya yang termashur yakni Buya Hamka. Mereka adalah orang-orang yang hebat di zamannya. Telah berbuat banyak dalam melakukan pengembangan intelektual dan keagamaan. Tidak hanya untuk Minangkabau tetapi untuk kepentingan dunia Islam di Tanah Air dan dunia.

Abdul Karim Amrullah lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879 bertepatan dengan 17 Syafar 1296 Hijriah. Pada masa kecilnya, beliau diberi nama Muhammad Rasul, namun setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi Abdul Karim Amrullah. Beliau juga dikenal dengan panggilan Inyiak De-er (Dr.), karena pada tahun 1926 beliau mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir dalam bidang agama. Ayahnya bernama Syekh Amrullah atau Tuanku Kisai atau dalam beberapa literatur sering ditulis dengan Syekh Amrullah Tuanku Kisa-i, seorang guru tarekat Naqsyabandiyah di Maninjau.




Daerah tepian Danau Maninjau sungguh memikat hatiku. Dibandingkan dengan Danau Singkarak, aku lebih menyukai dalam banyak kesempatan menyusuri tepian Danau Maninjau. 

Ketika pertamakali aku mencoba menelusuri jalan menuju Sungai Batang, waktu itulah aku melihat tempat “bersemayam” Haji Rasul, ayahanda dari Hamka ini.

Makam Haji Rasul ini terletak di pinggir jalan Pasar Maninjau – Sungai Batang. Di sekitar makam berdampingan dengan rumah keluarganya. Hal ini ada baiknya, sehingga lingkungan makam terlihat terawat dengan baik.

Aku menyukai tempat ini. Suasananya sangat tenang, damai dan pandangan pun langsung bisa mengarah ke danau. Hanya berjarak beberapa meter saja dari makam dengan tepian danau. Sehingga hempasan alun danau terdengar sebagai music alam yang harmonis.

Selain berdampingan dengan bangunan rumah keluarga, juga terdapat bangunan kayu yang klasik berupa perpustakaan. Walau pun sudah sejumlah kali kedatanganku ke tempat ini berkunjung, namun kuakui, aku belum sekalipun masuk ke dalam perpustakaan. Belum pernah mengetahui buku-buku apa saja yang tersimpan di dalamnya.




Sebenarnya Muhammad Rasul termasuk anak yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. 

Ia belajar di pendidikan elementer tradisional dan mengaji di surau-surau. 

Sekitar usia 10 tahun, ayahnya menyuruh beliau mengaji Al-Qur`an kepada Muhammad Shalih dan Haji Hud di Tarusan, Pesisir Selatan. 

Setahun kemudian, ia belajar berbagai ilmu agama kepada ayahnya, Syekh Amrullah di Sungai Batang, Maninjau. Pada usianya memasuki 15 tahun ia berangkat ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama atas perintah ayahnya.

Dalam kepergiannya ini, ia tinggal di Mekkah selama lebih kurang 7 tahun (1894-1901) dan selama di sana ia belajar kepada beberapa orang guru, diantaranya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Muhammad Djamil Djambek (ketiga guru itu berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat), Syekh Abdul Hamid, Syekh Usman Serawak, Syekh Umar Bajened, Syekh Shalih Bafadal, Syekh Hamid Jeddah, Syekh Sa’id Yamani.

Sekembalinya dari Mekkah tahun 1901, ia dinobatkan sebagai seorang ulama muda dengan gelar Syekh Tuanku Nan Mudo, sedangkan ayahnya, Syekh Muhammad Amrullah diberi gelar Syekh Tuanku Nan Tuo dengan suatu upacara. Tuanku Nan Tuo beraliran lama, sedangkan Tuanku Nan Mudo seorang pemuda yang membawa aliran baru.




Pada tahun 1904 ia kembali ke Makkah dan pulang ke kampungnya tahun 1906. Kepergian yang kedua kalinya ini, disuruh ayahnya untuk mengantar adiknya belajar di sana. Namun, kesempatan ini dimanfaatkannya untuk mengajar pada halaqah sendiri di rumah Syekh Muhammad Nur al-Khalidi di Samiyah atas izin dari Ahmad Khatib. Namun demikian, ia sering bertanya kepada gurunya, Syekh Ahmad Khatib mengenai masalah-masalah yang rumit.

Sejak tahun 1911, Haji Rasul yang “memakai” nama menjadi Abdul Karim Amrullah menetap di Padang Panjang dan memimpin pengajian surau Jembatan Besi. Pada tahun 1911-1915 bersama-sama Abdullah Ahmad, mendirikan majalah Al-Munir di Padang. Kemudian, ia juga menerbitkan majalah Al-Munir Al-Manar di Padang Panjang bersama Zainuddin Labay el-Yunusi tahun 1918.

Pada tahun 1925, ia melawat ke Jawa untuk yang kedua kalinya. Di Yogyakarta, ia bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, terutama dengan H. Fakhruddin. Pada tahun itu juga ia mendirikan Muhammadiyah di Sungai Batang, Maninjau melalui lembaga Sendi Aman yang didirikan tahun 1925. Lembaga ini berkembang dengan cepat dan sekaligus menjadi basis pertama Muhammadiyah di Minangkabau.

Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaharuan Islam. Sistem sekolah reformis Muslim yang melahirkan Persatuan Muslim Indonesia atau PERMI. Ia juga aktif menentang komunisme serta intervensi yang dilakukan Belanda dalam hal pendidikan.





Haji Rasul atau Abdul Karim Amrullah meninggal dunia pada 2 Juni 1945 di Jakarta. Beliau dimakamkan di Kecamatan Tanjung Raya, Jorong  Nagari, Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Pada mulanya makamnya berada di Jakarta dan kemudian dipindahkan ke Maninjau. Di sisi makam beliau  dimakamkan adiknya yang bernama Syech Yusuf Amrullah yang lahir pada tanggal 25 April 1889 dan wafat pada tanggal 19 Oktober 1972.

Salah satu putranya, yaitu Hamka (nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. (*) bahan data: wikipedia – abrar khairul ikhirma, 2017

Kamis, 24 Agustus 2017

TAPAK PADERI, LANGKAH TERHENTI

Setiap pagi dan petang, tak pernah bosan untuk berjalan kaki dari Malabro ke kawasan benteng Fort Marlborough, peninggalan Inggris. Hingga berakhir di Tapak Paderi.




Seperti biasanya, bila berada di Kota Bengkulu, aku senang berjalan kaki sendirian. Suasana kawasan lama kota ini tidak ramai, sehingga aku cepat akrab dengan “kesenyapannya.”

Pada waktu pertamakali aku menjejak dan mengenal bukit kecil Tapak Paderi, aku bertanya-tanya sendiri, kenapa ada kata Paderi di sini. Paderi setahuku erat dengan perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau. Tidak di Bengkulu.




Tidak ada petunjuk dan keterangan yang kudapatkan perihal nama Tapak Paderi. Karena di bukit kecil itu tak ada kudapati prasasti atau benda-benda berusia lama. Hanya tumbuhan menjulang membentuk kerindangan. Lalu di bahagian puncak bukit yang sudah terbentuk datar, di tengah-tengahnya ada dibangun berkesan seperti kaki untuk tiang bendera.

Setelah beberapakali berkunjung ke Bengkulu, berkesempatan mengulang kembali untuk ke Makam Pahlawan Sentot Alibasyah, beberapa kilometer dari Tapak Paderi, aku seperti diingatkan akan pertanyaan yang pernah muncul di kepalaku saat pertamakali berada di Tapak Paderi dulu, kenapa bukit itu bernama Tapak Paderi.

Lantas aku dapat memafhuminya. Ya. Aku saja yang merangkai dan menghubungkan sendiri, pastilah berkait dengan Sentot Alibasyah. Sentot Alibasyah adalah seorang panglima perang pendukung Pangeran Diponegoro, pada perang Diponegoro (1825-1830).



TAPAK PADERI DARI ARAH LAUT

Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro, Sentot dan para pengikutnya dimanfaatkan oleh Belanda untuk memerangi kaum Paderi di Sumatera Barat. Karena dianggap bersimpati terhadap perjuangan kaum Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol, akhirnya Sentot Alibasyah dibuang hingga akhir hayatnya di Bengkulu. Makam Sentot Alibasyah berlokasi di Desa Bajak, Kecamatan Teluk Segara.

Tapak Paderi berada tak jauh dari Benteng Fort Marlborough. Berada di tepian pantai. Bersebelahan dengan kawasan bernama Pondok Besi. Kini kawasan ini dijadikan sebagai salah satu objek wisata. Ramai bila petang hari warga kota Bengkulu, terutama kaum muda-mudi bersantai di sini.

Dari percakapan dengan sejumlah orangtua yang sudah lama bermukim di Kota Bengkulu, saat aku tanyakan kenapa bernama Tapak Paderi, ternyata dugaan yang kurangkai sendiri hampir berdekatan dengan cerita mereka.

Konon pada masa Bengkulu dikuasai penjajah Belanda, Tapak Paderi merupakan tempat mendaratnya kapal-kapal yang membawa kaum Paderi dari Minangkabau (Padang, Sumatera Barat) yang diasingkan Belanda ke Bengkulu. Sejak itu, masyarakat jika menyebut bukit dekat pantai itu dengan nama Tapak Paderi.



TAPAK PADERI TAHUN 2013

Setiap berjalan kaki dari arah Malabro, menyisir kawasan kota lama atau melalui jalur tepi pantai, langkahku akan berakhir di Tapak Paderi. Di kaki bukit Tapak Paderi arah Pondok Besi, aku senang memperhatikan pembuatan perahu-perahu dan kapal-kapal kecil berbahan kayu untuk nelayan. Selain pembuatan perahu, satu dua perahu nelayan yang tidak melaut, berjejer di atas pasir.


Menurut cerita sejumlah orang, sebelum dilakukan revitalisasi pantai dan sebelum dibangunnya kolam buatan dari bekas pelabuhan, disekitar Tapak Paderi dulunya terdapat terowongan peninggalan masa penjajahan. Salah satu ruas terowongan terus ke rumah dinas Gubernur (*) copyright: abrar khairul ikhirma, 2017

Rabu, 23 Agustus 2017

TERSESAT SIANG HARI DI MAKAM INGGRIS

Meninggalkan Kota Bengkulu, setelah berkunjung dalam tahun 2013 silam, barulah aku mengetahui bahwa kota ini, juga memiliki situs sejarah jejak keberadaan Inggris selain Benteng Fort Marlborough yang sering kukunjungi.




Pada kesempatan berkunjung tahun 2017 ini di Kota Bengkulu, setelah sarapan, aku segera meninggalkan rumah tempat menginapku di Malabro. Tujuanku berkeliling kota, untuk dapat menemukan “sesuatu” yang menarik. Sesungguhnya, aku tak mengenal jalan-jalan dalam Kota Bengkulu. Kalaupun aku sudah melewati tapi aku termasuk sukar untuk menghafalnya. Namun hal itu tidak menyulitkanku. Meskipun tablet sebagai alat untuk membuka internet yang kumiliki, tehenti mendadak. Tidak dapat digunakan sejak 2 hari ini.

Kadang jauh lebih menarik, melakukan keliling kota dengan serba tidak tahu dan tidak memiliki alat pandu, dalam keadaan seorang diri. Yang aku yakini, kalau pun aku tersesat, tidak terlalu sulit untuk dapat kembali ke rumah. Karena Kota Bengkulu, sebenarnya masyarakatnya mudah untuk membantu memberi petunjuk arah jalan.




Yang membuat aku menggerutu dalam hati, beberapa hari ini aku hendak melihat lagi Rumah Pengasingan Bung Karno, saat Presiden Republik Indonesia ini “dibuang” ke Bengkulu. Aku sudah pernah ke sana waktu tahun 2013. Setelah itu hanya sekadar melintas saja. Yang kutahu arah jalannya dari Simpang Lima, kalau lagi berada di jalan protocol Soeprapto. Tetapi aku ingin ke sana dari arah Malabro, karena terbilang dekat. Nyatanya beberapakali kucoba tak pernah kutemukan mana jalannya.

Setelah bersantai sepanjang jalan yang menyisir Pantai Panjang, melakukan sejumlah pemotretan karena cahaya matahari pagi sangat cerah. Aku kembali mengarah dimana arah kawasan yang disebut sebagai “Persada Bung Karno.” Kadang aku masuk ke dalam gang rumah penduduk. Kadang setelah kulalui jalan-jalan penghubung, aku malah berbalik arah.



Pada satu ruas jalan yang lain, aku terpedaya melihat suatu bangunan lama nun di sana. Ketika berhenti di depan bangunan itu, rupanya bangunan beton itu tidak menarik untuk kupotret. Aku merasa hanya kesan bangunan lama tapi kelihatannya bangunan baru. Pun aku kira bangunan itu pun tidaklah bangunan bersejarah penting benar.

Aku berhenti di jalan yang berkontur tanjakan dan menikung. Saat aku hendak meninggalkan tempat itu, aku menoleh ke arah kanan. Tahu-tahu pandanganku bertumbuk dengan gapura putih yang sudah mulai tidak putih. Terlihat seorang pekerja di atas tangga, entah apa yang sedang diperbaikinya. Alamaak!!! Aku bersorak, karena kubaca tulisan di gapura itu “Makam Inggris.”

Padahal hari ini aku tidak bertujuan untuk mencari Makam Inggris ini. Aku hendak ke Rumah Bung Karno. Namun ketika hari sudah berangkat siang, aku justru tersesat ke Makam Inggris yang sudah masuk dalam agendaku sejak lama ingin kukunjungi.

Kompleks Pemakaman Inggris terletak di Jl.Veteran, Kelurahan Jitra, Kota Bengkulu. Merupakan komplek pemakaman tua. Pemakaman Kristen yang merupakan makam Inggris terbesar di Asia Tenggara. Obyek wisata ini merupakan saksi sejarah bahwa kota Bengkulu dan Inggris mempunyai hubungan sejarah di masa lalu. Selain itu adanya Benteng Fort Marlborough. Diperkirakan jarak makam dengan benteng kira 800 meter.

Kesempatan “tersesat” ini aku gunakan untuk masuk ke dalam komplek pemakaman, melalui pintu gapura. Situasi areal pemakaman, aku lihat dalam keadaan bersih. Tak obahnya ruang terbuka berupa taman. Tampaknya pemakaman saat kedatanganku ini, ada proyek perbaikan. Apa yang diperbaiki aku tidak tahu. Sebab ada 2-3 pekerja terlihat di sana.

Selain memperhatikan batu-batu nisan makam yang ada, aku melihat juga ada “kehidupan” di makam itu yakni, ada yang bertempat tinggal di sana. Sebab aku lihat, ada jemuran cucian pakaian dan sepeda mainan anak-anak. Tak jauh dari sana, di bawah pohon pelindung yang ada dalam makam, ada kursi plastic. Terlihat ada sepasang muda mudi di sana.




Tampaknya, sama saja dengan objek-objek peninggalan sejarah dan budaya dimana-mana. Selalu “terabaikan” tanpa benar-benar dalam pengawasan. Meskipun ada sebuah papan keterangan yang menyatakan bahwa ini di bawah pengelolaan dan pengawasan pemerintah. Sebab, tak dapat dipungkiri ada makam-makam dibiarkan rusak atau dirusak, termasuk kehadiran bangunan yang terasa “ganjil.”

Menurut catatan, dalam komplek makam ini terdapat banyak makam para tokoh penguasa Inggris yang pernah menguasai Bengkulu pada tahun 1775 sampai tahun 1940. Diantaranya adalah McDouglas, Parker, Hutchinson dan Mclean.

Inggris pernah menjajah Indonesia pada tahun 1650 dan Bengkulu merupakan pusat pemerintahan kolonialis. Tentara Inggris maupun warga sipil yang meninggal dikuburkan di Bengkulu di pemakaman Inggris ini.

Dikabarkan lahan Makam Inggris ini ada seluas 4,5 hektar. Tetapi dalam pandangan kasat mataku, apa tidak salah angka yang disebutkan itu. Sebab, saat kunjunganku ini, aku malah berpendapat, kenyataannya seakan-akan makam ini hendak disingkirkan dari tempat itu, walaupun dikatakan sebagai situs bersejarah yang patut dilindungi. Kemana lahan yang luas itu ???

Aku memperkirakan sendiri, lahan yang luas itu telah “dirampok” untuk kepentingan mendirikan bangunan lain. Meskipun bangunan tersebut adalah bangunan pemerintah juga, ini suatu hal yang membuktikan pemegang kebijakan di daerah hanya ingin “senang” dan “gampang” untuk membangun fasilitas baru. Tidak perlu “susah” menempatkan dengan mencari lahan “baru” yang tidak merusak. Dimanakah letaknya kepatuhan kepada undang-undang itu ?




Saat aku mengelilingi jalan di sisi bahagian belakangnya, aku melihat lagi terpisah dari lokasi semula, berupa makam di depan sebuah bangunan. Kalau tidak salah itu bangunan kantor agama. Nah… berarti bangunan itu mana yang lebih tua dibandingkan dengan makam di depannya? 

Komplek makam ini disebut-sebut sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Konon pernah ada sekitar 1.000 batu nisan yang berbentuk artistic monumental dalam berbagai ukuran terdapat di sini. Sayang jumlah 1.000 itu dipastikan tidak seribu lagi. Siapa yang bertanggungjawab. Mungkinkah kita selalu menyalahkan pemerintah pusat dalam hal kerusakan di daerah serupa ini, sedang apa peranan kita sebenarnya di daerah, di depan mata kita ???

Esoknya, aku pun mendatangi tempat ini lagi. Mengulang sesuatu yang tertinggal.(*) copyright: abrar khairul ikhirma 

Selasa, 22 Agustus 2017

SASTRAWAN AHMAD KHAMAL ABDULLAH

Ahmad Khamal Abdullah satu diantara sastrawan terkemuka tanah semenanjung Malaysia, sampai kini tetap berkaryacipta sastra dan mengobarkan semangat berkegiatan kesastraan Nusantara Melayu.




Lengkapnya nama tokoh ini, SN Dato DR Ahmad Khamal Abdullah. Selain bergelar Dato, beliau merupakan Sasterawan Negara ke-11 Malaysia. Sudah malang-melintang di dunia kesastraan di Malaysia maupun diluar negaranya. Tidak pernah lelah menyuarakan, agar bahasa ibu ---Melayu, dibudayakan di tanah air.

Dato seorang yang tidak hanya terpaku berkaryacipta saja, akan tetapi dia memiliki pemikiran kepada masa mendatang. Pada pertumbuhan regenerasi. Terutama dalam memperjuangkan kebudayaan Melayu ke pentas-pentas dunia. Tidaklah heran, dalam perjalanan aktifitasnya, Dato telah menggagas dan menyelenggarakan berbagai peristiwa kesusastraan di Malaysia bertaraf Internasional. Melibatkan sastrawan dari sejumlah Negara di dunia.




Kemala adalah nama pena Ahmad Khamal Abdullah, yang terlahir di Gombak, Selangor, Malaysia, pada 30 Januari 1941. Karya-karya sastranya telah banyak dibukukan dan termuat di berbagai antologi yang diterbitkan. Sastrawan Malaysia berdarah Minangkabau ---Indonesia--- ini, kakeknya berasal dari desa Timbo Abu, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Indonesia.

‘Ayn, merupakan buku kumpulan puisi masterpiecenya, karena mencitrakan unsure keindahan bahasa dan nilai kesufian serta mistik. Tak mengherankan, berkat kumpulan puisinya ini, telah membawanya untuk terpilih sebagai penerima Anugerah Penulisan Asia Tenggara (S.E.A. Write Awards) dari Kerajaan Thailand tahun 1986. Tahun 2011, Kerajaan Malaysia mengurniainya dengan Anugerah Sastera Negara dan dinobatkan sebagai Sasterawan Negara ke-11. Tahun 2015, Kathak Literary Bangladesh, menetapkan Ahmad Khamal Abdullah sebagai penerima Literary Award 2015.




Dalam beberapa tahun terakhir, Ahmad Khamal Abdullah, bergiat menyelenggarakan berbagai acara kesastraan melalui Persatuan Sasterawan Nusantara Melayu Raya ---Numera, dimana beliau sebagai Presidennya. Menggagas baca puisi, anugerah, seminar bahkan melakukan penerbitan buku. Yang melibatkan sastrawan antar Negara serumpun.





Kiranya, layaklah untuk memberikan ucapan kepada beliau, berkaitan atas kegigihannya dalam perjuangan kesastraan, di waktu yang berbeda, pada empat peristiwa (*) copyright: abrar khairul ikhirma