Kamis, 30 Januari 2014

Tugu Pejuang Bukit Palomon


TUGU ini terletak di persimpangan jalan kecil, simpang tiga, di depan Pasar Muaro Jernih, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi. Bentuk tugu sebagaimana lazimnya, sederhana dan seadanya. Nyaris sebuah pemandangan biasa, bahkan terkesan seperti kesepian.


Ketika berada di lokasi, saat didekati ternyata merupakan tugu salah satu catatan kecil perjalanan sejarah di masa perjuangan dalam menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia. Meskipun tugu ini mestinya perlu pembenahan, sesuai dengan perkembangan pembangunan  di sekitarnya, setidaknya menjadi catatan, agar tak hilang lenyap saja, sebagai penanda bahwa daerah ini adalah salah satu yang menjadi daerah garis perjuangan di tanah Jambi.

Di tugu di atas marmer tertulis penanggalan “15 September 1945, Pertempoeran di Bukit Palomon.” Menerangkan bahwa, “Rombongan Sersan Mayor Cadet R. Soehoer beserta Yahya Bay  Kopral CPM, Ismail Doekoen, H. Madjid Seling, Yahya Prajoerit, Sari Pemoeda.” Nama tiga terakhir ditandai gugur dalam pertempuran tersebut.

Kemudian di tugu yang sama, juga terdapat satu marmer yang bertuliskan berupa pantun yang ditulis oleh H. Madjid menjelang pulang untuk beristirahat ke pondoknya. Sayang tulisannya sudah ada yang terkelupas catnya.


Lokasi yang disebutkan sebagai pasar ini, sebenarnya  aktifitasnya hanya sekali sepekan. Hari pekan di Muaro Jernih, demikian orang sebutkan, adalah pada hari Jum’at. Para pedagang dari luar berdatangan memasok kebutuhan masyarakat setempat dan sekitarnya. Demikian juga masyarakat sekitar, akan turun ke pekan untuk menjualkan hasil kebun mereka, terutama getah karet dan buah sawit.

Yang amat disayangkan, pada saat hari pekan, keberadaan tugu pejuang Bukit Palomon ini seakan tenggelam oleh tenda-tenda pedagang dan dikepung parkir kendaraan. Karena memang keramaian dapat luarbiasa bila musim panen getah dan sawit, struktur tugu ini pun sendiri mudah “tenggelam” dari pandangan. Semoga di masa yang akan datang pemerintah dan masyarakat mempertimbangkan tugu yang lebih baik, dalam menghargai nilai-nilai sejarah di daerah mereka. [abrar khairul ikhirma, 10/01/14]

Rabu, 29 Januari 2014

Baca Puisi Sanggar Pasamayan


SANGGAR PASAMAYAN PADANG selama lima tahun berturut-turut, 1983-1987 tercatat menyelenggarakan Lomba Baca Puisi Antar Pelajar se Sumatera Barat. Lomba dibagi dalam kategori Pelajar SMP –Sekolah Menengah Pertama-- dan Pelajar SMA –Sekolah Menengah Atas—di tiap tingkatan sekolah tersebut dibagi lagi, putra dan putri.

Puisi-puisi yang dibacakan para pelajar, adalah puisi karya penyair nasional maupun penyair dari Sumatera Barat (Sumbar). Sementara dewan jurinya budayawan, sastrawan dan tokoh pendidik dan pers. Peserta selama kegiatan berlangsung nyaris diikuti oleh semua kota dan kabupaten di Sumatera Barat.


Selama lomba berlangsung, panitia juga mengadakan sejumlah kegiatan apresiasi berkait dengan puisi dan pembacaan puisi oleh para penyair dan pembaca puisi pilihan. Sehingga para pelajar mendapat wawasan dalam mengenal perihal seni dan sastra. 

Selama 5 tahun diselenggarakan, event ini menjadi event representative dan trendsetter dalam perlombaan baca puisi di Sumbar. Selain telah melahirkan pembaca puisi terbaik dari tahun ke tahun, lewat event ini mampu memperkenalkan karya para penyair kepada generasi muda di kalangan pelajar, dalam mengenal dan mencintai karya puisi.

Sanggar Pasamayan Padang, salah satu sanggar seni yang “mangkal” di Taman Budaya Padang yang kemudian menjadi Taman Budaya Sumbar, di Jalan Diponegoro Padang. 

Sanggar ini diasuh oleh; Asbon Budinan Haza, Asri Rosdi, Muhammad Ibrahim Ilyas, Fuaddy Chaidir Rosha dan Abrar Khairul Ikhirma. Kemudian sejumlah seniman dan seniwati bergabung dan menjadi simpatisan sepanjang perjalanan aktifitas kegiatan kreatif yang diselenggarakan dari tahun ke tahun. [abrar khairul ikhirma, 2014]

Sabtu, 25 Januari 2014

Siang di Pasar Rantau Panjang


PANAS berdegam sepanjang lintas Muaro Bungo-Bangko kian merunduk. Berbelok ke kanan dari jalan Lintas Sumatera, memasuki persimpangan patah siku, layaknya jalan pemukiman. Ada beberapa ratus meter, di jalan yang memiliki sejumlah tanggul –polisi tidur—untuk mampir di Pasar Rantau Panjang.

Sekitar pukul 15.18 wib, sampai di pasar Rantau Panjang, yang salah satu urat nadi transaksi di belahan Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Seperti biasanya, sepanjang jalan, kemana saja daerah yang dimasuki, selalu pandanganku tertuju kepada bangunan-bangunan lama dan tempat-tempat yang pernah menjadi catatan perjalanan sejarah.


Termasuk mulai berbelok dari jalan Lintas Sumatera sampai berada di kawasan Pasar Rantau Panjang, mataku tak lepas pada bangunan-bangunan tua. Alangkah menyenangkan, di pasar ini masih ditemukan sejumlah bangunan lama. Masih terasa ada identitas sebuah daerah. Ada sejumlah bangunan yang sempat aku dokumentasikan ke dalam camera digital.

Alangkah menyenangkan lagi, kalau pemilik dan pemerintah daerahnya mampu mengapresiasi, bangunan lama tetap dirawat dan dipertahankan ke depannya. Bila mereka arif bahwa itu merupakan aset dan identitas daerah mereka, tentu ke depannya pasar ini akan tetap terasa spesifiknya.


Saat kedatangan, suasana pasar sudah tidak ramai. Ada yang sudah tutup tapi di sana sini masih tetap buka. Pasar ini terbilang luas. Menurut catatan, kawasan desa Rantau Panjang adalah desa tertua di Provinsi Jambi. Sudah dihuni 680 tahun silam. Penduduknya dikenal suku Batin. Dimana suku asli Jambi dengan budaya matrilineal. Sedangkan mayoritas penduduk Jambi bersuku Melayu keturunan Melayu Muda, berbudaya patrilinial.


Suku Batin konon merupakan ‘saudara’ suku Kerinci. Mereka bermigrasi dari Cina selatan ribuan tahun lalu ke Indonesia. Menyusuri sungai Batanghari di Jambi menuju hulu. Di Bangko, rombongan ini berpisah. Satu kelompok berbelok menuju Tabir dan yang lainnya terus ke hulu menuju Kerinci.

Pasar Rantau Panjang, merupakan pasar Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. 
[abrar khairul ikhirma, 2014]