Rabu, 03 Februari 2016

Nonton Teater RiauBeraksi di Bandaserai, Pekanbaru





NYARIS tidak jadi nonton teater !!!
Saya terbangun tidur sudah pkl 19.00 wib. Dan cek ponsel, tak ada miscall dan pesan. Tak ada kabar apapun saat saya tidur, jadi atau tidak teman menjemput saya, untuk sama-sama pergi nonton teater malam Senin 21 Des 2015 kemarin.

Namun saya tetap bersiap. Dan saat melihat ke depan pagar, rupanya teman Zuraf Adi Satya​ barusaja datang. Sebelumnya kami sudah berjanjian untuk dapat menonton. Dan kami pun sempat mampir ke markas RiauBeraksi sekadar berbual lepas dan sekadarnya saja dengan Willy Fwi​ yang menjadi sutradara teater. Kemudian dilanjutkan 2 malam kemudian kami bertemu saat menikmati minum kopi di kedai bual, kedai dadakan di depan Anjung Seni Idrus Tintin, Bandaserai.

Kedatangan ke Pekanbaru, Riau, kali ini, sama sekali tidak berkait khusus untuk urusan kesenian. Suatu kebetulan saja, kemudian kami berminat untuk nonton teater. Zuraf Adi teman saya yang ditemui di kota ini, dulunya pernah di teater sekolah di SMAN 1 Padang dan Sanggar Teater Semut. Ia memiliki keterhubungan dengan Willy yg menjadi pimpinan RiauBeraksi, kala Willy berada di Padang, pernah berteater di bawah penyutradaraan Zuraf Adi.

Zuraf Adi yg mengenalkan saya tahun lalu, ketika beliau mengajak saya nonton teater yg disutradarai Willy, dengan topik hutan asap. Dimana kebetulan saya mampir ke Pekanbaru dalam suatu perjalanan pengembaraan saya, yg kerap saya lakukan ke berbagai tempat.

Saya sendiri sudah belasan tahun tidak lagi hadir dan berkecimpung dalam pelbagai kegiatan seni. Sudah lama tidak memasuki komunitas kesenian. Tahun lalu suatu kebetulan saja. Dan tahun ini pun kebetulan lagi. Terjadi dgn teman yg sama yg mengajak dan menemani, di kota yg sama, dgn group kesenian yg sama, sutradaranya masih sama dan panggungnya jg sama di gedung yg sama.

Dengan demikian, saya memiliki suatu keterhubungan dalam melihat dan tetap menjaga jarak dalam mengontrol diri pada kesenian dan sesuatu yg terjadi sebagai peristiwa. Pengalaman2 yg dapat menimbulkan kesan dan kesimpulan-kesimpulan yg terjadi sebagai suatu catatan sekadarnya saja, sebagai suatu kegiatan perintang-rintang hari, daripada tidak ada yg dipercakapkan.

Akhirnya, malam kemarin itu saya dapat juga pergi nonton teater, karena ada jemputan. Alhamdulillah. Jadilah ini kali kedua saya hadir di kegiatan semacam ini, setelah belasan tahun tidak lagi mendekat. Hanya berdiri dari kejauhan. Kadang terlihat dan bergumam. Ada jjuga lebih banyak tak menampak, dan terlupa begitu saja. Hampir-hampir tak menjadi perhatian benar....

--- * ---

PERTEMUAN berbual sebelum hari H pementasan dengan sutradara Willy Fwi​, lebih karena diajak teman Zuraf Adi Satya​, ke markas RiauBeraksi malam itu. Pun saya menyetujui ya sekadar bersilaturahmi, karena tahun lalu saya juga berkesempatan menonton pementasannya.

Tanpa bermaksud mengecilkan arti seorang Willy, pada temu bual yang singkat itu, saya lebih banyak mendengar, karena itu salah satu dari kebiasaan saya dengan seseorang yg sepenuhnya belum akrab.
Topik bualan ya pembicaraan ringan sekitar persiapan pementasan RiauBeraksi dan sejumlah pernak pernik dasar diangkatnya cerita pendek legendaris sastrawan A.A.Navis, "Robohnya Surau Kami" ke atas panggung teater.

Sekali lagi tanpa bermaksud merendahkan Willy, orang muda seni di Riau dewasa ini yang terus bergiat dengan RiauBeraksinya, sebenarnya saya sudah menyimpulkan lebih awal dasar gagasan dan upaya proses kreatif yg dilakukannya, 

Dan diperkuat lagi ketika Saya hubungkan, saya mengetahui jauh sebelumnya pasti telah terjadi diskusi Willy dgn tokoh teater dan penyair Sumatera Barat Muhammad Ibrahim Ilyas​ (Bram), saat Bram datang ke Pekanbaru, yg saya ketahui kedatangannya itu liwat postingan fb jauh sebelumnya.
Oleh sebab itu, dengan telah memiliki kesimpulan demikian, tidak terlalu sulit untuk menerka, dari sisi mana "masalah" yg ingin digarapnya ke panggung teater.

Untuk mengangkat berdasarkan naskah cerpen ke dalam seni panggung, sebenarnya bukan hal baru di dunia perteateran Indonesia. Cerpen pun pernah divisualkan ke film seperti yg dilakukan Shopan Shopiaan dan Teguh Karya dengan puisi.

Yang menjadi tantangan dengan cerpen Robohnya Surau Kami ini, dimana cerpen yang pernah menghebohkan dunia sastra di zamannya, pun pernah menjadi perhatian dgn polemik, adalah cerpen yg mengundang was-was dapat menimbulkan kontroversi, jika salah menafsir dan memvisualkannya.
Karenanya penggarapan teater untuk sebuah pertunjukan panggung, cerpen karya A A Navis ini memerlukan kehati-hatian dan ditantang untuk berlaku kreatif. Hakikat cerpen tersampaikan dgn baik kepada penonton dan menjadi daya tarik public untuk mengetahuinya.

Konsep yg dipilih Willy cukup menjanjikan sebagai tontonan menarik. Konsep teater yg dikawinkan dgn dunia sinema. Antara pilihan naskah dan konsep, patut kita hargai suatu pilihan kreatif. Mengingat ketersediaan team kerja, pemain yg bersemangat dan fasilitas gedung dan panggung memadai. Tinggal lagi sejauhmana kemampuan menggarapnya.

---**---


BIASANYA bila menonton sesuatu, sulit sekali saya bisa diajak bicara. Biasanya pula, saya senantiasa memilih posisi untuk menyendiri. Jika ada yg mengganggu keterdiaman itu, perasaan saya selalu tak enak dan menyumpah dalam hati.

Namun hal sebaliknya terjadi saat menonton teater-sinema Robohnya Surau Kami. Sepanjang pertunjukan, kami berobah dari menonton pada niatan semula, menjadi bercakap-cakap sambil berbisik di dalam gelap. 

Berbeda dgn saat kami sama2 menonton teater tahun lalu, di tempat sama dan sutradara yg sama. Setidaknya kami terdorong untuk mengikuti sampai akhir dan kemudian kami mendiskusikan sesuatu yg kami anggap jadi perhatian.

Tak ditemukan "sentakan" dari tiap adegan dan perpindahan adegan. Tata cahaya juga tiada mampu menggiring pandangan mata pada apa yg berlangsung di atas panggung. Fungsi tata cahaya sgt penting membantu bila permainan pemain lemah.

Pun musik kehilangan "magis" padahal pertunjukan berada di ruang tertutup, yg artinya kesaktian musik jg dapat bangkitkan ritme pemain turun naiknya mereka berperan dan penonton memiliki ruang untuk menelusuri tiap gerak yg terjadi. Kesempatan untuk bermain cantik antara tata cahaya dan musik terhadap mengisi keterbatasan pemain dalam memikat penonton sangat besar. Sayang hal itu tak hadir.

Jadi terhadap pertunjukan itu, menurut hemat saya yg bukan orang teater, berbisik pada teman Zuraf Adi Satya​, melihat pembagian babak demi babak sdh bagus sdh tepat, kronologisnya jelas, membuktikan Willy Fwi​ pada pertunjukan ini memiliki konsep yg jelas. Adaptasinya benar.

Hanya penyutradaraannya tidak berhasil menuturkan konsep lewat para pemain, berikut kekuatan2 seni sebagai sebuah pertunjukan teater yg ada tapi tak mampu memberi kekuatan sebagai tontonan yg dapat dinikmati.

Betul ucapan Willy bahwa dia tak mencetak aktor pada pertunjukannya tapi setahu saya pemain harus didorong untuk bermain baik dan maksimal. Tanpa itu pertunjukan tiada berhasil menyampaikan maksud dan tujuan dari apa yg dikemuka di atas panggung.

Lalu selain konsep yg sudah dimiliki Willy, adakah sesuatu yg menarik yg menjadi catatan buat keberlangsungan di pentas Robohnya Surau Kami ???

---***---

PERTUNJUKAN Robohnya Surau Kami, yg diadaptasi Willy Fwi​ dari cerpen Sastrawan A.A.Navis, disajikan satu kemasan teater dgn cinema. Garapan teater disutradarai Willy, sedangkan cinema digarap Ica Sutardi.

Secara teknis sebenarnya tidaklah rumit. Pun pembagian babaknya untuk teater yg disusun Willy sangat simple. Sayang Willy tak berhasil menggarapnya dgn maksimal. Padahal dgn materi yg dipilih berpotensi menjadi suatu tontonan menarik dan bisa menjadi bahan relevan dalam melihat persoalan zaman dgn kekinian.

Mengkawinkan antara bentuk permainan pemain panggung dengan peralihan-peralihan yang ditampilkan dilayar dari sorot proyektor, tidak terkawinkan. Padahal 2 bentuk media tersebut tidak terpisah dan dapat saling memukau. Itu tidak terjadi. Musik dan tatacahaya tak berkutik.

Namun saya mencatat dan berapresiasi, hasil kerja Ica Sutardi pada cinemanya sangat bagus. Gambar terasa hidup dan permainan antar tokoh terasa sahut menyahut, cut to cut. Pun teknis pergantian shoot dgn menggeser gambar kiri dan kanan. Apalagi andai dilengkapi tata artistik sedikit lagi sebagaimana hasil film kerja kreatif, bisa jempol dgn decak kagum.

Yang terasa lemah, pada bahagian akhir, diluar adegan2 situasi Haji Saleh di alam kubur, penayangann gambar2 seakan hambar dan tak selesai. Baik pemilihan foto atau penyusunan editingnya yg tak kuat dan tak relevan, terasa terkesan dipaksakan.
 
---****---

SAYA TAK DAPAT mencap pemain-pemain panggung Robohnya Surau Kami dikatakan "lemah" dalam artian tak memiliki kemampuan untuk memainkan peran.

Pertama-tama saya nilai, mereka bersedia untuk naik ke atas panggung, di bawah sorot lampu dan di hadapan berpasang-pasang mata yg tertuju pada seseorang atau pada mereka secara keseluruhan. Itu saja membutuhkan kesediaan dan keberanian untuk memperlihatkan diri, dgn segala kelebihan dan kekurangannya.



Saya dapat melihat, mereka sedikit dari banyak generasi muda Riau yg mau tampil pada kehidupan panggung teater,  dunia teater di Indonesia yg sdh melintasi sejumlah generasi dgn meminjam istilah dramawan teater Indonesia WS Rendra, teater "kemiskinan." 

Sementara banyak diantara yg sedikit ini, generasi kita cenderung tidak peduli pada diri dan lingkungan yg memberi peluang besar utk saluran ekspresi mereka sesuai usia dan sesuai zaman di berbagai lini. Generasi kita mayoritas jatuh ke pelukan hura2 dan penyakit2 sosial yg memiriskan sebagai dampak dari kemajuan2 yg sampai kini sgt dielu-elukan.

Karenanya, potensi pemain apalagi masih dalam pendekatan dan pengenalan, membutuhkan arahan untuk membuka ruang mereka menerjemahkan, apa yg jadi persoalan dan apa yg harus mereka ekspresikan. Konsep yg sdh baik dan kronologis sdh pas, tidak didukung penggarapan penyutradaraan sebagai yg diharapkan. Oleh sutradara kita. Padahal terlihat di panggung mereka "bersemangat" untuk "main"

Saya tidak melihat perbedaan pemain untuk teater realis, teater absurd, teater dgn berbagai istilahnya. Pemain butuh penyutradaraan.  Peranan sutradara penting. Jika pemain bergerak sendiri spontan, dialah yg menyutradarai dirinya sendiri. Tapi kita tak cukup banyak berkemampuan demikian. Kita masih miskin pemain. Miskin yg berminat utk seni teater. Jangankan main, menonton saja kita masih...
..
Dalam garapan teater dgn naskah adaptasi Willy Fwi​ dari cerpen sastrawan A.A.Navis kali ini,  selain saya memberi apresiasi pada hasil cinemanya Ica Sutardi, saya jg menggarisbawahi pemeran yg mengaku sebagai tokoh "Ajo Sidi." 

Andai dia digarap dgn baik, peranannya penting mengantarkan topik  naskah yg dimainkan. Kehadirannya di bawah panggung di depan penonton sdh tepat. Dipoles vokal dan gesturenya dan diutuhkan dgn karakter melayu riau.... wah...., dia berpeluang sebagai kekuatan permainan panggung.

Pada malam itu sedikit kekuatannya terlihat. Ia bisa mengundang perhatian penonton. Sayang dia tak dibantu dgn baik bersama artistik tata cahaya dan musik di tiap ia memasuki dialog demi dialog yg diperankannya.

---******---

SEUSAI  pertunjukkan teater-cinema Robohnya Surau Kami adaptasi Willy Fwi​, keluar dari gedung Anjung Seni Idrus Tintin, turun ke altar depan, dimana juga berdiri tenda2 kegiatan pameran industri kreatif Riau. Menuju salahsatu tenda, tenda yg disedia oleh Willy berupa kedai untuk minum kopi, sebuah arena untuk berbual (bertemu dan bercerita) bagi siapa saja.

Rupanya kedai ini, terasa sekali berguna bagi kalangan orang seni dan penggemar seni. Ada tiga event festival berlangsung di Bandaserai, yang dilaksanakan secara bersamaan. Event festival yg sdh dilaksanakan Riau beberapatahun ini. Praktis kedai ini selalu ramai setiap malam selama festival2 berlangsung.
Kedai Bual2 ini di Bandaserai hanya insidentil. Dipindah dari lokasi tetapnya di markas RiauBeraksi ke Bandaserai, agar ada tempat untuk para orang kesenian minum kopi dan berbual. Jika ini dapat tumbuh dan berkembang ke depannya, menurut saya, bukan tidak mungkin akan tumbuh pula budaya berdiskusi untuk kemudian dapat melahirkan ide2 kreatif dan gagasan utk mewujudkan sesuai bidang masing2 di daerah Riau.

Saya tidak begitu aktif untuk bercakap-cakap (berbual), dgn banyak orang yg saya temui, lebih banyak mencoba menikmati suasana saja. Pun kehadiran saya pun tidaklah dalam rangka terkait kesenian. Hanya suatu kebetulan saja berada di Riau. Salahsatunya menyempatkan diri untuk berjumpa dgn Zuraf, yg menetap di Pekanbaru, teman yg pernah sama2 semasa di Taman Budaya Padang dulunya.

Zuraf Adi Satya​, jugalah yg mengajak saya utk datang ke markas RiauBeraksi dan nonton teater Robohnya Surau Kami, yg digerakkan saudara Willy bersama kawan-kawannya.
Karena kehadiran saya tidak berkait kesenian, saya lebih menempatkan diri hanya sebagai seorang pelancong saja. Seseorang yg pernah kenal dan seseorang yg pernah sedikit banyak bersentuhan dgn dunia seni.

Sepulang dari Bandaserai, di rumah begitusaja berlanjut sampai pagi percakapan saya dan Zuraf Adi. Tentu saja kami membicarakan perbedaan antara kehidupan berkesenian yg pernah kami jumpai di thn 80-an di Padang dgn yg kini berkembang dan terjadi di Riau, khususnya Pekanbaru.

Perbedaan itu bukan hanya tersebab daerah dan tahun tapi juga generasi beserta zaman dengan perubahannya yg luarbiasa. Menurut saya, ketidakpedulian tumbuh ke semua lini, akibat budaya pertemuan tidak diisi lagi dgn suasana percakapan, diskusi atas berbagai topik, yg menciptakan hakekat keterhubungan.
Kita pun sukar menemukan personal2 yg menjadi tokoh dalam kehidupan, yg dapat meramaikan acuan dalam menelaah tiap problema dan dilema. Akibatnya generasi yg bertebaran tumbuh dgn sendirinya, yg menurut istilah saya "anak yg digadangkan ambun." Tumbuh, tumbullah. Gadang, gadanglah.

Begitu juga institusi formal dan tak formal, kehadirannya lebih banyak dgn kesan politis. Tidak ada yg kuat dan memberikan kekuatan pada pertumbuhan dan perkembangan. Tiap ada pemunculan, bila memang ingin menerobos, memerlukan perjuangan berat untuk meyakinkan dan dapat tumbuh dgn keyakinan.
Karenanya, untuk menjadi pionir memang tak bisa sekadar kekuatan kesempatan dan kekuatan fasilitas, juga perlu kekuatan untuk gigih dan kreatif menghadapi kondisi dan situasi.

Saya dan Zuraf Adi, merasa beruntunglah generasi berkesenian di Padang thn2 70 an dan 80 an, yg pernah memasuki kehidupan bersanggar dan mangkal di Taman Budaya Padang, pengalaman2 berdiskusi sangatlah hidup. Aantara senior dan yunior, tumbuh secara alamiah, meski berbeda paham, namun obrolan dapat terjadi dimana dan kapan saja.

Dan obrolan saya dgn Zuraf Adi sampai pagi di rumahnya, seperti mengulang lagi, masa2 yg pernah ada diantara kami, seusai menonton teater cinema Robohnya Surau Kami di Bandaserai, Kota Pekanbaru....

---*******---
Add caption


KALAU BOLEH  mengenang, sepotong riwayat khususnya teater di Riau, saya begitu saja teringat dgn almarhum penteater dan penyair Idrus Tintin. 

Waktu-waktu dahulu, dalam sejumlah kali berkunjung ke Pekanbaru selalu orang yg saya temui Idrus Tintin. Saya akan menunggunya di bahagian belakang Gedung Dang Merdu yg kini di tapak gedung itu berdiri Bank Riau yg berdampingan dgn komplek Kantor Gubernur Riau. Sebelum akhirnya pergi ke kedai kopi dan seterusnya makan.

Kami berbeda usia yg jauh tapi merasa memiliki persahabatan. Rasanya setiap pertemuan saya dgn beliau selalu dalam bual yg cair dan menyenangkan. Pembicaraan pernak-pernik kesenian dan kebudayaan. Baik jumpa datang ke Pekanbaru, atau beliau muncul di Taman Budaya Padang, pun jumpa di Taman Ismail Jakarta.

Idrus Tintin, adalah semangat teater di Riau, semangat berkesenian yg tak mengeluh tapi dihadapi dgn riang gembira. Kepribadiannya terpancar liwat kegiatan Sanggar Teater Bahana yg didirikannya.
Dia menyadari kualitas tapi lebih sadar bahwa potensi harus ditumbuhkan. Ia tetap tekun berkesenian, tetap berusaha menghidupkan teater. Sudah tepat Pemerintah Riau mendirikan gedung megah di Bandaserai yg dinamakan Anjung Seni Idrus Tintin. 

Secara zahir penghargaan untuk dedikasi dan pengabdian seorang Idrus Tintin menghidupkan kesenian di Riau. Tapi secara batin merupakan suatu kehormatan untuk kehidupan kesenian hari ini dan mendatang untuk Riau.

Setelah Idrus Tintin, regenerasi teater dikenal Dasry al Mubari. Dia selain berteater juga rajin mengirim tulisannya ke suratkabar terbitan Padang, Sumbar. Dasry, selain berteater juga bergiat dalam dunia sastra yakni dunia kepenyairan.

Untuk pemunculan leader2 kesenian di Riau sepertinya tak berimbang dgn kepesatan pertumbuhan masyarakat dan pembangunan yg kini terus berlangsung tanpa henti. 

Kita akui, perhatian terhadap dunia seni dan budaya nyaris terpinggirkan tapi tak disangkal keterpinggiran itu semestinya sudah mesti diterobos. Kemajuan suatu kota atau daerah membutuhkan roh. Roh yg kosong akan menimbulkan ekses ketidak seimbangan.

Bila Riau menggemakan tentang nilai2 budaya Melayu, tidakkah pernah dilihat sekadar gema atau realitas sajakah yg terjadi baru ??? Kemudian bila hanya terpaku dgn Melayunya saja, bukan juga suatu hal yg baik.
Tanpa dapat dipungkiri, khususnya sejumlah daerah dan di Kota Pekanbaru, sudah sejaklama memiliki sejarahnya sendiri dgn budaya  dan keterkaitan dgn Minangkabau. Lalu jg kehadiran budaya2 etnik lainnya. 

Karenanya diperlukan keterbukaan. Tanpa itu, deraan budaya moderen akan melenggang bebas merasuki kehidupan perkotaannya dgn semakin bercampur manusia dan kepentingan yg beragam di Riau.

Dan kehidupan teater hanya sebahagian kecil saja tapi dari sebahagian kecil itu jangan biarkan terbunuh di Riau !!!

---********----

SETELAH IDRUS TINTIN Tintin dan Dasry al Mubari, penghidup teater Riau kini seakan tersambung, dengan kehadiran RiauBeraksi dgn sutradara penuh harapan Willy Fwi.

Apapun kualitasnya, semangat dan gagasannya saya lihat sepintas memberi harapan baru pada dunia panggung teater di Riau. Dengan 2 pementasan yg kebetulan saya tonton 2014 dan 2015, potensi itu terkesan kuat ada pada Willy bersama kawan-kawannya.

Tetapi kita harapkan ada bertumbuhan kelompok2 teater yg baru, bisa jadi muncul di sekolah2 dan di perguruan tinggi di Riau. Sehingga dgn adanya kompetitor, akan menumbuhkan semangat untuk saling muncul dgn mewujudkan kualitas.

Riau tidak usah malu, untuk mengundang teman2 teater dari provinsi tetangga Sumbar, untuk pertunjukan apresiasi, diskusi, pelatihan atau pun langsung untuk menjadi sutradara, menularkan kehidupan teater di sekolah2 dan perguruan2 tinggi. Lalu dikawal dgn diselenggarakan festival teater tingkat lokal Riau.
Sudah saatnya juga Riau bergerak menjalin keterhubungan  dgn provinsi terkait. Mengadakan pertemuan teater 3 kota, Pekanbaru, Padang dan Jambi secara variatif dan berkala. Agar terjadi dialog dan pemicu tumbuhnya kehidupan berteater di Riau.

Sangat tepat Willy mementaskan Robohnya Surau Kami adaptasi dari naskah cerpen A A Navis, di dalam rangkaian kegiatan Islamic Art Festival 2015 Riau. Karena topik yg dikemuka dari naskah, sangat relevan dgn kekinian dan jg masa depan kita. 

Saya mengusul, dgn konsep yg sama dan struktur yg sdh ada, diperkuat garapannya lagi, lebih diberi kekuatan teaternya yg juga adalah tontonan, tentu akan tetap relevan diluar festival yg menghadirkannya.
Robohnya Surau Kami, relevan sebagai momentum untuk khususnya Riau. Tidak semata hanya ditafsir dalam konteks keyakinan relegius, bisa lebih diluaskan pada sisi struktur tatanan sosial dan budaya, yg tak bisa dipungkiri tengah berlangsung mengalahkan semua lini kita. 

Jangan biarkan roboh.
Jangan biarkan hancur akibat ketidakpedulian.

Dan kita tahu putaran ekonomi dan politik sangat tinggi, semestinya kehidupan kesenian dan budaya walau tak akan tinggi tapi pemerintah, pelaku kesenian dan budaya beserta masyarakat daerah ini, tak kan membiarkan mati, takkan mati bisa terwujud kalau tak dihidupi !!!

[Pekanbaru, 22 Desember 2015]

(Semoga catatan ini bermanfaat bagi kehidupan kesenian)

Senin, 01 Februari 2016

Chairul, Yang Selalu Ada


Kumpulan Tulisan tentang Chairul Harun
Editor:
Asraferi Sabri
Eko Yanche Edrie
Muhammad Ibrahim Ilyas
Penerbit:
Panitia Pelaksana Penghargaan Budaya Chairul Harun
PERSINDO
Harian Singgalang
Gebu Minang
Tahun: 2008

Buku setebal 84 halaman ini, memuat tulisan orang-orang yang pernah mengenal dan bersentuhan dengan perjalanan sastrawan, budayawan dan wartawan Chairul Harun, kelahiran Sumatera Barat, Indonesia.
Diterbitkan, berkenaan dengan Peringatan 10 Tahun Wafatnya Chairul Harun, yang dilaksanakan di Rumah Orangtua Chairul Harun di Pasar Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman.

"Seorang sahabat yang telah meninggal bukanlah seorang sahabat yang tak ada lagi. Sejak saya dengar Chairul Harun meninggaldi Padang 19 Februari 1998, saya merasa ia tak ada lagi diantara kita. Bagi saya, ia seperti seorang teman yang sedang berada di kota lain yang jauh, meskipun tak pernah berkirim surat. Ia selalu ada, menunggu untuk mengirim pesan, menunggu untuk menerima pesan." (Goenawan Mohamad, Sastrawan dan Budayawan, Pendiri Majalah TEMPO)



Penyumbang Tulisan:

- ABRAR KHAIRUL IKHIRMA:
  Chairul Harun Sang Bapak, Guru dan Sahabatku; Warisan Lelaki yang Merugi
- ABRAR YUSRA: Chairul Harun di Pekanbaru
- ALWI KARMENA: Chairul, Sepotong Senja Tersangkut di Kayutanam
- BAGINDO FAHMY: Mengenang Seorang Sahabat
- BASRIL JABAR: Beberapa Kenangan tentang Chairul Harun
- EDY UTAMA: Chairul Harun, Yang Mengganggu
- EKO YANCHE EDRIE: Chairul Harun, Ensiklopedi Lintasdisiplin
- ERITA YUSWAR: Beberapa Pengalaman dengan Pak Chairul
- GOENAWAN MOHAMAD: Chairul yang Selalu Ada
- HAJIZAR: Tatanan dan Event, Strategi Kembar Chairul Harun
- HARRIS EFFENDI THAHAR: Mengenang Chairul Harun, Kartu Joker Tak Pernah Mati
- HASRIL CHANIAGO: Bang Chairul Orang Merdeka
- KAMARDI RAIS DT. SIMULIE: Chairul Harun, Wartawan dan Sastrawan
- LEON AGUSTA: Chairul Harun, Catatan Kecil dan Kenangan
- MAKMUR HENDRIK: Chairul Harun, Guru Banyak Orang
- MUSTHAFA IBRAHIM: Chairul Harun, Ikua e Darek Kapalo e Rantau
- RANI ISMAEL: Chairul Harun Dalam Pandangan Saya
- SAAFROEDIN BAHAR: Salut untuk Para Budayawan Minangkabau
- SASTRI YUNIZARTI BAKRY: Saya Memanggilnya Da Chairul
- SJAFRIAL ARIFIN: Catatan Tentang Chairul Harun
- SYAFRIZAL HARUN:  10 Tahun Meninggalnya Chairul Harun
- SYAHRUL UJUD: Chairul Harun, Budayawan Paripurna
- SYARIFUDDIN ARIFIN: Chairul Harun Pribadi yang Unik dan Low-Profile
- SULASTRI: Chairul Harun, Parewa yang Piawai
- SUTAN ZAILI ASRIL: Peringatan 10 Tahun Sastrawan Chairul Harun
- YANUAR ABDULLAH: Chairul Harun In Memoriam
- YOHARMAN M: Chairul yang Kukenal
- ZUIYEN RAIS: Mengenang Chairul Harun, Kehidupan Rakyat Menjadi Konsep Perjuangan

(*)