Minggu, 25 Desember 2016

KISAH PAKIAH GELEANG DI JANJANG AMPEK PULUAH DI BUKITTINGGI

Menyambut Peristiwa “Seminar Sastera Melayu-Islam 2017”

Oleh: ABRAR KHAIRUL IKHIRMA – Seniman Rupa-rupa – Indonesia


[Tulisan ini tidak Kertas Kerja untuk seminar. Hanya ditujukan untuk apresiasi penghormatan ---sebagai orang sastra yang pernah bersama Numera pada “Anugerah Puisi Dunia Numera 2014”--- untuk menyambut akan diselenggarakannya peristiwa sastra internasional, “Seminar Sastera Melayu-Islam 2017” oleh Persatuan Sasterawan Numera dengan Masjid Abdul Rahman bin Auf, pada 28 – 30 September 2017  mendatang di Kuala Lumpur, Malaysia]





Antara Jam Gadang dan Pasa Bawah di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia, dihubungkan salah satu jalan berupa tangga termashur namanya yakni, “Janjang Ampek Puluah,” sesuai anak tangga jenjang tersebut berjumlah 40 buah. Pasa Ateh – Pasa Teleang – Pasa Bawah, sudah terbentuk sejak masa silam, sebagai lokasi berdagang (rakyat), pasar tradisionil dengan keramaian hari pekan Rabu dan Sabtu.

Ada apa dengan Janjang Ampek Puluah ???

Nama objek tersebut dapat dijumpai dalam khazanah sastra lisan (keseharian) masyarakat Minang dalam berpantun dan berpetatah-petitih, berpameo dan bergurau. Nama objek terselip dalam pantun-pantun dan lagu. Sebagaimana umumnya (mayoritas) berbagai nama tempat, daerah dan nama orang, senantiasa menjadi inspiratif bagi masyarakat Minang dalam merangkai “penciptaan” sastra lisan.

Bagi masyarakat Minang, “budaya tutur” jauh lebih mudah daripada menuliskan. Bertutur spontanitas adalah hal biasa dalam keseharian. Kiasan dan bermakna terjadi begitu saja pada setiap percakapan. Dengan bahasa lisan dapat memainkan pelbagai intonasi. Intonasi berbeda tekanannya, membawa “maksud dan tujuan” berbeda pula meskipun dengan kata dan kalimat yang sama. Itulah salah satu gaya bahasa Orang Minang. Kaya dengan kiasan dan perumpamaan.

Janjang Ampek Puluah adalah satu kesatuan dari kawasan yang disebut sebagai pasar Kota Bukittinggi. Sekeliling Jam Gadang merupakan pusat perdagangan rakyat, merupakan pasar tradisionil sejak masa silam bagi “Urang Agam” dan “Urang Kurai” dalam “transaksi” dengan “orang luar.” 

Untuk satu masa, direntang tahun 60-70-an konon pada keramaian setiap hari pekan di Bukittinggi, Rabu dan Sabtu, akan terlihat ada seorang lelaki dengan matanya yang buta bermain alat music tradisi kucapi (kecapi). Lelaki itu bernyanyi dan memainkan kucapi di salah satu anak tangga di Janjang Ampek Puluah, diantara keramaian orang turun naik tangga. 

Lelaki buta itu tidak hanya sekadar “keriangan hati” saja bernyanyi dan bermain music. Dia mengharap pada orang yang tersuka dengan permainannya, akan berbagi uang padanya. Uang itu dalam memenuhi kebutuhan hidup anak dan cucunya. 

Lelaki buta itu bekerja “menjual” kemampuan seni-otodidaknya. Bekerja sesuai dengan kondisi “kebutaannya” tidak sekadar menggunakan “keterbatasannya” untuk meminta-minta belas kasihan pada setiap orang.

Lelaki buta itu namanya “Pakiah Geleang.” Namanya sangat popular  bagi masyarakat, terutama para pedagang  dihari pekan Bukittinggi. Nama aslinya tentulah bukan Pakiah Geleang. Penamaan tersebut merupakan hal biasa bagi Orang Minang. Penamaan semacam itu disebut  nama “gala,” gelar diberikan orang berdasarkan spesifiknya sebagai penanda seseorang.


SN DATO AHMAD KHAMAL ABDULLAH

Tokoh Pakiah Geleang  kemudian menjadi inspiratif bagi seorang pencipta lagu Minang, Syahrul Tarun Yusuf untuk menciptakan sebuah lagu berjudul, “Pakiah Geleang.” Lagu ini sampai hari ini tetap popular sebagai salah satu lagu Minang Klasik. Pertamakali dinyanyikan dan dipopulerkan dengan suara emasnya oleh penyanyi Minang legendaries Elly Kasim di tahun 1970-an. Selain direkam pada bentuk pita casset, juga dicetak ke piring hitam dan diputar tiap saat di radio-radio pada zaman media hiburan masih terbatas di Indonesia.

Saya kutipkan bait pertama dan kedua dari lagu tersebut:

“Dahulunyo (ondeh) di Pasa Teleang
Iyo takaba si Pakiah Geleang
Jikok banyanyi nyo manggeleang-geleang
Mangko namonyo si Pakiah Geleang”

[Terjemahannya: Dahulunya di Pasa (r) Teleang/ Sangat terkenal si Pakiah Geleang/ Kalau bernyanyi ---kepalanya--- menggeleng-geleng/ Karenanya dinamakan si Pakiah Geleang]

Hari Rabaa (ondeh) jo hari Sabtu
Di Janjang Ampek Puluah Pakiah balagu
Mancari makan untuak anak jo cucu
Urang mancaliak (sanak) rami di situ

[Terjemahannya: Hari Rabu dan hari Sabtu/ Di Janjang Ampek Puluah Pakiah balagu ---bernyanyi/ Mencari makan untuk anak dan cucu/ Orang menonton ramai di sana]

Pada bait pertama menggambarkan asal muasal dan memperkenalkan tentang nama sang tokoh, Pakiah Geleang. Sedangkan bait kedua pekerjaan yang dilakukan Pakiah Geleang dan tempat Pakiah Geleang bekerja serta menjelaskan tujuan dan kegunaan atas uang yang didapatkannya. Sebagai suatu bentuk harfiah  manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Apakah keistimewaan seorang Pakiah Geleang, sampai harus saya mengutip sebuah lagu perihal beliau, untuk dijadikan topik pembicaraan tulisan saya ini ???

Berkait kepada akan diselenggarakannya Seminar Sastera Melayu-Islam 2017 oleh Numera dan Masjid Abdul Rahman bin Auf, Kuala Lumpur, Malaysia di bulan September 2017 mendatang. Dimana seminar akan menampilkan sejumlah pemikir sastra sekaligus penyair --- akademisi sekaligus penyair dan akan dihadiri oleh penyair, orang sastra, akademisi, melibatkan terutama dari Malaysia sendiri, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Bangladesh. Masih dimungkinkan, acara ini juga akan terbuka dihadiri peserta dari Negara lainnya.


PENGUCAP UTAMA: HUDAN HIDAYAT GOZALI

Seminar akan menampilkan Hudan Hidayat Gozali dari Indonesia sebagai “pengucap utama.” Namanya baru saya kenal sama-sama hadir di Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala Lumpur. Belum pernah membaca tulisannya, pun juga tak mengikuti jejak rekamnya. Hudan “saya ketahui hanya sebatas” waktu terakhir ini terlihat intens memiliki “keterhubungan sastra” dengan tokoh Sasterawan Negara 11 Malaysia, Dato Ahmad Khamal Abdullah, Presiden Numera Malaysia --- penggagas seminar sastera yang akan diselenggarakan.

Dalam decade terakhir ini, diakui atau tidak, dunia kesastraan kita khususnya, sangat terasa tidak memiliki personal-personal yang “mengabdikan diri” kepada intensitas kesastraan. Sementara perkembangan kesastraan itu sendiri, dalam beberapa tahun terakhir ini, tumbuh bak cendawan di musim hujan. Terbantu pula dengan adanya media social yang dimungkinkan oleh kemajuan hasil teknologi serupa internet.

Pertumbuhan kesastraan jauh melesat. Karya-karya tiap saat dapat dituliskan dan diposting melalui media social tanpa harus melalui seleksi, editing dan pertimbangan seorang redaktur. Sangat jauh beda bila berhadapan dengan media cetak atau media elektronik, setiap karya harus melalui persyaratan dan giliran untuk dipublish.

Belum lagi “kemeriahan” itu ditambah lagi, dengan munculnya berbagai komunitas di berbagai tempat. Menghadirkan beragam kegiatan dengan aneka label, semuanya tak mau kalah mengacu kepada “atas nama” daerah, regional, nasional dan internasional. Kebebasan pelabelan itu, karena memang tidak ada aturannya. Sama juga setiap orang bisa melabelkan dirinya sendiri sebagai penyair atau biar gagah dan hebat sebagai sastrawan, kalau tak ada orang lain yang hendak melabelkan namanya.

Buku-buku pun tiap saat diterbitkan. Dalam tempo singkat, seseorang bisa menulis 3 – 5 buku atau lebih. Nama-nama penerbitnya pun beragam. Begitu ramainya, sulit juga untuk diingat nama penulisnya, nama buku, termasuk nama penerbitnya sendiri. Tentu saja ketiga hal itu dapat disebut sebagai “segala baru.” Sesuatu yang baru biasanya pula sudah biasa belum dikenal secara luas, seluas-luasnya. Dan untuk “dikenal” itu tak dapat dipungkiri tak mudah, tidak “semudah” seperti pelabelan, kemeriahan dan penerbitan yang tengah berlangsung.

Seperti di kehidupan sastra Indonesia pada masa dahulu, ada nama yang dikenal, karena peranannya dalam lajunya kesastraan serupa, HB Jassin dan A.Teeuw. Ada Umar Junus, Mursal Esten dan pada tingkatan lebih muda Korrie Layun Rampan. Mereka rajin mengikuti dan menelisik karya-karya yang terlahir dan tumbuh berkembang di jagat “sastra.” Dan kita akui bersama, hasil penelisikannya pun tidaklah mengecewakan. Karena yang ditelisik memang “karya sastra” diantara karya-karya yang juga bertumbuhan di sana-sini sesuai zamannya.

“Keterhubungan” Hudan Hidayat Gozali dari Indonesia kepada karya-karya Kemala ---Dato Ahmad Khamal Abdullah--- tampaknya sudah terjadi pada sebelum-sebelumnya. Pada rangkaian Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 yang silam, dia pun hadir selintas di forum pembacaan puisi di Tun Sri Lanang, Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur, dengan cuplikan mengenai buku kumpulan puisi “A’yn” Kemala. Kemudian kalau tak salah, melanjutkan terkait pembicaraan tersebut di UPSI ----University Pendidikan Sultan Idris.

Sebagai Pengucap Utama pada Seminar Sastera Melayu-Islam 2017, Hudan akan menuliskan “ucap utamanya” dalam bentuk buku esei. Bulan desember 2016 ini, ia telah memposting cuplikannya berkait untuk seminar di laman tertutup fb “NUMERA: The new poetry of Numera’s and world poests.” Saya (sempat) sepintas membacanya, tampaknya Hudan. mengurai pemaknaan dan keberadaan karya-karya Kemala ---SN Ahmad Khamal Abdullah--- dalam perspektif karya sastra, unsure Melayu, sejarah dan relegiusitas. Keterhubungannya sastra nusantara dan kesastraan dunia.


SEBAHAGIAN DARI WAJAH YANG AKAN HADIR

Selanjutnya Ucap Utama Hudan, akan ditanggapi oleh penanggap yakni DR Arbak Othman dari Malaysia. Selain Hudan, akan hadir sejumlah pemikir sastra dan akademisi sastra yang sekaligus juga penyair, dapat dianggap mewakili zamannya. Mereka akan membentangkan kertas kerja.  Misalnya sekadar menyebut nama saja seperti DR Ahmad Taufiq dari Jember (Indonesia) akan mengurai tentang Pujangga Ronggowarsito dan Chairil Anwar. Drs. Dasril Ahmad dari Padang (Indonesia) akan mengurai sastera daerah (?).Mungkin berkait dunia kepenyairan-keislaman di Ranah Minang. DR Phaosan Jehwae dari Pattani (Thailand) mengurai atmosfir kesasteraan di negaranya.

Terutama tentu mungkin dapat “dibaca” semua topic kertas kerja adalah merupakan yang dapat dijadikan sebagai gambaran perjuangan kesastraan dan perjuangan keislaman, yang akan diangkat sebagai pembicaraan pada forum seminar nantinya. Termasuk kehadiran Aminur Rahman dari Bangladesh. Semakin melengkapi maksud dan tujuan dari peristiwa yang akan diselenggarakan.

Seminar Sastera Melayu-Islam 2017 bertemakan “Melestari & Mengabdi Sastera Melayu Islami.” Dimungkinkan dari peristiwa sastra ini, akan banyak dipetik jejak-jejak sejarah, lintasan atau pendalaman terhadap keberadaan sastera yang bernafaskan keislaman di nusantara ini. Baik pada kesastraan lama maupun sastra modern. Tentu saja dapat memetakan pembicaraan dalam menyikapi perkembangan kesastraan Negara serumpun, kenusantaraan yang terikat dalam etnik-budaya-agama. Termasuk mengungkap keberadaan dunia kepenyairan di Negara masing-masing selama ini, kekinian dan masa datang.

Merujuk kepada hal tema dan topic yang akan dimunculkan pada seminar tersebut, terutama berkait dengan keislaman, saya seketika teringat, terutama dalam kehidupan seni tradisi masyarakat di Minangkabau yang menjadi bahagian dari wilayah budaya nusantara, kesastraan yang Islami itu sudah “hidup” sejak lama pada sastra lisannya. Telah memiliki sejarahnya yang panjang, setidaknya dimulai dari era Datuak Katumangguangan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang. Sesuai dengan landasan hidup etnik Minangkabau, “Adaik basandi syara’ – Syara’ basandi kitabullah.” (Adat bersendikan agama, agama bersendikan kitab --- Al Qur’an).

Salah satu contoh perihal kisah tokoh semacam si Pakiah Geleang, misalnya, yang saya kemukakan ini. Saya melihat pada tiga hal terhadap topic Pakiah Geleang yang saya sebutkan.

Pertama: Pakiah Geleang sebagai “seorang tokoh.” 

Pakiah Geleang tidak sekadar hanya mengandalkan bermain music dan menyanyi untuk mendapatkan uang sebagai pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya saja. Tetapi ia berperan untuk bersyiar keagamaan  lewat seni sastra (lirik pantun) dan seni suara (bernyanyi) sekaligus seni music (kecapi), kepada setiap yang mendengar ia menyanyi, agar tetap menjalankan ibadah (sholat) sebagai orang Islam.

Seperti yang digambarkan oleh bait lagu Pakiah Geleang berikutnya:

Matonyo buto (ondeh) hatinyo tarang
Jo kucapi Pakiah lah badendang
Pantun jo lagu manyuruah urang
Sakali jangan (sanak) tingga sumbayang

[Terjemahannya: Matanya buta tapi hatinya terang/ Dengan kecapi Pakiah berdendang/ Pantun dan lagu menyuruh ---menghimbau/mengingatkan--- orang/ Sekali jangan tinggalkan sholat]

Kedua: Pakiah Geleang sebagai “sebuah lagu.” 

Lagu Pakiah Geleang diciptakan tahun 1970-an ini oleh seniman penciptanya, menurut saya merupakan teks karya sastra bernafas Islami. Seperti banyak lagu-lagu Minang Klasik yang pernah popular di blantika pop music Minang, mayoritas mengambil dan menyerap dari “kesastraan lisan,” tradisi yang hidup di tengah kehidupan kebudayaan masyarakat Minang. Sehingga lagu tersebut disenangi dan akrab bagi masyarakat. Popular sepanjang masa, semacam lagu Pakiah Geleang ini.

Dengan adanya lagu ini, tokoh Pakiah Geleang yang bersyiar agama di Janjang Ampek Puluah akan tetap  diingat dan dicatat. Dari masa ke masa.

Pakiah Geleang sebagai sebuah lagu, selain bentuk hiburan tapi berperan sebagai suatu kelanjutan kesyiaran Islami yang telah dilakukan oleh Pakiah Geleang, untuk “mengingatkan” agar masyarakat terhadap kewajiban melaksanakan ibadah.

Ketiga: Pakiah Geleang Sebagai Simbol Zaman.

Saya menyimpulkan, Tokoh Pakiah Geleang dan lagu Pakiah Geleang, adalah salah satu dari symbol perjalanan zaman. Simbol dari upaya “syiar” dan upaya “pemenuhan” kebutuhan hidup. Dimana keduanya, merupakan suatu tantangan untuk menjalankan dalam satu kesatuan bersamaan pada “seseorang.” Salah-salah kegiatan “syiar” dianggap komersil. Atau sebaliknya “komersil” dianggap memanfaatkan “syiar.”

Tetapi penekanan pembicaraan saya ini, dengan mengambil sample Pakiah Geleang, tidak ke arah perubahan zaman perihal “penyelewengan” atas “kepentingan-kepentingan” terhadap keagamaan. Namun saya menekankan, tokoh Pakiah Geleang, dapat menjadi symbol, dimana kita merindukan orang seperti dia disaat gebalau zaman, dimana kita memerlukan suri tauladan dan akhlak yang baik.

Karenanya sebagaimana di bait akhir lagu Pakiah Geleang, saya kutipkan:

Sajak nyo pasa (ondeh) habih tapanggang
Si Pakiah Geleang kini lah hilang
Namun lagunyo dikana urang
Itu kisahnyo (sanak) si Pakiah Geleang

[Terjemahannya: Sejak pasar habis terbakar/ Si Pakiah Geleang kini sudah hilang atau tak ada lagi/ Namun lagunya diingat orang/ itulah kisahnya si Pakiah Geleang]

Tidakkah ini sebagai suatu kisah simbolik sangat actual pada hari ini ???

ABRAR KHAIRUL IKHIRMA

Ketika terjadi musibah kebakaran yang meluluh-lantakkan pasar, kemudian untuk membangun kembali pasar yang dibutuhkan oleh banyak orang perlu proses. 

Tentu saja tidak secepat proses kebakaran yang menghancurkan.

Ketika proses pembangunan selesai, bangunan baru dan suasananya juga baru, waktunya tidak lagi sama, sang tokoh Pakiah Geleang tak pernah terlihat lagi.

Dia yang buta dan bernyanyi di Janjang Ampek Puluah tinggal cerita.
Hanya sebuah lagu pop, kemudian dapat mengabadikannya (*)

Sambil minum kopi ketika dinihari
Dari pantai barat, 20-21 Desember 2016

1 komentar: