Sabtu, 01 Oktober 2016

MALAM PUISI PENYAIR ASEAN DI RUMAH PENA KUALA LUMPUR



MENCAPAI Rumah Pena, di Bukit Petaling, Kuala Lumpur, rupanya perlu juga usaha dan kesabaran. Termasuk berjalan kaki di trotoar. Aku kira itu pengalaman fisik tersendiri, memperkaya kekuatan batin. Sumber inspirasi bila saja ada kehendak untuk menulis puisi agak sebuah. Keh keh keh…

PRESIDEN PENA DR MOHAMAD SALEEH RAHAM, ABRAR KHAIRUL IKHIRMA (INDONESIA) MURAD SALLEH (JOHOR) RAZALI MOHAMAD YUSUF, AMELIA HASHIM (KEDAH) LILY SITI MULTATULIANA SUTANISKANDAR (MELAKA), DIANTARA MALAM BACA PUISI ASEAN DI RUMAH PENA KUALA LUMPUR (FOTO: LADIN NUAWI)


Apalagi sepanjang jalan beberapa meter yang kutempuh, membuat terciptanya suatu kesempatan dapat aku manfaatkan, berjalan sambil merokok. Sejak masuk boardingpass Bandara Internasional Minangkabau (Indonesia), keluar KLiA2 (Malaysia), terus KL Central, penginapan, kali inilah pertama aku dapat untuk merokok. Cihuiii!!! Merasa merdeka. Jarang-jarang orang terlihat aku temui di sini, merokok sambil berjalan. 

Berangkat dari penginapan dengan naik taxi. Sampai 2 kali pusing ---berkeliling macam orang tawaf---dulu Jalan Bukit Petaling, akhirnya turun di areal parkir Restoran Tupai-tupai. Alasan sopir (pemandu) taxi, dia tak tahu. Terlihat sebuah bangunan tua di samping restoran, menarik perhatianku. Bangunan tanpa penerang dan tertutup. Setelah kudekati bagian depannya, terbaca tulisan penunjuk “Persatuan Wartawan Melayu.” Aku merasa akrab saja. Mungkin tersebab aku pernah dulu berhabis masa di dunia jurnalistik, menjadi wartawan pada suratkabar terbitan daerahku. Serasa bertemu dunia yang sama.

Tentu bangunan tua itu telah berdiri dengan sejarahnya. Sejarah yang panjang. Sama hal dengan Persatuan Wartawan Melayu itu sendiri sebagai sebuah persatuan, menghimpun mereka-mereka yang berjuang di jalan dunia jurnalistik. Bangunan tua, selalu menarik perhatianku bila terjumpa. Apalagi disadari Kuala Lumpur merupakan kota metropolitan, pusat bertumpu gerak nadi Negara Malaysia. Tak akan bisa menghindar diri dari pembangunan-pembangunan, yang akan selalu membutuhkan lahan dan merubuhkan bangunan lama, demi bangunan belantara beton kota. Bangunan lama bagiku lebih familiar. Lebih merasa ada rohnya. Tidak sama pada bangunan beton pencakar langit (tower/menara), yang terasa bagiku symbol kemegahan dan kemewahan. Aku merasa asing karenanya. Perasaanku menjadi sejuk, kutemui dalam kegelapan bangunan tua malam ini, kantor Persatuan Wartawan Melayu di samping restoran yang berpenerang gemerlap itu.

Tujuanku ke Rumah Pena. Rumah yang dituju terletak di bahagian belakang restoran tapi tak ada jalan. Dari tempat turun taxi ini, harus berjalan kaki setengah lingkar bukit kecil itu dari trotoar di jalan depannya. Hingga sampai pada jejeran mobil terparkir di bawah pepohonan yang rindang kaki bukit kecil Petaling. Terlihat di antara kegelapan berbeda dengan lampu penerang jalan, nun di ketinggian salah satu sisi bukit kecil, Rumah Pena. Lampu penerang tak cukup. Bagi yang pertamakali datang ke sini pada malam hari, pastilah berpendapat sama: gelap!

Halaman samping Rumah Pena, malam ini menjadi ajang pertemuan para penyair antar bangsa. Penyair Asean. Para penyair silih berganti baca puisi ke atas panggung. Ada panggung, ada meja-meja dan kursi di bawah tenda, pada satu sisi disediakan meja untuk meletakkan makanan dan minuman, lengkap juga mobil (lori) kedai buku. Pun di teras Rumah Pena, satu meja tersusun buku-buku karya penyair untuk dijual bagi peminat sesama penyair.

Malam Puisi Asean 2016 di Rumah Pena, adalah rangkaian dari kegiatan Temu Penyair ASEAN 2016 yang ditaja ITBM-PENA-DBP. Suasananya santai dan akrab. Ramai para penyair yang hadir. Terasa jauh dari kesibukan Kota Kuala Lumpur. Nuansa sastra serta ajang pertemuan satu sama lain lebih terkesan dominan.

Kedatanganku terlambat. Nyaris semula tidak akan datang ke sini untuk menghadiri Malam Puisi Asean 2016. Cukup lama berhabis waktu di KLiA2. Begitu juga perjalanan dari airport menuju KL Central. Dari KL Central ke penginapan di kawasan Pudu telah memakan waktu lama. Teramat melelahkan. Jam malam pun sudah termasuki. Akhirnya, terlerai juga semuanya. Tetap datang ke Rumah Pena walau sudah terlambat. Walau tak sempat menikmati makan malam dan menyeruput kopi yang hangat sekalipun. Tapi di sini, aku berkesempatan untuk merokok, mendengarkan percakapan, juga melihat para penyair meski tak kukenal satu persatu.

Kehadiranku di Rumah Pena, setelah mengisi buku tamu, aku dikenalkan Amelia Hashim ---seorang penulis wanita dari Kedah, dari utara Malaysia-- pada Mohamad Saleeh Rahamad, Presiden Pena (Persatuan Penulis Nasional) Malaysia. Selain perkenalan, tak ada sempat bercakap-cakap dengan beliau. Mungkin karena baru saling kenal. Bisa jadi dilain waktu.

Aku sengaja tak mengambil duduk di kursi yang disediakan. Datang ke bagian depan, ke salah satu sisi panggung. Klik! Klik! Aku memotret sejumlah momen. Di panggung sedang berlangsung musikalisasi puisi, disusul pembacaan puisi dari rombongan penyair dari Riau. Sukar juga dengan penglihatanku, karena lampu penerang yang tak membantu penglihatanku. Sehingga aku tak dapat mengenali wajah para penyair yang hadir pada malam ini, terutama yang berada di bawah tenda yang disediakan.

Pada saat berada di dekat lori kedai buku, antara meja makan, aku menghadang langkah tubuh berdegap dan tinggi. Aku langsung sebut namanya. “Nazeka Kanasidena!” ia pun terkejut, ketika mengetahui akulah orang yang dikenalnya di fb selama ini. Nazeka, penyair dari Sabah, Malaysia. Puisinya sudah diterbitkan ke dalam sebuah buku, berjudul, “ILTIZAM” terbitan ITBM-PENA, 2015 atas nama Zubir Osman.

Menurut hematku, acara serupa dalam apresiasi sastra, seperti yang dilaksanakan Rumah Pena ini, bila lebih dikemas lagi sungguh menariknya. Panggung yang tinggi sepantasnya tidak dijadikan dalam situasi santai serupa yang dimaksudkan. Mungkin lebih tepat, dibuat panggung instan di tengah-tengah penonton. Karena ruang yang tersedia dan jumlah yang hadir, sangat memadai. Akan lebih mendekati suasana “kesastraan” dan antara penonton dengan mereka yang tampil tak ada jarak. Lebih komunikatif. Sebab kemungkinan demikian lebih terbuka lebar, karena dilaksanakan di udara terbuka. Tidak dalam gedung yang lebih bersifat formal.

MURAD SALLEH DARI JOHOR

Pada suasana demikian, aku lebih memilih duduk pada bangku permanen di halaman Rumah Pena, berdekatan dengan lori kedai buku yang diparkir. Aku lebih mengandalkan pendengaranku ketimbang penglihatanku pada yang berlangsung di atas panggung. Karena berjarak diantarai tenda. Lokasi dudukku pun jauh lebih terang cahaya lampu. 

Akupun dapat bebas merokok. Karena rokok pula, aku dapat kenalan baru, kebetulan sama-sama duduk di bangku yang sama yakni seorang penulis dari Johor, Malaysia. Dia juga kutemui sedang merokok. Dia pun suka bersunyi-sunyi di bagian belakang, bagian yang terpinggirkan. Sama juga dengan kebiasaanku bila datang pada keramaian. 

Penulis dari Johor ini terlihat tenang. Bicara pun sangat pelan. Topik pembicaraan dan style bicaranya, membuat percakapan lepas kami berjalan dengan situasi yang menyenangkan. Tidak berupa diskusi tapi lebih saling berbagi informasi pada situasi kesastraan dimana kami masing-masing lalui. Memang tidak cukup waktu untuk percakapan itu. Pun tempat penginapan kami berbeda. Namun esoknya, saat rehat jeda acara Forum Penyair Asean di Auditorium Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur, di tangga depan, kami bercakap sesaat. Beliau berharap suatu saat kami berjumpa lagi. Mana tahu aku sampai menjejak daerahnya Johor. Seusai acara Temu Penyair Asean 2016, aku berkesempatan untuk melakukan perjalanan budaya ke Kedah. Beberapa hari di Kedah, barulah aku mengetahui nama penulis Johor ini Murad Saleh, setelah kami berteman fb. Aku belum membaca karya-karyanya.  

Malam di Rumah Pena, aku bertemu dengan penyair Fakhrunas MA Jabbar, namanya sudah lama kukenal lewat dunia suratkabar terbitan Padang, Sumatera Barat, sejak lama, ketika ia rajin dari Pekanbaru, Riau (Indonesia), dahulunya mempublikasikan karyanya. Pertemuan pertama kami barulah terjadi pada tajuk acara yang sama kami hadiri yakni, pada  Anugerah Puisi Dunia Numera 2014, Kuala Lumpur, yang ditaja Numera Malaysia.

Begitu juga bersamaan dengan Penyair Fakhrunas, berjumpa dengan penyair Isbedy Stiawan ZS dari Lampung (Indonesia). Namanya pun sudah lama kuketahui, karena dari Lampung dia rajin kirim puisi ke suratkabar Padang, dimana aku pernah menulis dan bekerja dulunya. Kami tidak akrab. Berbeda dengan sejumlah teman-temanku di Sumatera Barat yang banyak dikenalnya. Padahal aku pertama berjumpa dengannya sama-sama menghadiri Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997 di INS-Kayutanam, Sumatera Barat.

Ketika pembicaraanku berlangsung dengan penulis dari Johor, Murad Saleh, aku melihat tak berapa jauh dari aku duduk, seorang wanita sedang dibantu tuntun berjalan dari salah satu sisi Rumah Pena, akan meninggalkan lokasi acara. Dia dituntun anak lelakinya. Aku datang menghampiri untuk menyapa, karena beliau pernah aku kenal. Asmira Suhadis. Seorang yang dikenal penulis skrip di Malaysia dan rajin memposting di akun fbnya. Sebelumnya, kami pernah berjumpa sama-sama menghadiri Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala Lumpur yang diselenggarakan di Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur. Sepertinya, ia lupa denganku. Biasalah. Bagiku hal itu tidak penting. Yang jelas aku sudah bersilaturahmi dengan orang yang kukenal dan kujumpai. Beberapa hari kemudian, di kotak comen status fbku, beliau menyapaku. Mungkin baru menyadari bahwa malam di Rumah Pena itu adalah aku yang menyalaminya.

Termasuk malam ini, aku berkesempatan bertemu dengan Lily Siti Multatuliana SutanIskandar yang datang dari Melaka, Malaysia, dimana beliau menetap bersama keluarganya lebih kurang 11 tahun. Kami sudah akrab sejak dari pertemanan fb dan sudah beberapa kali berjumpa, sejak pertamakali berjumpa di Jeumpa d Ramo, Bangsar, Kuala Lumpur, ketika Anugerah Puisi Dunia Numera 2014. Begitu juga saat beliau pulang ke tanah leluhurnya Pariaman, kota pesisiran pantai barat Pulau Sumatera (Indonesia), yang menjadi kota kelahiranku. Beliau bersekutu dengan Penama ---Persatuan Penulis Melaka—dan Numera Malaysia. Sangat aktif menghadiri kegiatan-kegiatan sastra dan baca puisi di Malaysia dan Indonesia dalam kurun waktu terakhir ini. 

Dalam kesamaran, berjalan ke arah malam yang larut.
Baris-baris puisi sudah dibacakan di Rumah Pena.

Abrar Khairul Ikhirma
Dragon-Pudu, 03/09/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar