Senin, 05 Desember 2016

DARI TAPIAN KA SAWAHLUNTO, SAWAHLUNTO BUKIK BARANTAI


Saat ini kota Sawahlunto berkembang menjadi kota wisata multi etnik, sehingga menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Di kota yang didirikan pada tahun 1888 ini, banyak berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sebahagian telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat. Mencanangkan Sawahlunto menjadi "Kota Wisata Tambang yang Berbudaya"




1 Desember 2016 ini, Kota Sawahlunto baru saja memperingati hari jadinya yang ke 128 tahun. Kota ini tidaklah asing bagiku. Dalam berbagai kesempatan, aku telah mendatangi kota ini. Termasuk menjelang ulang tahunnya tahun ini. Masyarakat perantau yang berasal dari Pariaman yang sudah lama hidup di Kota Sawahlunto, ikut memeriahkan hari ulang tahun kota. Memeriahkan dengan menghadirkan seni tradisi arakan Hoyak Tabuik. Selama 3 hari aku berada di Sawahlunto bersama teman-teman yang sudah lebih awal datang mengerjakan pembuatan Tabuik setinggi 8 meter.

Selama berada di Kota Tua pertambangan batubara ini, aku sudah berniat akan memanfaatkan waktuku untuk hobiku memotret. Tentu saja memotret lekak-lekuk kota pada saat malam hari. Namun niatku sama sekali tidak terkabulkan. Situasi cuaca tidak berpihak padaku. Baik siang atau pun malam hari cuaca tidak mengizinkan. Cahaya matahari tak sempurna dan hujan malam senantiasa.

LORONG DAN BANGUNAN TUA
Kota Sawahlunto adalah salah satu kota di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. 95 km sebelah timur laut Kota Padang, dikelilingi oleh 3 kabupaten di Sumatera Barat. Kabupaten Tanah datar, Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung. Kota Sawahlunto dengan luas 273,45 km² terdiri dari 4 kecamatan. Pada masa pemerintah Hindia Belanda, Kota Sawalunto dikenal sebagai kota tambang batu bara.

Saat menyebut nama Sawahlunto, aku selalu teringat sebuah lagu Pop Minang berjudul “Nasib Sawahlunto.” Salah satu lagu daerah yang kusukai. Pernah dinyanyikan penyanyi legendaries Elly Kasim dan Tiar Ramon, sampai sesudahnya oleh sejumlah penyanyi generasi baru. Aku tak sepenuhnya hafal lagu itu tapi aku menyukai dua lirik dari lagu tersebut, “Dari tapian ka Sawahlunto, Sawahlunto bukik barantai.”

AMRAN NUR
Ada sejumlah penamaan berkembang dalam masyarakat terhadap Sawahlunto yang pernah aku ketahui. Selain Sawahlunto bukik barantai, ada yang menyebut dengan Kota Tambang, Kota Orang Rantai, Kota Tua, Kota Kuali dan kini disebut-sebut sebagai motto “Kota Wisata yang Berbudaya.” Tidak tahulah mana yang dapat popular oleh masyarakat. Yang jelas tentu akan tetap bertahan dengan istilah “Kota Kuali,” tersebab Kota Sawahlunto berada dalam lembah, dikelilingi perbukitan, terlihat semacam kuali atau kancah besar. 

Bentang alam kota Sawahlunto memiliki ketinggian sangat bervariasi, yaitu antara 250 meter sampai 650 meter di atas permukaan laut. Bagian utara kota ini memiliki topografi relatif datar meski berada pada sebuah lembah, terutama daerah yang dilalui oleh Batang Lunto, di mana di sekitar sungai inilah dibentuknya pemukiman dan fasilitas-fasilitas umum yang didirikan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Sementara itu bagian timur dan selatan kota ini relatif curam dengan kemiringan lebih dari 40%.

Walau pun aku tidak pernah saling kenal atau pun bertemu semasa hidup Ir. H. Amran Nur, putra kelahiran Talawi, 13 Oktober 1945 dan meninggal di Jakarta, 22 Juni 2016, tanpa mengunjungi Kota Sawahlunto pun, aku menaruh hormat kepada beliau. Karena dalam rentang periode sejarah kepemimpinan kepala daerah, ada 2 nama tokoh tercatat dan harum namanya sampai kini yakni Ali Sadikin ---Gubernur DKI Jakarta dan Anas Malik ---Bupati Padang Pariaman.  Kedua tokoh ini berhasil membangun daerah dengan konsisten dan berpandangan kebudayaan. Padahal keduanya berlatarbelakang dunia ketentaraan. Ali Sadikin dari Angkatan Laut dan Anas Malik dari Angkatan darat.

Khususnya bagi Provinsi Sumatera Barat, setelah Harun Zain, Azwar Anas, Anas Malik dan Syahrul Ujud, hampir-hampir tak terdengar kepala daerah sebagai tokoh pembawa keberhasilan, menangani daerahnya dengan visi nilai-nilai kebudayaan yang tak hanya berupa retorika politis. Menurutku, Amran Nur semasa menjabat Walikota Sawahlunto, selain memiliki kemampuan inovasi juga mampu melakukan perubahan. Namanya harum. Karena Amran Nur sebagai Walikota menerima “Kota Mati,” dengan dihentikannya penambangan batu bara sebagai penghasilan utama daerahnya.

Amrun Nur juga Kepala Daerah yang pernah terpilih sebagai Walikota dalam 2 system pemilihan. Periode pertama 2003 melalui system perwakilan di DPRD setempat. Periode kedua 2008 dari jalur “independen.”  Selama kepemimpinannya, Amran Nur mengubah “Kota Mati” menjadi “Kota Hidup.”

Kota Sawahlunto telah menghentikan penambangan batu bara. Aset yang ditinggalkan pabrik dan bangunan-bangunan tua peninggalan zaman Belanda, direnovasi. Dijadikan museum dan fasilitas penunjang kepariwisataan. Bekas penggalian tambang dijadikan danau. Sawahlunto merubah dirinya dari pertambangan menjadi destinasi pariwisata Sumatera Barat.

Keberhasilan kepemimpinannya tidak keberhasilan pencitraan. Suratkabar Harian Republika memberikan penghargaan atas kerja keras Amran Nur. Dia terpilih sebagai Tokoh Perubahan Republika 2011.  Setahun kemudian Majalah Tempo Jakarta yang terbilang selektif memberikan penghargaan, menobatkan Amran Nur, Walikota Sawahlunto, Bukan Walikota Biasa sebagai Tokoh Tempo 2012. Tercatat dalam masa kepemimpinannya Amran Nur telah menerima 34 penghargaan dan tanda jasa.




Kota Sawahlunto kini memiliki cagar budaya mengundang perhatian banyak orang untuk datang ke Sawahlunto. Museum Kereta Api, Gedung Pusat Kebudayaan, Museum Gudang Ransum dan Lobang Mbah Suro. Lokomotif “Mak Itam,” loko yang hanya sekarang tinggal 2 di dunia, pun berhasil dikembalikan ke Sawahlunto dari Pulau Jawa. “Mak Itam” merupakan loko dengan bahan bakar batubara, berjasa menarik gerbong batu bara dari Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur sejak zaman Belanda.

Meskipun aku tidak dapat melakukan pemotretan secara maksimal selama berada di Kota Sawahlunto, aku masih bisa mendapat sejumlah objek foto sekadar mendokumentasi. Aku juga secara selintas dapat pula mengunjungi jejak-jejak yang pernah “dibangkitkan” oleh seorang Amran Nur semasa menjadi Walikota. Sayang, kita memang membutuhkan kepemimpinan setara Amran Nur dalam masa ini. Namun sepertinya zaman yang terbentuk, kita teramat sulit mendapatkan tokoh “kepemimpinan” semacam itu.

Selama berjalan kaki mengelilingi pusat kota, aku mencoba memahami kenangan atas event Festival Multikultural sebagai penghidup asset budaya yang terdapat di kota ini. Event-event yang diselenggarakan mendiang Amran Nur seharusnya tetap dihidupkan dan dikembangkan dari tahun ke tahun. Museum-museum yang sudah direnovasi tetap semestinya terjaga dengan baik. Karena itu tak lagi hanya milik Kota Sawahlunto tapi sudah milik kita bersama.


Penduduk kota Sawahlunto saat ini didominasi oleh kelompok etnik Minangkabau dan Jawa. Etnik lain yang juga menjadi penghuni adalah Tionghoa dan Batak. Sejak dijadikannya Sawahlunto sebagai kota tambang batu bara atau sejak didirikannya kota ini pada abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda, mulai mengirim narapidana dari berbagai penjara di Indonesia ke kota Sawahlunto sebagai pekerja paksa, sehingga sekitar 20.000 narapidana telah dikapalkan ke Sawahlunto. Pekerja paksa inilah yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Orang Rantai.

Cikal bakal dijadikannya Sawahlunto sebagai kota terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa geolog asal Belanda ke pedalaman Minangkabau (saat itu dikenal sebagai Dataran Tinggi Padang), sebagaimana yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penelitian pertama dilakukan oleh Ir. C. De Groot van Embden pada tahun 1858, kemudian dilanjutkan oleh Ir. Willem Hendrik de Greve pada tahun 1867. 

Dalam penelitian De Greve, diketahui bahwa terdapat 200 juta ton batu bara yang terkandung di sekitar aliran Batang Ombilin, salah satu sungai yang ada di Sawahlunto. Sejak penelitian tersebut diumumkan ke  Batavia pada tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mulai merencanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dapat memudahkan eksploitasi batu bara di Sawahlunto. Selanjutnya Sawahlunto juga dijadikan sebagai kota pada tahun 1888, tepatnya pada tanggal 1 Desember yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sawahlunto (*)

abrar khairul ikhirma
Sabtu 3 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar