Rabu, 16 November 2016

AMELIA HASHIM: PENULIS WANITA MALAYSIA DARI KEDAH



Berselancar di google, bertemu website Godreads.com, dimana diantaranya terdapat publikasi buku karya Amelia Hashim. Ada 3 buku yang mendapat rating 5 bintang. Yakni kumpulan cerpen Puteri Zakiah, kumpulan drama kanak-kanak Mimpi Laila dan Kudengar Suaramu diantara karya buku Amelia yang telah diterbitkan. 


MUSEUM KOTA KUALA KEDAH


AMELIA Hashim, salah seorang pengarang wanita Malaysia, terbilang produktif menghasilkan karya tulis dan mempublikasikannya. Tercatat 17 buku karyanya yang sudah diterbitkan. Diantaranya diterbitkan ITBM (Institute Terjemahan Buku Malaysia) dan DBP (Dewan Bahasa Pustaka). Dua institusi penerbit barometer dunia perbukuan dan “pencapaian” kesastraan di Malaysia bagi penggiat sastra dan pembinaan bangsa oleh kerajaan.

Aku belum pernah membaca karya Amelia atau pun tulisan-tulisannya. Berpedoman hanya pada penemuan website di google itu atau pun sebelumnya, diketahui pada kegiatan “Ekspresi Seni Srikandi Numera 2015” di IPG ---Institute Pendidikan Guru--- di Pulau Pinang, dijadikan topic kertas kerja Lily Siti Multatuliana, “Kumpulan Cerpen Puteri Zakiyah: Suatu Perbincangan.”  Termasuk dapat kabar, DR Meliani Budianta tertarik akan “membedah” buku yang sama, disampaikan saat Amelia menghadiri Seminar Sastra International Indonesia – Malaysia di Universitas Gajah Mada, Joyakarta – Indonesia. Sepertinya, kumpulan cerpen Puteri Zakiyah, merupakan “trending topic” dalam menelusuri dunia kepenulisan kreatifnya Amelia Hashim.

Ketika aku sudah berada di Melaka, menghadiri “Malam Puisi Sungai Melaka 2016,” pada pertengahan bulan September. aku menemukan buku kumpulan cerpen Puteri Zakiyah. Diterbitkan ITBM-PENA Kuala Lumpur tahun 2013. Dalam kesempatan itu, aku sengaja membaca cerpen Puteri Zakiyah yang dijadikan sebagai judul buku, menghimpun 12 cerpen. Hanya satu cerpen itu saja kusempatkan untuk membaca. 

Cerpen Puteri Zakiyah, ditulis Amelia memang cerpen sastra. Hal sederhana saja dalam hidup tapi seringkali luput dari perhatian. Memiliki kekuatan tema, penuturan runut, style dan karakter kuat. Sastra yang bernilai “sastra” ini tentu patut menjadikan karya Amelia ini dianggap menempati posisi “lebih” di dalam kesastraaan di Malaysia dewasa ini. Tapi aku tidak mengetahui, apakah demikian adanya, atau bagaimanakah persisnya “nasib” karya-karya serupa ini “diperlakukan” dalam masyarakat. Karena kuakui saja, aku belum pernah menelusuri “kesastraan” yang berlangsung di Negeri Jiran ini.


TIGA BUKU KARYA AMELIA HASHIM


Sebagai salah seorang pernah membaca ---walau pun baru satu cerpen saja,--- dari karya Amelia, ada memang terniat saat selesai membaca cerpen Puteri Zakiyah, bila ada kesempatan lain waktu, ingin melanjutkan membaca 11 cerpen lainnya terdapat dalam satu buku ini. Kemudian membuat tulisan suatu pandangan memahami karya sang pengarang, untuk dapat dibaca oleh orang lain sebagai suatu apresiasi sastra. Insyaallah…

Setelah membaca dan mengetahui lebih awal “bentuk” ditempuh Amelia berkarya sastra, barulah aku merasa beruntung, karena sebelumnya pernah diminta untuk merancangkan desain cover buku Puteri Zakiyah, yang diterbitkan tahun 2016 ini, dalam edisi bahasa Inggeris berjudul “Princess Zakiyah.”  Beruntung, karena hasil kerjaku dapat berdampingan dengan karya sastra salah seorang penulis Malaysia yang tak asal sastra.

Pertamakali perjumpaanku dengan Amelia dalam momen “Temu Penyair Asean 2016” di Kuala Lumpur, dimana kami sama-sama menghadiri acara sastra yang sama. Sebelumnya kami hanya saling kenal di pertemanan fb. Sejak diterima ke dalam list-pertemanan akun fb-ku, tidak banyak membantu pengamatanku atas aktifitas kesastraannya. Namun dari sejumlah postingan Amelia, aku mengetahui, beliau cukup aktif mengikuti forum-forum kesastraan di tanah airnya.

Dalam pengakuannya, hanyalah dunia tulis puisi yang belum sepenuhnya dia kuasai. Ia lebih banyak tertarik bergiat menulis scenario untuk drama radio dan tenggelam pada penulisan novel. Berkarya menulis scenario drama, menurutku, apalagi untuk kebutuhan penyiaran radio yang hanya mengandalkan media suara vocal manusia dan music, tidaklah sederhana. Dibutuhkan imajinasi dan penulisan ekstra untuk membuat kekuatan agar pendengar tertarik mengikuti dari awal sampai akhir. Memang eksekusi tergantung pada “pemain” namun kekuatan naskah adalah penting dalam menggiring mereka memainkan setiap kisah yang diperdengarkan.


PETANG HARI ASYIK DENGAN GADGET


Begitu juga pada penulisan novel. Seorang penulis harus kaya dengan pengembangan suatu ide, karakter dan pemilihan setting. Tanpa itu, novel yang memiliki rentang panjang penceritaan, mungkin sukar untuk dapat diselesaikan seorang penulis. Penulis novel setahuku, menurut istilahku harus memiliki kekuatan “nafas panjang.” Kekuatan tak henti-hentinya dalam membangun cerita menarik. Karenanya, ada banyak orang lebih memilih untuk menulis cerita pendek saja. Karena tak perlu berhabis enersi dan waktu. 

Dapat kita lihat, pada karya-karya puisi penyair bertebaran di kesastraan, misalnya. Ada banyak penyair “kedodoran” karyanya, tatkala menulis puisi panjang, puisi balada, naratif atau apapun istilahnya. Meskipun puisinya terbilang banyak berhasil di jumlah bait yang pendek tapi mereka gagal pada puisi yang panjang. Begitu juga pada penulisan fiksi. Aku kira itu tidak sekadar menyangkut teknis tapi kemampuan mengolah ide, gagasan, rasa, ketika inspirasi berdatangan dituliskan dan dikembangkan.

Ada memang seseorang dapat berhasil pada tiga bentuk media penulisan. Mampu menulis puisi, berhasil menulis cerita pendek dan sanggup menulis novel bahkan, berjaya pada penulisan artikel-artikel. Tentu saja orang serupa itu sudah memiliki “nafas panjang,” di atas pengalaman, pengetahuan dan wawasan yang matang.

Biasanya, karya-karya sastra selalu dilandasi oleh latarbelakang kehidupan penulisnya. Pemilihan dan pandangannya, sadar atau tidak akan terkesan di balik alur penceritaan, di balik tema yang dikemukakan. Bagiku selalu saja menarik hal-hal yang dapat menjadi sumber inspiratif bagi seorang penulis, seniman atau pun pada bidang-bidang lain. Demikian juga, pada perbincangan singkat di beberapa kesempatan dengan Amelia, ia menyebut tentang Gunung Jerai. Gunung yang berada di Kedah.


MUSEUM PADI, GUNUNG KERIANG, KEDAH


Alhamdulillah, atas kebaikannya penulis wanita Malaysia ini, aku berkesempatan dihantarkannya untuk berkunjung ke kawasan Gunung Jerai. Kemudian akupun lebih jauh mengetahui keberadaan gunung ini, memiliki berkaitan erat dengan momentum satu babak perjalanan pengembangan agama Islam di Negeri Kedah di masa dahulu. Selain itu, Gunung Jerai bagi masyarakat sekitar, dikenal gunung dengan banyak kisah-kisah magis. Konon gunung ini sampai sekarang, selain sudah ramai dikunjungi para pelancong dari berbagai negeri, juga didatangi oleh mereka yang menyukai dunia mistis.

Tidak mustahil, Amelia mengatakan, “Bila aku jauh, aku merindukan Gunung Jerai.” Amelia dilahirkan di Guar, Cempedak, Gurun, Kedah. Daerah yang terletak di kawasan sekitar Gunung Jerai. Bertahun-tahun dia senantiasa terpandang gunung tersebut. Hidup dalam segala dinamika alam dan masyarakatnya. Jauh sebelum terjadinya perubahan-perubahan seperti saat ini. Sehingga kedekatannya dengan suasana kehidupan “kampong” lebih menarik hatinya, ketimbang “perpacuan” kehidupan di perkotaan. Karenanya ia lebih memilih untuk menjalani hidupnya di Negeri Kedah. Tidak ikut turut sebagai urban ke Kuala Lumpur. Walau pun seringkali Amelia harus bolak-balik Kedah-Kuala Lumpur mengikuti kegiatan kesastraan.

Sewajarnyalah…, seperti kesan yang ditemukan setelah membaca cerpen Puteri Zakiyah, Amelia mengungkap kehidupan social masyarakat ke dalam karya sastra. Karena memang dia “melihat” ada bagian-bagian “persoalan” manusia, social dan kehidupan masyarakat perlu dilihat dengan jernih. Pengungkapan ke dalam karya sastra terasa lancar baginya, tentu berkat pengalaman selama Amelia pernah bekerja sebagai wartawati di Warta Darul Aman, Kedah. Tokoh cerpen Zakiyah berkisah “nasib” dan pilihan “hidup,” seorang “bintang” pada pertunjukan seni Melayu “bangsawan,” setelah kelompok pertunjukan itu tamat riwayatnya, seiring wafatnya pemimpin kelompok. Disertai dengan pergantian zaman. 

Sebelum membaca cerpen Puteri Zakiyah, sebenarnya saat perjumpaan pertama di KL. Amelia menghadiahkan sebuah buku kumpulan drama, “Opera Nyonya Cantik,” terbitan ITBM-Pena (2014) yang ditulisnya. Diantara masa berada di Kedah, barulah aku sempat membuka buku itu. Halaman yang terbuka pertamakali itu rupanya bahagian halaman 103, lembaran terakhir buku. Karena aku mengalami masalah dalam membaca teks, juga waktu terbatas, membuka buku hanyalah sekadar melihat-lihat sekilas saja. Tidak untuk menekuni membaca.

Di halaman 103 yang terbuka di hadapanku, kusempatkan membaca bahagian akhir teks, merupakan dialog tokoh Datuk Bendahara: “Ada banyak cara untuk melindungi tuan hamba…, tetapi, bukan itu caranya.Adat hidup kami tidak ada gundik.Lupakan niat tuan hamba hendak menjadi isteri beta. Buat masa sekarang, tuan hamba binalah hidup baru bersama orang yang tuan hamba pilih. Yang sebangsa dengan tuan hamba. Perbezaan budaya kita sangat jauh. Mungkin dalam masa 50 atau 100 tahun lagi keturunan kita akan bersatu. Bersatu dalam segala kehidupan atas rasa kesedaran demi menjaga keamanan Negara ini.” (Amelia Hashim, Opera Nyonya Cantik, ITBM-Pena).


KARYA AMELIA HASHIM YANG SUDAH DITERBITKAN


Dari satu dialog itu saja ditulis Amelia, dalam pemahamanku sebagai pembaca, merupakan satu kesatuan yang “menyentak” pemikiran sastra-berbicara. Kenapa tidak. Dari tiap kalimat yang terhubung mengemukakan persoalan yang bisa lebih dirinci lagi bermaksud; 1.Hal gundik. 2.Keteguhan menegakkan adat. 3.Memotivasi untuk kebajikan. 4.Menegaskan perbedaan budaya. 5.Prediksi keturunan. 6.Keamanan Negara. Semuanya dirangkai perihal itu hanya ke dalam satu dialog saja. Luarbiasa. Tak ada soal yang tak tersampaikan sebagai “pandangan” dan “pemikiran” si penulisnya pada kata dan kalimat, sehingga kata dan kalimat tak ada yang tak berguna.

Memang aku belum membaca sepenuhnya atas naskah drama itu, juga belum dapat menemukan keterhubungan dengan naskah-naskahnya yang lain. Sepintas hanya berpijak sekadar dengan tinjauan sebagai “pelancong pembaca” sastra, ---bukan seorang ahli sastra atau kritikus sastra,--- dengan membaca pada bahagian akhir buku dan naskah drama pentas ditulis Amelia, aku kira andaikan naskah ini dimainkan (dilakonkan) oleh actor terbaik, penyutradaraan baik pula, tentu pesan-pesan “tersampaikan” kepada penonton menghadap panggung permainan. Membuka ruang pemikiran dan wawasan kehidupan, tidak sekadar tontonan dan hiburan.

Diantara kunjungan ke beberapa destinasi museum selama berada di Kedah, tidak banyak kesempatanku memperbincangkan lebih luas tentang pandangannya pada kesastraan di Malaysia dewasa ini. Terutama ingin lebih tahu perjalanan proses kepenulisannya, dalam melahirkan naskah drama, cerita pendek maupun novel-novel selama ini. Yang jelas, beliau sempat menceritakan sampai bertahun untuk menunggu naskah bukunya dapat diterbitkan oleh penerbit, setelah naskah diserahkannya untuk dipertimbangkan. Bahkan ada sejumlah naskahnya sampai saat ini masih “terbenam” di tangan penerbit. Entah hendak diterbitkan atau tidak.


AUDITORIUM DBP KUALA LUMPUR TEMU PENYAIR ASEAN 2016


Sekiranya teratasi “kesukaran” ku dalam hal membaca, juga punya waktu yang tepat, aku akan membaca semua cerpen dalam buku “Puteri Zakiyah,” dan semua naskah drama pentas dalam buku “Opera Nyonya Cantik” yang ditulis Amelia Hashim. Tentu saja aku akan mendapatkan “pandangan” lebih luas lagi “menelusuri” proses kreatifnya, untuk sebuah pembicaraan apresiasi sastra, misalnya.

Kesempatan Perjalanan Budaya ke Negeri Kedah, selain dapat aku bagi dalam bentuk tulisan apresiasi, juga merupakan pengalaman berharga tak ternilai. Aku juga dapat menyelesaikan karya video pendek documenter budaya, salahsatunya berjudul, “Amelia Hashim: Penulis Wanita Malaysia dari Kedah.” Sebagai sumbangan untuk dunia sastra Malaysia, Masyarakat Melayu dan Masyarakat Dunia. Insyaallah nanti dapat dipublish di youtube.

Yang jelas Malaysia beruntung memiliki penulis seperti seorang Amelia Hashim dari Kedah, dapat membukakan jalan kesastraan berkarya untuk karya sastra bernilai sastra. (*)

abrar Khairul Ikhirma
Sintok-Melaka-Pekanbaru
Sept/Okt/Nov. 2016

1 komentar:

  1. salam. saya ingin bertanya, bagaimanakah saya boleh menghubungi Puan Amelia Hashim. Bolehkah saya dapatkan email beliau ?

    BalasHapus