Jumat, 18 Agustus 2017

BUTIR “KEHENINGAN” DI MADINAH

Dalam hari-hariku berziarah dan beribadah di kota suci Madinah, Arab Saudi, pekan-pekan terakhir di bulan Februari 2017, aku bertemu “keheningan” yang tidaklah hening.




Dan kulihat Hawa itu, di seberang jalan, baru saja kembali dari Masjid Nabawi. Mereka menyempatkan diri berdialog, tentu saja aku tak tahu apa yang menjadi pembicaraannya, tak kudengar sama sekali, kecuali hanya gerak tubuhnya, karena aku jauh berada di seberang jalannya, jalan dua jalur yang nyaris sepi lalu lalang kendaraan, hampir setiap waktu.

Diantara gantungan tas-tas di depan kedai, di salah satu lobang pedestrian depan penginapan, aku memandang, nuansa yang mewarnai suatu hari itu, membentuk suatu komposisi yang menarik untuk sebuah karya fotografie. Segera aku tarik camera, menggerakkan zoom pocket 20.1 mp. Klik! Ternyata Hawa pun diantaranya sedang berselfie, mengabadikan hari itu yang kulihat dan kurasakan.




Sesudah sholat Subuh di hari berikutnya, berjalan dari Masjid Nabawi, menelusuri jalan-jalan lengang kendaraan, diantara gedung-gedung hotel dan pertokoan. Udara Madinah yang segar dihembuskan dari gurun-gurun pasir, suara-suara yang meresahkan pendengaran hampir tak terdengar, sehingga rasa syukur dan melafazkan do’a setiap tarikan nafas sambil berjalan kaki tak pernah terganggu, tiada berkurang kekhusukkan.

Kakak sulung kami Irvan Khairul Ananda, dengan perlahan mendorong kursi roda, dimana ibunda kami H. Noerni Chairani, karena usianya, harus menggunakan alat bantu untuk dapat bersama kami berjalan sepagi ini.

Kami berkeliling mencari sebuah taxi, untuk menghantarkan kami dari kawasan Masjid Nabawi menuju Masjid Quba. Kami ingin sarapan dan bersholat di Masjid Quba, mengulang kunjungan hari kemarinnya. Waktu di Tanah Suci ingin digunakan untuk sebaik-baiknya beribadah. Masjid Quba, adalah masjid pertama yang didirikan langsung Rasulullah.




Lihatlah, saat berjalan kaki sepagi ini, nun di sana di seberang, pada pelataran diantara bangunan-bangunan tinggi, burung-burung merpati bercengkrama. Menikmati makanan yang diberikan mereka yang datang ke Madinah.

Ada yang menatap dalam kesendirian, di tikungan jalan yang dilalui. Ada di seberang sana silih berganti, merekam ke dalam foto maupun video. Kenang-kenangan tak terlupakan, betapa burung merpati memiliki kehidupannya.

Sebuah pemandangan tak jauh dari Masjid Nabawi.




Meskipun tak berdaya menopang tubuh sang kaki, bukan halangan untuk dapat mencapai Tanah Suci. Di pagi berikutnya, aku terpandang dia bersama kursi rodanya. Di depan sebuah pintu hotel, sudah mendekati tepi jalan. Seperti sedang menunggu. Menunggu untuk berjalan keluar, menelusuri lorong-lorong kawasan Masjid Nabawi.




Aku lagi menikmati pagi yang lain Kota Madinah. Diluar hotel tempat menginap. Sejenak terpandang ke seberang jalan. Ada 2 orang Hawa sedang melintasi trotoar, jalan pejalan kaki. Antara pagar yang membatas, sebuah tiang lampu penerang dan sebuah rambu-rambu lalulintas. Komposisi yang menggerakkan mata hatiku untuk mengabadikannya.




Ada yang ingin berlalu, melangkahkan kaki menuju tujuannya, bisa jadi baru dari Masjid Nabawi, hendak kembali ke penginapan. Kiranya berjalan kaki adalah suasana keakraban menggerakkan tubuh, termasuk jiwa yang relegi.

Sedang di sisi yang lain, dalam perjalanan tetap saja ada banyak hal dapat ditimbulkan atau malahan ditiadakan. Mungkin tidak berupa perdebatan. Hanya berupa percakapan-percakapan sesama, hari-hari yang mendekatkan diri pada kebersamaan, saling pengertian dan rasa persaudaraan.

Bagiku, antara keduanya adalah hal menarik. Antara yang berlalu dan yang berdialog dalam satu frame diantara pagar dan tiang lampu di trotoar pejalan kaki. Tidak hanya merekam sebuah komposisi fotografie, namun bagaimana suasana yang berbicara, membuat kita tak mesti bertanya-tanya, akan tetapi dapat pula menghadirkan pemahaman atas apa yang berlangsung di dalam sebentuk rekaman foto.




Ada waktunya sejenak, aku duduk di lobi hotel, sebelum dan sesudah dari Masjid Nabawi. Kadang memang hanya ingin bersantai, kadang juga untuk waktu menunggu. Ada banyak hal menjadi pemandanganku. Mereka yang keluar masuk di pintu di hadapan. Pintu itu menjadi kisah-kisah bagiku…
Pintu itu adalah sebuah frame statis, sedang tiap orang yang keluar masuk setiap waktu selalu dinamis. Tiada salah aku ingin mengabadikannya gerak-gerak yang berlangsung, terpandang di hadapan kala sejenak duduk di lobi hotel. Apakah bagimu arti pintu dan makna Hawa yang melintasi seketika itu ???


[abrar khairul ikhirma]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar