Minggu, 24 September 2017

ESEI RINDU MUARA BENGKULU

Sungai Bengkulu, alirannya jauh ke hulu. Alirannya melintasi pusat kota dan pemukiman. Dengan adanya sebuah jembatan yang dibangun, lintasan dari sarana jalan pesisir pantai, kawasan muara sungai mudah dicapai setiap orang, bila hendak menatap alam yang lapang. Memandang dari salahsatu sisi Samudera Hindia.




BUNGA LIAR, bunga semak-belukar di tepi sungai, sedang bermekaran. Warnanya yang merah sungguh indah diantara kehijauan. Warna merah jambu. Mengingatkan perlambang cinta memabukkan, api asmara yang bergelora.

Saat ini lagi musin angin tenggara. Bagi nelayan dan mereka yang mengandalkan hidup di laut, ini adalah musim dengan cuaca yang buruk. Penangkap-penangkap ikan yang bermukim di pesisir pantai Bengkulu, enggan turun melaut. Kalaupun ada dengan keberanian, sering pulang ke pelabuhan dengan tangan hampa.

Aku menikmati bunga rumput dan bunga semak belukar di kawasan muara. Tumbuh di salah satu sisi sungai yang ke darat. Tidakkah ini suatu pemandangan yang indah tanpa harus dipungut bayaran? Kekayaan alam kita, yang bagi banyak orang seringkali dimusnahkan karena tak ada aturan dan kesadaran.




INI PAGI berikutnya. Aku kembali berada di ujung aliran Sungai Bengkulu. Alirannya tenang. Seakan tak ada arus mendorong dari hulu, untuk menyesak dengan cepat, melepas diri ke laut, melalui pintu muara sungai.

Dengan ketenangan itu, justru menimbulkan suatu bayangan misteri bagi mereka yang bukan penduduk setempat. Tapi kawasan ini sendiri masih dalam keadaan baik. Belum ada bangunan-bangunan menyesak, manusia-manusia yang bermukim berebut tanah tanpa ada lahan tersisa.

Sebuah kapal tonda terlihat bagiku. Kapal yang tampaknya baru saja selesai dibuat dan diturunkan ke dalam air. Selain itu, tak ada kapal atau perahu berada sejauh mata memandang dalam muara sungai. Agak ke hulu, mendekat arah ke jembatan beton, beberapa tahun lalu, saat aku mendatangi tempat ini, ramai masyarakat melakukan penambangan batu bara dari dalam sungai.

Di beberapa titik saat menyusuri tepian sungai ujung muara ini, aku masih melihat ada karung-karung di dalam semak belukar, berisi batu bara. Lalu berserakan batu bara yang tidak berupa bongkahan, menyatu dengan tanah. Mengubah lokasinya menjadi hitam.

Deru mesin dan biduk-biduk penambang batubara tak terdengar. Yang ada hanya sunyi. Pekerja-pekerja tambang pun tak terlihat pada pagi ini. Kawasan ini menjadi sepi manusia. Kecuali kendaraan yang melintas dan sepeda motor dengan deru knalpotnya yang menyakitkan.

Aku tak memiliki keberanian, karena hanya sendirian untuk mendekati tepi sungai lebih dekat lagi. Aku hanya mengitari pandangan dari badan jalan yang beraspal di sisi tepi sungai.




DIPERKIRAKAN ada lebih kurang 200 meter, sisi sungai arah laut, tidaklah merupakan bantaran sungai di ujung muara ini. Hanya terbentuk dari sendimentasi, membuat aliran sungai terlebih dahulu menyisir laut, sebelum akhirnya keluar dari pintu muara.

Lebar pasir yang sudah membentuk berupa tanggul itu, hanya kira-kira 10-15 meter saja dari sungai dan laut. Bentukan di ujung muara yang masih alami dan tidak dirusak dengan betonisasi, dimana banyak muara sungai dalam beberapa tahun ini, dijadikan tempat menggelontorkan uang Negara dengan alas an normalisasi sungai. Menghabiskan dana Negara dan merusak bentukan alam yang berubah-rubah.

Kita tak mengetahui, sampai berapa lama Muara Sungai Bengkulu ini dapat bertahan dengan muara sungai yang natural. Tanpa harus disentuh proyek dan betonisasi yang menjemukan.




ALAM yang lapang. Pandangan mata tak bertumbuk. Cahaya matahari bebas menyinarinya dengan kehangatan. Apa yang lebih dari anugerah alam kedamaian, diperuntukkan untuk manusia dan kehidupannya dari Yang Maha Kuasa?

Ini adalah pagi berikutnya, setelah pagi-pagi sebelumnya. Aku berada di sini, di kawasan ujung Sungai Bengkulu, kawasan muara sungai. Sendiri.

Setelah puas melemparkan pandang ke arah laut seakan menjauh itu, memandang arah daratan dari tepian sungai. Alam yang lapang. Bersih tak ada bangunan yang kerap muncul menjadi dinding. Pada umumnya dapat dilihat di berbagai tempat, view-view yang seharusnya dapat dinikmati oleh banyak orang, sudah dirampok manusia dan bangunan. Memperlihatkan penataan kota yang tak memiliki konsep yang jelas dan kebijakan kepemimpinan tak berpihak pada lingkungan hidup. Sehingga tiap hal menjadi raja dan pembenaran.

Di sini, antara laut dan sungai memiliki sekat, sebuah jalan penghubung membatasi dengan daratan. Menurut keterangan, kawasan muara sungai ini, disebut juga daerah yang termasuk Pasar Bengkulu. Tidak jauh dari pusat kota (*)

Bengkulu 2017 - Copyright: abrar khairul ikhirma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar