Sabtu, 28 Oktober 2017

DOEA ORANG SENIMAN DARI PADANG

Foto ini ditemukan di wall fesbook salah satu dari kedua orang seniman asal Sumatera Barat ini. Telah menginspirasiku untuk menulis perihal keduanya, dengan style penulisan sebelum masa dianjurkan penggunaan EYD (Ejaan yang Disempurnakan) dalam Bahasa Indonesia.




Jang satoe bernama toean Ilhamdi Sulaiman​, jang biasa bagi orang tahoen 1980-an di Taman Budaya Padang seboet sebagai Boyke Sulaiman. Jang satoe lagi bernama toean Muhammad Ibrahim Ilyas.

Baiklah.... akoe hendak mencuba menoeliskan sedikit penoetoeran kisah setentang kedoea-doea orang ini.

Kedoea-doea daripada toean-toean ini pada masa dahoeloenja, berbilang antara tahoen separo 1970 sampai akhir 1980-an, jaitoe masa-masa berdjaya soeasana kehidoepan berkesenian di Soematera Barat, adalah terseboet sebagai anak panggoeng ataoe boleh joega dikatakan anak teater, jaitu pemain teater.

Bermoela kedoeanja semasa bersekolah soedah soeka kesenian. Selain beladjar di sekolah kedoeanja djuga tercatat memulapertama berkesenian dari kelompok Bumi Teater Padang, asoehan teaterawan Wisran Hadi, dimana saat itoe antara lain masih ada penyair Hamid Jabar, teaterawan A Alinde, pelukis Herisman Is, penyair Upita Agustine, toeroet sebagai daripada pengasoeh.

Sesoedah itoe kedoea-doeanja membelah diri. Tidak kerana kedoeanja orang berilmoe tetapi maksoednja, kedoeanya akhirnya keloear dari kelompok kesenian jang terbesar saat itoe ada di Soematera Barat.

Toean Ilhamdi Sulaiman beralias Boyke Sulaiman membentoek sendiri kelompok bernama Bojo Group Padang bersama Junaidi Usman. Kedoeanya pandai berteater, djoega bersastra, bernyanyi-musik dan berpantomime. Kira-kira djang pernah berteater, bersastra dan bermusik di Sanggar Bojo, djang akoe ingat, terseboetlah Aidil Usman yang kini bergiat menjadi penata artistik berbagai pertoenjoekan di Jakarta, Utjok Chalifendri (Padang), Rahmat Mulia Nasution (Jakarta) dan Indra Sakti Nauli (Padang), semasa ini bergiat di doenia media poeblik.

Selain di Bojo Grup toean Ilhamdi djoega daripada itoe seorang “pendekar” di Teater Proklamator Universitas Bung Hatta Padang, yang dibentoek semasa ia menjadi seorang mahasiswa. Laloe setelah menjadi seorang sarjana, toean Ilhamdi hijrah ke Kota Bengkoeloe, dimana kota terseboet pada dahulu semasa zaman sebeloem kemerdekaan terseboet bernama sebagai Bengcoolen. 

Toean Ilhamdi berhjirah oleh karena bekerja sebagai pegawai negeri di Taman Budaya Bengkulu. Jaitu ia pun membentoek Teater Alam Bengkulu. Menjadi soetradara dan mengajar peladjar-peladjar bermain teater.

Kini toean Ilhamdi diketahui liwat media socialnja, telah bergiat menjadi seoerang pemonolog. Bermain sebatang kara kemana-mana toejoean.

Adapoen djoega toean Muhammad Ibrahim Ilyas, dirinya terseboet ikoet teaterawan A Alin De, sesoedah keloear dari Bumi Teater Padang, kemoedian membentoek Sanggar Dayung-dayung Padang. Berkoeboe di Taman Budaya Padang.

Pada waktoe Pertemuan Teater 1982 se Indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta, djang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, toean djang satoe ini mendapat poejian terbaik, teroentoek aktor terbaik daripada toean goeroe djang termashur, dramawan dan penyair WS Rendra. Poejian kehormatan itoepoen tercatat dalam boekoe oerang hebat Indonesia itu, WS Rendra: Mempertimbangkan Tradisi.

Kemoedian daripada sesoedah berdjalannya waktoe, Muhammad Ibrahim Ilyas mengasoeh Sanggar Pasamayan bersama toean aktor Asbon Budinnan Haza, toean pelukis Asri Rosdi, toean penyiar radio Fuaddy Chaidir Rosha, toean seniman rupa-rupa Abrar Khairul Ikhirma.

Oleh sebab penghidoepan daripada masing-masing, semoeanya tercerai berai beroesaha dalam mencari penghidoepan dikemoedian harinja. Sekarang ini Muhammad Ibrahim Ilyas mendirikan Teater Imaji di Padang. Sambil bergiat menoelis naskah-naskah drama. 

Baroe-baroe ini, toean Muhammad Ibrahim Ilyas terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra 2017 Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Republik Indonesia, untuk bukunja berjoedoel, “Dalam Tubuh Waktu,” memoeat 3 naskah drama, diterbitkan Penerbit Arifha Padang.

Djoega beliaoe dalam tahoen terakhir ini, prodoektif menoelis poeisi. Teroendang bermacam-macam perhelatan kesenian di berbagai tempat. Beliaoe oerang jang pada masa sekarang ini boleh diseboet sebagai penyair soematera barat terkemoeka. Boekoe-bokoenya poen soedah poela diterbitkan.

Begitoelah toelisan ini saja boeat sebenar-benarnya. Keh keh keh (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Jumat, 27 Oktober 2017

RUMAH KAPITAN DARI MEDAN

Tjong A Fie adalah seorang pengusaha, bankir dan kapitan, berasal dari Tiongkok. Sukses membangun bisnis besar dalam bidang perkebunan di Sumatera, Indonesia.




Aku orang yang tak banyak menghabiskan waktuku, membuka-buka google pabila sedang memakai jaringan internet. Aku hanya akan membukanya, pabila ada suatu data ingin kucari saja. Jadi banyak hal sebenarnya aku tidak banyak tahu.

Saat berjalan-jalan dari Masjid Al-Mashun atau dikenali juga sebagai Masjid Raya Medan, menuju arah Medan Walk, aku membaca papan penunjuk jalan, “Rumah Tjong A Fie. Aku bertanya-tanya sendiri, siapakah Tjong A. Fie. Bagiku, nama itu terasa baru. Tapi aku memahami, kalau tidak suatu hal yang penting, tentu tidak akan ada nama itu tercantum dijadikan sebagai petunjuk jalan.

Selama ini yang kutahu hanyalah, cerita-cerita banyak teman bahwa di Kota Medan, ada sebuah jalan ketika sore hari ditutup. Lalu jalan itu dijadikan tempat orang bersantai menikmati makanan dan minuman. Pengelolaannya dinilai sangat baik. Tidak ada iri hati sesame pedagang, ketika di tempatnya orang duduk tapi memesan makanan dari pedagang di sebelahnya.

Jalan itu Jalan Kesawan. Jalan yang tak jauh dari Lapangan Merdeka. Tapi masa aku berkesempatan mendatangi Kota Medan, kisah bersantai di Jalan Kesawan tak kutemui lagi. Kegiatan serupa itu sudah dipindah ke Lapangan Merdeka. Ada yang menamakan Merdeka Walk dan ada banyak orang menyebutnya Medan Walk.

Jalan Kesawan itu mengingatkanku akan nama sebuah bank. Kawasan ini dan sekitarnya sampai kini masih terdapat bangunan tua. Peninggalan dari masa silam Kota Medan yang memang sudah mengalami masa kemajuan sejak lama. Bagiku berada di dalam suatu kawasan kota lama, memberikan suatu kepuasan tersendiri. Aku menyukai arsitekturnya dan suasana zaman lama.

Dilain waktu, barulah aku mengetahui bahwa Tjong A Fie, kelahiran Guangdong 1860. Tjong berhasil membangun bisnis besar dalam bidang perkebunan di Sumatera. Konon lebih dari 10.000 orang dipekerjakannya sebagai karyawan. Karena hal itu, ia dekat dengan para kaum terpandang di Medan, diantara Sultan Deli, Ma’moen Al Rasyid serta penjabat-penjabat colonial Belanda.




Tjong seorang Tionghoa perantauan. Ia datang ke Medan, Hindia Belanda, dalam usia 18 tahun, mengikuti jejak saudaranya. Mereka terlahir dari keluarga sederhana. Ia cerdas dan pandai bergaul tidak hanya di kalangan Tionghoa tapi juga dengan Melayu, Arab, India dan orang Belanda. Tjong menguasai bidang ekonomi dan politik. Dia telah memiliki kerajaan bisnis, perkebunan, pabrik minyak kelapa sawit, pabrik gula, bank dan perusahaan kereta api.

Tjong A Fie belajar berbicara dengan bahasa Melayu yang menjadi bahasa perantara masyarakat di tanah Deli. Tjong A Fie tumbuh menjadi sosok yang tangguh, menjauhi candu, judi, mabuk-mabukan dan pelacuran. Ia menjadi teladan dan menampilkan watak kepemimpinan yang sangat menonjol.

Berjalan kaki disiang hari, di tengah kesibukan Kota Medan terasa suasana menggembirakan. Berjalan di depan pertokoan dan perkantoran. Menelisik bangunan-bangunan tua. Hingga akhirnya, aku menemukan sebuah bangunan dengan memiliki gapura di bahagian depan. Rumah Cina lama. Rumah besar. Inilah yang dimaksudkan dengan Rumah Tjong A Fie.

Segera saja aku menyeberang jalan. Pintu gapuranya terbuka. Halaman yang bersih. Tidak ada yang menjaga pintu masuk. Tempat itu jauh terbalik dengan suasana kesibukan kota. Tempat yang boleh dikatakan senyap. Bangunan besar itu dengan halaman terbilang luas, membuat nyaman untuk bersantai di tempat ini.

Kiranya setelah di dalam, setelah berada di bahagian teras depan yang panjang, tahulah aku bahwa tempat itu merupakan sebuah museum yang terbuka untuk umum. Ada dua orang petugasnya, dua orang perempuan lagi bercakap-cakap di bahagian sudut. Keduanya ramah menyambut kedatanganku. Aku menanyakan beberapa hal. Jawabannya memuaskan.

Kedatanganku tidak untuk sepenuhnya menelusuri bahagian apa saja yang dipamerkan kepada pengunjung. Karenanya, aku sampaikan bahwa kapan-kapan nanti, aku baru akan masuk. Setiap pengunjung dikenakan biaya masuk untuk menanggulangi biaya perawatan yang tinggi oleh pengelolanya.

Walau pun aku berada di Rumah Tjong A Fie berjam-jam, aku hanya duduk-duduk di bangku lama yang ditempatkan di teras bangunan besar itu. Udara siang Kota Medan mulai meniupkan rasa panas, di tempat ini aku merasa sejuk dan tenang.

Tjong A Fie sangat berjasa dalam membangun kota Medan, dimana masih bernama Deli Tua. Beberapa jasanya dalam usaha mengembangkan kota Medan adalah menyumbangkan menara lonceng untuk Gedung Balai Kota Medan yang lama, pembangunan Istana Maimoon, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto, Kuil Budha di Brayan, Kuil Hindu untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank, Jembatan Kebajikan yang terletak di Jalan Zainul Arifin serta mendirikan rumah sakit Tionghoa pertama di Medan bernama Tjie On Jie Jan.  Menjadi pelopor industri perkebunan dan transportasi kereta api pertama di Sumatera Utara yakni Deli Spoorweg Maatschappi (DSM), menghubungkan kota Medan dengan pelabuhan Belawan.

Tjong A Fie dikenal dermawan dan sangat dekat dengan masyarakat pribumi dan Tionghoa. Sebagai dermawan, ia banyak menyumbang untuk warga yang kurang mampu. Sangat menghormati warga Muslim, bahkan berperan serta dalam mendirikan tempat ibadah yakni Masjid Raya Al-Mashum dan Masjid Gang Bengkok serta ikut merayakan hari-hari besar keagamaan bersama mereka.

Dalam suasana bersantai di kursi di teras Rumah Tjong A Fie, datanglah serombongan pelancong asing. Ada sekitar 20 orang. Mereka memasuki halaman rumah dengan dipandu guide biro perjalanannya. Hampir semuanya terkagum-kagum menatap dan mendokumentasikan arsitektur bangunan Rumah Tjong A Fie. Rumah ini merupakan bangunan yang didesain multicultural. Memiliki corak gaya arsitektur Tionghoa, Eropa, Melayu dan art-deco saling berpadu.

Bangunan kediaman Tjong A Fie ini terletak di Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, yang dibangun pada tahun 1900, saat ini dijadikan sebagai Tjong A Fie Memorial Institute dan dikenal juga dengan nama Rumah Tjong A Fie. Rumah ini dibuka untuk umum pada 18 Juni 2009 untuk memperingati ulang tahun Tjong A Fie yang ke-150.

Di rumah ini, pengunjung bisa mengetahui sejarah kehidupan Tjong A Fie lewat foto-foto, lukisan serta perabotan rumah yang digunakan oleh keluarganya serta mempelajari budaya Melayu-Tionghoa.

Nama Tjong A Fie pernah akan dijadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Medan, tapi dibatalkan dan jalan itu menjadi Jalan K.H. Ahmad Dahlan. Karena sifatnya yang dermawan dan toleran tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, agama dan asal usul.



Tjong A Fie tidak sekadar pebisnis, diapun diangkat pemerintahan colonial tahun 1911 sebagai "Kapitan Tionghoa" (Majoor der Chineezen) untuk memimpin komunitas Tionghoa di Medan, menggantikan kakaknya, Tjong Yong Hian yang wafat. Dengan rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie menjadi anggota gemeenteraad (dewan kota) dan cultuurraad (dewan kebudayaan) selain menjabat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tiongkok.

Empat bulan sebelum menghembuskan napas terakhir, Tjong A Fie mewasiatkan seluruh kekayaannya di Sumatera maupun di luar Sumatera kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow pada saat ia wafat. Ia menuliskan permintaanya agar yayasan tersebut memberikan bantuan keuangan kepada pemuda berbakat dan berkelakuan baik dan ingin menyelesaikan pendidikannya, tanpa membedakan kebangsaan. Membantu yang tidak mampu bekerja dengan baik karena cacat serta  para korban bencana alam tanpa memandang kebangsaan dan etnis.

Tjong A Fie tutup usia pada tanggal 4 Februari 1921 karena menderita apopleksia atau pendarahan otak. Seluruh kota Medan turut berduka. Ribuan orang pelayat berdatangan, dari kota Medan, Sumatera Timur, Aceh, Padang, Penang, Malaya, Singapura dan Pulau Jawa. Prosesi Pemakaman Tjong A Fie berlangsung dengan megah sesuai dengan tradisi dan jabatannya (*) bahan dari Rumah Tjong A Fie dan Wikipedia.

Rabu, 25 Oktober 2017

MASJID ABDUL RAHMAN BIN AUF KUALA LUMPUR

Terletak di Jalan Puchong. Satu diantara sarana ibadah terdapat dalam kota Kuala Lumpur, Malaysia. Pengerusinya, Sasterawan Negara Malaysia ke 11, Dato’ Dr. Ahmad Khamal Abdullah, dikenal dengan nama penanya dalam khazanah sastera nusantara sebagai Kemala.




Masjid Abdul Rahman bin Auf ini, 28-30 September 2017, menjadi tempat dipusatkannya acara, “Seminar Internasional Sastera Melayu Islam,” (SISMI) yang terselenggara dengan sukses, sebagai suatu peristiwa sastra Melayu nusantara antar bangsa tahun ini.

Sastrawan, Akademisi, Seniman dan Pemerhati dari Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam dan Bangladesh, bersatu padu mengikuti pembentangan kertas kerja, mengaktualisasikan semangat kesastraan Melayu yang berlandaskan keislaman.




Di masjid ini telah tercatat sebagai salah satu titik pengembangan kesastraan Melayu dewasa ini di Malaysia, terutama di Kuala Lumpur, dimana lewat peristiwa sastra SISMI telah berhasil mempertemukan sejumlah pemikiran, penelusuran dan kesimpulan terhadap sumbangan situasi sastra Melayu dalam arus globalisasi.

Acara yang diselenggarakan atas kerjasama Persatuan Sasterawan Numera Malaysia dengan Masjid Abdul Rahman bin Auf Kuala Lumpur ini, selain sukses mengadakan seminar sastra, juga telah ikut menjadi tempat momentum Penobatan Tokoh Numera 2017, peluncuran buku kreatif dan non kreatif sastra serta pembacaan puisi oleh para penyair nusantara dan pertunjukan nasyid dan music kreatif.

Masjid Abdul Rahman bin Auf tidak hanya memiliki ruang utama untuk ibadah, juga memiliki fasilitas lainnya, yaitu ruang pertemuan sekaligus bisa digunakan untuk seminar, pertunjukan dan pameran. Dewan Al Ghazali, telah menjadi saksi keberlangsungan peristiwa sastra. Sebelum SISMI, sudah beberapakali kegiatan kesastraan juga pernah diselenggarakan  di sini.




Aku beruntung dapat mengenal satu diantara masjid yang ada di kota metropolitan Kuala Lumpur ini. Karenanya, selama mengikuti SISMI dapat melaksanakan sholat Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya di sini. Setiap waktu sholat, ruangan utama senantiasa terlihat selalu ramai jamaah.

Arsitektur moderen bangunan dan desain tata ruangnya, aku kira tidak ada hal yang luarbiasa pada Masjid Abdul Rahman bin Auf ini. Biasa-biasa saja. Hanya saja, hal utama penekanan bangunan di atas areal tanah dimana merupakan kawasan masjid berdiri terkesan ingin “menawarkan” unsure keluasan atau kelapangan. Karena itu terkesan “terbuka” untuk digunakan oleh mereka untuk beribadah.

Suatu hal membahagiakan, aku berkesempatan untuk ikut bersholat Jum’at di masjid ini. Pada saat hari Jum’at jumlah jamaah bersholat berlipat ganda. Jamaah memenuhi kiri kanan teras terbuka ruang utama ibadah. Walau pun dalam keadaan ramai, ibadah tetap dalam suasana yang tentram. Meskipun masjid berada di salah satu sisi jalan raya Puchong yang ramai lalulintasnya.

Sarana untuk berwuduk dan toilet bersih. Areal parkir kendaraan memadai. Diluar depan masjid dibangun sarana public berupa halte bus dan sebuah jembatan penyeberangan bagi pejalan kaki untuk melintasi jalan raya.




Salah satu sisi, berdampingan dengan areal parkir kendaraan, di balik pagar masjid, terdapat sebuah kedai makanan dan minuman. Dapat dijadikan untuk bersantai melepas lelah menunggu waktu sholat atau selesai sholat. Atau sejenak menikmati satu titik dari daerah Puchong.

Menghidupkan masjid dengan berbagai kegiatan selain sarana ibadah, termasuk seminar dan kegiatan kesastraan merupakan pengembangan berdampak baik. Patut dipujikan dan menjadi inspiratif bagi masjid di nusantara hendaknya. Memang kegiatan semacam ini tidak dapat diklaim sebagai suatu yang baru, karena di banyak tempat ada masjid-masjid telah lama memulainya sebagai sentra “menghidupkan” nilai-nilai keislaman itu.

Tapi yang pasti, sudah berkali-kali aku membuka google dengan mengetikkan, “Masjid Abdul Rahman bin Auf Kuala Lumpur,” untuk mencari berupa “referensi” mengenai masjid yang terletak dalam wilayah Persekutuan Malaysia ini, aku tak menemui satu tulisan pun mengenai masjid ini. Hanya berupa keterangan “mentah” berupa letak masjid dan beberapa keterangan sangat pendek di Wikipedia.

Dan semoga yang kutuliskan ini, akan menjadi sebuah tulisan sumbangan awal bagi pencari “informasi” tentang Masjid Abdul Rahman bin Auf Kuala Lumpur, yang telah “mencatatkan diri” sebagai tempat dimana peristiwa sastra antar bangsa pernah diselenggarakan, dalam menelisik sastera Melayu nusantara (*) copyright: abrar khairul ikhirma - indonesia

Sabtu, 21 Oktober 2017

KUBURAN DAGANG PIAMAN DI BENGKULU

Masyarakat perantau Pariaman di Kota Bengkulu, sudah sejak lama memiliki lahan sendiri untuk pemakaman. Lokasinya berada di salah satu sisi jalan Lintas Pantai Barat, Bengkulu-Padang.




Ini kali kedua mengunjungi pekuburan yang terletak di Pasa Pedati, Bengkulu. Dulunya mungkin terasa jauh dari pusat Kota Bengkulu. Baik kondisi jalan maupun sekitarnya belum ramai berdiri bangunan dan penduduknya.

Pertamakali mendatangi tempat ini ketika tahun 2013. Ada sekitar 30 meter dari pinggir jalan raya Bengkulu-Padang. Akses jalan masuk adalah jalan tanah. Terletak di belakang barisan bangunan yang berada tepat disisi jalan raya.




Terlihat sudah ada sejumlah makam yang mengisi Pemakaman Kongsi Kematian Dagang (KKD) Pariaman Bengkulu ini. Kondisinya cukup baik. Tidak dibiarkan bersemakbelukar.

Di tahun 2017 ini saat berkunjung ke Bengkulu, akses jalan sudah sangat baik. Lalulintas seputar arah pinggir pusat kotapun mulai ramai. Termasuk kawasan Pasa Pedati mendapat imbas dari aktifitas pusat kota. Sehingga lokasi kuburan dagang, dirasakan tidak terlalu jauh dari pusat kota.




Tanah pekuburan ini merupakan tanda adanya persatuan kekeluargaan oleh pedagang perantau Pariaman, yang kini sudah berketurunan di Bengkulu. Bagi orang Pariaman persatuan ini biasanya disebut dengan kongsi.

Areal tanah pekuburan ini cukup luas. Memanjang dari arah jalan raya ke arah pantai Bengkulu, merupakan daerah pesisiran menghadap Samudera Hindia (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Jumat, 20 Oktober 2017

MASJID PUTRA DI TEPI TASIK

Siang sudah begulir menuju ke petang hari. Perjalanan dari keramaian kota Kuala Lumpur menuju Putrajaya tidaklah melelahkan. Hanya saja tiada dapat melawan rasa kantuk di dalam bus. Saat terjaga dari tidur, bus sudah berada di Putrajaya.




Bus mengitari beberapa ruas jalan. Kemudian menghantarkan ke Taman Botanical. Kerindangan pepohonan di sini menyejukkan. Pepohon ditanam dengan baris yang rapi. Diantaranya dibangun jalan-jalan penghubung. Sayang, aku tidak menikmatinya. Karena tak ada suatu kesan dapat singgah di hatiku. Suatu hal biasa saja dari kawasan “buatan” manusia.

Aku merasa waktu “persinggahan” di kawasan ini “terbuang” sia-sia. Entah untuk apa untuk orang semacamku. Untunglah segera meninggalkan tempat ini “berpindah” ke titik berikutnya dari sejumlah titik destinasi di kawasan Putrajaya.




Hujan baru saja selesai. Gerimis masih tersisa. Cahaya matahari yang buram terlihat menjadi tajam. Sisa air di kaca bus membentuk pandangan mata yang artistic. Segera terlihat olehku sebuah kubah nun di sana dan sebuah menara menjulang ke langit.

Bangunan itu ialah Masjid Putra, sebuah masjid megah di Putrajaya, Malaysia. Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 1997. Dua tahun kemudian selesai pembangunannya. Di 22 Zulkaedah, 1419 Hijriyah atau 9 Maret 1999 dibuka untuk umum sebagai sarana ibadah.




Kawasan Masjid Putrajaya terletak berdampingan dengan Perdana Putra, Kantor Perdana Menteri Malaysia, tepatnya berada di salah satu sisi dari danau buatan Tasik Putrajaya.

Masjid Putra, kini tidak hanya sebagai sarana beribadah tetapi telah menjelma menjadi destinasi pelancongan relegi di Negeri Tanah Semenanjung. Menjadi salahsatu icon yang dimiliki Malaysia.




Bus yang membawaku mengunjungi Putrajaya, mengitari jalan kawasan Masjid Putra untuk mendapatkan lokasi parkir, seketika dengan spontan, aku segera “menjepret” momen yang terlintas dengan hanya memakai camera pocket 20.1 mp berada di dalam genggamanku.

Inilah empat buah momen yang kudapatkan, 4 buah hasil foto seorang hobi mendokumentasi, tidak seorang fotografer professional dengan alat foto berkapasitas tinggi (*) copyright: abrar khairul ikhirma – putrajaya-malaysia-30-sept-2017

Kamis, 19 Oktober 2017

DI BATAM KITA KE BARELANG

Jembatan yang dibangun semasa Habibie “memancang kawasan bebas” Otorita Batam, kini telah menjadi icon. Tak berbilang lagi, setiap hari terus saja mengalir orang-orang mendatangi Jembatan Barelang. Ada banyak ragam cerita terukir perihalnya.




“Di Batam kita ke Barelang,” mungkin hampir senada begitu yang akan diucapkan orang-orang yang berkesempatan pertamakali mendatangi Pulau Batam.

Pulau Batam dirintis BJ Habibie di era Orde Baru dengan konsep sebagai kawasan perdagangan bebas. Kawasan internasional yang dimiliki Indonesia. Karenanya saat itu kawasan ini dikenali sebagai Otorita Batam yang dibawah kendali suatu badan khusus. Dalam wilayah Provinsi Riau.

Kini Pulau Batam termasuk di dalam wilayah Provinsi Riau Kepulauan. Kawasan yang mencakup pulau-pulau di Selat Melaka dan Samudera Cina Selatan. Namun nasibnya, sejak Habibie menjadi menteri dan kemudian terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, konsep yang sudah dipancangkan Habibie tidak dilihat sebagai suatu yang “menjanjikan.”




Banyak orang yang pernah mengandalkan hidup dalam pesatnya perdagangan di semasa berstatus otorita, kini mengatakan bahwa Batam kehilangan cahayanya yang bersinar terang. 

Tidak lagi menjadi titik tujuan sebahagian besar bagi banyak tenaga kerja. Tidak lagi menjadi kiblat transaksi perdagangan.

Pun sepertinya kini permukaan pulau menjadi rebutan untuk dibangun ini dan itu, terkesan mencabik-cabik konsep yang diimpikan Habibie sebagai kawasan industry dan perdagangan. Dan memang dibutuhkan bagi Indonesia dalam menyamai peranan Singapura. Apalagi Kepulauan Batam jauh lebih memungkinkan memiliki ketersediaan untuk pelabuhan dan aktifitas industry perdagangan.




Kedatanganku pertamakali di Batam, kuakui saja, salah satunya aku ingin mencapai Jembatan Barelang. Rasanya ke Batam tak mencapai jembatan itu, serasa tak diakui bahwa pernah ke Batam.

Apalagi di zaman penuh selfie, penuh kemudahan teknologi untuk berfoto, merekam tempat-tempat pernah dikunjungi. Tak sesulit di masa lalu. Dimana berfoto suatu hal yang “mahal.”

Jembatan Barelang adalah singkatan dari BAtam, REmpang dan gaLANG. Jembatan ini menghubungkan pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru. Ada yang menyebutnya dengan nama Jembatan Habibie atau Jembatan Satu.

Tetapi nama Jembatan Barelang lebih popular bagi masyarakat daripada nama jembatan yang sebenarnya bernama Jembatan Fisabilillah.




Aku sudah lebih dari tiga kali mendatangi Jembatan Barelang sejak tahun 2013 silam pertamakali mendatangi Pulau Batam. 

Bagiku sarana jembatan ini memang luarbiasa besar manfaatnya. Tidak hanya sekadar menjadi icon Batam. 

Namun dapat menyatukan sejumlah pulau lain selain Pulau Batam sendiri.

Pemandangan yang didapat bila berada di atas jembatan ini, dimanapun titik berdiri, alam yang luas seakan kita merasa menjadi kecil. Tidak berarti apa-apa. Bahkan kecemasan dan rasa gamang sangat terasa, pabila memandangkan pandangan ke sekeliling. Terutama ke bawah. Pada laut yang menjadi perantara pulau dengan pulau.

Jembatan Barelang dibangun Habibie adalah jembatan berteknologi tinggi. Konon melibatkan ratusan insinyur Indonesia tanpa adanya campur tangan dari luar negeri. Menjadi satu bahagian terpenting adanya Trans Barelang sepanjang 54 kilometer. Memakan biaya anggaran Otorita Batam tak kurang dari Rp 400 miliar. Pembangunannya berlangsung selama enam tahun. Dari tahun 1992 sampai tahun 1998. Jembatan Barelang atau Jembatan I selesai pembangunannya tahun 1997.




Tidak hanya waktu siang bahkan pada malam hari ramai dikunjungi jembatan ini. 

Menurut cerita-cerita, ada banyak kisah hal-hal mistis yang terjadi pada pengunjung saat berada di jembatan. 

Bahkan ada pula yang menjadikannya lokasi taruhan yang dapat mengorbankan nyawa. Tapi entahlah. 

Jembatan Barelang tidak hanya satu. Rangkaian Trans Barelang ini terdiri dari enam buah jembatan. Keenamnya telah memiliki nama sendiri. Jembatan Tengku Fisabilillah (Jembatan I), jembatan yang panjang. Jembatan Nara Singa (Jembatan II). Jembatan Raja Ali Haji (Jembatan III). Jembatan Sultan Zainal Abidin (Jembatan IV). Jembatan Tuanku Tambusai (Jembatan V) dan Jembatan Raja Kecik (Jembatan VI).

Pabila datang ke Batam, walaupun sudah berkali-kali mendatangi Jembatan Barelang, aku sampai hari ini tetap merasa kawasan ini masih tetap menjadi daya tarik untukku. Karenanya, aku masih tetap ingin mendatangi. Menikmati pemandangan alam yang luas terbentang (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Rabu, 18 Oktober 2017

MASJID HANG TUAH MELAKA

Hari kedua di Melaka, aku dibawa oleh pasangan suami-isteri, Sutan Chairulsyah Abdul Wasli-Lily Siti Multatuliana, jalan-jalan ke Kampung Duyong. Tujuan pertama, ia menghantarkan aku ke sebuah masjid tua yakni, Masjid Duyong.




Kampung Duyong konon merupakan sebuah perkampungan Melayu tertua di Melaka. Karenanya kawasan ini merupakan daerah bersejarah. Kini pelancong yang berdatangan ke Negeri Melaka tak melewatkan kesempatan untuk mendatangi Kampung Duyong.

Aku beruntung diajak untuk pertamakali mendatangi kampung ini. Meskipun Kampung Duyong sudah tidak lagi berwajah kampung. Sudah terjadi pembangunan sesuai dengan perkembangan zaman. Sesuai dengan pertambahan penduduknya. Kini kawasan ini tertata dengan rapi. Bersih dan semua jalan penghubung mudah diakses.

Menurut kisah yang dipercaya, Kampung Duyong keistimewaannya karena pada zaman dahulu merupakan kampung kelahiran Laksamana Hang Tuah yang disebut sebagai Pahlawan Melayu. Hang Tuah dan saudara-saudaranya dibesarkan di sini.

Salah satu “bukti” sampai saat ini terdapat sebuah perigi atau sumur yang dinamakan “Perigi Hang Tuah” di Kampung Duyong. Sumur ini konon digali sendiri oleh Hang Tuah untuk kebutuhan air sehari-hari keluarganya. Sampai kini sumur ini dipelihara sebagai salah satu objek wisata.

Selain perigi Hang Tuah, Masjid Duyong merupakan peninggalan dari masa lalu yang berada di Kampung Duyong. Semula masjid ini hanyalah berupa surau perkampungan Melayu. Tahun 1850 atas prakarsa Wan Chilek, masyarakat bergotong-royong mendirikan tempat ibadah ini.

Sebagaimana umumnya masjid-masjid yang didirikan senantiasa mengikuti seni bangunan masyarakat setempat di mana bangunan masjid berada. Masjid Duyong pun demikian. Memiliki arsitektur berkait erat dengan masyarakat Melayu. Terbuat dari bahan kayu dan bata merah. Atapnya menggunakan campuran genteng dari Cina dan Belanda. Tahun 1967, atap dilakukan penggantian dengan genteng yang baru.

Karena pertambahan dan perkembangan penduduk Kampung Duyong, masjid ini telah dilakukan beberapakali perbaikan dan pengembangan. Sesuai dengan kebutuhan sebagai sarana peribadatan. Salahsatunya pada tahun 1909 dilengkapi dengan pembangunan sebuah menara. Arsitekturnya mengesankan pagoda yang menunjukkan hasil pengaruh seni bangunan Cina.

Karena kunjunganku hanya selintas saja, aku hanya turun dari kendaraan, sekadar melihat-lihat dari luarnya saja. Kemudian memotret masjid sebagai dokumentasi. Karena waktu sholat zhuhur belum masuk, jadinya kesempatan mendatangi masjid ini, hanya sekadar melihat dan mengetahui. Bagiku hal demikian sudah cukup. Meskipun tidak melihat dan bersholat di dalamnya. Yang jelas, aku pernah mendatangi tempat ini.

Masjid Duyong di tahun 1982 pernah terbakar sebahagian bangunannya. Kemudian dilakukan perbaikan dengan tetap mengikuti bentuk yang lama. Masjid Duyong sejak tahun 2010 dinamakan sebagai Masjid Jamek Laksamana Hang Tuah, Kampung Duyong (*) copyright: abrar khairul ikhirma – Melaka – 15 September - 2016

Selasa, 17 Oktober 2017

"AISBERG KESIMPULAN" AHMAD MD TAHIR

Dari Singapura, ada “suara” sastra di balik “kemeriahan” pelancongannya. Sejumlah penggiat sastra Melayu tetap dapat melahirkan karya-karya mereka. Salah seorang diantaranya, Ahmad Md Tahir.




“AISBERG KESIMPULAN” merupakan  buku kumpulan puisi kedua dari Ahmad Md Tahir. Sesuai dengan pencantuman kata “kesimpulan” telah mengisyaratkan kepada pembaca buku ini, penulisnya lewat puisi-puisinya “ingin” menyampaikan catatan-catatan dari “realitas” yang dilihat, yang dipikirkan, dirasakan dan dipahaminya.

Buku dengan cover menarik, dengan kualitas cetak dan tata layout rapi ini, memuatkan secara lengkap puisi Ahmad Md Tahir. Selain puisi-puisi yang pernah memenangkan sayembara, mendapatkan penghargaan, juga termuat puisi yang pernah dipublikasikan di media public.

Aisberg Kesimpulan, buku kumpulan puisi setebal 102 halaman ini, disusun dalam empat bahagian. Bahagian Pertama: Anugerah Puisi. Sejumlah puisi Ahmad Md Tahir yang memperoleh penghargaan dari sejumlah tajuk peristiwa sastra. Bahagian Kedua: Belasungkawa Puisi. Sejumlah puisi bertema “wafatnya” beberapa tokoh. Bahagian Ketiga: Dinamika Puisi. Sejumlah puisi yang menanggapi dinamika momen-momen penting, terutama pada perjalanan kesastraan di Singapura.

Bahagian Keempat: Kembara Puisi. Tersusun puisi yang ditulis bertema pengembaraan ke sejumlah tempat dan daerah. Bahagian Kelima: Refleksi Puisi. Bagaimana sang penulis puisi Ahmad Md Tahir menangkap berbagai refleksi peristiwa ke dalam karya sastra berupa puisi.

Dari 3 pemberi endorsemen buku ini, salahseorang diantaranya Dr. Mansuri S.N (Penerima Anugerah Tun Seri Lanang, 1983) menyebutkan, “Perkembangan Ahmad Md Tahir sebagai penyair sejak permulaan ‘cinta perkataan’ menampakkan adanya penerokaan dan pengembaraan jiwanya terhadap tema yang disebut dalam beberapa sajaknya… ternyata penyair tidak berhenti sekadar menggambarkan satu lukisan atau menceritakan sesuatu kisah/peristiwa, tetapi ia juga berupaya mengucapkan pengalaman emosinya juga merenungi penghidupan yang dihayatinya.”

Buku kumpulan puisi Aisberg Kesimpulan ini, aku peroleh dari tangan penyairnya sendiri, menghadiahkannya kepadaku, sama-sama menghadiri peristiwa “Seminar Internasional Sastera Melayu Islam,” di Kuala Lumpur, 28-30 September 2017, yang diselenggarakan Numera Malaysia.

Ahmad Md Tahir atau nama penanya yang lain, T. Ahmad Mohamed, dilahirkan di Paya Lebar, Singapura, 1967.

Menerima pendidikan awal di Sekolah Rendah Mattar; Sekolah Menengah Siglap; dan Sekolah Menengah Teknikal Tanjong Katong, bagi pendidikan pra-University. Kini bertugas sebagai Penganalisis Makmal.
Beliau merupakan salah seorang pengasas Kumpulan Angkatan Muda Sastera (KAMUS) Singapura dan merangkap Setiausaha. Pegawai Perhubungan dan Ketua Unit Puisi Kamus.

Sepintas membaca beberapa puisinya, bila ada waktu nantinya ingin lebih “mendekati” puisinya dan menulis agak sebuah pembicaraan apresiasi sastra terhadap karya Ahmad Md Tahir ini (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Judul buku: Aisberg Kesimpulan
Penulis: Ahmad Md Tahir
Penerbit: AAO Singapura
Cetakan:  Pertama 2013

ISBN 978-973-981-07-2123-7

Senin, 16 Oktober 2017

CINDAI BERTUAH NUMERA

“Walau mahal tapi tidak bisa dibeli. Murah pun tak dapat diminta.” Mamangan orang Minangkabau untuk menjelaskan pada sesuatu yang “bernilai” tinggi.




Selepas turun dari pentas dan podium Dewan Al-Ghazali, Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, selesai penobatanku sebagai Tokoh Patria Numera 2017, ditandai pemasangan tanjak Melayu dan penyerahan plakat oleh Walikota Banjarbaru Kalimantan Selatan, Drs. Nadjmi Adhani, M.Si, yang mendapatkan kehormatan di malam Penobatan Tokoh Numera itu, aku kembali ke tempat dudukku semula.

Aku duduk satu meja bersama penyair dan akademisi, Dr. Ahmad Taufik, dari Universitas Jember, salah seorang pembentang kertas kerja dalam Seminar Internasional Sastera Melayu (SISMI) yang diselenggarakan Persatuan Sasterawan Numera Malaysia dan Masjid Abdul Rahman bin Auf Kuala Lumpur, 28-30 September 2017.

Sambil mengikuti acara Malam Penobatan yang masih berlangsung di panggung, aku didatangi Dr. Fazilah Husin. Sang Doktor itu menyalamiku sambil mengucapkan tahniah, sementara di pangkuannya terlihat dua buah kantong plastic.

Satu diantaranya ia berikan padaku sambil berkata, “Ini ada dua pic. Satu hadiah untukmu dan satu lagi untukku. Ada yang menghadiahkan tapi ia tak ingin disebutkan namanya.”

Aku mengucapkan terimakasih kepada Sang Doktor yang sudi menghantarkan hadiah itu ke mejaku dan berharap menyampaikan terimakasihku pula kepada “seseorang” yang tak hendak aku ketahui namanya itu. Alhamdulillah. Sambutan yang sangat bernilai terhadapku, semoga keikhlasan selalu dilimpahkan pada setiap langkah yang dilakukan. Terimakasih.

Padahal jauh sebelumnya, Dr Fazilah Husin jugalah yang memberitahukanku, untuk dapat menjadi narasumber, ketika team kerja liputan “Bernama Televisyen Chanel” Malaysia, mewawancaraiku sempena peristiwa Seminar Internasional Sastera Melayu dan Penobatan Tokoh Numera 2017.

Dr Fazilah Husin, selain ikutserta memudahkan keberlangsungan acara seminar dan penobatan, ia sendiri tampil di acara ini sebagai salah seorang pembentang kertas kerja, di sesi lain ia menjadi moderator, sekaligus juga tampil membacakan puisi bersama para penyair nusantara dari Negara-negara peserta seminar pada sesi baca puisi.

Bahkan Fazilah senang hati ikut mendampingi peserta yang datang dari luar Negara “melancong,” sampai pada malam penutupan di Cruise Tasik, Putra Jaya. Padahal tentulah ia telah “merelakan” tinggalkan pekerjaannya yang lain, termasuk urusan keluarganya. Patut diapresiasi.

Semula aku mengira bingkisan hadiah yang disampaikan lewat tangan Fazilah Husin merupakan sebuah baju kemeja. Kiranya sehelai kain. Kain itu dapat digunakan sebagai kain selempang atau selendang. Biasanya dipakai perempuan sebagai pelengkap kostum.

Menurut hematku kain selempang ini, merupakan satu “keluarga” seperti dengan tenunan khas  etnik Batak di Sumatera Utara disebut sebagai Ulos. Atau di Minangkabau dinamakan kain cindai, seperti juga hal yang sama dikenal dalam masyarakat Melayu.

Kain serupa ini tidak hanya dipakai oleh kaum perempuan tetapi juga oleh laki-laki. Biasanya dipakai dalam acara resmi, adat dan kini mulai ramai terlihat di berbagai acara pertunjukan kesenian. Kalangan sastrawan misalnya sebahagian besar memilikinya. Mereka tampil dengan style masing-masing dengan hal unik dan etnik. Gejala menarik pabila ada yang hendak mencermatinya.

DR FAZILAH HUSIN


Kain cindai yang dihadiahkan kepadaku ini tidak merupakan hasil tenunan tradisionil, bukan hasil ketekunan para penenun tradisi yang dikenal sebagai “buatan tangan.” Kain adalah hasil industry tekstil melalui proses mesin pabrikan. Kemudian dipasarkan melalui jaringan perdagangan ke berbagai segmen pasar. Menjadi pakaian sehari-hari, peristiwa kebudayaan, pertunjukan kesenian maupun sebagai cenderamata atau persembahan dan hadiah.

Meskipun buatan pabrik tapi ada hal menggembirakan, ternyata aku mengetahui melalui label yang terdapat di salah satu sudut kain yang diberikan kepadaku, merupakan hasil industry tekstil dari Mumbai, India. Negeri yang sangat hafal namanya bagiku tapi belum pernah kukunjungi.

India. Mengingatkanku kepada tokoh yang kuhormati Mahatma Gandhi. Pejuang tanpa kekerasan. Seterusnya, “negeri yang dilindungi awan,” disebut dalam riwayat Rasulullah, pun disebutkan tempat dimana diturunkannya Hawa ke dunia oleh Allah. 100 tahun kemudian dipertemukan dengan Nabi Adam di Jabbal Rahmah, Padang Arafah, Arab Saudi.

Oleh sebab itulah, aku dapat mengatakan perihal kain “hadiah” pemberian “seseorang” dalam peristiwa sastra dunia selenggaraan Numera Malaysia ini, bagiku seperti disebutkan mamangan orang Minangkabau. Andaikan harganya mahal tapi tidak akan dapat dibeli (dijual). Kalaupun murah (tidak berharga mahal/ kualitasnya rendah) tapi tidak bisa diminta (diberikan).

Apalagi kuketahui, kain ini pun dapat kujadikan sebagai sorban (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Minggu, 15 Oktober 2017

MALAM CRUISE TASIK (3)

(Malam Penutupan Seminar Internasional Sastera Melayu Islam, diselenggarakan di atas kapal motor bernama “Kelah,” perlahan menyisir Cruise Tasik, Putra Jaya, Malaysia)




Mengharungi permukaan tasik wajahmu
Adalah memasuki urat nadi malam
Tepat di jantung kata menggumpal
Tersimpul tali ikatan nusantara
Di kumparan waktu Alif-Ba-Ta-Tsa
Mim sampai ‘Ayn bacalah Kemala

Berlayarlah malam nafas Melayu berpadu
Bertemu darah tercecer sepanjang peta
Sekalah bola mata bersembunyi di kelopak
Tersebab kau tidak jua mendabik dada

Teruslah berlayar teruslah beristighfar
Teruslah beralif teruslah berikrar
Teruslah berqalam teruslah beriqra’
Nama Mu terbaca di lubuk paling dalam
Kapal ini di tasik madah dan warkah
Melayari samudera kehakikian




Bukan kapal tak bernama kau tumpangi
Tidak pula tasik tak dapat kau tulisi
Di sini malam tiada bersauh malam
Berlayar menjumpai ombak di ucapmu
Menghadang badai kau kirimkan musim
Mengapung di tasik sejarah tak punah
Tenggelam dirindu tiada bertepi

Aku datang
Kami berdendang
Kita menjulang

Kembang layar matamu binar berpendar
Kepak sayap membubung asap tak senyap
Teguhkan petuah tak kan Melayu mati
Tak mati di tangan waktu regenerasi
Karena dermaga Mu berlabuh di sini

Duabelas hitungan telah digurindamkan
Raja Ali Haji, kitab-kitab, syair-syair
Berkelindan di lidah Melayu
Menghidupkan Amir Hamzah
Bertamadun dalam serumpun
Seribu tahun dikehendaki Chairil Anwar
Buka kitab, bacakan:
Hidup berarti sekali
Meradang di kulimahmu
Memandang surahmu
Aku di sini berpantang sepi

Allah tikamanmu itu di jantung hari
Karenanya hidup beral-kitab
Bertujuan beradat beradab
Berlayar berpulau berdermaga
Di sini jangkar kau kabarkan
Siratal mustaqiem




Telah kau petik dari tasik tiada bersenyap
Riak pun tak kau lihat tiada tertakik berdetik
Malam bersama malam bersulam ilham
Musafir kata mengembara irama

Wahai laksamana berdiri di ujung malam;
Jebatkan Ronggowarsito Ahmad Taufiq
Kasturikan duka Patani Phaosan Jehwae
Lekirkan syair gurindam Iberamsyah Barbary
Lekiukan liku Lillahi taala Dodo Abidarda
Di buritan tegaklah bertanjak berselempang
Keris kata berbaris kalimat beriradat

Aku berlayar Tuah aksara merebut Taming Sari
Padamu hikayat malam kuseru Hang;
Wahai nusantara berjagalah di depan
Lanun berkapal merompak keteguhan
Bajak pengecut di belakang berkhianat
Cahaya Mu semakin pekat mendekat




Kugenggam erat bahasa sebagai mantra
Kupeluk budaya menjadi jiwa
Kudekap erat Tuah dalam darah

Pada Sumatera kupantunkan
Di Semenanjung kusenandungkan
Pada Selat Melaka kusyairkan
Di Laut Cina Selatan kugurindamkan
Di tasik tiada kan muram
Di samudera tiada kan padam

Alif
Katamu dalam qalam
Alif
Kataku walau diam
Kelah jangan kau berkilah
Tenggelam.


(Cruise Tasik, Putra Jaya, Malaysia, 30/9/2017)

Sabtu, 14 Oktober 2017

PULAU KECIL DI SUNGAI SUCI

Di sepanjang pantai pesisiran Provinsi Bengkulu, di sejumlah titik yang terjadi abrasi oleh Samudera Hindia, telah memunculkan pulau-pulau kecil di dekat pantai. Pantai Sungai Suci yang hanya lebih kurang 15 km dari pusat Kota Bengkulu, memiliki sebuah pulau kecil yang menarik.




Kata suci dari nama yang lekat untuk nama pantai ini, adalah magnet pertama untukku mendatanginya. Cuaca cerah dengan sinar matahari yang memadai pabila melakukan pemotretan. Segera saja aku bergerak ke arah utara dari pusat kota. Melalui jalan lintas pantai barat yang menghubungkan Kota Bengkulu dengan Kota Padang.

Masyarakat kini sudah mengetahui bahwa kawasan Pantai Sungai Suci merupakan objek wisata. Pantainya memang terlihat masih alami. Belum terlihat kehadiran beton. Baik sebagai penahan ombak ataupun kehadiran bangunan yang merusak pemandangan.

Yang ada hanya jejeran sejumlah pondok masyarakat yang berkedai minuman dan makanan. Bangunan pondok berbahan kayu dan beratapkan daun rumbia. Tidak berdinding. Tidak dijadikan tempat usaha sekaligus rumah kediaman si pemilik kedai. Seperti umumnya di banyak objek wisata, dimana kedai berubah fungsi di dalam kawasan objek wisata hingga menjadi pemukiman. Padahal hal tersebut hanya akan mendatangkan persoalan tersendiri, dilemma dan merusak keberadaan objek wisata.




Pantai Sungai Suci terletak di Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Bengkulu Tengah. Terbentang sebagai daerah pesisiran lebih kurang sekitar 25 km. Meskipun dikenal sebagai Sungai Suci, tak ditemukan sungai di tempat ini. Hanya satu aliran air dari sedikit areal rawa yang bermuara ke laut.

Tak jauh dari aliran air ke laut ini, kita sedikit mendaki kontur tanah pinggir laut, maka sampailah kita pada pemandangan alam, berupa terbentuknya sebuah pulau yang berdekatan dengan daratan. Bentukan pulau kecil ini, akibat abrasi Samudera Hindia sepanjang musim.

Pada saat pagi hari berada di kawasan ini, kami hanya menjumpai sepasang suami isteri yang sudah berusia tua di salah satu kedai pondok yang menghadap ke Pulau Kecil. Mereka adalah penduduk setempat yang berjualan makanan dan minuman. Menurutnya, pengunjung akan ada pada petang hari. Akan ramai pada hari Sabtu dan Minggu.




Menurut ibu itu, pada hari lebaran Iedhul Fitri waktu lalu, pengunjung Pantai Suci sangat ramai. Umumnya wisatawan yang datang dari luarkota Bengkulu. Pada hari-hari tertentu terkadang datang wisatawan yang dihantar biro perjalanan dari luar daerah.

Kawasan ini selain daerah pemukiman penduduk juga adalah tanah kebun. Terlihat tanaman-tanaman sawit. Agar pengunjung dapat mencapai pulau di depan pantai, para pedagang setempatlah kabarnya membangun sebuah jembatan gantung. Setiap pengunjung yang menggunakan fasilitas jembatan, dimintakan “sumbangannya.”




Kini di sekitar Pantai Suci selain tempat bersantai, juga sebahagian orang menjadikannya sebagai lokasi memancing dan mencari batu akik (*) copyright: abrar khairul ikhirma

Jumat, 13 Oktober 2017

MALAM CRUISE TASIK (2)

[Berkesempatan melakukan pemotretan dengan hanya mengandalkan sebuah camera pocket 20.1 mp, diantara acara resmi penutupan Seminar Internasional Sastera Melayu, yang diselenggarakan Numera Malaysia dan Masjid Abdul Rahman bin Auf Kuala Lumpur, malam 30 September 2017 di atas kapal pelancongan di Cruise Tasik, Putra Jaya]




Menunggu di dermaga selepas maghrib
Desir angin menyalami selamat ketibaan
Mencium ujung jemari persaudaraan
Tanpa bertanya dari manakah asalmu
Dengan bahasa Melayu

Cahaya lampu yang disinarkan
Sebelum jatuh ke tasik menyeka keringat
Di wajah tahun yang telah berlalu
Namun bayang itu adakah penghormatan
Bagi sepasang jejak tertinggal di tepian
Kusebut namamu tuan Mahathir
Sesaat sebelum temali dilepaskan
Dari tambatan warisan dikukuhkan
Di cinta yang bersyair




Pada malam di bahagian terdepan
Dua baris meja di dua lambung kapal
Berlayarlah kata-kata dengan berjuta barisnya
Memperjelas keserumpunan
Terhidang di satu piring santapan
Siapa dirimu
Apa katamu
Kemana tujuanmu
Bila malam berakhir disambut pagi nanti
Setelah ini

Bacalah wahai yang berlayar di tasik kehidupan
Salalatus salatin tersimpan di perpustakaan
Bacalah hikayat yang dituliskan masa lalu
Syamsudin Pasai – Abdul Rauf Singkil
Nuruddin ar Raniri
Jangan biarkan berkubur keterlupaan
Di sana sejarah dipertaruhkan




Seluas dunia yang dibentangkan
Apa daya mata dan hati terkatup terpenjara
Seperti pohon tumbuh seketika
Seumpama hidup tak dimulai dari kandungan
Berlayarlah malam harungi tasik
Air menggenang di lubuk paling dalam
Di sebatang tubuh kebanggaan
Bergantung buah kehidupan

Di kapal bernama Kelah
Serombongan musafir kata berqalam
Diriwayatkan sepotong nama itu
Adalah nama sejenis ikan hidup di tasik
Alangkah banyak nama-nama pada gelap
Hanya pengembara makna dianugerahi
Bila ia punya setitik cahaya pelita
Maka berlayarlah ia di sastra
Dengan hati




Alif
Katamu
Hanya katamu
Tegak lurus berdiri sendiri
Ada fajar di ufuk timur
Horizon di kaki langit barat
Utara tujuan hasrat memula
Ke selatan titik kepergian
Alam yang dibentangkan
Bacalah

Sepasang sendok makan dan garpu
Di piring kaca putih bersih
Jangan hanya berdo’a
Kata malam pada malam.

[CruiseTasik, PutraJaya, Malam 30 September 2017]