Rabu, 26 Oktober 2016

HARI PUN SUDAH PETANG DI MUSEUM SASTRA MELAKA



SEBELUM datang ke Melaka kali kedua ini, aku sudah merancang tujuanku setelah mengikuti Malam Puisi Sungai Melaka 2016 ialah berkunjung ke “Muzeum Sastera Melaka,” sebagai tujuan pertama. Selain ingin melihat langsung sisa bangunan pintu gerbang Benteng Famosa, terlihat diposting oleh banyak pelancong yang datang ke Melaka ketika aku mengetikkan kata “Melaka” di aplikasi pencarian google.




Pada kunjungan pertama ke Melaka tahun 2014 silam, tak ada agenda kunjungan ke Muzeum Sastera Melaka. Padahal menurutku, berkaitan erat dengan momen yang kuikuti saat itu. Bisa jadi semula sudah dirancang panitia, namun tersebab waktu yang terbatas, mereka batalkan. Jadilah saat itu kami berada di sekitar kawasan Melaka Cruise. Tepian Sungai Melaka sampai malam hari sebelum akhirnya kembali ke Kuala Lumpur.

Dari sisa pintu gerbang Benteng Famosa, di balik bukitnya terdapat Muzeum Sastera. Karena aku tak memiliki peta dan tak mengetahui penunjuk arah, aku tak mengetahuinya. Nyaris, dalam kesempatan itu hampir saja aku tak jadi dapat berkunjung ke Muzeum Sastera. Untunglah, saat kembali setelah berkeliling sendirian dari kawasan sisa Benteng Famosa, ibu Lily Siti Multatuliana SutanIskandar bersama suaminya menunggu dalam Mall Dataran Pahlawan, menanyakan apakah aku sudah sampai berjalan ke Muzeum Sastera ? Belum, jawabku diingatkan dengan tujuanku semula.


 Akhirnya aku dihantar Bu Lily. Andaikan waktu tidak terbatas saat itu, kawasan museum ini rasanya bagiku dapat sangat menyenangkan. Dinikmati sehari penuh. Keluar masuk museum, pusat perbelanjaan dan akhirnya menjejak Jonker Walk. Satu sama lain, dikunjungi cukup dengan hanya berjalan kaki. Suatu kebiasaan yang aku sukai. Namun dalam keadaan kali ini, aku tak sepenuhnya dapat menikmati berjalan kaki di kawasan wisata Melaka itu. Rasa lelah begitu menghantui. Tubuh berkeringat. Udara terasa menjadi sangat panas di tubuhku.

Beberapa menit kemudian setelah berjalan kaki dari Mall Dataran Pahlawan, aku tertegak. Di hadapanku menghadang sebuah pagar tertutup. Tak ada siapapun yang terlihat. Tempat itu sangat sepi. Berbeda sekali dengan kawasan di sisa Benteng Famosa. Ramai. Silih berganti pelancong dan mereka yang hendak bersantai menikmati Melaka petang hari. 

Kegatalan pikiranku segera spontan berucap, “Beginikah sesungguhnya keaslian dunia sastera itu ? Pintu pagar tertutup menghadang di depan kita. Tak ada siapa-siapa. Berkawan senyap, terasing dari keramaian.” Hadir begitu saja tanpa terpikirkan semula. Sebuah realitas!

Sementara aku memotret bangunan Muzeum Sastera dari balik pintu pagar, rupanya Bu Lily mengetahui pintu sebenarnya tidak dalam keadaan terkunci. Kami melihat sekeliling sebelum hendak masuk ke halaman museum.  Yang jelas kami masuk tidak dengan cara seorang maling. Keh keh keh. Terlihat di kejauhan ada seorang petugas. Tidak diketahui, apakah petugas museum. Bisa jadi juga tidak. Karena dia berada pada kawasan bangunan berlainan. Namun kami berteriak, meminta izin untuk sekadar berfoto.
Hanya berfoto di halaman saja. 

Dengan berlatar bangunan tua yang menjadi museum. Kemudian berlatar dinding tembok pagar, ada lukisan gambar wajah. Aku mengenal satu diantaranya, A.Samad Said, sasterawan Malaysia. Beliau pernah bertahun silam datang ke Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Ada sempat bercakap-cakap sekadarnya saja di Taman Budaya Sumatera Barat denganku. Itupun kebetulan saja. 




Aku tahu, kedatangannya bertalian dengan seniman Edi Utama, kami sama-sama berkesenian di pusat kesenian ini. Sama-sama pernah bekerja di suratkabar Harian Singgalang, terbitan daerah yang sama. Kalau pun jumpa A. Samad Said, dia tak akan mengenalku. Walau semasa itu aku juga membiarkan rambutku panjang dari ukuran normative seorang lelaki.

Sewaktu pulang ke tempat orangtua angkatku budayawan dan impresario Roestam Anwar di Hotel Minang ---berdampingan dengan Taman Budaya--- diantara buku-buku di rak, terlihat sebuah buku A. Samad Said. Kalau aku tak salah “Warkah Eropa.” Rupanya “tamu” dari Malaysia itu sudah berjumpa dengan “si babe” kami, yang memang mau berhabis waktu berdiskusi dengan siapa saja. Aku tak membaca buku beliau ---tentu dihadiahkan sebagai cenderamata--- hanya sewaktu itu aku tertarik sesaat memperhatikan tata grafis, desain dan kualitas cetaknya saja.

Aku berfoto dengan latar gambar A. Samad Said di tembok itu.




Aku menyukai arsitektur bangunan Muzeum Sastra Melaka. Dicat warna hijau. Lambang kesejukan dan kesuburan. Juga halamannya terbilang memadai. Luas dan nyaman.
Waktu buka museum memang tak sesuai dengan kedatanganku. Sehingga aku tak memiliki kesempatan untuk mengetahui, apa-apa saja yang tersimpan dalam museum sastera itu.
Tersebab hari sudah petang. Museum tutup.

abrar Khairul Ikhirma
Bukit Katil Melaka
19 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar