Kamis, 24 Agustus 2017

TAPAK PADERI, LANGKAH TERHENTI

Setiap pagi dan petang, tak pernah bosan untuk berjalan kaki dari Malabro ke kawasan benteng Fort Marlborough, peninggalan Inggris. Hingga berakhir di Tapak Paderi.




Seperti biasanya, bila berada di Kota Bengkulu, aku senang berjalan kaki sendirian. Suasana kawasan lama kota ini tidak ramai, sehingga aku cepat akrab dengan “kesenyapannya.”

Pada waktu pertamakali aku menjejak dan mengenal bukit kecil Tapak Paderi, aku bertanya-tanya sendiri, kenapa ada kata Paderi di sini. Paderi setahuku erat dengan perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau. Tidak di Bengkulu.




Tidak ada petunjuk dan keterangan yang kudapatkan perihal nama Tapak Paderi. Karena di bukit kecil itu tak ada kudapati prasasti atau benda-benda berusia lama. Hanya tumbuhan menjulang membentuk kerindangan. Lalu di bahagian puncak bukit yang sudah terbentuk datar, di tengah-tengahnya ada dibangun berkesan seperti kaki untuk tiang bendera.

Setelah beberapakali berkunjung ke Bengkulu, berkesempatan mengulang kembali untuk ke Makam Pahlawan Sentot Alibasyah, beberapa kilometer dari Tapak Paderi, aku seperti diingatkan akan pertanyaan yang pernah muncul di kepalaku saat pertamakali berada di Tapak Paderi dulu, kenapa bukit itu bernama Tapak Paderi.

Lantas aku dapat memafhuminya. Ya. Aku saja yang merangkai dan menghubungkan sendiri, pastilah berkait dengan Sentot Alibasyah. Sentot Alibasyah adalah seorang panglima perang pendukung Pangeran Diponegoro, pada perang Diponegoro (1825-1830).



TAPAK PADERI DARI ARAH LAUT

Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro, Sentot dan para pengikutnya dimanfaatkan oleh Belanda untuk memerangi kaum Paderi di Sumatera Barat. Karena dianggap bersimpati terhadap perjuangan kaum Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol, akhirnya Sentot Alibasyah dibuang hingga akhir hayatnya di Bengkulu. Makam Sentot Alibasyah berlokasi di Desa Bajak, Kecamatan Teluk Segara.

Tapak Paderi berada tak jauh dari Benteng Fort Marlborough. Berada di tepian pantai. Bersebelahan dengan kawasan bernama Pondok Besi. Kini kawasan ini dijadikan sebagai salah satu objek wisata. Ramai bila petang hari warga kota Bengkulu, terutama kaum muda-mudi bersantai di sini.

Dari percakapan dengan sejumlah orangtua yang sudah lama bermukim di Kota Bengkulu, saat aku tanyakan kenapa bernama Tapak Paderi, ternyata dugaan yang kurangkai sendiri hampir berdekatan dengan cerita mereka.

Konon pada masa Bengkulu dikuasai penjajah Belanda, Tapak Paderi merupakan tempat mendaratnya kapal-kapal yang membawa kaum Paderi dari Minangkabau (Padang, Sumatera Barat) yang diasingkan Belanda ke Bengkulu. Sejak itu, masyarakat jika menyebut bukit dekat pantai itu dengan nama Tapak Paderi.



TAPAK PADERI TAHUN 2013

Setiap berjalan kaki dari arah Malabro, menyisir kawasan kota lama atau melalui jalur tepi pantai, langkahku akan berakhir di Tapak Paderi. Di kaki bukit Tapak Paderi arah Pondok Besi, aku senang memperhatikan pembuatan perahu-perahu dan kapal-kapal kecil berbahan kayu untuk nelayan. Selain pembuatan perahu, satu dua perahu nelayan yang tidak melaut, berjejer di atas pasir.


Menurut cerita sejumlah orang, sebelum dilakukan revitalisasi pantai dan sebelum dibangunnya kolam buatan dari bekas pelabuhan, disekitar Tapak Paderi dulunya terdapat terowongan peninggalan masa penjajahan. Salah satu ruas terowongan terus ke rumah dinas Gubernur (*) copyright: abrar khairul ikhirma, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar