Minggu, 03 September 2017

MAKSUD HATI KE PUNCAK GUNUNG JERAI

Gunung Jerai. Nama indah dan melekat dalam ingatan. Aku tak mengetahui apakah artinya Jerai dalam bahasa setempat. Tidak tahu arti nama tidaklah mengurangi hasrat untuk menulisnya perihal kunjunganku pada gunung yang terdapat di Negeri Kedah Darul Aman, di utara Malaysia ini.




Berangkat dari Sintok-Kedah dengan dua tujuan. Mula berangkat cuaca sungguh mendebarkan hati, seakan tak sempurna menikmati sepanjang jalan dan sampai tujuan dalam situasi hujan. Aku pun merasa sia-sia tak dapat memotret, mendokumentasikan apa yang kutemui.

Kiranya separoh jalan hari hujan menjadi terang. Bahkan cahayanya terasa panas terik. Membuat rasa panas melekat ke tubuh. Benar juga kata pepatah, jangan disangka hujan sampai petang, di tengah hari, hari jadi panas garang.




Gunung Jerai dikunjungi setelah berkunjung ke Lembah Bujang. Jaraknya berjauhan. Tapi sarana jalan yang menghubungkan dalam keadaan baik. Sehingga jarak tempuh yang jauh dapat dipersingkat. Lembah Bujang terletak di pegunungan, di dalam perkebunan sawit, dimana ditetapkan sebagai kawasan Museum Arkeologi.

Gunung Jerai dikenal juga oleh masyarakat Kedah sebagai Puncak Kedah. Gunung setinggi 2.107 meter ini terletak diantara daerah Kuala Muda dengan Yan, Kedah Darul Aman. Daerah-daerah sepanjang pesisiran Selat Melaka.

Gunung Jerai sendiri menjulur sampai ke daerah yang dinamakan sebagai Tanjung Jaga yang berada di pinggir laut Selat Melaka. Bagi pelaut yang melalui selat, sejak berabad-abad silam, menjadikan Gunung Jerai sebagai penanda sebagai persinggahan. Pintu masuk bagi para pedagang yang datang dari luar Kedah melalui laut.




Menurut pengarang wanita Malaysia dari Kedah, Puan Amelia Hashim, yang berbaik hati mengantarkanku, mengatakan, perkampungan penduduk yang berada di kaki Gunung Jerai dikaitkan dengan mitos Raja Bersiong. Namun aku tak minta diceritakan bagaimana mitos itu. Mungkin lain waktu akan kucari sendiri pada literature yang ada.

Mungkin karena situasi tidak menguntungkan dalam perjalanan, aku merasa kesulitan untuk mendapatkan posisi dari mana dapat menemukan hasil foto Gunung Jerai yang menarik bagiku. Yang menyenangkan diantara persawahan, pohon-pohon dan petak-petak rumah sepanjang jalan, ketika melewati daerah Yan, Gunung Jerai selalu dapat terlihat jelas, panjang membujur.

Daerah Yan disebutkan, penduduknya mayoritas keturunan berasal dari Aceh, Pulau Sumatera, Indonesia. Sepanjang jalan tidak banyak aku melihat bangunan rumah-rumah tua. Hanya areal persawahan dan petak-petak pertokoan.



Menurut catatan sejarah, orang Aceh mula-mula hijrah ke Kampung Yan ini terjadi dalam kurun waktu 1888 hingga 1925.

Kala itu, di Aceh sedang berkecamuk perang dengan penjajah Belanda. 

Sejak itu komunitas masyarakat Aceh terus berkembang, sehingga terbentuk sebuah komunitas sendiri yang sekarang kita kenal sebagai ‘kampung Aceh’

Masyarakat Aceh yang telah lama bermukim di Kampung Yan itu antara lain berasal dari Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Aceh Timur. Mereka datang ke kampung di Semenanjung Malaka itu pada waktu perang Aceh dengan Belanda. Karena itu pula, kalau kita ke ‘kampung Aceh’ ini, berasa seperti berada di kampung halaman sendiri.

Gunung Jerai ramai diminati kaum muda untuk dikunjungi berolahraga cinta alam. Mereka yang menyenangi tracking biasanya akan naik dari arah utara. Melalui Guar Chempedak, Yan Kecil dan Yan Besar. Tetapi disebutkan alternative yang paling elok itu melalui track atau jalan lama melakukan pendakian yakni melalui daerah Yan Besar.

Dari puncak gunung akan kelihatan permandangan indah negeri Kedah terutama, persawahan yang luas terbentang bak saujana mata memandang.


BERSAMA ANDHYKA NUGRAHA


Dipuncak Gunung Jerai terdapat sebuah batu besar menyerupai sebuah kapal. Penduduk sekitar Gunung Jerai menyebutnya, Batu Kapal. 

Karena menurut legenda turun temurun yang mereka terima, kapal itu menjadi batu karena mendapat “sumpah” atau penyebutan di Indonesia “dikutuk.”

Adalah terjadi karena kapal milik Maharaja Merong Mahawangsa mencoba untuk dapat berlabuh di Pulau Serai, nama Gunung Jerai padamulanya yang konon hanya berbentuk pulau. Karena Sang Kelembai melihat kapal itu, disumpahnya. Hingga kapal menjadi batu.

Sekadar ingin mengetahui saja, ada apa di atas Gunung Jerai? Aku juga menemukan kemudian dalam sejumlah bacaan yang menyebutkan, pada tahun 1884 ada pekerja-pekerja yang melakukan kegiatan memecah batu. Entah ada atau tidak kaitannya dengan adanya sebuah bangunan di puncak gunung ini. Karena bangunan itu disebut-sebut sebagai bangunan penuh misteri. Sekarang bangunan tersebut sudah dimusnahkan, karena di lokasi didirikan “stesen radio.”

Ketika mencapai kaki Gunung Jerai, cuaca agak menggelap. Tampaknya akan turun hujan. Sesekali ada gerimis. Memasuki pelataran seperti sebuah terminal kecil. Yang ada hanya ada dua kendaraan mini bus terparkir. 

Di bahagian pintu masuk terdapat bangunan mushala. Di sisi lain terdapat bangunan pertokoan beberapa petak. Nun di atas bukit bangunan hotel. Di bahagian ceruknya, aku datangi bangunan kecil yang bersih dan dalam keadaan baik. Rupanya pos informasi “pelancongan.” Sayang dalam keadaan tutup. Tidak satu orang pun berada di sekitarnya.



Tak apalah. Tidak mengecewakan. Karena memang tidak bermaksud memerlukan informasi. 

Melihat kedatangan, seseorang menawarkan jasa untuk menjadi penumpang mini busnya, untuk mengantarkan kami ke puncak Gunung Jerai. 

Ternyata beliau adalah penyedia jasa bagi pengunjung. Dia tahu kami datang dengan kendaraan sendiri tapi memang ada banyak orang, lebih memilih memarkir mobil di tempat itu, lalu menggunakan jasa khusus mini bus wisata.

Saat kedatangan tepat di kaki Gunung Jerai itu, tidak ramai. Benar-benar sepi. Boleh dikata hanya kami bertiga saja. Karena cuaca aku sudah mendua, antara tertarik atau tidak untuk dapat sampai ke puncak gunung. Sampai pun di puncak, aku malah hanya sekadar sampai, tidak dapat memotret sebagai suatu kesenanganku. Hasil-hasil potret dengan camera pocket akan mengecewakan, dengan hanya 16.1 mp apalah dayanya.

Daripada mencarter mini bus itu untuk bertiga, lebih baik tunggu penumpang lainnya. Mungkin tersebab sudah sore dan tidak dalam masa libur, penumpang lain tak ada yang datang. Lama juga aku menikmati suasana sepi kaki penggunungan bersantai. Jadilah kemudian, tanggal 7 September 2016, maksud hati sampai ke puncak Gunung Jerai, apadaya kabut kian menebal seperti hujan akan turun deras. Hingga akhirnya bergegas untuk kembali ke Sintok (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar