Sabtu, 12 Agustus 2017

INGAT BUNG KARNO, MASJID JAMIK BENGKULU

Tanggal 4 Agustus 2017, hari membahagiakanku, sebagai warganegara Republik Indonesia dan seorang muslim, di hari menjelang tigabelas hari lagi perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2017.




Pada hari “istimewa” ini, aku berkesempatan bersholat Jum’at di Masjid Jamik, Kota Bengkulu. Sholat Jum’at pertamakali bagiku di masjid ini, sepanjang beberapakali berkunjung ke Bengkulu selama ini.  Masjid ini merupakan “jejak sejarah” hasil karya arsitek Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, semasa “dibuang” ke Bengkulu (1938-1942), dalam masa Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Hari Jum’at bagiku merupakan hari “istimewa” setiap pekan. Keistimewaan itu terasa semakin istimewa, selain dapat melaksanakan ibadah, aku juga “disentakkan” kepada rasa kebangsaan. Apalagi dalam situasi di berbagai lini, beberapa tahun terakhir ini, semua orang “mengaku” cinta kepada bangsa dan Negara, sementara pada realitasnya dalam anggapanku sangat bertolak-belakang.




Melupakan sejarah, tidak memiliki rasa syukur dan tidak memelihara “semangat” persatuan. Saling menyalahkan dan saling menyebut “perbuatannya” demi kebenaran.

Masjid Jamik Kota Bengkulu menghadap ke Jalan Protokol, Soeprapto. Terletak di tengah persimpangan tiga jalan utama dalam kota. Bangunannya memiliki cirri khas tersendiri. Sehingga Masjid Jamik tidak hanya kini berfungsi sebagai sarana ibadah tetapi sudah menjadi symbol dari identitas kota. Bangunan ini merupakan renovasi Bung Karno dari bangunan masjid lama. Dimana Bung Karno memadukan sejumlah unsure budaya local.




Jujur saja…, setiap mendatangi masjid ini, aku selalu merasakan rasa nasionalisme itu dengan semangat regelius. Ingatan kepada Bung Karno pun terasa “hangat,” karena aku selalu menempatkan “hal baik” di atas hal-hal yang “dianggap” mengurangi keberadaannya. Bung Karno adalah tokoh fenomenal tetapi ada banyak perbuatan yang pernah dilakukannya, kita “nikmati” tanpa “menghargainya” dengan rasa penghormatan.

Kedatanganku ke Bengkulu kali ini, dengan masa cukup panjang. Sehingga hampir setiap waktu sholat Zhuhur, setelah berkeliling seputaran Kota Bengkulu, senantiasa segera aku mendatangi Masjid Jamik. Dimana Masjid Jamik ada banyak orang menyebutnya dengan nama Masjid Bung Karno.




Dari rumah tempatku menginap di kawasan pantai Malabro, hanya butuh lebih kurang 10 menit dengan kendaraan sepeda motor mendatangi Masjid Jamik. Sehingga kesempatan untuk dapat bersholat Jum’at kali ini, suatu hal yang membahagiakanku.

Kapasitas bangunan tidaklah terlalu besar. Namun terasa nyaman. Fasilitas tempat wuduk, areal parkir dan tempat berehat sangat memadai. Bangunan Masjid Jamik terkesan sangat terpelihara. Meskipun berada di persimpangan tiga jalan utama, namun tidaklah terasa bising oleh lalulintas kendaraan. Suasana senyap dan hening, masih dapat dinikmati bila berada dalam masjid.

Masjid Jamik memiliki mimbar permanen, dengan 2 kubah kecil bertingkap di bagian puncaknya. Masjid ini tetap mempertahankan tradisi, seperti masjid dan surau di masa lalu yakni masih memiliki bedug sebagai penanda masuknya waktu sholat. Beduk yang terbuat dari pohon kayu, dilobangi dan diberi kulit sapi. Setiap waktu sholat garin masjid akan memukul bedug dengan pukulan khas.


MASJID JAMIK DI MASA LALU (Foto: Documentasi)


Ada yang selalu aku perhatikan selama tiap bersholat Zhuhur di Masjid Jamik ini, setiap selesai sholat, selalu ramai yang datang ke masjid ini. Rasanya tidak pernah sepi dengan orang-orang yang ingin melaksanakan sholat selain sholat berjamaah.

Pengalaman lain yang menarik bagiku, semenjak pulang menunaikan ibadah Umroh, aku seringkali memasang sorban di kepalaku. Sewaktu bersholat di Masjid Jamik, ada sesama muslim yang datang bersholat mengira aku anggota dari “kelompok jamaah.” Setelah kujawab tidak, akupun sekilas bercerita perihal kebiasaan “baruku” sepulang dari Umroh. Kemudian kusebutkan bahwa “kakekku” adalah seorang Muhammadyah (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar