Selasa, 06 Desember 2016

TEMU PENYAIR ASEAN 2016 KUALA LUMPUR: MEMPERTANYAKAN TENTANG PUISI PENYAIR

CATATAN: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA - Indonesia


“Di sinilah  sastra sebagai ilham bagi kebudayaan  akan menghidangkan sesuatu yang akan memberikan  pencerahan dengan caranya sendiri dan dengan bahasanya sendiri yang kreatif yaitu, bahasa kemanusiaan yang baru dan segar dengan mencintai Manusia dan Kemerdekaan. Puisi ialah suara Kemanusiaan dan Kemerdekaan,” ujar penyair Zawawi Imron yang membentangkan pemikirannya  “Puisi dan Jiwa Merdeka.” Penyair Indonesia asal Madura ini, menjadi “bintang” di auditorium Dewan Bahasa Pustaka (DBP) pada  “Temu Penyair Asean 2016,” 3 September 2016 di Kuala Lumpur.




Zawawi Imron, dengan bernas memaparkan pemikirannya terhadap puisi dan keberadaan penyair di masyarakat. Presentasinya hampir tak membuat ruang hampa. Namun menciptakan suatu penyegaran pemikiran. Zawawi penuh pandangan luas kesastraan dan Islami. Kutipan-kutipan yang disebutkannya sebagai referensi sepanjang sesi Ucap Utama, menjadi penguat sisi telaahannya, “Menyepelekan estetika artinya identik dengan tidak memberikan tempat kepada ‘rasa’ sedangkan rasa dan perasaan itu salah satu karunia Allah yang sangat mahal. Dengan rasa, manusia mampu menghayati dan menangkap keindahan yang membias sebagai nuansa pada alam dan kehidupan. Mematikan rasa dan perasaan ialah pengingkaran terhadap fitrah.”

Zawawi berbicara di hadapan forum tak membaca teks makalahnya. Makalahnya sudah ditulis di “kepalanya.” Beliau “menjelma” bagaikan seorang orator di hadapan masyarakat sastera. Pun juga bak seorang ustad tampil di wirid kesastraan. Vokal, intonasi, gesture dan penyampaian yang runut, telah memukau peserta Temu Penyair Asean 2016. Bahkan sejumlah peserta terdengar berucap; “Dia seorang hafiz puisi,” tatkala Zawawi disela-sela  penyampaiannya, membacakan puisi-puisi yang dikutipnya dengan pas tanpa cacat. 

Pembahasan yang menjadi topic pembicaraan Zawawi disampaikan dengan jernih. Suatu penyegaran pemikiran kita dalam memandang hasil sastra, terutama puisi-puisi yang ditulis para penyair. Tentu saja penyair yang berhasil menempatkan puisinya sebagai karya sastra. Zawawi menyebutkan, betapa puisi seorang yang masih relative berusia muda dapat merubah seorang pemimpin yang jauh lebih tua darinya. Karena sama-sama ingin menggelorakan semangat kemerdekaan. Terjadi dalam sejarah Indonesia, bagaimana puisi yang ditulis penyair Chairil Anwar, menjadi inspiratif dan dibacakan oleh Soekarno, Sang Proklamator dan Presiden Republik Indonesia di hadapan rapat umum di Jakarta.

Sebelum tampilnya Zawawi Imron dari Indonesia, acara diawali dengan pembukaan resmi dan peluncuran buku, “Puisi Wadah Suara Kemanusiaan,” editor Mohamad Saleeh Rahamad, terbitan ITBM-Pena Malaysia. Buku tersebut merupakan himpunan makalah “Temu Penyair Asean 2016” dan “Temu Penyair Asean 2015.” Sebuah buku yang menggabungkan makalah pada tahun berbeda dan tema tak serupa tapi pada konteks acara yang sama, menarik dan patut dimiliki untuk dibaca. Dengan covernya  didominasi latar putih, terasa tidak menjadi “menakutkan” bagi pembaca yang menganggap sebagai “bacaan berat,” membuat kening berkerut. Hampir secara keseluruhan ditulis dengan bahasa yang segar.

Menjadikan makalah ke dalam kumpulan buku ini, merupakan hal yang patut dipujikan. Karena merupakan sumbangan memperkaya kebutuhan bahan bacaan dan referensi, dalam mengamati perjalanan sastera dewasa ini. Cover, penataan tata letak isi, juga kualitas cetaknya tidak mengecewakan. Begitu juga, dari banyak pengalaman hal semacam ini, makalah-makalah selepas kegiatan hanya terbuang atau pun tersimpan begitu saja, bahkan hilang bagi setiap peserta. Akan tetapi jika berbentuk sebuah buku, nasibnya tentu menjadi lain.

Sebagaimana dikatakan Mohamad Saleeh Rahamad, editor dan Presiden PENA, dalam pengantar buku ini, “Daripada kedua-dua forum tersebut, banyak pandangan, paparan sejarah, idea yang konseptual, dan pencerahan tentang sastera di Negara-negara serantau dapat dikutip untuk tulisan yang pelbagai. Bagi peneliti sastera, bahan tersebut merupakan sumber yang sangat penting, manakala bagi aktivis sastera yang merancang untuk mengakrabkan hubungan antara sasterawan serantau, bahan itu menjadi landasan yang bermanfaat. Pertemuan akademik dan sasterawan sebegini merupakan medan pertukaran maklumat dan peneguhan solidarity.”

Pertemuan Penyair Asean tahun 2016 ini adalah merupakan kali kedua diselenggarakan ITBM (Institute Terjemahan Buku Malaysia) – PENA (Penulis Nasional) Malaysia dan DBP (Dewan Bahasa Pustaka) Malaysia di Kuala Lumpur. Pada tahun 2015 dengan tema, “Puisi: Suara Kemanusiaan.” Sedangkan pada 2016 ini bertemakan, “Puisi: Untuk Diri atau Masyarakat.” Acara terkait didahului pada malam 2 September 2016 dengan “Puisi Akrab Asean 2016,” di Rumah Pena. Dimana para penyair Asean berkesempatan membacakan puisi dan musikalisasi puisi. Esoknya, bertempat di Auditorium DBP dilaksanakan pembukaan, peluncuran buku dan forum penyair dari pagi sampai petanghari. Malamnya dilanjutkan dengan baca puisi.

Selain kehadiran Zawawi Imron dari Indonesia sebagai “Ucap Utama,” tampil pada forum penyair tahun 2016 ini pemakalah yang dibagi pada tiga sesi. Puisi Sebagai Suara Diri atau Masyarakat: Muhammad Lutfi Ishak dari Malaysia, “Puisi: Suara Diri atau Masyarakat ,” Ahmadun Yosi Herfanda dari Indonesia, “Suara Penyair Suara Masyarakat; ” Sa’eda Buang dari Singapura, “Merenung Kembali Puisi: Untuk Diri atau Untuk Masyarakat,” Haji Mohamad bin Rajab dari Brunei Darussalam, “Puisi Siber di Brunei Darussalam Satu Pembicaraan.”

Penyair dan Kebebasan Ekspresi: Malim Ghozali Pk dari Malaysia, “Penyair dan Kebebasan Ekspresi,” Shirley O Lua dari Filipina, “The Filipino Poets and History of Pain,” Oum Shupany dari Kamboja, “Poet and Freedom of Expression.” Hamed Ismail dari Singapura, “Konflik Penyair: Keluar Pintu Lama Masuk Pintu Baru.” Tanggungjawab Penyair dalam Masyarakat: Han Lynn dari Myanmar, “Contemporary Burmese Poets and Society,” Pensupa Sukkata dari Thailand, “The Responsibility of the Poet and Society,” Lim Swee Tin dari Malaysia, “Peranan Penyajak dalam Masyarakat,” dan Rukmi Wisnu Wardani dari Indonesia, “Tanggungjawab Penyair dalam Masyarakat.”

Suatu hal wajar pertanyaan tentang “suara” puisi dan hubungannya dengan masyarakat, dijadikan sebagai tema pada Temu Penyair Asean kali ini. Dalam pelbagai kegiatan sastra maupun kritikan para kritikus selama ini, pertanyaan-pertanyaan serupa juga seringkali bermunculan, ketika direntangkan akan nilai sebuah karya dan peranan penyair pada kesastraan. Karena pada akhirnya sejauhmana karya dan penyair berada dalam masyarakat sastra dan masyarakat secara lebih luas diluar sastra. Masyarakat dengan multi latar belakang. Merupakan suatu pertanyaan yang akan tetap actual.

Relevansi tema acara pun dapat dipujikan. Baik topic maupun temanya sangat actual kiranya digemakan dewasa ini. Tentu saja sesuai dengan “suburnya” pemunculan komunitas dan “kepenyairan” dimana-mana. Terutama dapat dilihat di Malaysia maupun di Indonesia. Penerbitan buku puisi hampir tiap saat dan kegiatan sastra pun kian bergiat. Pertumbuhan dan perkembangan itu akan menjadi “terlepas” begitu saja, kalau tidak “terpublikasikan” dan tidak menjadi “pembicaraan.” Alangkah “memprihatinkan” malah tidak “terdokumentasikan.” 

Peranan apresiator, baik pengamat otodidak maupun kritikus sastra ---dengan bedahan ilmiah kesastraan--- tetap diperlukan. Sebab hukum yang lazim kita ketahui, akan lebih baik setiap pertumbuhan juga diiringi oleh keseimbangan. Keseimbangan demikian itulah kini terasa, betapa “kurangnya” kita memiliki mereka yang “berjaga-jaga” di garis “keseimbangan” dalam mengamati, mencatat dan mengapresiasi pada kelahiran karya-karya dan kehadiran para pengkarya itu sendiri.

Pertumbuhan dan perkembangan, penyair dan karya puisinya, sangat dirasakan ketika teknologi internet menyediakan ruang yang mampu “menembus batas.” Batas-batas sempit dan teramat terbatas dulunya, kini “sangat tidak berbatas.” Setiap orang, penyair atau tidak, dapat menuliskan dan memposting apa yang terlintas di pikirannya tanpa harus melalui seleksi keredaksian. Dia berkarya, dia mengoreksi-memutuskan dan dia pula sendiri yang mempublikasikannya di jejaring media social. Berbeda dengan media konvensional, karya harus melalui pelbagai pertimbangan keredaksian dan penerbit, sebelum dipublikasikan kepada masyarakat.

Pemanfaatan media internet dan jejaring media social telah membantu pertumbuhan penyair dan perkembangan pempublikasian puisi pada masyarakat (public).  Tetapi ditengah-tengah situasi yang demikian, tentu menarik juga pekabaran hasil pengamatan Haji Mohamad bin Rajap dari Brunei Darussalam. Penyair ini menyampaikan hasil “penelitiannya” mengamati media blog dan media social fesbook di negaranya. “Saya telah menelusuri beberapa laman web, blog, dan facebook yang dimiliki oleh penulis Brunei yang muncul di internet. Sebagai hasilnya hanya terdapat beberapa buah laman web, blog dan fb yang mempunyai kandungan mengetengahkan karya-karya sastera seperti sajak, cerpen, kertas kerja, komentar dan juga kegiatan sastera di tanah air.”

Topik demikian membuka mata kita pada dua hal. Hal pertama, dapat dilihat bahwa tidak semua daerah atau Negara “terpikat” menggunakan kemudahan sarana internet berikut media social untuk bergiat di sastra. Jika diteliti lebih jauh, tentu akan tersibak hal-hal yang mendasarinya. Hal kedua, perkara itu menarik dilihat dalam sisi pertumbuhan dan perkembangan sastra yang diidamkan. Agar karya untuk masyarakat dan dapat bermasyarakat. Artinya perlu dilakukan penggiatan melalui kegiatan apresiasi.

Menurut Mohamad bin Rajap, “Dalam kebangkitan sastera multimedia di dunia, termasuklah di Brunei Darussalam, yang paling banyak menerima impak ialah genre puisi/sajak. Oleh sebab sifatnya yang lebih ringkas dan lebih mudah daripada genre sastera yang lain, puisi mendapat sambutan yang “baik,” tetapi tidak meluas daripada kalangan penulis  Brunei yang datang dari pelbagai latar belakang dan bidang, apatah lagi daripada kalangan penulis-penulis mapan.”

Tampaknya, tidak banyak yang menggaris-bawahi paparan Hamed Ismail, penyair dari Singapura. Padahal penyair ini diantara pemakalah yang lain, lebih “mendekat” kepada tema pertemuan. Karena lebih berbicara “kekinian.” Mungkin perhatian terjebak pada paparannya pada sebuah review dari “sejarah” pemunculan perpuisian dan penyair. “Keterkaitan” sastra di Singapura dengan Indonesia dan Malaysia. Hingga “titik” actual itu luput sebagai hal yang patut diperdebatkan. 

Titik actual yang dimaksudkan ialah, pertumbuhan dan perkembangan. Penyair dan karyanya. Suburnya kini “musim” bersastra diantara Negara serumpun. Adakah kesuburan juga diikuti dengan kualitas yang dihasilkan? Hamed menyebut, “Penyair yang ingin bebas daripada belenggu penulisan yang sudah begitu lama terpelihara itu, perlu mempunyai sifat keberanian untuk meneroka yang baharu. Kerana kebanyakan penyair penyair pelapis adalah generasi ikutan yang ingin mendapat pengiktirafan oleh generasi lama.”

Memang tidak dapat pula dipungkiri, semua pemapar makalah dalam temu kali ini, lebih bersifat menghadirkan rekaman “perjalanan” kesastraan, khususnya perpuisian dan kepenyairan dari Negara masing-masing. Sehingga tak terasa kesan sumbangan “pemikiran” yang menajam. Kalau pun ada, selintas dan luput dari perhatian.  Hampir-hampir tak kita temui statemen dari pemakalah dalam menanggapi “keadaan” yang direkamnya tersebut.

Kiranya, patut juga review Hamed Ismail kita lekatkan dengan kekinian yang dimaksudkan itu. Realitas trend pada dunia penyair dan perpuisian dewasa ini. “Banyak penyair yang menceburkan diri dalam penulisan puisi yang memerlukan bantuan vocal, lakonan dan visual. Ia lebih menekankan bentuk luaran, yang pada keseluruhannya dapat dilihat tanpa bicara. Tidak ada kriteria tertentu. Mungkin penyair ingin mencari  kelainan dan menampakkan identitinya sendiri hingga menampakkan terlalu diada-adakan dan tidak seimbang dengan tema dan persoalan yang menjadi isi kepada bentuk visual yang ditampilkan itu.”

Walau pun baru memasuki tahun kedua kalinya diselenggarakan Temu Penyair Asean ini, pertemuan ini telah membuka ruang saling bertukar pengalaman pada kesastraan. Informasi dan komunikasi seperti ini justeru berpotensi mencerahkan semangat bergiat sastra dan pemahaman terhadap kemasyarakatan di Negara masing-masing. Semangat keserumpunan budaya nusantara, sebagaimana didengung-dengungkan pada setiap kegiatan, memang semestinya dipernyata, secara periodic diselenggarakan acara-acara serupa ini.
Kekalahan budaya selama ini mesti dimenangkan kembali. Cara perlawanannya ialah menguatkan kebudayaan kita masing-masing. Kesastraan adalah bahasa kekuatan. Karena bahasalah yang mempersatukan suatu bangsa. Persatuan pun tidak hanya semangat namun harus disegarkan, harus diperkuat dengan pemikiran mencerdaskan dan kejiwaan berakhlak baik. Tentu hal tersebut harus dimulai oleh mereka yang bersigigih mencipta karya-karya sastra yang inspiratif, mendorong perbaikan hidup dan cara hidup manusia berbudaya seutuhnya.

Sebagaimana dipaparkan oleh Ahmadun Yosi Herfanda dari Indonesia, “Suara Penyair Suara Masyarakat,” dengan melihat “Posisi Sosial Penyair” dan sebagai “Saksi Zaman,” pada karya-karya puisinya. “Penyair dalam pemahaman yang benar, pada dasarnya adalah saksi sejarah, saksi pergolakan zamannya. Hasil kesaksian atas dinamika zamannya itu diabadikan mereka ke dalam puisi. Apa-apa pun yang diabadikan mereka, jika merupakan refleksi daripada aspirasi dan keadaan masyarakatnya, maka itu adalah suara zaman, dan suara zaman adalah suara masyarakat --- tentu juga suara sang penyair.”

Semoga untuk tahun-tahun berikutnya, acara ini tetap diselenggarakan, dengan harapan akan memunculkan tokoh-tokoh penyair yang tidak hanya mampu menghasilkan puisi namun sekaligus dapat membuka pemikiran dan memberikan kesegaran “pencerahan.” Yang hasilnya dapat dipetik bersama. Seperti ITBM-Pena-DBP sebagai penyelenggara telah memulai “mempersatukan” di dalam “keserumpunan.” (*)

abrar khairul ikhirma
abrarkhairul2014@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar