Kamis, 29 September 2011

Bupati Bersilaturahmi ke PWI


ALI MUKHNI, Bupati Kabupaten Padangpariaman (25 Agustus 2011) lalu bersilaturahmi ke kantor para wartawan di wilayah kerjanya. Kehadirannya menunjukkan hubungan dekatnya selama ini dengan pekerja pers, sebagaimana yang dikatakannya, wartawan dan media adalah mitra yang tak terpisahkan. Saat yang sama para wartawan mengadakan “buka puasa bersama” itu, Sang Bupati sekaligus menyerahkan bantuan seperangkat personal-computer dan sumbangan Rp.3.500.000 untuk renovasi Kantor PWI Kab/Kota Pariaman.


Selasa, 27 September 2011

Wajahku Menjadi Hitam

KATA orang aku berkulit hitam. Padahal menurut penjelasan warna kulit pada umumnya, kulit tubuhku dalam klasifikasi sawo matang. Karena jarang makan sayur-sayuran, terkadang kulitku mengering. Mungkin karena gaya hidupku tidak peduli harus punya penampilan bagus, merasa percaya diri saja, dimana saja. Soalnya bentuk bagiku tidak terlalu penting, yang penting harus dijaga itu adalah hati, pikiran, tingkah laku dan hubungan sesama orang di mana berada.


Beberapa pekan ini… aku sepanjang hari berada di kawasan pantai. Otomatis wajahku menjadi hitam dan kulitku kini terbakar. Aku senang berada di lingkungan para nelayan itu. Meskipun penampilanku menjadi tidak menarik, tidak berkulit bersih dan berpakaian rapi. Senang sekali dapat ikut mendorong perahu mereka yang mau turun ke laut pada pagi hari. Jika siang ikut pula membantu menaikkan perahu ke pantai bersama-sama, menjauh dari jangkauan ombak.


Yang paling menyenangkanku adalah menjenguk ke dalam setiap perahu mereka jika sudah sampai di pantai. Tentu saja mengetahui berapa banyak hasil tangkap Pak Nelayan dari melaut hari ini. Perasaanku menjadi riang tatkala melihat hasil tangkap yang banyak. Aku merasa senang saja melihat ikan-ikan segar itu menggelepar dalam perahu. Mulai dari ikan gambolo, gabua, kerapu tandang sampai ke kerapu merah. Bahkan acap juga terkail ikan pari dan hiu.


Jika perahu Pak Nelayan pulang tidak membawa hasil atau hanya sedikit hasil, aku terbawa perasaan sedih, bahkan kadang merasa kecewa sendiri. Bayangkan…. Mereka berangkat pagi melawan dingin, melawan ombak, jauh ke tengah laut dengan bekal bahan bakar bensin, makan minum dan rokok, sekaligus nyawa mereka dipertaruhkan bersama waktu, bisa-bisa pulang dengan tangan hampa.


Aku merasa damai jika dari pagi sampai menjelang waktu sholat Isya hanya berada di pantai. Bercengkerama di bawah batang waru yang rindang, berpanas-panas di bawah terik matahari melepas dan menyambut kepulangan nelayan untuk sama-sama menaikkan menjauh dari ombak, menyentuh ikan-ikan tangkapan mereka penuh kegembiraan, membakar ikan segar di atas unggunan atau hanya menyendiri memandang laut di atas perahu yang tergeletak sunyi di pantai itu. (abrar khairul ikhirma /25/09/2011)

Lauk Disikat Kucing di Pantai Ulakan

SELEPAS SIANG, dari arah Kota Padang, aku meluncur keluar kota menuju Utara. Jalanan sangat sepi dibandingkan dengan hari biasa. Ini hari adalah Hari Iedul Fitri 30 Agustus 2011. Cuaca sedikit mendung tapi tidak terjadi hujan. Seperti juga turut berduka. Soalnya tahun ini, masalah penetapan Hari Lebaran tetap saja tidak menemukan titik temu antara keputusan pemerintah dengan sebahagian umat Islam di tanah air. Tiap tahun di Indonesia Hari Lebaran selalu ada dua. Menurut pemerintah dan masyarakat. Biasanya Hari Lebaran menurut pemerintah selalu mendahului dari sebahagian masyarakat yang berbeda itu. Tapi tahun ini justru luarbiasa. Sebahagian Umat Islam menganggap Lebaran jatuh di hari Selasa 30 Agustus 2011. Sedangkan pemerintah menetapkan Rabu 31 Agustus 2011.


Aku memilih lebaran di Hari Selasa saja. Mendahului dari keputusan pemerintah yang disiarkan melalui televisi. Walau selama ini suasana lebaran tiap tahun terpecah tapi yang di tahun ini menurutku benar-benar “pecah.” Di hari ini saja sudah terlihat di sepanjang jalan seperti “tak ada kehidupan.” Tidak seperti biasanya lebaran sebelum ini. Aku tidak memiliki rencana apapun untuk berkunjung ke suatu tempat. Yang jelas aku berangkat menelusuri jalanan menuju Utara.

Bisa jadi aku akan ke Kayutanam saja. Bermalam di INS Kayutanam. Atau meneruskan ke Padangpanjang. Kalau di Padangpanjang bisa jadi aku berpaling mengarah pulang menuju Batusangkar atau malahan bermalam ke Bukittinggi. Di Batusangkar suasana pedesaannya sangat terasa. Yaaah… sangat mendamaikan hati. Kalau di Bukittinggi ramainya bukan main. Kadang juga menghibur diantara banyak rasa kesal. Karena dari berbagai arah banyak orang menjadikan Bukittinggi Kota Utama untuk berlibur. Hari libur biasa saja bukan main ramainya, apalagi saat berlebaran!


Ternyata…. belum sampai ke Kayutanam dan Padangpanjang, aku sudah berobah arah. Seusai menikmati bengkuang yang dijual berjejer di pinggir jalan di kawasan jembatan perempatan Duku, aku malah membelokkan kendaraan ke kiri, menuju jalan ke Bandara International Minangkabau (BIM) di Ketaping. Juga tidak ramai kendaraan keluar masuk. Jalan dua jalur yang lebar itu sepi, dibandingkan dengan ramainya jejeran spanduk dan baliho-baliho iklan produk kiri kanan jalan. Tak hendak aku memperhatikan satu-satu dari iklan itu. Malahan kadang aku benci, karena terlalu banyaknya dipasang, malahan kuanggap sudah merusak pemandangan dan dapat mengundang kecelakaan.

Mendekati pintu gerbang Bandara BIM aku berbelok ke kanan. Memasuki ruas jalan menyisi Bandara yang nantinya akan terus menyisir kawasan pantai. Jalannya mulus walau nantinya semakin ke ujung semakin mengecil dan memasuki wilayah pemukiman dan ibadah. Aku tidak ingin memacu kendaraan sebagaimana untuk mencapai tujuan, karena memang kali ini aku tidak bertujuan. Yang ada hanya bagaimana menanti malam dan menghabiskan Hari Lebaran pertama sendirian.


Matahari sore sudah mulai merunduk. Tadi aku sempat singgah di Pantai Katapiang dan di Muaro Tiram. Sejak pagi yang masuk ke dalam perutku hanya sepiring lontong, sementara makan siang terlewati begitu saja. Saat berada di Muaro Tiram tadi, tak jua ingin makan di sana. Padahal Muaro Tiram adalah kawasan kuliner sejak beberapa tahun ini. Sajiannya gulai dan goreng ikan laut. Tempat makannya di pondok-pondok yang dibangun di bibir pantai. Ternyata Muaro Tiram sepi. Tak seramai di hari libur terutama di hari minggu setiap pekan. Nyaris tak ada pengunjung. Padahal aku sudah memasuki kedua sisi pintu muaro sungai Batang Tapakih itu, dimana berjejer sejumlah pondok-pondok makan.

Ketika mencapai Ulakan yakni di kawasan makam Syech Burhanuddin, aku membelokkan kendaraan menuju pinggir pantai, melewati jalan gang yang dicor semen. Setiap bulan Syafar, Ulakan akan ramai dikunjungi penganut tarekat Syatariah, termasuk pengunjung yang ikut meramaikan suasana meluber sampai ke bibir pantai. Baik siang maupun malam. Rencanaku akan memotret di belokan sungai menjelang muara. Nyatanya kendaraan tidak bisa mencapai ke sana. Soalnya jalan cor semen persis di ujung menuju muara Ulakan terdapat satu rumah nelayan dan menjadikannya sebagai teras rumah pondoknya. Di sana terparkir beberapa sepeda motor dan peti serta kaleng-kaleng kelengkapan melaut. Atap rumahnya disambung dengan terpal menutupi jalan semen. Aneh juga memang. Kok bisa begitu ???


Karena jalanku terhalang, aku balik-kanan. Memutuskan untuk menyusuri jalan semen yang menyisir tubir pantai. Hampir sama dengan di Pantai Tiram, Pantai Ulakan juga sepi. Hari biasa pun memang tidak seramai di Pantai Tiram. Orang Ulakan yang penganut Syatariah hari kedatanganku ini belum berlebaran. Lebarannya adalah esok hari. Namun kedai-kedai tetap buka. Mulai dari depan makam Syech Burhanuddin sampai ke arah pantai ada saja penjual “rakik udang” dan “sala lauk.” Makanan gorengan berbahan tepung, ikan dan udang laut. Begitu juga ada kedai nasi kecil di sana sini. Karena sejak pagi belum makan, di sore hari ini, aku ingin makan di sini saja. Hitung-hitung… sudah beberapakali ke Pantai Ulakan, belum pernah mencoba makan masakan kedai nasi pinggir pantainya. Mana tahu lebih enak dibandingkan dengan yang ada di Muaro Tiram.

Aku berhenti dan duduk di salah satu pondok. Lalu nasi yang kupesan datang. Nasi putih dengan sayur pucuk ubi kayu, lalu dua potong ikan gulai di sebuah piring kecil. Ikan yang terpotong tampaknya bukan jenis ikan sisiak atau kerapu atau hasil pancingan nelayan seperti biasanya. Tampaknya asal ada gulai ikan saja. Melihat kuahnya yang tidak kental dan warnanya hambar, sudah kupastikan tidak bakal enak. Karena sudah terlalu lapar aku ambil sepotong dari dua potong ikan gulai itu setengah hati. Meskipun selera sudah patah kupaksakan juga memakannya.


Oh ya…. Baru saja duduk di pondok makan itu, kucing-kucing sudah mulai datang berkerumun. Di banyak rumah makan, biasanya kehadiran kucing pastilah disingkirkan oleh pemilik kedai. Sebab akan mengganggu pengunjung. Tetapi di kedai nasi Pantai Ulakan tidak. Kucing-kucing itu seperti tidak akan mengganggu orang makan. Dianya ada yang hanya berada di sekitar pondok, ada pula ikut naik ke atas pondok makan. Melihat kucing yang banyak itu, tidak ada tanda-tanda mereka adalah kucing-kucing liar tapi pastilah kucing piaraan penduduk setempat, termasuk si pemilik kedai. Karena kucingnya berbulu bersih dan tidak takut dengan manusia. Si pemilik kedai nasipun tak hendak untuk mengusirnya. Seakan hal itu biasa saja. Saat aku makan memandang ke laut, salah satu kucing berhasil mencuri ikan yang tinggal sepotong dalam piring kecil di hadapanku. Hup! Kucing itu tidak membawanya lari tapi dengan tenang memakan di hadapanku! Aku tetap diharuskan membayar sesuai dengan yang dihidangkan.

Selain kehadiran kucing di kawasan itu, Pantai Ulakan juga tidak memadai untuk dikunjungi jika ingin mendapatkan suasana yang penuh sensasi wisata. Baik kuliner maupun suasananya. Tidak ada view yang menarik. Juga keadaan sajian dan layanan yang jauh dari bagus. Bukannya mendukung kekurangan lokasi itu dengan makanan spesifik dan harga wajar tapi malah seakan tidak peduli…., Selain bibir pantai nyaris tidak ada jarak dengan ombak, lebih identik dengan kumuh. (abrar khairul ikhirma /30/09/2011)

Senin, 26 September 2011

Tukang Parkir Kereta Api

WALAU PUN kereta zaman sekarang tidak lagi memakai bahan bakar batubara tetapi namanya tetap lekat dengan Kereta Api. Sejak tidak lagi dipakai untuk membawa batu bara dari Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur-Padang, nasib kereta api di Sumatera Barat langsung pudur. Sebelumnya selain dijadikan sarana angkut batubara, kereta api menjadi angkutan penumpang amat vital. Namun tersedianya jalan dan mobil, kereta api bukan lagi andalan utama sebagai moda transportasi. Berkat dorongan Masyarakat Pecinta Kereta Api, beberapa tahun ini kereta api dijadikan sebagai sarana pariwisata.


Jalur yang dihidupkan kembali adalah jalur Setasiun Pulau Air (Simpang Haru, Padang), Setasiun Tabiang Padang, Setasiun Lubuak Aluang, Pauh Kamba, Kurai Taji dan Setasiun Pariaman. Padang dan Pariaman, kereta api melayani penumpang setiap hari, pagi – siang dan sore. Jika di hari libur, frekuensi dan jumlah gerbong ditingkatkan. Soalnya, arus penumpang dari arah Padang ke Pariaman bisa melebihi kapasitas hari biasa. Karena banyak masyarakat yang ingin berlibur di Pantai Gandoriah Pariaman yang terletak di depan Setasiun Pariaman.


Kereta api sekarang adalah kereta api diesel berbahan bakar solar. Derum mesin, gemerutuk roda besi beradu dengan rel, bunyi peluitnya tidak lagi memiliki suara yang khas. Termasuk tidak ada lagi kepulan asap lokomotifnya. Namun bukan berarti membosankan tapi masih ada pemandangan asyik bila tiap kali sedang berada di setasiun saat kereta datang dan pergi. Sejumlah tukang parkir akan sibuk mengatur lokomotif memarkirkan gerbongnya. Begitu juga saat lokomotif semula berada di depan mengarah ke Utara saat datang, harus dipindahkan ke bagian belakang gerbong untuk tetap berada di depan lagi jika berangkat ke arah Selatan. (abrar khairul ikhirma /10/09/2011)

Jumat, 23 September 2011

Berlayar ke Pulau Anso


PULAU ANSO salah satu pulau yang berada di depan Pantai Pariaman. Tepatnya terletak di depan objek wisata Pantai Gandoriah. Sisi barat Pulau Sumatera dari Samudera Hindia. Pada saat lebaran minat pengunjung cukup banyak ingin berwisata ke sana. Tahun ini penyedia jasa memakai “biduak payang” (mesin temple) milik nelayan Pasir Baru, Naras, Pariaman, yang sehari-hari digunakan menangkap ikan. Mengantisipasi kemungkinan terjadi musibah, Team SAR juga menyiapkan sejumlah perahu karet dan boat pemantau.

Banyak orang takut naik biduak (perahu).
Jangankan di laut, di telaga dan sungai saja, lantaran tak memiliki keberanian karena tidak bisa berenang, banyak yang merasa enggan. Namun saat lebaran setiap tahun di Pantai Pariaman, para pengunjung ada saja yang berminat untuk naik perahu dengan tujuan ke Pulau Anso. Lebaran tahun ini, 1 s.d. 5 September 2011, setiap hari tiket yang disediakan penyedia jasa ke pulau senantiasa habis terjual. Tidak kurang dalam sehari pengunjung ke pulau dikabarkan lebih dari 300 orang.


Meskipun Pulau Anso bukan pulau tertutup untuk umum, panitia selama lebaran yang ditunjuk pemerintah khusus menyediakan jasa untuk mencapai pulau tersebut. Tradisi ke pulau ini dimulai atas kebijakan almarhum Bupati Anas Malik di awal tahun 1980 setiap lebaran. Peminatnya tidak pernah berkurang. Padahal sebahagian besar pengunjung ke pulau sama sekali tidak bisa berenang, bahkan belum pernah naik perahu. Selain ingin mencoba naik perahu, pengunjung kebanyakan ingin menyaksikan bagaimanakah kalau mereka saat berada di pulau??? Saat lebaran pengunjung pulau kebanyakan dari kalangan muda, terutama pasangan yang pergi berombongan.

Pulau Anso atau ada juga yang melafazkannya Angso dan banyak juga menyebutnya Pulau Anso Duo berjarak cukup dekat dengan bibir pantai. Jika memakai biduak nelayan bermesin robbin saat cuaca bagus dan alun laut normal, pulau dapat dicapai 30 menit dari pantai. Tetapi saat lebaran disediakan biduak payang bermesin tempel 40 pk dan body biduak cukup besar dan aman untuk memuat penumpang sehingga pulau dapat dicapai kurang dari 20 menit.

Selain moment lebaran, beberapa waktu lalu saat hari libur (sabtu dan minggu) sempat tersedia angkutan ke Pulau Anso, dengan memakai sarana boat dan kapal milik Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pariaman . Alasan yang dilansir adalah untuk mendukung kegiatan wisata daerah tapi tidak diketahui bentuk pengelolaannya. Baik penggunaan sarana maupun pertanggungjawaban keuangannya. Termasuk dalam keamanan penumpang menyangkut jiwa manusia. Entah bagaimana menjelang waktu lebaran kegiatan semacam itu terhenti begitu saja.


Pulau Anso digunakan nelayan setempat untuk beristirahat, ada juga pengunjung dadakan pada hari biasa yang berkunjung ke sana. Biasanya mereka datang berombongan dan menghubungi nelayan sepanjang Pantai Gandoriah. Memang tidak bisa dipastikan jumlahnya tetapi ada saja kunjungan ke Pulau Anso dalam sebulan. Mereka mencarter biduak robbin dan rata-rata membayar 50 ribu per orang. Nelayan mengantarnya pada pagi hari dan sorenya mereka dijemput kembali. Atau sesuai perjanjian mereka dengan para nelayan yang bersedia mengantarkan dengan biduknya.

Sebenarnya Pulau Anso hanya sebuah pulau biasa-biasa saja. Bagi banyak kunjungan tidak lain terpikat oleh keinginan sensasi lain berlayar di laut dan menjejak pulau selepas dari daratan. Di pulau kecil ini terdapat “kuburan panjang” yang dipercaya keramat. Kuburan terletak di bahagian tengah pulau. Pada saat tertentu akan ada saja kunjungan rombongan untuk berziarah. Pemerintah daerah waktu lalu membangun tiga buah rumah “inap singgah” buat nelayan yang menjadi proyek Dinas Perikanan dan Kelautan. Kondisinya sejak dibangun tidak terawat sampai kini. Begitu juga tempat ibadah berupa surau kecil dan dermaga kayu, nyaris mengalami nasib yang sama. Sekadar dibangun. Kemudian dibiarkan begitu saja. Suatu hal yang sudah klasik diketahui dan disaksikan umum.


Yang paling merisaukan adalah dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kunjungan secara “resmi” ke Pulau Anso itu, semacam yang dapat disaksikan setelah lebaran usai. Sampah-sampah berserakan mengotori pulau dan bertebaran ke laut. Termasuk perilaku moral pengunjung yang menikmati kebebasan di pulau bersama pasangannya tanpa ada pengawasan dan keterikatan apabila berada yang dikatakan sebagai “objek wisata” itu. Sebab bukan mustahil berasyik-mashuk bagi kalangan sekarang merupakan keberanian lain di tempat umum meskipun sudah menyuruk-nyuruk ke balik semak belukar. Pariwisata, siapakah yang diuntungkan sebenarnya??? Pemerintah, panitia, oknum ??? Keuntungan konkrit tak pernah diketahui, selain hanya wacana. Adakah uang masuk ke kas daerah, paling tidak pengganti uang yang telah dikeluarkan??? Jawabannya hanya satu kata klasik saja: Rugi !!! (abrarkhairulikhirma/06/09/2011)

Kamis, 22 September 2011

“Basarunai Balon” Mak Syawal Dari Danguang-danguang



Pengamen di Sumatera Barat identik dengan satu-dua laki-laki muda berpakaian kumuh, menenteng gitar kusam. Jika bernyanyi suara asal kena, lagunya juga asal kena. Penampilan senantiasa tak mengundang simpatik. Selesai menyanyi di hadapan orang, menyodorkan bekas kantong permen agar dimasukkan uang recehan. Pemberi uang receh itu bukan pertanda suka penampilan, suara, denting gitar sang pengamen. Lebih banyak, itu satu cara untuk “mengusir” dari hadapan mereka.



Tapi tidak dengan lelaki “nyentrik” yang berasal dari Danguang-danguang, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat bernama Mak Syawal. Di hari lebaran lalu, tepatnya 31 Agustus 2011, saat saya memantau aktifitas objek wisata Pantai Gandoriah, Pariaman, selama lebaran, ia menjadi pusat perhatian banyak pengunjung. Penampilannya nyetrik, berkostum pemain randai –drama tradisionil Minang—ia mampu memukau pengunjung untuk menyaksikan atraksi yang disuguhkannya. Ia mampu membuat orang menghentikan langkah mereka sejenak yang “wara-wiri” sepanjang pantai, tertegun dan berkerubung.

Terutama pengunjung lebaran yang berasal dari luar daerah, mereka pulang dari rantau, seperti mendapat suguhan setetes air di padang yang tandus. Betapa tidak, selama ini dimana-mana kehidupan mereka hanya dipenuhi hingar-bingar music modern. Kerinduan mereka akan suara bansi dan dendang pantun yang disuarakan dengan suara yang khas, seakan terobati dengan suguhan Mak Syawal. Walaupun anak-anak mereka yang tidak akrab dengan seni tradisi Minang, otomatis saja tertarik untuk terpukau, karena mereka memang berdarah Minang meskipun lahir dan besar di perantauan. Rindu akan sesuatu yang “kampong halaman” suatu hal yang tak dapat dipungkiri banyak orang. Demikian yang tergambar dari wajah-wajah mereka yang menyaksikan penampilan Mak Syawal.



Kemunculan Mak Syawal di objek wisata Pantai Gandoriah saat lebaran bukan atas undangan. Tetapi atas kehendaknya sendiri yang ingin mempertunjukkan keahliannya dan menarik simpati untuk memberinya atas hal yang dinikmati dari penampilannya. Ternyata Mak Syawal salah satu yang nyaris tak terperhatikan oleh pihak berkompenten.

Orang semacam Mak Syawal inilah yang sesungguhnya memberi arti keramaian yang berlangsung di tepi pantai itu. Bukan “acara” yang mereka (pemerintah) katakan sebagai hiburan di sebuah panggung yang kumuh, lokasi penonton yang semrawut oleh pedagang dan hingar-bingar soundsistem yang beradu kencang dengan tempat permainan anak-anak dan kedai-kedai di sekitarnya. Sebab konon pemerintah setempat mengklaim diri mereka mengadakan “Pesta Pantai” di objek wisata ini selama lebaran. Tentunya memiliki kepanitiaan untuk pengaturan, keamanan dan salah satunya menyelenggarakan hiburan. Sebagai salah seorang pengunjung kok saya tak merasa kegiatan ini terkelola meskipun seperti biasanya acara seperti ini selalu dipenuhi dengan jumlah panitia yang “berjubel.”



Kalau banyak pedagang dan pengunjung yang memenuhi areal tidak bisa dijadikan tolok-ukur oleh pemerintah. Karena dari tahun ke tahun, diadakan atau tidak yang namanya Pesta Pantai, masyarakat local setempat sudah memiliki tradisi untuk beramai-ramai “bermain ombak” di pantai, semenjak berhasil dirintis oleh almarhum Bupati Padangpariaman Anas Malik, apalagi lokasinya berdekatan dengan pasar dan mudah diakses.

Mengapa dapat dikatakan tak terkelola ???
Pedagang tumpang tindih “merampok” areal untuk public sehingga pengunjung tak merasa nyaman. Manusia campur aduk dengan kendaraan di areal public. Begitu juga di panggung hiburan sendiri, mungkin akan lebih baik mutunya dengan penampilan di pesta perkawinan ketimbang saat lebaran di ruang publik. Baik kekuatan soundsistem, pemilihan lagu, penyanyi, apalagi berharap atraktif mengambil perhatian pengunjung, bukannya terkesan menghibur. Malahan banyak mengundang gerutuan. Nyaris apa yang mereka lakukan seperti tak dipedulikan saja. Mungkin karena sesuai pula dengan penampilan mereka yang “sekadar memenuhi kewajiban” saja.



Dengan situasi itu Mak Syawal-lah salah seorang yang berhasil menghibur pengunjung. Ia mampu menjadikan dirinya bagai mutiara di tengah keramaian manusia. Terbukti dengan hanya beberapa menit penampilannya saja, ia dapat menghasilkan usaha “ngamennya” ratusan ribu rupiah. Sedikit ia mendapatkan uang lembaran seribu rupiah apalagi recehan sama sekali tak ada dari orang-orang setiap merubungi penampilannya. Rata-rata 5 ribu, 10 ribu dan 20 ribu bahkan sering terselip lembaran uang 50 dan 100 ribu diantaranya.

Setiap selesai melakukan atraksi Mak Syawal akan beristirahat dan membiarkan para nelayan menghitung bersama-sama pemberian orang tanda simpatinya di bawah kerindangan pohon waru dan ketaping, dimana Kelompok Nelayan Putra Bahari biasanya berkumpul selama ini. Mak Syawal mudah akrab dengan para nelayan ini. Dialek “urang pikumbuah” yang kental dari Mak Syawal menjadi daya tarik para nelayan untuk bercakap-cakap. Sehingga kehadirannya bersama mereka adalah sisi lain dari menghibur.

Mak Syawal dari Danguang-danguang tidak datang sendiri. Ia membawa serta dua bocah yang dipasangkan kostum pemain randai. Kedua bocah itu adalah anak cacat bibir sumbing. Yang satu sudah menjalani operasi, sedangkan satu lagi masih sumbing. Kedua bocah itu tetap dengan kekanak-kanakannya, ia setia mengiringi lelaki tua ini kemana-mana untuk mengamen.

Kedatangan Mak Syawal ke Pantai Gandoriah bukanlah hal pertama. Sebelumnya dia juga pernah mendatangi tempat ini. Sebagaimana biasanya, kemana saja Mak Syawal mengamen ke berbagai daerah, ia selalu mendapat penghasilan lebih dari satu juta. Jadi bukan mustahil ia bisa pergi ke Jakarta sekalipun untuk mengamen, jangankan ke berbagai kota di Sumatera.



Yang menarik dari Mak Syawal dimana giginya nyaris sudah tidak ada lagi ialah idenya untuk memanfaatkan kepiawaiannya dalam menguasai seni tradisi hingga bernilai jual dan menghasilkan. Bansi adalah alat music tiup Minang terbuat dari bamboo kecil. Menghasilkan suara yang lengking. Peniup yang piawai seringkali memainkan nada menyayat dan memerihkan alam rasa.

Jika bansi dimainkan oleh peniup, biasanya akan ada yang khusus menjadi pendendang. Karena Mak Syawal tak membawa pendendang, ia memainkan hal itu sekaligus sendiri. Pada bansi dilekatkannya berupa balon yang ditiupnya terlebih dahulu hingga menggelembung. Dengan memanfaatkan angin pada balon ia melepaskan melalui lubang-lubang bansi sesuai dengan ritme lagunya. Tugasnya meniup bansi sudah digantikan balon, maka ia dapat berdendang dengan leluasa. Saat dia mau berpindah ke dendang berikutnya, ia dengan cepat meniup sang balon yang mulai kempes. Demikian terus sampai ke akhir pertunjukkannya. (abrar khairul ikhirma/01/09/2011)

Selasa, 20 September 2011

Ketika Ini Hari

tadinya aku ingin berangkat
pergi menuju kota yang kuinginkan dijelang
tetapi cuaca menahanku
dan kini rinduku menerjang

tadinya aku ingin bergegas
mendapatkan yang selalu kurindukan
tetapi makna itu terluka di sini
dan kini aku bersahaja

#prm.19/09/2011

Rabu, 14 September 2011

Airmata Mengalir

kalau airmata mengalir karena rasa haru
berarti alam rasa itu masih sempurnanya
berada dalam hidup kita....

#prm13/09/2011

Lepau di Pagi

apakah pagi selalu menyediakan kantuk ???
tidak juga hanya kaki yang terantuk

kini kubangun dari lepau semalam suntuk
dan duduk dalam penghotaan hilir mudik
di antara langit yang menggelap
dan hujan yang menukik

banyak kata tersusun jadi rentak
sedang pelanta tetap siap menampung diam
tawa dan sumpah serapah

aku rindu
persaudaraan
perintang-rintang hari

#prm14/09/2011