Rabu, 19 Oktober 2016

DI HARI PUNCAK PESTA TABUIK PIAMAN 2016 “MENDERITA” DISIRAM HUJAN BERTURUT-TURUT




MINGGU tanggal 17 Oktober 2016.
Hari bersejarah bagi prosesi Tabuik Pariaman, dalam decade terakhir ini. Tersebab kali pertama pada hari puncak, sejak pagi sampai waktu maghrib, Pariaman dilanda hujan. Tidak seperti biasanya. Pada hari yang dikenal masyarakat, hari keluarnya 2 buah Tabuik Gadang, yang dinamakan acara “Bahoyak Tabuik,” tak pernah terjadi hujan dan prosesi tak pernah tertunda akibatnya. Kini rupanya harus "menderita" disiram hujan.





Kalau pun terjadi hujan pada malam hari sebelumnya atau pada waktu dinihari, pada pagi harinya, biasanya hujan berhenti. Bila pun terjadi hujan lagi, setelah prosesi berakhir, dimana kedua Tabuik sudah dibuang ke laut pada waktu matahari terbenam.

Akibat terjadi hujan yang berulang-ulang di hari puncak prosesi Tabuik 2016, kedua Tabuik tertunda melaksanakan pemasangan dua bahagian konstruksi Tabuik, yang dinamakan Tabuik Naik Pangkek.
Akibat hujan, pemasangan baru dapat dilaksanakan pada pukul 14.00 wib, selepas waktu sholat zhuhur.
Sampai akhirnya Tabuik dibuang ke laut, cuaca hampir tak bersahabat.

Menurut tradisinya, Tabuik Naik Pangkek dilaksanakan selesai waktu sholat subuh. Ada juga yang menyebutkan malahan sebelum waktu subuh dan selesainya saat azan subuh berkumandang.

Jika berpedoman pada tradisinya, Tabuik Naik Pangkek dilaksanakan setelah waktu sholat subuh. Pada waktu itu, terlihat pemandangan, terutama sebahagian besar kaum ibu-ibu, dengan masih memakai mukena datang bersama-sama dimana Tabuik Naik Pangkek dilaksanakan. Prosesi ini menjadi perhatian masyarakat, menjadi daya tarik tersendiri, karena masyarakat kedua Nagari ingin terlebih dahulu melihat Tabuik kebanggaannya, sebelum siangnya dilanjutkan untuk Bahoyak Tabuik.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, setelah era kepemimpinan mendiang Bupati Anas Malik (1980-1990), Bupati Kabupaten Padang Pariaman, yang mempelopori “bangkitnya” kembali tradisi Tabuik di Pariaman sebagai upaya pelestarian budaya daerah, untuk memacu pembangunan, telah banyak perubahan penyelenggaraan yang “dilakukan”  dikehendaki atau tidak, sebagaimana tradisinya yang dikenal sebelumnya.


 

Tabuik Pasa, seperti biasanya pada prosesi Naik Pangkek, tetap mempertahankan setelah sholat subuh dari tahun ke tahun. Melaksanakan dengan tata cara lama, dalam menyatukan dua bahagian konstruksi Tabuik. Namun belakangan, disebut tetap Naik Pangkek, yang dilakukan adalah “Manyorongkan.” Bahagian atas berada di atas mobil dumptruck, bahagian bawah di atas aspal jalan.

Sementara Tabuik Subarang dalam beberapa tahun terakhir, sudah melakukan “waktu siang,” dimana cahaya matahari sudah terang. Melaksanakan dengan cara “sorong.”

Main Sorong, memang dianggap lebih mudah dan lebih cepat. Tidak membutuhkan tenaga ekstra untuk mengangkat. Cukup mencocokkan dua bahagian Tabuik, kemudian dibantu “hidrolik” dumptruck mengangkatnya. Ada sejumlah pendapat mengenai hal itu yang pernah menyampaikan hampir senada, kalau hanya memperlihatkan Tabuik sekadar konstruksi “hiasan” yang “dipajang,” kenapa tidak dalam keadaan “utuh” saja baru diperlihatkan pada masyarakat dan pengunjung?

Dengan perubahan yang dilakukan itu, sebenarnya tidak sesuai lagi dengan penamaan prosesi Naik Pangkek. Anehnya kenapa kita (termasuk dalam publikasi) tidak memakai penamaan baru itu saja, agar sesuai tradisi baru pula, dengan menyebut prosesi “Sorong” (?) walau masih berpijak diatas tradisi lama.

Sama juga dengan Naik Pangkek yang sudah “main sorong.” Hoyak Tabuik sebenarnya tidak lagi “dioyak” seperti “kebesaran namanya” tapi lebih tepat diperuntukkan sebagai “pajangan,” dari tahun ke tahun, walau tetap menyebutkan “Hoyak Tabuik.” Yang ada Tabuik setelah disatukan dua bahagiannya, lebih banyak diberdirikan saja sebagai “benda mati.” Hanya tempatnya saja dipindah-pindah untuk beberapa titik. Tak ada lagi atraksi gandang tabuik yang memukau, bersemangat dan menghipnotis menyertai Tabuik yang dinamakan Hoyak Tabuik.

Pada tahun 2015 lalu, sampai hari puncak Tabuik, Pariaman mendapat kabut asap kiriman, akibat kebakaran hutan di provinsi tetangga. Cuaca dan udara pun dalam kondisi yang sangat mengganggu. Termasuk bagi masyarakat Pariaman, daerah yang berada di pesisir barat pantai pulau Sumatera. Langsung atau tidak langsung, mempengaruhi jalannya prosesi Tabuik dan terganggunya kenyamanan para pengunjung, untuk berdatangan ke Pariaman.

Tahun lalu kabut asap, tahun ini Pariaman selalu disiram hujan. Bahkan disertai angin kencang. Sejak awal prosesi Tabuik bulan Muharam tahun 2016 ini, awal bulan Oktober, memang luarbiasa. Hujan. Sehingga prosesi dan kegiatan hiburan hampir tak terlaksana dengan maksimal. Bahkan sampai pada hari Puncak sekalipun, yang biasanya tak pernah terhalang hujan, sejak pagi sampai malam, hujan datang berturut-turut.



Tabuik sudah banyak dirubah. Ada banyak suara menyebut, perubahan itu untuk penyesuaian. Mulai dari momentum tradisi menghimpun partisipasi masyarakat Piaman Laweh, meliputi wilayah Tiku – Lubuak Basuang (Kabupaten Agam), Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman dan Koto Tangah – Kuranji -Pauh V – Lubuak Bagaluang - Lubuak Kilangan – Bunguih Taluak Kabuang (Kota Padang) serta masyarakat di rantau (perantau Piaman), kini Tabuik sudah berganti menjadi agenda Pemerintah Kota Pariaman. Dibiayai APBD.

Mencatat yang lainnya perubahan itu misalnya, acara “Basalisiah” prosesinya seperti boleh ada boleh tidak. Pun waktu “selesainya” lebih sering cepat daripada terjadi terlambat. Daraga Tabuik yang semula hanya dibuat di rumah pewaris Tabuik, dipindahkan ke tempat lain. Pembuatan Tabuik, semula berbaur dengan pemukiman masyarakat, kini “dijauhkan.” Hari pelaksanaan Tabuik yang semula 10 hari, mulai 1 Muharam sampai 10 Muharam, disesuaikan dengan program yang dikehendaki, seperti tahun 2016 ini, menjadi 15 hari.

Yang jelas, sejak awal prosesi Tabuik dilaksanakan sampai Tabuik diakhiri tahun ini, di Pariaman selalu turun hujan. Adakah kaitannya dengan perubahan yang dilakukan sekarang, sebagai “pertanda,” karena merubah tradisi yang sudah dilaksanakan turun temurun dari “pendahulu,” dimana mereka nenekmoyang itu, bisa jadi ketika memulai dulunya “memasang” niat dan “membaca sumpah” (?). yang kita tak tahu atau tidak mau tahu.

Wallahualam bissawab….

“Mane ketehe yuaaang…!!! Ancau kabirau je lah. Wak ndak samo di dalam doh, wa’den tagak lua je nyeh. Ang kan lah tahu juo mah, lah itu maineee. Indak kecek den, kecek pepatah lamo komah; Nan bagarih tantu makanan pahek, samo kito caliak an, buah masak lamo lambek jatuah juo ka tanah. Keh keh keh…”

(terjemahannya: Belajarlah dengan Cimeeh Piaman – walau apapun bentuk dan tujuan permainan, jangan dimain-mainkan bahkan dipermainkan. Sakral atau pun tidak)

Boleh percaya, boleh tidak.

abrar khairul ikhirma
pengamat budaya dan urang piaman
17 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar