Selasa, 15 November 2016

TEATER (BRAM) YANG DIRAWAT



Kata orang, kehidupan teater di Sumatera Barat masih hidup. Boleh saja pendapat itu benar. Kalau “mati,” bagaimana nasib segelintir “seniman” yang telah terlanjur “mengaku diri” sebagai orang teater selama ini?  Gelar teaterawan menjadi “label” mereka, tentu harus juga dirobah menjadi “bekas teaterawan.” Mungkinkah?!




ANEKDOT itu muncul, mengingat kehidupan teater di Indonesia dewasa ini semakin memasuki masa suram. Orang yang dulu bergiat di teater sudah pindah jalur, serupa tapi tak sama. Bahkan ada banting stir. Dunia tontonan panggung teater, tidak lagi menarik perhatian.

Masyarakat “keburu” terbius oleh sajian-sajian dari tabung kaca, yang dinamakan pesawat televisi. Nyaris 24 jam seharian mendatangi rumah-rumah, ruangan kerja atau ruang-ruang tunggu publik tanpa harus datang ke gedung pertunjukan teater.

Sejumlah orang teater kini bergiat di acara TV. Mereka dapat terkenal dan mendapatkan honor. Kalau dulu, suatu prestise bila dapat main di film layar lebar meskipun honor kecil. Tapi kini dengan mudah dapat bayaran lumayan, tanpa proses berbelit, tanpa harus mengenal teater sesungguhnya, semua orang dapat memiliki kesempatan “mengadu nasib” menjadi pemeran di sinetron –sinema elektronik-- di berbagai rumah produksi. Kemudian ditayangkan oleh stasiun TV. Ditonton banyak orang di banyak tempat.

Kehidupan seni teater moderen di daerah, sesungguhnya belum mendapatkan hal yang terbaik. Masih bergerak dalam wilayah kelompok studi dan apresiasi. Di Sumbar, dalam rentang beberapa tahun, kelompok-kelompok teater memang terbentuk. Umurnya lebih banyak dihitung bukan dari jumlah kegiatan pementasannya. Tetapi ketika terbentuk yang ditandai dengan pementasan pertamakalinya.

Kalaupun melakukan pementasan, hanya pengulangan belaka yang pernah digarap terdahulu. Hasilnya juga tidak lebih baik. Umumnya, pelaku adalah salah seorang yang pernah menjadi pemain, dalam suatu pementasan naskah teater yang dipertunjukkannya. Andaikan saja orang seperti itu tidak pernah menjadi pemain dengan naskah yang sama, mungkin (diduga) dia tak akan pernah dapat menjadi sutradara.

 Di Sumbar, pernah bertumbuhan kelompok-kelompok teater. Bumi Teater yang didirikan Wisran Hadi dkk di tengah tahun 70-an, dengan markas Pusat Kesenian Padang, menjadi “pemicu” lahirnya generasi teater. Hingga di sejumlah kabupaten diluar Kota Padang muncul penggiat seni. Sebut saja, Sanggar Paris di Pariaman dan Angkasa Bina Seni di Bukittinggi, pernah mengalami masa kejayaan. Diikuti sanggar di sekolah-sekolah terkemuka juga tak kalah aktifnya.

Atmosfir berteater di daerah ini, sebenarnya muncul ketika diselenggarakan Festival Teater atau momen sejenis. Baik yang diselenggarakan di daerah maupun demi memenuhi undangan ke Jakarta –ke Taman Ismail Marzuki, misalnya. Namun momen itu sudah sulit sekali tersua. Sejak terjadinya kehidupan sajian layar kaca, teater semakin tersuruk dan terpuruk di dalam romantismenya yang ironis.

Hal itu juga dialami daerah ini. Nama-nama lama masih belum dapat dilanjutkan oleh nama-nama (perbuatan) baru yang dapat dipertanggungjawabkan. BHR Tanjung, Wisran Hadi, A.Alinde, Hardian Radjab atau pun Edy Anwar, Edi Utama dan Raffendi Sanjaya. Selain memimpin sanggar, mereka juga menjadi sutradara. Begitu pula untuk aktornya, Alwi Karmena, Asbon Budinan Haza, Muhammad Ibrahim Ilyas, Ilhamdi Sulaiman dan, Rizal Tanjung. Epigon mereka-mereka itu masih terasa kental mempengaruhi generasi teater berikutnya.

Atmosfir “berteater” 1970-an dan 1990-an sejak beberapa tahun terakhir di Sumbar, sebenarnya sudah “terkapar” dan hanya tinggal sejumlah orangnya saja. Salah satunya seniman teater Muhammad Ibrahim Ilyas, yang dikenal dengan panggilan Bram. Agaknya, dialah satu-satunya aktor teater Sumbar dicatat oleh WS Rendra, dalam bukunya “Mempertimbangkan Tradisi” terbitan Gramedia, tahun 1983.

Bram menjadi pemeran “Malin Kundang”  dalam Pertemuan Teater 1982 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tulis Rendra dalam bukunya, “Para pemain rata-rata berseni dengan baik, terutama pemegang peran Malin Kundang dan Puti Campo. Mereka memang mempunyai perbawa pemeran utama. Tidak sekadar rupawan tetapi juga anggun. Vokal rata-rata pemain bagus. Energi dan stamina juga bagus.”

Entah tersebab pengakuan itu, Bram semakin jauh menapaki dunia teater. Ia senantiasa bergiat dan menjadi orang yang mendorong ---memotivasi--- banyak kelompok teater. Dia sampai mengecap pendidikan teater di ISI Yogyakarta. Ikut dalam sejumlah kegiatan teater dan seni, berikut tampil di TVRI Yogyakarta. Bersama sutradara dari Jepang, Bram pernah berkolaborasi teater, dengan mengambil cerita rakyat dari Jawa (Indonesia) dan Jepang. Kemudian dipertunjukkan di kedua negara itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, Bram kembali ke Sumbar dan menetap di Padang. Cuma semangat berteaternya tak berimbang dengan atmosfir teater di daerah yang tak memberikan kehidupan. Yang tertinggal hanya sisa-sisa “kenangan masa lalu,” yang amat sulit untuk dibangkitkan. Selain memerlukan “siasat” juga tendangan krisis global dan perubahan masyarakat, bukanlah tantangan ringan.

Sebagaimana dikatakan oleh tokoh teater Indonesia WS Rendra jauh di masa lalu bahwa, “Adalah memang kenyataan bahwa teater modern di Indonesia miskin akan penonton, miskin akan kesempatan, miskin akan modal, miskin akan keuntungan material, miskin akan peralatan teknis..., dan sebetulnya juga miskin akan dramawan yang baik.”

Saat menjumpai Bram pekan lalu bersama penyair dan penulis biografie Abrar Yusra di Rumah Sakit Yos Sudarso Padang, ingatan tentang teater dan kehidupan seni teater di Sumbar seakan terkenangkan. Terpikirkan kembali, dalam keadaan zaman dewasa ini. Selain seorang aktor teater, ia tak pernah berhenti berkeinginan, untuk menggarap pementasan dan berperan di atas panggung teater. Ingin menjadi dramawan yang baik. Ia memang merasakan suatu “kehidupan” penuh enerji ada di sana. Tetapi banyak enerji yang jauh lebih kuat, diluar kehidupan kesenian dan kebudayaan, yang membuat upaya-upaya “kebangkitan” menjadi tidak memiliki hasil apa-apa.

Bukan hanya Bram, kita juga (sedikit banyak) menyadari dalam semua lini, sudah lama terjadi pergeseran nilai-nilai, pola hidup dan pola pandangan setiap orang. Tidak hanya melihat, juga telah merasakan segala akibat-akibat yang ditimbulkan. Baik positif maupun negatif di dalam kemasyarakatan.

Semuanya, adalah keadaan zaman.

Namun, sungguh pun begitu, hanya orang-orang tertentu “tahan banting” yang akan tetap bertahan, mencatat dan memahami setiap perjalanan dan perobahan yang terjadi. Seniman dan pemikir sejati. Bram yang terserang sakit gejala diabetes dan radang paru-paru, kini masih dalam perawatan. Dalam keringkihan itu, ia masih melihat teater dan kehidupan kesenian sebagai jalan pencerahan.

Meskipun harus berjuang “teramat” keras, kehidupan teater dan kesenian ataupun kebudayaan di Sumbar, sampai (terutama) hari ini, sesungguhnya memerlukan “perawatan.”

Sama seperti keadaan Bram kini.

* Bukittinggi, 20/11/2008



(Catatan: Tulisan ini pernah dimuat Harian Singgalang, Padang, di bulan November 2008)

3 komentar:

  1. Sungguh tulisan yang jujur :) membaca tulisan ini di tahun 2016 dengan backsound 'stressed out' dari 21 pilot. Liriknya begini, "wish we could turn back time to the good old day.. but they scream, wake up, you need to get money." :<

    BalasHapus
  2. Antah....antah....antah...kata wisran di anggun.....a i u e o .....kata Bram yang kutonton bersama Emil Demitra dan akang Marzuki mahdi

    BalasHapus