Sabtu, 16 September 2017

SJAFRIAL ARIFIN, “TANGGA SARAWA DEN”

Sjafrial Arifin dimasa mudanya menggemari dunia music. Ia menyukai memainkan alat music drum tapi kemudian lebih sering bermain gitar dalam kesehariannya kala waktu senggang. Banyak orang mengenalnya sebagai seorang wartawan, padahal di era tahun 1970-an dia bergiat pada dunia sastra dan pernah menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul, “Ombak Purus.”




Untuk satu masa, ketika periodeku menjadi salah seorang seniman lusuh di Kota Padang, aku pernah hidup bersamanya berbulan-bulan di satu kamar Inna Muara Hotel, Padang, mengerjakan proyek sebuah buku berskala nasional, yang menjadi proyek Departemen Dalam Negeri dan Departemen Penerangan. Kamar itu sudah menjadi rumah kami.

Kedekatan yang cukup lama itu, mengherankan adik-adiknya, aku bisa cocok dengan seorang yang "tegas" dan "temperamental." Sebenarnya berurusan dengannya, bagiku tak masalah. Ia tidak suka buku-bukunya dan barang lainnya diganggu, apalagi diambil. Jangankan dipegang, bergeser saja bisa bermasalah tanpa setahu dia. Bisa berdendam seumur hidup.

Konon ada sejumlah orang takut padanya, karena urusan buku. Dicoretnya untuk mendekati "hartanya." Aku orang yang beruntung. Pernah dipercayanya. Aku cukup lama dekat dengannya tanpa ada masalah. Di balik kesan angkuhnya, uda Sjafrial, begitu kami memanggilnya, sebenarnya sangat respek pada orang-orang yang bergiat dan kreatif.



KRITIKUS SASTRA INDONESIA, HB JASSIN BERSAMA
PENYAIR MUDA DARI SUMATERA BARAT
DARMAN MOENIR, HAMID JABBAR DAN SJAFRIAL ARIFIN
DI TAMAN ISMAIL MARZUKI JAKARTA


Dia tak pernah melarang orang membaca buku-buku yang dimilikinya. Tetapi ia sangat tak suka pada orang ketika selesai membaca bukunya, meletakkan sembarangan atau tidak mengembalikan kala meminjamnya. Atau mengembalikan tapi sudah dalam keadaan dicoret-coret, lusuh dan rusak. Perkaranya adalah soal menghargai dan bertanggungjawab. Inilah yang kerap sulit ditemuinya. Sehingga dia diantara teman-temannya dianggap keras. Orang yang sulit untuk dijadikan teman.

Dia memang berharta banyak. Harta itu ialah buku-buku dan bacaan lain tak sekadar buku. Buku intelektual, sastra, jurnalis, budaya, politik, film, bukan main banyak dimilikinya. Sjafrial sejak mudanya salah seorang yang “gila” membaca dan ia mau berhabis uang untuk mendapatkan buku dan bahan bacaan lainnya.

Bukunya sampai berkarung-karung jumlahnya, kala dibawa pulang dari Jakarta ke Padang. Itupun masih banyak yang belum sempat dibawa. Sewaktu kawasan Paseban terbakar dan api dikabarkan lama dapat dipadamkan, aku pernah berkata padanya, jangan-jangan itu gara-gara bukunya tak sempat dibawa pulang. Dia terakhir di Jakarta mengontrak rumah di Paseban.

Aku sudah lama mengenal namanya. Sjafrial Arifin secara rutin mengirimkan berita dari Jakarta untuk suratkabar Harian Singgalang, Padang. Terutama berita seputar artis music dan film. Masa itu ia memang dikenal bergaul dalam kehidupan banyak kalangan music dan film di ibukota.

Mengenal langsung barulah ketika Kemah Seniman yang diadakan BKKNI Sumbar di Ngarai Sianok Bukittinggi tahun 1985. Sjafrial Arifin datang disuatu malam bersama Hasril Chaniago dan teman-teman dari Balai Wartawan Bukittinggi.  Sjafrial terakhir itu adalah wartawan Majalah Zaman, kelompok Majalah Berita Mingguan Tempo Jakarta.

Tahun 1985 itu Sjafrial pulang kampung. Kemudian bekerja di suratkabar Harian Singgalang Padang. Dengan sendirinya, terjadi era pembaharuan tata bentuk wajah serta format isi. Termasuk terjadi gelombang semangat generasi muda di kalangan regenerasi suratkabar daerah tersebut.

Tetapi kemudian akhirnya dia meninggalkan dunia jurnalistik. Panggilan jiwa seninya tetap suatu dunia yang dirasakannya membuatnya lebih nyaman. Disaat masih bekerja di Harian Singgalang ia memulai membangun komunitas Teater Jenjang. Memulai menggarap “La Cum Parsita Night” acara akhir tahun di Hotel Muara Padang. Lalu, Opera si Padang.”

Semasa dunia perteateran lagi tumbuh subur di Taman Ismail Marzuki dan Gelanggang Remaja di Jakarta, Sjafrial Arifin pernah tercatat mendirikan group teater bersama wartawan, penulis dan penyair, A.Chaniago Hr.

Ketika TVRI Pusat datang dari Jakarta menggarap shooting sinema elektronik (sinetron) Siti Noerbaya dan Sengsara Membawa Nikmat, Sjafrial pun diajak serta dalam produksi ini. Pada masa ini sebahagian besar perhatian masyarakat Indonesia “tertuju” tontonannya ke TVRI. Apalagi TVRI mulai memperkenalkan program sinetron. Apalagi Siti Noerbaya dan Sengsara Membawa Nikmat diangkat kisahnya dari karya sastra, yang sudah sangat popular.

Pada film mini seri 20 episode Sengsara Membawa Nikmat, tahun 1991, yang dibintangi oleh Sandy Nayoan dan Desi Ratnasari, Sjafrial kebahagian peran membawa tokoh “Midun” yang ditangkap untuk dijebloskan masuk penjara. Di atas kereta, Sjafrial melepaskan borgol tangan Midun dan mengatakan agar dia tidak lari, “Bisa tangga sarawa den,” katanya. Merupakan pameo sehari-hari orang Minang, jika terjadi sesuatu, akibatnya ibarat celana yang terpasang di tubuh bisa “copot” sebagai suatu resiko yang harus ditanggungkan.



WAWANCARA DRS DASRIL AHMAD DENGAN SJAFRIAL ARIFIN
SEKITAR PEMBERIAN NAMA TAMAN BUDAYA SUMATERA BARAT


Lama kemudian berada di kampung, Sjafrial Arifin akhirnya memutuskan untuk kembali merantau ke Jakarta. Maka hilang pulalah salah satu kantung berkesenian di sudut keramaian Pasar Raya Padang, tepatnya di kawasan Los Baro dekat Blok A. Dimana sejumlah seniman-seniman pernah bergabung di sini antara lain, Sofia Trisni, Hermawan An, Asril Koto, Syarifuddin Arifin dan Padrizas Polong. Sjafrial Arifin pun memutuskan menikah dengan Sofia Trisni, penyair wanita yang muncul di zaman pertengahan tahun 1970-an.

Dia mungkin agak kecil hati padaku, aku tidak mau bergabung dengan sanggar yang didirikannya Teater Jenjang Padang. Mendadak saja tak pernah bertemu dengannya lagi. Setelah aku kembali dengan kesibukanku sendiri. Saat itu ia beraktifkan diri dengan kelompok seninya dan aku dengan kesibukanku pula.

Sampai satu kali, ia kesal padaku, aku tak menyebut nama sanggarnya, di dalam suatu tulisanku sekitar dunia pertunjukan seni di daerah yang dimuat suratkabar terbitan Padang. Aku tak mau berdebat dengannya. Karena tulisan itu sendiri tidak memfokus pada nama-nama group.

Itulah terakhir aku berjumpa dengan Sjafrial Arifin. Sampai ia kembali merantau ke Jakarta.

Kamis 14 Januari 2016, pada pkl 18.00 wib, aku mendapat kabar uda Sjafrial Arifin​, wartawan, penyair dan pendiri Teater Jenjang Padang, wafat di Jakarta. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Beliau kakak dari penyair Syarifuddin Arifin, wartawan Bachrum Rony Arifin dan Zulkarnaini Arifin. Dan Bahar Arifin.
Selamat Jalan Da Cap.

Ombak Purus yang terus terdengar (*) copyright: abrar khairul ikhirma

1 komentar:

  1. Beliau adalah kakak ku ,anak paman ku yang disebut orng minang anak pisang ..

    BalasHapus