Jumat, 09 Desember 2016

BAPAK REPUBLIK INDONESIA TAN MALAKA, DARI KEDIRI KE PANDAM GADANG



Makam Sutan Ibrahim yang bergelar Datuk Tan Malaka di Desa Selopanggung,Kabupaten Kediri, Jawa Timur, akan dipindah ke Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, kampung halaman Sang Bapak Republik Indonesia dimana beliau dilahirkan.


MAKAM TAN MALAKA DI KEDIRI (Foto: JPNN)

Nama Tan Malaka sudah kukenal semenjak bersekolah di sekolah dasar. Termasuk dari bahan-bahan bacaan umum yang aku baca. Dia seorang orang Minang berasal dari Payakumbuah ---begitu sebutan bagi kami orang pesisiran pada orang yang berada di Luhak 50 Koto.

Sebagaimana nama-nama yang lainnya, aku tidaklah seorang pengagum pada orang-orang ternama. Aku hanya seorang yang berusaha mengetahui dan menaruh rasa hormat kepada orang yang pernah berbuat tidak seperti orang biasa, apalagi berjasa untuk orang banyak. Termasuk pada seorang Tan Malaka. Selain berjasa pada terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, aku merasa terikut bangga, beliau adalah Orang Minang.

Setelah memasuki masa remajaku, sedikit banyaknya, aku mengetahui banyak orang “beranggapan” Tan Malaka adalah seorang PKI, yang dipahami banyak orang gerakan seperti PKI “disebut-sebut” di zaman Orde Baru, melakukan “Peristiwa G30S PKI” yang dijadikan “momok” itu. Menjadi suatu “cap” yang menakutkan dan harus dijauhi untuk disebut apalagi dikenali.

Tetapi itulah pemahaman orang banyak. Sesuai juga dengan latarbelakang realitas mereka. Kita tak hendak belajar menggunakan fitrah kita untuk mempelajari yang seringkali kita anggap benar, begitu juga terhadap yang kita sering anggap salah. Benar menurut kita, rupanya tidaklah benar senyatanya. Yang kita anggap salah, sama sekali ternyata adalah yang benar. Kita terjebak dalam pemahaman kita sendiri dan sesuatu yang sudah umum tanpa mengukurnya untuk mengetahui bagaimana kebenaran semestinya.

Sejak aku mendekatkan diri dengan bahan-bahan bacaan umum dan buku-buku, sesuai pula dengan pertambahan usia dan pengalaman bertemu banyak orang dan mendatangi berbagai tempat dan daerah, aku tak begitu berpedoman pada “pemahaman orang” tetapi lebih menyukai kepada literature dan akal fikiran. Patut dan mungkin. Termasuk dalam memandang tokoh semacam Tan Malaka.

Suatu hal mustahil dalam kehidupan keseharian di tengah-tengah lingkungan kita hidup, tidak pernah terjadi seseorang atau banyak orang atau diri kita sendiri pernah menjadi “korban” dari perbuatan sesama kita. Korban dari apapun kepentingannya. Kenapa hal semacam itu tidak kita lihat juga dalam memahami seseorang pada “situasi” yang justru beragam “politiknya.” Tetapi itulah kita pada umumnya, hanya senang “pekabaran” dan memperturutkan “pemahaman” yang datang dari “mulut ke mulut.”  Dari tiap mulut berbeda-beda “cara” dan “suara” walau “mengatasnamakan” perihal yang sama.



“Revolusi memakan anaknya sendiri.” Hal tersebut kerap dinyatakan para sejarawan dan pemerhati terhadap nasib Tan Malaka. Di zaman Orde Lama beliau akhirnya menjadi korban. Di zaman Orde Baru nama beliau “dihilangkan.” Di zaman sesudahnya “dilupakan.” Zaman ini “terlupakan.” Apakah demikian “pembalasan” dari “kenikmatan” suatu bangsa  setelah ia nyaris sepanjang hidupnya memperjuangkan  “kemerdekaan” yang kita nikmati hari ini dan seterusnya beralih ke anak cucu kita nanti ??? 

Manakah lebih “penjajah” para penjajah yang masa sebelum meraih kemerdekaan daripada kita sebagai bangsa dari suatu Negara sesudah kemerdekaan ??? Agaknya perlulah kita renungkan. Setidaknya satu kali setahun setiap perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di 17 Agustus. “Jas Merah,” kata Sang Proklamator Bung Karno. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Sejarah Negara, sejarah bangsa dan sejarah diri kita sendiri.

Semasa aku hidup dalam keluarga budayawan dan pengusaha Sumatera Barat, Roestam Anwar, nama Tan Malaka pun suatu hal tak asing menjadi bahan diskusi lepas dalam keseharian. Setiap hari ada saja berdatangan sastrawan, budayawan, penjabat, pengusaha, politikus, para akademisi, tokoh masyarakat bahkan hanya orang biasa. Silih berganti datang ke rumah minum kopi “perintang hari. Roestam Anwar salah seorang yang pernah ada pada Kongres Pelajar Indonesia yang pertama di Negeri Belanda. Beliau saat itu belajar di Belanda. Ayahnya Anwar Sutan Saidi, pendiri Bank Nasional Bukittinggi dan pejuang penyumbang biaya perjuangan kemerdekaan di Sumatera Tengah.

Pembicaraan perihal Tan Malaka, biasanya sekitar pemikiran dan gerakan yang pernah dilakukannya. Termasuk “kemisterian” kematiannya. Sebagaimana biasanya hal-hal tersebut menjadi bahan percakapan dari beragam topic spontanitas pada keseharian hari-hari di teras sudut dalam, tempat santai keluarga di Hotel Minang Padang.

Pada pertengahan tahun 1990-an berkesempatan berada di Payakumbuh menjadi crew produksi sinema elektronik. Secara kebetulan mencari setting perkampungan yang masih banyak terdapat rumah “bagonjong” untuk dijadikan latar shooting. Rupanya kawasan kampung itu berada pada salah satu lembah dimana jalannya melalui rumah kelahiran Tan Malaka. Aku hanya melihat dari jalan saja. Sebuah rumah tua bagonjong tanpa penghuni. Rerumputan tumbuh begitu saja. Aku tidak singgah. Rumah terletak di bahagian bawah jalan. Rumah sunyi. Kenapa tak dijadikan museum dan dibuka untuk umum ??? Pikirku pada saat itu.

Beberapa tahun terakhir, diketahui rumah kelahiran Tan Malaka yang terletak di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, dijadikan sebagai museum. Ternyata apa yang terbetik sekian tahun silam saat pertama melihat rumah itu, akhirnya ada yang “bersedia” mewujudkannya. Tentu ke depannya sudah mesti dikelola “bersama.” Pemerintah sudah seharusnya setiap tahun menyediakan “hibah” anggaran biaya rutin untuk pengelolaannya dan memasukkan ke dalam daftar destinasi wisata daerah. Tidak mesti harus dibuka setiap hari tapi harus jadual tetap yang diketahui masyarakat dan biro perjalanan/ travel agent. Mengingat jaraknya dari pusat pemerintahan cukup jauh untuk dicapai para “pendatang.”

Bulan November tahun ini, bulan Hari Pahlawan, tersiar makam Tan Malaka akan dipindahkan dari Kediri ke kampung halamannya. Upaya pemindahan ini ditandai dengan kedatangan Wakil Bupati Lima Puluh Kota Ferizal Ridwan ke Kediri. Pemindahan akan dilakukan di tahun 2017. Pemindahan pun akan diawali dengan berbagai kegiatan yang berkaitan “penghormatan” terhadap Tan Malaka. Kita patut pujikan upaya ini. Akan lebih baik tokoh yang identik dengan kesunyian ini, dibawa ke tanah kelahirannya. Akan memperkuat keberadaan nama Suliki dan “keterpeliharaan” sejarah . Mengingat juga Tan Malaka adalah seorang Datuk, sosok pemangku adat. Dimana pemangku adat lazimnya “berkubur” di tanah kaumnya.

Nama Tan Malaka sepertinya tak terpisahkan dengan nama Harry Poeze. Harry Poeze sejarawan asal Belanda selama ini, begitu gigih mengabdikan profesinya ---tak kurang memakan waktu selama 30 tahun--- menelusuri sejarah kepahlawanan Tan Malaka yang dianggap “misterius.”  Tulisan-tulisan dan buku-buku yang ditulisnya kian membuka ruang pemikiran dan pemahaman kita akan Tan Malaka. Akan “sumbangannya” dalam mencetuskan terbentuknya Negara Republik Indonesia. 

HARRY POEZE (Foto: Antara)


Perjalanan hidup Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka alias Tan Malaka mungkin tidak terlalu terkenal dibandingkan tokoh layaknya Soekarno dan Mohammad Hatta. Ini dimungkinkan Tan Malaka menjaga keselamatan dirinya untuk memasuki berbagai lingkungan, tempat dan daerah, dalam melakukan perjuangan menghadapi dinamika politik yang dilawannya. Namun kisah hidup yang diungkap sejarawan Belanda secara rinci, merupakan suatu sumbangan berharga sejarah tanah air, tentang pahlawan yang terkenal dengan slogan “Merdeka 100 persen.”

“Bukan hanya riwayat Tan Malaka, namun saya tulis tentang latar belakang gerakan nasionalis, komunis dan revolusi,” mengutip kata Harry Poeze, pada waktu acara pembedahan buku Tan Malaka jilid IV yang ditulisnya di Jakarta waktu lalu.

Walau pun nama Tan Malaka sejak lama sudah kukenal melalui bahan-bahan bacaan, namun sampai hari ini, aku sendiri belum pernah membaca pemikirannya yang sudah dibukukan. Begitu juga buku-buku tentang Tan Malaka yang kini sudah banyak ditulis dan diterbitkan dalam berbagai sudut pandangan. Perkenalanku terhadap Tan Malaka hanya melalui artikel-artikel di suratkabar yang pernah ditulis para penulis dan mendengar pembicaraan lepas dari sejumlah budayawan dan praktisi. Bagiku suatu hal yang cukup aku menaruh rasa hormat, karena beliau telah menghantarkan negaraku menjadi sebuah Republik diantara Negara-negara yang ada di dunia.

Karenanya, beberapa waktu lalu, jauh sebelum diselenggarakan suatu seminar sejarah Tan Malaka di rumah kelahiran Tan Malaka di Pandam Gadang, diselenggarakan Tan Malaka Institute yang dikelola kawan Ben Ibratama Tanur dan kawan-kawan, aku pernah mengusulkan di laman group fesbook Tan Malaka, sebaiknya setiap tahun diselenggarakan di Rumah Kelahiran Tan Malaka berupa acara kesastraan; menulis puisi dan membaca puisi tentang Tan Malaka dan bertemakan cinta tanah air. Termasuk menyelenggarakan setiap tahun lomba menulis tentang Tan Malaka di kalangan pelajar sekolah menengah, terutama di Kabupaten Lima Puluh Kota, dengan hanya menuliskan sebuah pertanyaan saja, “Siapa Tan Malaka Menurutmu.”

Hal-hal tersebut sesungguhnya suatu jalan sederhana penghargaan kepada seorang tokoh pahlawan, termasuk untuk melaksanakan pemindahan makamnya dari Kediri ke Pandam Gadang. Penghargaan yang mesti ditanamkan kepada para regenerasi kita terus menerus. Agar menghargai jasa para pendahulu dalam menikmati alam kemerdekaan (*)

abrar khairul ikhirma
abrarkhairul2014@gmail.com
Kamis 8 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar