Selasa, 25 Oktober 2016

MAZLAN NOOR; MELUKIS PERJUMPAAN DI TANGGA AUDITORIUM SKETSA, LUKISAN & PUISI


Di salah satu sisi tangga bahagian luar, merupakan pintu masuk auditorium, aku berdiri dalam kesendirian. Sendiri tak bersunyi senyap. Aku menikmati suasana di sana sini, sekitar kawasan tangga yang ramai orang. Mereka terlibat pembicaraan santai penuh keakraban, karena sudah saling mengenal. Di ujung kedua sisi tangga terparkir 2 mobil dimodifikasi menjadi kedai buku keliling. Dikelola DBP dan ITBM. Rak-rak buku, terisi buku beragam jenis terutama berkait dunia kesastraan. 




Sama sekali aku tidak merasa asing dalam situasi serupa ini. Tidak juga merasa sangat akrab. Karena memang dalam setiap keramaian, aku lebih senang hanya “memperhatikan” sekaligus “menikmati.” Sehingga aku senantiasa tidak akan reaktif, “memperkenalkan” diri atau pun memanfaatkan ambil “perhatian” di depan orang ramai dengan apapun alasannya. Bukan kepribadianku. Pilihan paling akhir ialah, mencari posisi pada lokasi aman, agar dapat duduk tenang sambil merokok. Walau pun tak merasa keberatan untuk tersenyum pada tiap orang yang bertemu pandang atau pun menyapa dengan baik.

Seketika, pada saat hari berangkat siang di Kota Kuala Lumpur, sinar matahari membakar, bangunan beton tegak kaku menguapkan rasa panas, mataku tertuju pada seseorang ---kebetulan aku duduk di bandul sisi tangga, menghadap ke arah kedatangannya ---lelaki tua itu berpenutup kepala, berkostum pakaian gunting China, berjenggot tak hitam lagi, dengan gayanya spesifik. Datang dengan langkah tergesa-gesa, seakan mencari seseorang atau sesegera mungkin sampai ke tujuan, sudah datang terlambat.

Aku memastikan lelaki tua menuju tangga auditorium itu adalah Mazlan Noor. Pelukis Malaysia. Aku tak menduga beliau juga hadir dalam tajuk acara puisi ini dan kami dapat berjumpa di sini. Namanya mulai aku kenal, sejak dia bergabung dalam list-pertemanan akun fb-ku. Di dalam fb ku ada sejumlah teman-teman dari Malaysia sudah terlebih dahulu bergabung. Tidak banyak jumlahnya. Karena aku sendiri berusaha untuk membatasi diri, dalam menerima pertemanan. Tak heranlah untuk bergabung dengan akun fbku, adalah kesukaran. Mungkin juga sasaran untuk sumpah serapah, tersebab aku telah banya menolak permintaan.

Pertalian pertamaku menerima akun Mazlan Noor, memastikan dia adalah seorang pelukis. Sama juga pada waktu sebelumnya, menerima akun Nazeka Kanasidena ---Zubir Osman--- dari Sabah, karena dia seorang fotografer. Dalam perjalanan waktu, barulah aku mengetahui, keduanya juga “bermain” dengan teks. Teks dimaksudkan ialah puisi dan catatan pendek. Dari banyak orang yang pernah aku perhatikan, khususnya pada dua bidang seni itu, tidak banyak memiliki kemampuan bersamaan. Bila melukis ya hanya menghasilkan lukisan. Bila memotret ya hanya menghasilkan gambar foto. 

Padahal kemampuan “menulis” adalah satu bukti, seseorang “memiliki” intelektual tak sekadar hanya mampu menghasilkan secara teknis --- misalnya, lukisan atau foto. Sebab menurut hematku, karya-karya terbaik dan bermutu, hanya dihasilkan oleh mereka pemilik ide ---pengalaman dan pemikiran--- Tanpa didasari oleh hal itu, kemampuan teknis hanya akan berhenti pada tingkatan “indah” dan “baik.” Tidak pada  pencapaian yang ingin disampaikan seorang seniman “seharusnya” dengan kreatif pada suatu karya yang diciptakannya. Menulis adalah menyampaikan pokok persoalan-pemikiran. Melatihnya dalam keseharian. Meningkatkan kepekaan. Ketajaman.

Aku pernah mengenal seorang pematung. Karya patungnya menurutku memberikan alternative. Kreatif. Pada saat itu nama dia mulai dikenal. Tatkala teringat akan kesehariannya, aku menjadi “hambar” karenanya untuk membedakan dari yang lain. Dia pernah tidur “menumpang” pada satu bilik yang dijadikan perpustakaan pribadi. Di sekelilingnya berada aneka macam buku, majalah atau pun suratkabar. Namun tak pernah terlihat bagiku dia membaca, membawa buku, bahkan buku terjatuh di dekatnya pun tak akan diselamatkan pada tempat yang baik. Begitu juga dalam pembicaraannya, tak terkesan ia memiliki pemikiran dan pengetahuan wawasan yang luas. Biasa saja. Hambar dan kering.

Berbeda pertemuanku dengan pelukis bohemian Indonesia, pelukis Nashar. Lukisan-lukisannya abstrak, penuh warna-warni. Ia amat menyukai dengan judul “Irama Alam.” Sebahagian besar lukisannya tidak disukai kolektor dimasa beliau hidup. Ketika booming seni lukis terjadi di Indonesia, beliau tidak ikut menikmati manisnya uang hasil penjualan lukisan karyanya. Namanya tercatat dalam peta seni lukis Indonesia tapi namanya tak komersil dalam bursa. Karena lukisannya tidak menjadi rebutan banyak orang. Nashar asal corat-coret kanvas saja ? Mengatakan lukisannya beraliran abstrak, sebagai penghindaran bahwa sesungguhnya ia tak beride, berpemikiran dan tidak kreatif ?

Pelukis Nashar tidak hanya seorang pelukis. Dia juga pemikir kesenian. Beberapakali bertemu beliau dalam perbincangan, di beberapakali momen dan tempat berbeda, terkesan ia memiliki wawasan yang luas. Pengamatan, analisa dan kesimpulannya sangat tajam. Lukisannya boleh-boleh saja beraliran abstrak tapi di balik itu, lukisan-lukisannya dihasilkan dari kematangan intelektual. Aku pun pernah membaca tulisannya yang terhimpun ke dalam buku, “Surat-surat Malam,” diterbitkan Penerbit Pustaka Djaya, Jakarta. Sangat inspiratif.

Itulah perlunya untuk mengetahui terlebih dahulu seseorang, tidak hanya sekadar nama. Bagiku sederhana saja. Di medsos ---media social--- ibaratkan mencari jarum dalam jerami. Susah menentukan akun-akun benar dan orang yang benar. Tentu saja perlu diketahui “selera” pemilik akun. Ada banyak akun-akun fb, diprediksi semula bertujuan berteman, tahu-tahunya hanya sekadar “media penyiaran” satu arah. Itu artinya, akunku dijadikannya sebagai salah satu “fansnya.” Tidak bertujuan pertemanan.

Mengapa pelukis dan fotografer ? Kedua profesi itu tidak asing bagiku. Aku sendiri pun memiliki jalan itu. Sehingga berkesimpulan “pertemanan” semacam dengan Mazlan Noor dapat bertalian. Pertemanan sulit terjadi pada perbedaan. Sekadar tahu tapi tidak berteman. Karenanya, alam sudah menunjukkan pelajaran berharga dalam hidup kita, air yang tak mendapatkan posisi kerendahan, tidak akan mengalir. Jika tidak mengendap ke dalam tanah, akan lenyap menguap ke udara.

Pada rentang pertemuan lewat media fb, postingan aktifitas Mazlan Noor tak pernah senyap. Dia rajin mempublikasikan aktifitasnya. Sekilas mungkin oleh banyak orang perihal itu membosankan. Padahal bila berelahati mencermatinya dengan pikiran positif, Mazlan salah seorang yang memanfaatkan fasilitas teknologi dengan baik, dengan tujuan sebagai pelukis mendekatkan karya dengan masyarakat, sebagai Mazlan peribadi mencatat perjalanan dan aktifitas yang dilalui.  

DI FORUM TEMU PENYAIR ASEAN 2016
Antara kami berdua, memang belum pernah terjadi percakapan lewat inbox. Hanya beberapakali saja di kotak comen status. Itupun say hello. Jadi, aku belum memiliki gambaran banyak hal terhadap dirinya sebagai pelukis, pun belum mengenal lebih jauh perihal lukisan-lukisannya. Namun berdasarkan pengamatanku, pada apa-apa yang diposting melalui akun peribadinya secara terus menerus, setidaknya, aku dapat sekilas mengikuti jejak kesenimanannya. 

Aku seorang yang menolak statemen mengatakan bahwa, apa yang diupdate pada media medsos bukanlah suatu ukuran dalam melihat seseorang. Karena bagiku, aku lebih sependapat filosofi garam. Dibekukan atau pun dimasukan ke dalam air, rasanya tetap asin. Bentuk boleh berubah, sedang prinsipnya tetap. Benang merah karakter dan pemikiran seseorang akan tercermin pada ungkapan ataupun perbuatannya. Juga pilihannya!

Merujuk dari sejumlah karya sketsa hitam putih pelukis Mazlan yang pernah dipublikasikan di akun fbnya, sketsa karyanya sangat kuat secara teknik, tarikan garis dan perspektifnya. Pemilihan objek pun tidak sembarangan. Membawa pesan-makna. Membedakan sebuah potret dari hasil camera teknologi. Misalnya, betapa ia tertarik mensketsakan rumah-rumah nelayan, saat mendatangi kawasan pesisiran. Sentuhan mood itu tentu tidak hanya tersebab melihat objek artistic belaka. Ada latarbelakang keprihatinan pada dinamika social, ekonomi dan keberlangsungan hidup segelintir masyarakat, diantara gegap gempita kemajuan-kemajuan di sisi lainnya.

Melihat sketsa dengan objek rumah dan kawasan masa kecilnya, Kampung Serkam, Melaka, misalnya. Kita dapat menangkap di balik dinamika social, ekonomi, manusia dan alam sekitarnya, Mazlan secara universal mencitrakan akan kerinduan. Sesuatu paling murni bagi setiap manusia. Suasana kerinduan masa lalu. Kerinduan itu dapat kita maknakan secara universal. rindu kita akan lingkungan yang damai dari gebalau kehidupan perkotaan. Dimana perihal tak dapat dielakkan di permukaan bumi ini. Bangunan penyekap beton yang dihuni dengan rutinitas. Pertumbuhan manusia menempati kawasan terbatas. Kaku. Hampir-hampir “mematikan” keterhubungan manusia dengan alam. Manusia dengan sesamanya. Serba sibuk. Serba nafsi-nafsi.

Pada dua contoh saja, dua karya sketsa Mazlan yakni dengan objek Candi Borobudur (Indonesia) dan bangunan tua di Pakistan. Dapat menjelaskan bahwa Mazlan juga memiliki perhatian pada kekayaan arsitektur, sejarah dan fungsinya. Terasa objek yang ditampilkan menjadi khas dan menarik.

Karena semakin berkurangnya di berbagai belahan bumi, sentuhan seni masa silam, tergantikan dengan arsitektur baru mewakili zamannya yang modern. Sementara lebih luas lagi, dapat pula dimaknakan merupakan karya seni symbol akan topic tak pernah padam, pada soal-soal keagamaan dan relegius. Di balik ketajaman goresan sketsanya, tersimpan memancing ingatan kita pada hal-hal semacam demikian: manusia dengan agamanya. Manusia dengan keyakinannya.

Dalam kepelukisannya, Mazlan dapat dipujikan, silih berganti berkesempatan untuk bepergian ke berbagai tempat, daerah, bahkan antar Negara. Beliau menamakan dengan “Kembara.” Perjalanan yang dilakukan, semakin memperkaya pendekatan social, pendekatan orang per orang, termasuk pengalaman batin kian mengental, kemahiran untuk melukiskan pun semakin matang. Membuktikan Mazlan bukan pelukis yang senang berkutat di dalam studio. Berkurung diri. Berasyik sendiri. Tanpa terlibat persoalan dunia luar dalam setiap proses kreatifnya.

Mazlan pada setiap “kembara” harfiahnya, selalu membawa peralatan untuk dapat mensketsa. Ia dapat melakukannya, kala berhenti sejenak pada satu tempat, atau memang bersengaja mengunjungi suatu objek, bahkan pada saat menunggu sang isteri berbelanja di supermarket, pada satu sudut lokasi tak masuk akal, ia segera saja dapat berkarya sketsa.

Mazlan Noor telah menghimpunkan karyanya pada sebuah buku, “dan kembara kuteruskan,” diterbitkan oleh Dewan Bahasa Pustaka Kuala Lumpur. Kembara perjalanan kreatifnya sebagai seorang pelukis dan menyair ---koleksi puisi dan lukisan terpilih 42 tahun, 1973-2015—  Setidaknya dengan kehadiran buku itu pada jagat perbukuan dan dunia seni khususnya di Malaysia, merupakan sumbangan memperkaya dunia literature, sekaligus pendokumentasian yang berguna. (Perihal buku ini, aku hanya tahu lewat postingan Mazlan Noor dan melihat dari jauh saja tersusun diantara buku-buku lain di rak kedai lori keliling DBP, saat acara Temu Penyair Asean 2016).

Sementara memerhatikan foto lukisan-lukisannya dan sejumlah moment sedang melukis di studionya, bila dihubungkan dengan tangkapan sepintas, ketika melihat pertamakali cara berjalannya datang di tangga auditorium DBP hari itu pertamakali, tergesa-gesa dan tangkas. Terasa bertolak-belakang. Secara teknik, pada lukisannya dengan pewarnaan meriah dan segar itu, berupa motif lingkar yang rumit, seperti spectrum, planet-planet saling tumpang tindih, menjadi suatu kesatuan, membutuhkan ketekunan ekstra mengerjakannya. Ketelitian dan kesabaran.

Hal semacam itu bagiku, menarik. Mazlan Noor meskipun “tergesa-gesa” bukan berarti lukisannya berkarakter ekspresionis spontan. Justru di dalam ketergesaan harfiah yang kulihat, ia sesungguhnya seorang yang tenang. Dapat mengerjakan kerumitan dengan ketelitian. Tentu saja penuh kesabaran. Teknik yang dikuasai akan memudahkan penghayatan proses kreatifnya dalam menyelesaikan satu karya ke karya berikutnya. Karena tampaknya, Mazlan Noor selalu melahirkan lukisan “berseri.” 

Ada 2 teknik aliran yang diakrabinya pada karya lukisnya. Pertama lukisan berupa motif spectrum, lingkar saling berhimpitan, dibentuk garis-garis dan warna. Kedua semburan abstrak ekspresionis, seperti muntahan lahar gunung merapi. Terbentuk dari percikan warna. Juga titik-titik yang dibentuk sedemikian rupa. Liar tapi terarah. Lukisan dengan teknik ini kuat dengan tata cahaya. Menggambarkan pengalaman dan perjalanan batinnya, hampir bersamaan dengan kesehariannya bertajuk “kembara” itu.

AKU DAN MAZLAN NOOR
Ketika sang pengembara itu berbalik arah, dari dalam lobi auditorium DBP menuju tangga, aku tak keberatan untuk menemuinya. Kusapa namanya dan kusebutkan namaku, kami berjabat erat. Ia spontan begitu gembiranya. Namun kami tidak memiliki waktu berdialog panjang di ujung tangga. Mungkin suasana dan momennya tidak tepat. Karenanya aku wujudkan dalam bentuk tulisan ini. Mungkin ada waktu-waktu lain. Langsung lebih khusus menelusuri lukisan, puisi dan pemikirannya. (*)

abrar khairul ikhirma
Seniman Rupa-rupa
25 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar