Selasa, 29 Agustus 2017

SUNGAI SUCI SUDAH KERING

1 Agustus 2017, tidaklah suatu penanggalan keramat. Tapi pada tanggal itulah, untuk pertamakali aku mendatangi Sungai Suci. Arah utara dari pusat Kota Bengkulu.




Beberapakali berada di Kota Bengkulu tapi tak ada kesempatan ke Sungai Suci. Nama Sungai Suci sudah lama menjadi agenda. Tentu saja tersebab ada kata “Suci” pada nama daerahnya, tidak pada kata “sungai” dimana kata suci dilekatkan.

Tidak mungkin nama itu ada begitu saja. Sudah pasti memiliki keterkaitan pada peristiwa atau suatu hal spesifik pada tempat, daerah atau pun menyangkut orang di masa lalu. Sehingga disebut dan diceritakan turun temurun pada kehidupan keseharian masyarakat setempat.

Daerah Sungai Suci adalah salah satu kawasan pantai dari Samudera Hindia, di bahagian selatan pantai barat Pulau Sumatera. Terletak di Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah. Tidak sulit untuk dicapai bagi yang berkeinginan mendatangi tempat ini untuk bersantai menikmati waktu libur.

Kawasan ini sudah lama banyak dikunjungi orang, hingga “dijadikan” sebagai salah satu objek wisata daerah. Dari pusat Kota Bengkulu hanya sejarak 15 km dan dari Bandara Fatmawati Soekarno, lebih kurang sekitar 25 km.

Dari jalan raya Bengkulu – Padang, ada sekitar 500 meter jalan menuju lokasi kea rah pantai. Melalui pemukiman penduduk dan tanah kebun mereka. Karena tidak ramai, serasa memasuki daerah kampong dan kebun. Udara terasa sejuk. Pemandangan hijau dengan pohon tanaman. Kiri kanan jalan kecil yang dapat dilalui kendaraan roda empat.

Jauh sebelum kedatanganku hari ini ke Sungai Suci, pada berbagai kesempatan berbeda, aku pernah bertanya perihal Sungai Suci pada sejumlah orang yang sudah lama bermukim di Bengkulu. Diantaranya ada hanya kenal sekadar nama tapi belum pernah mendatangi tempat ini. Mereka bercerita bahwa konon dulunya, ada orang-orang meyakini air sungai di tempat itu dianggap suci. Digunakan sebagai obat untuk si sakit sebagai jalan penyembuhan. Karena hal itu dinamakan Sungai Suci.




Boleh percaya, boleh tidak. Namanya juga kepercayaan orang pada masa dahulu. Aku sampai pada titik yang disebut dan kutemukan hari ini di kawasan pantai Sungai Suci. Daerah pesisiran yang selalu terancam oleh gelombang abrasi Samudera Hindia ke daratan.

Tempat ini semasa booming batu akik, menjadi lokasi orang mencari batu-batu yang dapat diasah dan dijadikan sebagai batu permata.

Aku tak menemukan sungai sebagaimana yang disebutkan sebagai sungai. Hanya sebuah saluran air dari daratan, bermuara ke laut. Tidak lebar. Hanya beberapa meter saja. Karenanya aku menyebutnya hanya sebagai saluran air. Bisa jadi di masa lalu memang merupakan sebuah sungai, jauh lebih lebar dengan ukuran yang terpandang olehku ini. Sebab namanya alam dan perubahannya memungkinkan untuk terjadi.

Uniknya, di depan air yang bermuara ke laut, terlihat sebuah batu besar sebagai penghalang ombak, hingga tak memasuki muara. Posisinya secara alamiah, dapat dikatakan suatu yang artistic. Sementara kiri kanan saluran itu kini, sudah diberi batu-batu yang didatangkan dari tempat lain untuk pengaman dari serangan abrasi oleh pemerintah.

Hanya beberapa meter saja dari mulut muara, terdapat sebuah jembatan kecil. Jembatan ini merupakan rangkaian dari sarana jalan penghubung dari jalan raya Bengkulu-Padang menuju pantai ini. Jalan yang sudah diaspal. Berdiri dari jembatan kecil tak lebih 5-6 meter ini, memandang ke arah bahagian hulunya, sebuah lekukan kontur tanah rawa. Tumbuh belukar tanaman sagu yang rimbun.




Bila aku memperhatikan sekeliling, mulai dari jalan raya sampai ke daerah pantai, dalam tanah-tanah kebun milik masyarakat itu, sangat banyak terlihat tanaman kelapa sawit. Apalagi jika ditelusuri sepanjang aliran air ini sampai ke hulunya, kiri kanannya tak jauh beda. Mayoritas tanaman adalah kelapa sawit.

Kita sadar atau tidak, yang jelas dalam berbagai ulasan menyangkut keterjagaan lingkungan bahwa tanaman kelapa sawit adalah tanaman yang hidup “menghisap” ketersediaan simpanan air di dalam tanah atau tanah rawa. Tidak suatu hal yang ganjil lagi saat ini, di berbagai daerah yang selama ini terdapat kawasan tanaman sawit, telah berdampak mengeringkan sumber-sumber air. Padahal air merupakan kehidupan.


Hal yang aku saksikan saat berada di Sungai Suci ini, setidaknya pabila kita sadar dan pemegang kebijakan (beritikad) benar ingin memelihara daerahnya, sudah mesti merobah konsep perkebunan dan pertanian ramah lingkungan.  Seperti Sungai Suci ini semakin kering, telah hilang “kesuciannya.” (*) copyright: abrar khairul ikhirma - 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar