Minggu, 16 Oktober 2016

BACA PUISI 20 TAHUN KEMUDIAN…



MENGHADIRI Temu Penyair se Asean 2016 di Kuala Lumpur, 2 – 3 September 2016, aku hanya seorang peserta biasa. Hadir dan menjadi pendengar yang baik saja. Menyerupai kucing jinak.  Tidak sebagai pembentang kertas kerja, juga tidak sebagai pembaca puisi. Walau pun ada sesi baca puisi yang diselenggarakan di Rumah Pena dan di Auditorium Dewan Bahasa Pustaka. Namun perihal itu tidaklah mengganggu perasaan dan pikiranku, walau tidak memiliki ruang untuk “berunjuk gigi” pada momen besar di hadapan peserta lainnya. Biasa-biasa saja. Aku sendiri juga tak hendak baca puisi.

Malam Puisi Sungai Melaka 2016

Kalau pun aku diberi kesempatan untuk membaca puisi di hadapan khayalak, aku kira aku juga tidak akan dapat memukau penonton kecuali hanya suaraku saja yang terdengar, bersenjatakan soundsystem mengalahkan suara penonton yang tak mau hingar bingar pula. ---Biasanya kebanyakan aku perhatikan di sana sini berbagai acara, orang lebih banyak asyik dengan kesibukannya sendiri. Sibuk bercakap-cakap dan membuka akun fb, atau bersantai diluar ruang, selama acara berlangsung.---  Seperti umumnya terjadi para pembaca puisi kita di atas panggung menjelmakan dirinya, seumpama “hanya berani melawan orang yang tak hendak berkelahi.”  Menang tapi tak ada lawannya. Keh keh keh…

Bisa jadi suaraku memang tidaklah bagus, tidak enak didengar walau sudah dibantu pengeras suara. Aku pun tak hendak pula “menutupi” kekurangan suaraku itu dengan berpenampilan lewat pakaian sebagaimana seorang penyair, bila hadir pada acara-acara seni “harus” melengkapi dengan trend, sebuah sal melilit leher ---aku lebih senang mengistilahkan dengan selendang, mencimeeh satire, penyair bergaya penari--- seakan begitulah yang dinamakan penyair. Aku kira, hal-hal semacam itu tidaklah menentukan pada penyair dengan karyanya, begitupun penyair dan pembacaannya.

Malam Puisi Sungai Melaka 2016

Begitupun, aku juga tak memiliki kemampuan “meniru-niru” style pembacaan penyair Indonesia, semacam Sutarji Calzoum Bachri. Sutarji, selain memang memiliki kekuatan suara dan acting yang hebat, juga sangat menguasai ruang panggung dan suasana, semasa ia pernah “memukau” dunia panggung baca puisi. Meniru dengan tujuan, agar para penonton terkaget-kaget, terkesima atau pun terheran-heran dengan serba tak mengerti, sedang apakah seseorang di hadapan orang ramai ??? 

Atau “merendra-rendrakan diri,” aku juga tidaklah mampu agar pembacaan puisiku dapat menghipnotis banyak orang, seperti penyair Rendra yang legendaries melakukan, dapat membacakan puisinya dengan pemahaman yang baik, berakting panggung dengan sempurna, hingga para fotografer memiliki kesempatan untuk mendapatkan momen foto berkarakter, pun menurutku memang karya-karya yang dibacakan Rendra sendiri, dalam bentuk tulisan saja sudah memiliki kekuatan untuk didengarkan pada masa itu. Apalagi kalau dibacakan oleh penyairnya sendiri dengan baik. Rendra juga actor dan dramawan.

Membaca puisi ke hadapan orang ramai, sudah pernah aku lakukan sejak dari bangku sekolah menengah di kota kelahiranku. Puisi yang pertama yang aku bacakan adalah puisi “Kerawang-Bekasi,” dari penyair Chairil Anwar di hadapan guru-guru dan semua pelajar sekolah menengah tempat aku bersekolah. Setelah masa-masa hidup dalam berkesenian di Taman Budaya Padang, di ibukota provinsi, aku selain suka membacakan puisi Chairil, juga suka membacakan “Meditasi,” puisi penyair Abdul Hadi WM dan “New York 1971,” karya penyair Sapardi Joko Damono dan “Huesca,” John Conford terjemahan Chairil Anwar, selain sejumlah sajak-sajak penyair WS Rendra.

Namun mulai tahun 1996, setelah aku menerbitkan buku kumpulan puisiku, “Sajak Penyair 15 Ribu,” aku menarik diri dari kehidupan kesenian di daerahku. Memilih jalan kehidupanku sendiri. Aku tak lagi hadir pada pelbagai acara yang diselenggarakan atau pun tak lagi terlihat dalam komunitas kesenian atau pun keseharian. “Aku naik gunung.” Hidup dalam pertapaanku yang tak pernah diketahui dan dapat ditemui lagi, terutama oleh teman-teman kalangan kesenian. 

Termasuk, aku pun menghentikan aktifitasku untuk mempublikasikan karya-karyaku ke media cetak terbitan daerah maupun nasional. Sejak itulah aku tak lagi pernah membacakan puisi ke hadapan orang ramai. Adakalanya, aku hanya membaca puisi untuk diriku sendiri. Sebagai perintang-rintang hari, menjelang hari petang. Perihal itu seringkali kukatakan saja, aku sudah menjadi “Pangeran Kegelapan.”

Masa SMP suka Baca Puisi
 


Dalam rangkaian agenda  Anugerah Puisi Dunia Numera 2014 di Kuala Lumpur ---yang akhirnya aku hadiri,--- adalah pemunculanku pertamakali ke hadapan orang ramai berkonteks kesenian, setelah bertahun-tahun sama sekali tidak pernah, bahkan dengan momentum itu, aku dapat terbitkan buku berisi sejumlah catatan kebudayaan “Izinkanlah Aku Bicara,” khusus berisi tulisan pemikiranku berkait momen yang ditaja Numera Malaysia tersebut. Aku ditawarkan oleh SN Dato Ahmad Khamal Abdullah untuk membacakan puisi, ketika diadakan sesi baca puisi, diluar gedung Kuala Lumpur Perfoming Arts Centre (KLPaC). Namun aku tak tergerak hati untuk baca puisi. Kataku spontan, “Aku bisanya hanya menulis puisi saja, tidak untuk membacanya.”

Walau pun pembacaanku tidaklah berhasil, karena dari awal “direcoki” keterbatasan waktu dan tidak memiliki kacamata baca, menyulitkan membaca teks, akhirnya pertamakali aku membacakan puisi di atas panggung yang menurutku adalah peruntukannya untuk pertunjukan music, malam 17 September 2016 pada Malam Puisi Sungai Melaka 2016 yang ditaja PENAMA, Persatuan Penulis Negeri Melaka.
 Acara baca puisi itu, bersempena dengan Festival Antarbangsa Sungai Melaka 2016, aku hadiri semula dengan tujuan hanya sekadar melihat kegiatan kesastraan khususnya pembacaan puisi, sekaligus bersilaturahmi dengan teman-teman kesenian. Tetapi rupanya ada peluang untukku membacakan puisi dengan tema Melaka. Untunglah sebelumnya, tepat perayaan di Hari Kemerdekaan Malaysia, 31 Agustus 2016, aku menulis puisi panjang tentang Melaka dalam perjalanan sejarahnya ---terinspirasi tahun 2014 aku pernah sesaat datang ke Melaka. Maka kubacakanlah puisi agak sepenggal dari karya puisi panjangku, “7 Potret Pelancong Melaka Dalam Secangkir Kopi.”

Malam Puisi Sungai Melaka 2016

Jujur saja, kalau untuk membaca puisi di hadapan orang ramai, aku lebih suka membacakan karya penyair lain, daripada membacakan karya puisiku sendiri. Mungkin sangat jauh berbeda dengan para penyair-penyair selama ini. Rajin untuk tampil ke depan membacakan puisinya sendiri. Sementara aku bertolak-belakang dengan semua itu. Dalam masa rentang kepenulisanku, aku dapat menghitung hanya 4 kali membacakan puisiku sendiri. 

Pertama diminta, pada Lomba Baca Puisi Pelajar SMP/SMA 1987, Yayasan Pasamayan Padang se Sumatera Barat. Dimana salahsatu puisiku dijadikan sebagai teks puisi lomba. Kedua, peluncuran buku Antologi Penyair Sumatera Barat tahun 1993. Salahsatu puisiku terdapat dalam buku itu. Ketiga, Malam Puisi Temu Gapena - Penulis Sumatera Barat, 1995 dan Keempat peluncuran buku Antologi Hawa, Sangkaduo, dimana satu puisiku termuat di dalamnya. 

Malam Puisi Sungai Melaka 2016, menjadi catatan bagiku.
Setelah 20 tahun tak pernah membaca puisi lagi ke hadapan orang ramai, aku kini membaca puisi.
Puisi yang dibacakan pun karyaku sendiri.
Untuk ke 5 kali dalam hidupku membacakan puisi sendiri sepanjang masa kepenulisanku.

Rupanya itulah menurutku puisi. Kata berbaris. Kata bermakna.
Hampir persis dengan Sungai Melaka. Airnya tenang tapi mengalir.
Mengalir dari hulu sampai ke muara.
Memasuki selat.
Berjumpa laut.

Abrar Khairul Ikhirma
Bukit Katil Melaka
19 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar